Senin, 09 November 2015

makalah: THAHARAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Thaharah sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dengan ibadah karena dalam melaksanakan suatu amalan ibadah, seseorang harus terlebih dahulu bersih dan suci.
Bersuci dari kotoran itu dapat dilakukan dengan cara menghilangkan seluruh najis yang menempel dengan menggunakan air yang bersih, baik dari pakaian, badan manusia maupun tempat shalat. Sedangkan bersuci dari hadas adalah dengan berwudhu, mandi dan tayamum. Insya Allah , penulis akan menguraikannya dalam bab pembahasan.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian thaharoh?
2.      Bagaimana cara bersuci dari hadas/najis
3.      Bagaimana cara wudhu, mandi dan tayamum?
C.      Tujuan
1.      Mengetahui pengertian thaharah
2.      Mengetahui cara bersuci dari hadas dan najis
3.      Mengetahui cara wudhu, mandi dan tayamum
D.      Manfaat penulisan
Makalah ini bermanfaat untuk mengetahui dan memahami serta mempelajari tentang thaharah (bersuci) dengan dasar ayat dan hadis yang berkaitan, yang kemudian akan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
                                                        
                                                         BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Thaharah
Secara bahasa, thaharah berarti membersihkan kotoran, baik kotoran yang berwujud maupun kotoran yang tidak berwujud.
Secara istila, thaharah artinya menghilangkan hadas, najis, dan kotoran dengan air atau tanah yang bersih. Jadi, thaharah adalah menghilangkan kotoran-kotoran yang masih melekat dibadan yang membuat tidak sahnya shalat dan ibadah lainnya.[1]
Thaharah (bersuci) mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dengan ibadah. Sebaliknya, ibadah juga berkaitan erat dengan thaharah. Artinya, dalam melaksanakna suatu amalan ibadah, seseorang harus terlebih dahulu berada dalam keadaan bersih lagi suci, baik dari hadas kecil maupun hadas besar, termasuk sarana dan prasarana yang digunakan dalam beribadah, mulai dari pakaian, tempat ibadah dan lain sebagainya. Dengan kata lain, thaharah dengan ibadah ibarat dua mata sisi uang, dimana antara satu dengan yang lainnya tidak bisa saling meniadakan.[2]
Dari Ibnu Umar, ia berkata, bahwa aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Tidak akan diterima suatu shalat tanpa bersuci dan tidak juga sedekah dari harta rampasan yang belum dibagi.” (HR.Muslim)
Hadis tersebut merupakan nash diwajibkannya thaharah untuk mengerjakan shalat. Para ulama telah bersepakat bahwa thaharah merupakan syarat sahnya shalat. Sedangkan wudhu pada setiap hendak melaksanakan shalat merupakan hal yang wajib. Hal ini didasarkan pada Firman Allah (QS. Al-Maidah:6) :


“wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangna kalian sampai ke siku. Kemudian sapulah kepala dan basuh kaki kalian sampai kedua mata kaki........ (Al-Maidah:6)[3]



           
B.       BERSUCI DARI HADAS/NAJIS
Najis adalah bentuk kotoran yang setiap Muslim diwajibkan untuk membersihkan diri darinya atau mencuci bagian yang terkena olehnya.[4]
Secara khusus, dalam pembahasan ini hanya akan dibahas tentang kebersihan dalam kaitannya dengan perbuatan seseorang yang akan melakukan ibadah. Kebersihan atau bersuci dalam perspektif fiqih bersuci dari hadas maupun najis. Bersuci dari hadas meliputi hadas kecil maupun hadas besar; dan bersuci dari najis meliputi najis mukhaffafah, Mutawasithah maupun mughaladhah.
Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari hadas, baik hadas kecil maupun hadas besar. Hadas kecil seperti buang air kecil (kencing), buang angin (kentut), buang air besar (berak) atau sesuatu yang keluar dari dua lubang (qubul dan dubul) selai mani/darah haid/nifas.
Sedangkan hadas besar termasuk ihtilam (mimpi basah), mengeluarkan air mani, bersenggama, ataupun haid dan nifas. Hadas kecil maupun hadas besar tersebut harus dibersihkan tau disucikan, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Dan dalam islam cara membersihkan hadas kecil maupun hadas besar memiliki cara-cara tersendiri, dan sudah menjadi ketentuan baku.[5]
Persoalan lain yang hampir sama dan tidak dapat dipisahkan dalam thaharah ini adalah pembahasan tentang najis. Dalam beberapa hal, antara hadas dan najis tidak bisa saling meniadakan, yaitu ketika seseorang itu berada dalam keadaan najis, seperti segala sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur adalah najis dan orangnya berhadas, kecuali air mani karena tidak najis. Walaupun ada sedikit perbedaan, kalau  hadas terkait keberadaan seseorang secara langsung, sedangkan najis lebih luas lagi yaitu berkaitan dengan manusia dan segala sesuatu yang berda diluar manusia (hewan maupun yang lainnya yang dianggap najis). Hadas hanya terjadi atas perbuatan manusia sendiri, sedangkan najis terjadi atas perbuatan manusia dan pihak lain, kotoran hewan misalnya yang mengenai atau benda-benda lain yang kena najis dan mengenai manusia.
Ada beberapa macam bembagian najis yaitu:
1.        Najis mukhaffafah
Najis mukhaffafah adalah najis yang ringan, najis yang dalam penyuciannya dilakukna dengan proses yang sangat sederhana, yaitu cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena najis. Contoh klasik dari najis mukhaffafah ini misalnya air seni bayi laki-laki yang belum diberi makan apa-apa selain ASI (air susu ibu), maka penyuciannya cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena kencing tanpa harus digosok-gosok. Ini berdasarkan hadis nabi:

“kencing anak laki-laki dipercik, sedangkan kencing anak kecil perempuang dicuci”
Ketentuan ini berlaku selama keduanya belum makan makanan selain air susu ibunya. Ini berdasarkan hadis Nabi.

“Selama keduanya belum makan, apabila keduanya sudah makan, cara membersihkan kencingnya dengan dicuci”.[6]
2.        Najis mutawasithah yaitu najis yang masuk dalam kategori sedang; najis yang dalam proses penyuciannya tidak sesederhana pada najis mukhaffafah, melaingkan membutuhkan beberapa kali proses, yaitu menyiramkan air beberapa kali pada tempat yang terkena najis sampai wujud atau bau najis itu hilang. Proses penyucian jenis najis ini dilakukan dengan menyiramkan air beberapa kali pada tempat yang terkena najis, dan kadang-kadang juga membutuhkan alat penyuci lainnya seperti detergen, sabun atau lainnya.[7]
3.        Najis mughaladhah merupakan najis yang tergolong berat, untuk membersihkan atau mensucikan najis ini diperlukan cara-cara khusus yang harus dilaksanakan.
Seseorang atau sesuatu terkena najis berat maka cara mensucikannya denagan menggunakan air sebanyak 7 (tujuh) kali, salah satunya dicampur denagn tanah.[8]
Oleh karena itu, sebagai umat islam, kita harus selalu  berusaha untuk menjaga kebersihan dan kesucian. Hal ini dikarenakan selain sebagai perintah Allah dan Rasulnya, juga merupakan tindakan untuk menjaga kesehatan, baik kesehatann lahir maupun batin. Jadi, Islam benar-benar memperhatikan kebersihan dan kesucian, dan bahkan hal ini merupakan hal yang sangat penting.

C.      WUDHU, MANDI DAN TAYAMMUM
Agama Islam sangat memperhatikan kebersihan/kesucian, dan memendang penting kebersihan/kesucian itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam rentetan ibadah. Dalam pelaksanaan suatu iabadah dibutuhkna adanya kebersihan/kesucian. Bahkan dalam beberapa aspek, ibadah itu adalah kebersihan atau kesucian itu sendiri. Artinya, ibadah yang benar adalah ibadah yang dilakukan oleh orang-orang yang telah menjaga kebersihan dan mensucikan diri. ibadah yang diterima oleh Allah adalah ibadah yang sesuai dengan aturan ajaran Islam, karena dalam semua praktek ibadah pada kenyataannya didahului dengan berbagai macam praktek penyucian diri. bahkan, penyucian diri ini tidak hanya terkait dengan hal-hal fisik saja, tetapi psikis pun juga sangant dianjurkan.[9] 
1.        Wudhu
a.         Fardu wudhu: wudhu itu memiliki beberapa fardhu dan rukun yang ditertibkan secara berurutan. Jika ada salah satu fardhu tersebut yang tertinggal, maka wudhunya tidak sah menurut syaria’at. Berikut ini fardhu-fardhu wudhu tersebut:
1)        Niat: wudhu tidak akan sah kecuali disertai dengan adanya niat. Niat adalah kemauan dan keinginan hati untuk berwudhu, sebagai wujud menaati perintah Allah.
2)        Membasuh wajah: kewajiban membasuh wajah di dalam berwudhu itu hanya sekali. yaitu, dari bagian atas dahi sampai bagian dagu yang bawah dan dari bagian bawah satu telinga kebagian bawah telinga yang lain.
3)        Membasuh kedua tangan: yaitu sampai kesiku dan hanya dilakukan satu kali saja.
4)        Mengusap kepala: pengertian mengusap disini adalah membasahi kepala denagn air.
5)        Membasuk kedua kaki: yaitu, membasuh kedua kaki hingga mencapai mata kaki.
6)        Tertib dalam membasuh anggota-anggota tubuh di atas.[10]
b.        Sunnah wudhu: sunnah adalah ketetapan dari Rasulullah baik berupa ucapan maupun perbuatan. Adapun di antara sunnah-sunnah wudhu dimaksud adalah sebagai berikut:
1)        Membaca basmalah
2)        Membersihkan kedua telapak tangan tiga kali
3)        Bersiwak
4)        Berkumur tiga kali
5)        Istinsyaq dan istintsar tiga kali
6)        Membersihkan sela-sela jari
7)        Mendahulukan yang kanan
8)        Mengusap daun telinga
9)        Membaca doa setelah wudhu.[11]
2.        Mandi
a.         Hal-hal yang mewajibkan mandi
1)        Keluarnya mani saat syahwat, baik dalam tidur maupun tidak.
2)        Apabila seorang istri dicumbu selain pada kemaluan
3)        Selesai haid/menstruasi
4)        Melahirkan dan pasca melahirkan (nifas)
5)        Mengislamkan orang kafir
6)        Kematian[12]
       Keluar mani menyebabkan seseorang wajib mandi. Hal ini berdasrkan hadis yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah bersabda:


“bila kamu mengeluarkan madsi, maka bersihkanlah kemaluanmu dan berwudhulah sebagaimana kamu berwudhu untuk melakukan shalat. Dan bila kamu mengeluarkan mani, maka mandilah”.
       Berdasarkan hadis diatas bisa kita ketahui bahwa orang yang tidur lalu mengeluarkan mani, maka wajib mandi, baik merasakan nikmat maupun tidak, karena orang yang tidur kadang-kadang tidak merasakan. Apabila seseorang tidur dan bermimpi, lalu bangun dan melihat adanya air mani yang keluar, maka wajib mandi. Akan tetapi, bila dia tidur dan bermimpi, lalu bangun dan tidak melihat adanya air mani ynag keluar, maka dia tidak wajib mandi.[13]
b.        Rukun mandi
1)        Niat.
2)        Berkumur dan beristinsyaq disertai guyuran air keseluruh tubuh.

c.         Beberapa hal yang disunnahkan dalam mandi
1)        Membasuh kedua tangan sebanyak tiga kali.
2)        Membasuh kemaluan.
3)        Berwudhu seperti hendak melaksanakan shalat.
4)        Menyiramkan air sebanyak tiga kali.
5)        Mengguyurkan air ke seluruh tubuh, yang dimulai dari setengah bagian sebelah kanan dan kemudian setengah bagian sebelah kiri.
6)        Membasuh kedua ketiak, pusar dan lutut.[14]

d.        Cara mandi janabah
1)        Membaca basmalah, denagan niat menghilangkan hadats besar melalui mandi. Selanjutnya membasuh kedua telapak tangan tiga kali.
2)        Setelah itu beristinja dan membersihkan segala kotoran yang terdapat pada kemaluan.
3)        Berwudhu seperti ketika hendak mengerjakan shalat.
4)        Membasuh kepala dan kedua telinga sebanyak tiga kali.
5)        Selanjutnya menyiramkan air keseluruh tubuh.[15]
Ketiak seseorang yang berada dalam hadas besar atau hadas kecil tidak mendapatkan air untuk mensucikannya, maka cukup denagan tayammum (mengusap wajah dan tangan), mensucikan hadas tersebut dengan debu yang bersih/suci. Dalam prakteknya juga sama, yaitu bagi oarang yang melakukan tayammum juga harus berniat dalam hati bahwa dia bertayamum untuk menghilngkan hadas kecil ataupun hadas besar.[16]  
3.        Tayammum
Menurut bahasa, tayamum berarti menuju ke debu. Sedangkan menurut syaria’at, tayamum adalah mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan dengan niat untuk mendirikan shalat atau tayamum.
a.         Sebab-sebab diperbolehkan tayamum
1)        Diperbolehkannya tayamum adalah sebagai ganti wudhu apabilatidak ditemukan air atau karena sakit dan tidak ada kemampuan bergerak serta tidak ada orang yang membawakan air untuknya.
2)        Wanita yang ikut muhrimnya bekerja dan tidak memungkinkan membawa air.
3)        Apabila ia membawa sedikit air yang jika itu dipergunakan berwudhu, maka ia tidak akan memiliki air untuk kebutuhan minumnya.
4)        Musafir yang tidak mendapatkn air[17]
b.        Cara tayamum, dengan cara menepukkan kedua tangan ketanah suci denagn satu kali tepukan, kemudian mengusapkannya kewajah dan kedua tangan. Debu yang digunakan yaitu debu yang suci dan segala sesuatu yang sejenis  dengan tanah seperti krikil, batu atau kapur.[18]
c.       DAFTAR PUSTAKA
d.      Aibak, Kutbuddin. Fiqih Tradisi: Menyibak Keragaman dalam keberagaman.  Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2012.
e.       Al Qahthani, Sa’id bin Ali bin Wahf. Thaharah Nabi: Tuntunan Bersuci Lengkap. Cet. I; Jogjakarta: Media Hidayah, 2004.
f.       Kamil Muhammad Uwaidah, Syaikh. Fiqih Wanita: Edisi Lengkapa. Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.






[1] Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Thaharah Nabi: Tuntunan Bersuci Lengkap, (Cet. I; Jogjakarta: Media Hidayah, 2004) h.15
[2] Kutbuddin Aibak, Fiqih Tradisi: Menyibak Keragaman dalam Keberagaman, (Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2012) h. 15
[3] Syaikh Kmail Muhammad Uwaidah, Fuqih Wanita: Edisi Lengkap, (Cet.1; Jakarat: Pustaka Al- Tkausar, 2008) h.3
[4] Ibid, h. 14
[5] Op. Cit, h. 16-17
[6] Op. Cit, h.20
[7] Op. Cit, h. 20-21
[8] Ibid, h. 20-21
[9] Ibid, h.31
[10] Op. Cit, h.47
[11] Ibid, h. 50-54
[12] Ibid, h. 92-95
[13] Op. Cit, h.106
[14] Op. Cit, h. 100
[15] Ibid, h. 95
[16] Op. Cit, h.39
[17] Op. Cit, h. 103-105
[18] Ibid, h.106

Tidak ada komentar: