Cerita hikmah
dalam kehidupan:
Pedagang Tuli
Di sebuah gang kecil, ada sebuah
warung yang diduga dijaga oleh seorang bapak-bapak. Sore itu datang seorang
pemuda hendak membeli minyak.
“Pak, saya mau beli minya,” kata
pemuda itu.
Bapak penjaga warung hanya diam.
“Pak, saya mau beli minyak,” kata
pemuda itu sekali lagi.
Bapak itu tetap diam tidak
menjawab.
“Pak, saya mau beli minyakkk!!!”
pemuda itu meninggikan suaranya.
Namun, lagi-lagi bapak iru tetap
diam.
“Makanya kalau tuli jangan jaga
warung, dong!” gerutu pemuda itu.
Tiba-tiba bapak penjaga warung
menjawab dengan jengkel.
“Enak saja kamu bilang saya
tuli... sembarangan.. ya sudah, ini saya layani. Jadinya kamu mau beli rokok
berapa bungkus??”
Alhasil, pemuda itu hanya
bengong, ia heran apakah penjaga warung ini sesungguhnya tuli atau tidak?
Hikmah cerita
Terkadang kita diejek dan dihina
orang lain, tetapi tidak terima. Biasanya kita langsung bereaksi, balas
menghina, atau minimal membela diri. Begitulah yang sudah menjadi kebiasaan.
Padahal kalau mau jujur, hinaan orang lain kepada kita tidaklah lebih buruk
dari kehinaan kita sendiri. Kita tidak dihina atau diejek orang adalah karena
sesungguhnya Allah masih menutup-nutupi aib kita. Bayangkan, kalau orang lain
mengetahui seluruh aib diri ini, pasti mereka tidak akan mau berteman dengan
kita.
Oleh karena itu, sikap terbaik
menghadapi hinaan adalah bersabar dan bersikap tenang. Rasulullah, Nabi yang
mulia, manusia pilihan Allah, saja dihina dan diejek oleh orang quraisy.
Bahkan, beliau disebut orang gila. Namun, Rasulullah tetap tenang dan tidak
membalas. Bahkan, beliau mendoakan orang yang menghinanya, “Ya Allah, ampunilah
dosa mereka karena mereka tidak mengerti tentang perbuatannya.”
Referensi:
Chalil
komaruddin M. H. Hikmah di Balik Fenomena Kehidupan. Cet. I; Bandung:
Pustaka Madani. 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar