Selasa, 10 November 2015

makalah: perbedaan ayat-ayat makkiya dan madaniyyah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
       Al-Qur'an adalah sumber ajaran Islam yang pertama, kitab yang dipandang paling suci oleh kaum Muslim dan penutup kitab-kitab samawi. Dengan ditetapkannya kerasulan Nabi Muhammad SAW., ditegaskan argumentasi terhadap seluruh umat manusia mengenai kepastian Islam sebagai agama, sebab al-Qur'an adalah mukjizat yang abadi, satu-satunya sumber yang tak terbantahkan (qath'y) dan pasti, berdasarkan kesepakatan pendapat seluruh kaum muslimin.
        Al-Qur'an merupakan firman Allah SWT. yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui perantaraan malaikat Jibril yang dinukilkan melalui jalan mutawatir dan membacanya adalah ibadah. Masyarakat Islam tidak punya jalan lain untuk mencapai kebahagiaan, dan tidak ada pula jalan lain untuk mengembalikan hak-hak umat Islam dalam kehidupan keimanan mereka di bawah naungan Islam, kecuali dengan mengkaji dan mengamalkan kandungan al-Qur'an yang mulia berupa pengarahan-pengarahan aqidah, kaidah-kaidah berfikir, hukum-hukum syariay, dan landasan-landasan akhlak yang luhur.
        
B.     Rumusan Masalah
1.   Bagaimana defenisi al-Qur'an?
2.   Bagaimana cara turunnya wahyu?
3.   Bagaimana perbedaan ayat-ayat makkiyah dan madaniyah?
C. Tujuan Penulisan
1.   Untuk mengetahui defenisi al-Qur'an.
2.   Untuk mengetahui cara turunnya wahyu.
3.   Untuk mengetahui perbedaan ayat-ayat makkiyah dan madaniyah.
D. Manfaat Penulisan
Menambah khazanah ilmu pengetahuan






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Defenisi  Al-Qur'an
       Qara'a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira'ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapi. Qur'an pada mulanya seperti qira'ah yaitu masdar (infinitif) dari kata qara'a, qira'atan, qur'anan[1].
       Qur'anah di sini berarti qira'atahu (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrif, konjungsi) "fu'lan" dengan vokal "unsur" seperti "qufran" dan "syukran". Kita dapat mengatakan qara'tuhu, qur'an wa qur'anan, artinya sama saja. Di sini maqru' (apa yang dibaca) diberi nama Qur'an (bacaan); yakni penamaan maf'ul dengan masdar[2].
       Qur'an dikhususkan sebagai nama kitab yang diturunkan kepada Muhammad SAW. sehingga Qur'an menjadi nama kitab khas itu, sebagai nama diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama Qur'an secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya[3].
       Secara terminologis al-Qur'an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi terakhir Muhammad SAW. melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur'an tertulis dalam mushaf dan sampai kepada manusia secara mutawatir. Membacanya bernilai ibadah, diawali dengan surah al-Fatihah dan ditutup dengan surah an-Nas[4].
       Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa[5]:
1.      Al-Qur'an diturunkan Allah melalui perantara malaikat Jibril secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari kepada Nabi Muhammad SAW.
2.      Al-Qur'an dikumpulkan dalam mushaf yang sejak masa turunnya dihafalkan dan ditulis oleh para sahabat kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf yang seluruhnya berisi 6.666 ayat dan 114 surah.
3.      Al-qur'an itu sampai kepada umat Islam secara mutawatir atau terus-menerus diturunkan dari generasi ke generasi dalam keadaan tetap dan terjaga, baik huruf maupun kalimat-kalimat yang ada di dalamnya, sehinnga keaslian al-Qur'an tetap terjamin sepanjang masa.
       Adapun nama-nama lain dan sifat dari al-Qur'an di antaranya adalah[6]:
1.      Qur'an

"Qur'an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus". (al-Isra'/17: 9)
2.      Kitab

"Telah Kami turunkan kepadamu al-Kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu". (al-Anbiya'/21: 10)
3.      Furqan

"Mahasuci Allah Yang telah menurunkan al-Furqan kepada hamba-Nya, agar dia menjadi memberi peringatan kepada semeta alam". (al-Furqan/25: 1)
4.      Zikr

"Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan az-Zikr, dan sesungguhya Kamilah yang benar-benar akan menjaganya". (al-Hijr/15: 9)
5.      Tanzil

"Dan Qur'an ini tanzil (diturunkan) dari Tuhan semesta alam". (asy-Syu'ara'/26: 192)
6.      Nur (cahaya)

"Wahai manusia, telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang-benderang". (an-Nisa'/4: 174)
7.      Huda (petunjuk), Syifa' (obat), Rahmah (rahmat), dan Mau'izah (nasihat)
"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat dari Tuhanmu dan obat bagi yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman". (Yunus/10: 57)
8.      Mubin (yang menerangkan)

"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan". (al-Maidah.5: 15)
9.      Mubarak (yang diberkahi)

"Dan Qur'an ini adalah kitab yang telah Kami berkahi, membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya". (al-An'am/6: 92)
10.  Busyra' (khabar gembira)

"Yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadikan petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang beriman". (al-Baqarah/2: 97)
11.  Aziz (yang mulia)

"Mereka yang mengingkari az-Zikr (Qur'an) ketika Qur'an itu datang kepada mereka, (mereka pasti akan celaka). Qur'an adalah kitab yang mulia". (Fussilat/41: 41)
12.  Majid (yang dihormati)

"Bahkan yang mereka dustakan itu adalah Qur'an yang dihormati". (al-Buruj/85: 21)
13.  Basyir (pembawa khabar gembira)

"Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa khabar gembira dan yang membawa peringatan". (Fussilat/41: 34)

B.  Cara Turunnya Wahyu
       Al-Qur'an al-karim diturunkan kepada Rasul al-Amin SAW. sebagaimana turunnya risalah-risalah yang terdahulu kepada para nabi, yaitu melalui wahyu. Secara kebahasaan, wahyu berarti "pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat". Sedangkan menurut istilah, wahyu berarti, " jalan khususu yang digunakan Allah SWT. untuk berhubungan dengan rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya untuk menyampaikan kepada mereka berbagai macam hidayah dan ilmu[7].
       Wahyu adalah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan sebagian anggota tubuh. Dikatakan bahwa wahyu ialah pemberian secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi[8]:
1.      Ilham sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa ( Qasas/28: 7).
2.      Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah (an-Nahl/16: 68).
3.      Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Qur'an (Maryam/19: 11).
4.      Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikat berupa suatu perintah untuk dikerjakan (al-Anfal/8: 12).
a.       Cara Wahyu Turun kepada Malaikat

"Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman". (al-Anfal/8: 12)
       Nas di atas dengan tegas menujukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu[9].
       Para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa Qur'an kepada Jibril dengan beberapa pendapat[10]:
1). Bahwa Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafalnya yang khusus.
2).  Bahwa Jibril menghafalnya dari lauh mahfuz.
3). Bahwa maknanya dissampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad SAW.
       Pendapat pertama itulah yang benar, dan pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Qur'an adalah kalam Allah dengan lafalnya, bukan kalam Jibril atau kalam Muhammad. Sedang pendapat kedua di atas itu tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Qur'an di lauhul mahfuz itu seperti hal-hal gaib yang lain, termasuk Qur'an. Dan pendapat ketiga lebih sesuai dengan hadis, sebab hadis itu wahyu dari Allah kepada Jibril, kemudian kepada Muhammad SAW. secara maknawi saja. Lalu hal itu diungkapkan dengan ungkapan dengan Q. S an-Najm/53: 3-4.
b.      Cara Wahyu Turun kepada Para Rasul
       Allah memberikan wahyu kepada para rasul-Nya dan ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak melalui perantaraan.
Wahyu memiliki tiga bentuk[11]
1.      Disampaikan suatu makna ke dalam kalbu Nabi SAW., atau dimasukkan makna tersebut ke dalam pikiran beliau secara demikian hingga beliau merasakan bahwa makna itu datang dari Allah SWT., sebagaimana yang disabdakan ooleh beliau sendiri, "Sesungguhnya Ruhul-Qudus membisikkna ke dalam pikiranku…".
2.      Allah berbicara kepada Nabi dari balik tabir, sebagaimana Dia telah menyeru Musa dari balik segerombolan pohon, dan Musa mendengar seruan itu.

"Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan kepada Musa Allah berfirman langsung"[12]. (Q. S. an-Nisa'/4: 164)
3.       Seorang malaikat menyampaikan wahyu yang dikirimkan dari sisi Allah SWT. kepada salah seorang nabi-Nya, yang berisi apa-apa yang wajib disampaikan kepadanya, baik malaikat itu dalam rupa sebagai malaikat ataukah mengambil rupa sebagai seorang manusia, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits sahih: "Dan terkadang malaikat menyamar kepadaku dalam rupa seorang laki-laki. Maka dia lalu berbicara kepadaku dan aku memahami apa yang dikatakannya.  
C.    Perbedaan Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah
       Untuk membedakan Makki dan Madani, para ulama mempunyai tiga macam pandangan yang masing-masing meempunyai dasar sendiri.
       Pertama, dari segi waktu turunnya. Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan di Mekah. Madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di Medinah. Yang diturunkan  sesudah hijrah  sekalipun di Mekah atau Arafah, adalah Madani, seperti yang diturunkan pada tahun penaklukan kota Mekah, misalnya Q. S. an-Nisa'/4: 58[13].
       Kedua, dati segi tempat turunnya. Makki ialah yang turun di Mekah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di Medinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil[14].
       Ketiga, dari segi sasarannya. Makki ditujukan kepada penduduk Mekah dan Madani adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Medinah[15].
1.      Ketentuan Makki dan Ciri Khas Temanya
       Dari segi ketentuan:
a. Setiap surah yang di dalamnya mengandung "sajdah" maka surah itu Makki.
b. Setiap surah yang di dalamnya mengandung lafal kalla, berarti Makki. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur'an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.
c. Setiap surah yang di dalamnya mengandung ya ayyuhan nas dan tidak mengandung ya ayyuhal lazina amanu, berarti Makki, kecuali surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat ya ayyuhal lazina amanur-ka'unsur wasjuda. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makki.
d.                  Setiap surah yang di dalamnya mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makki, kecuali surah Baqarah.
e. Setiap surah yang di dalamnya mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makki, kecuali surah Baqarah.
f. Setiap surah yang dibuka dengan huruf-hururf singkatan, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lain-lainnya, adalah Makki, kecuali surah Baqarah dan Ali 'Imran. Sedang surah Ra'd  masih diperselisihkan.
Dari segi ciri:
a. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasioanl dan ayat-ayat kauniyah.
b.Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan hidup-hidup anak perempuan dan tradisi lainnya.
c. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
d.                  Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataan singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah; seperti surah-surah yang pendek-pendek. Dan pengecualiaannya hanya sedikit.
2.      Ketentuan Madani dan Ciri Khas Temanya[16]
       Dari segi ketentuan:
a. Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madani.
b.Setiap surah yang di dalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah Madani, kecuali surah al-'Ankabut adalah Makki.
c.  Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan Ahli Kitab adalah Madani.
       Dari segi ciri:
a. Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik di waktu damai maupun perang, kaidah hukum, dan masalah perundang-undangan.
b.Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka  terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.
c. Menyingkap perilaku orang munafik, memganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya, dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
d.   Suku kata dan ayatnya panjang;-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
       Dalam surat-surat al-Madani yang terdapat susunan ayat memakai perkataan yang berarti: "Hai segenap manusia" hanya ada tujuh, yaitu sebagai berikut[17]:
a. Dalam surat al-Baqarah ayat 21
b.Dalam surat al-Baqarah ayat 168
c. Dalam surat an-Nisaa ayat 133
d.   Dalam surat an-Nisaa ayat 170
e. Dalam surat an-Nisaa ayat 175
f. Dalam surat al-Haj ayat 1
g.Dalam surat al-Hujurat ayat  13




BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1.   Maslahah musrsalah ialah pembinaan (penetapan) hukum berdasarkan maslahat (kebaikan, kepentingan yang tidak ada ketentuan dari syara’, baik ketentuan secara umum atau secara khusus. Adapun pembagian maslahah maslahah yaitu: (1) maslahah yang dipakai, (2) maslahah yang tidak dipakai, dan  (3) maslahah yang tidak ada ketegasannya.
2.   Dasar berlakunya maslahah maslahah adalah: mewujudkan kebaikan, menghindarkan keburukan (kerugian), menutup jalan, dan perobahan masa. Adapun syarat-syarat berlakunya maslahah mursalah adalah: hendaknya kemaslahatan itu bersifat hakiki, kemaslahatan itu hendaknya bersifat universal, dan  hendaknya kemaslahatan itu bukan kemaslahatan yang mulgha.
3.   Fuqaha yang pro maslahah mursalah yaitu fuqaha mazhab Hanbali dan fuqaha mazhab Maliki dan Hanafi. Sedangkan fuqaha yang kontra maslahah mursalah adalah fuqaha mazhab Syafi'i.
B.  Saran
       Dalam menggunaakan maslahah mursalah untuk menentukan hukum suatu masalah hendaknya disesuaikan dengan keadaan yang sedang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Af, A. Toto Suryana dkk. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Bandung: Tiga Mutiara, 1997.

Al-Aththar, Dawud. Perspektif Baru Ilmu al-Qur'an. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.

Al-Qattan, Manna' Khali. Studi Ilmu-ilmu Qur'an, Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2013.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Mahkota, 2002.

Khalil, Munawar. Al-Qur'an dari Masa ke masa. Semarang: Ramadani, 1977.





       [1] Manna' Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur'an, (Cet. XVII; Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), h. 15-16
       [2] Ibid.
       [3] Ibid.
       [4] A. Toto Suryana Af dkk., Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (t. cet; Bandung: Tiga Mutiara, 1997), h. 41
       [5] A. Toto Suryana Af dkk., op. cit., h. 42
       [6] Manna' Khalil al-Qattan, op. cit., h. 18- 22
       [7]Dawud al-Aththar, Perspektif Baru Ilmu al-Qur'an, (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 111
       [8] Manna' Khalil al-Qattan, op. cit., h. 35-36
       [9] Manna' Khalil al-Qattan, op. cit., h. 39
       [10] Manna' Khalil al-Qattan, op. cit., h. 42
        [11] Dawud al-Aththar, loc. cit.
        [12] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (T. cet. Surabaya: Mahkota, 2002), h. 137
       [13] Manna' Khalil al-Qattan, op. cit., h. 83-84
       [14] Manna' Khalil al-Qattan, op. cit., h. 84
       [15] Manna' Khalil al-Qattan, op. cit., h. 85
       [16] Manna' Khalil al-Qattan, op. cit., h. 87-88
       [17] Munawar Khalil, Al-Qur'an dari Masa ke masa, (Cet. II; Semarang: Ramadani, 1977), h. 17

Tidak ada komentar: