Senin, 23 Juni 2014

wajah sedih


Aku adalah gadis yang berasal dari keluarga sederhana. Aku mempunyai 3 bersaudara; 2 laki-lakidan 1 perempuan. Ibu kami hanya bekerja di rumah, sedangkan ayah dulunya berprofesi sebag"ai pegawai di salah satu instansi pemerintah. Sengaja aku mengemukakan kata-kata “dulu” karena sekarang ia telah pergi meninggalkan kami sejak beberapa bulan yang lalu dalam peristiwa kecelakaan mobil ketika sedang melaksanakan tugasnya.
Almarhum ayah sendiri adalah sosok pria yang tidak ada bandingannya, karena ia selalu memenuhi setiap permintaan dari siapapun selama masih bisa dilakukan hingga hal ini diketahui dengan baik oleh para kerabat, tetangga dan teman sejawatnya. Tidak ada satu hari pun yang dilewatikecuali ia menunaikan kebutuhan salah seorang dari mereka tanpa mereka terpaksa. Selain itu, jiwanya selalu tulus membantu. Seandainya ketulusannya itu disebar ke seluruh permukaan numi niscaya sanggup menutupinya.
Rezeki yang diperoleh selalu diterimanya dengan sikap qana’ah tanpa merasa iri dengan rezeki atau harta yang diperoleh orang lain. Bahkan, ia selalu memuji tuhannya atas nikmat sehat dan perlindungan-Nya. Jika ada yang menyatakan kepadanya “sifulan punya barang ini dan itu”, ia menanggapinya dengan mengatakan “Semoga Allah memberkahinya”, padahal kami suka mencemohnya karena bersikap seperti itu. kami memiliki keyakinan bahwa ketulusan dan sikap qana’ah adalah perilaku negatif dan tidak bisa meningkatkan taraf hidupnya.
Hanya dengan mengandalkan gaji bulanannyakami dapat hidup berkecukupan berkat kecakapan ibu mengatur pengeluaran rumah tangga. Ayah sengaja menyerahkan sepenuhnya tuga itu kepada ibu dnegan keyakinan ia mampu melaksanakan tugas sulit tersebut. Setelah kami besar, lulus kuliah, mempunyai pekerjaan yang baik dan gaji sendiri yang bebas digunakan untuk apa saja, ayah tidak pernah meminta agar kami membantunya untuk meringankan biaya pengeluaran rumah tangga. Bahkan, ia sendiri yang mencukupi tanpa menperhitungkannya.
Seingatku, ia memiliki aktivitas yang tidak biasa dilakukan. Ia rela membanting tulang demi melayani kami sejak masih kecil-kecil. Setelah kami besar dan mampu melayani diri sendiri, ia tetap tidak keberatan mencuci baju atau kaos kaki, menyiapkan sarapan pagi dan malam hari untuk kami, atau keluar rumah membeli semua keinginan kami meskipun masih ada saudara-saudara yang lain di rumah, sedangkan ia sendiri tidak pernah meminta kami memenuhi kebutuhannya walau sekalipun.
Ia memperlakukanku dan adik perempuanku seperti saudara laki-laki kami. Bahkan lebih dari itu, jika ia merasa salah seorang dari mereka membuat kami marah, ia akan mendatangkannya di hadapan kami, kemudian memberitahukannya bahwa kami tidaka akan menyatakan apapun tentangnya. Tetapi kami lebih utama darinya di mata ayah, karena kami selalu dan membantu ibu meyelesaikan tugas rumah, sementara ia hanya sibuk dengan dirinya sendiri
Seperti itulah kami tumbuh dan merasa bahwa kami memiliki tulang punggung yang selalu menopang dan berdiri di samping kami. Aku ingat betul, ia sangat menyayangi kami. Ia tidak tenang jika melihat salah seorang dari kami menderita influenza atau bersin-bersin di hadapannya. Serta merta ia bangkit dengan perasaan terusik menanyakan penyakit yang kami derita dan segera mengobatinya dengan teh hangat, air jeruk dan obat.
Seingatku jika ada sakit, ia yang memberikan obat kendati di tengah malam, meletakkan jam weker di sampingnya untuk membangunkannya dari tidur agar dapat memberikan obat kepada anaknya yang sedang sakit walau terkadang kami merasa terusik dengan perhatiannya dan menertawakannya.
Kami tidak pernah tahu seberapa besar cintanya kepada kami. Padahal, terkadang kami membuatnya marah dengan tingkah laku kami yang belum dewasa; dan jika kami merasa dipojokkan dengan cemohannya, ia sendiri yang mendatangi kami untuk meminta maaf seolah-olah ia yang bersalah. Kami tidak pernah mengira hal itu akan dilakukannya.
Tidak hanya terhadap kami, ia bahkan melakukan hal itu kepada orang lain jika ada salah seorang teman atau kerabatnya berbuah salah terhadapnya, ia tidak segan-segan menegur dan memarahinya dan pada hari berikutnya ia melupakan  apa yang pernah terjadi, bahkan bersedia melayani atau membantu orang tersebut.
Almarhum ayah adalah pria yang baik hati, tidak pernah iri kepada orang lain, memberikan segala yang ia mampu berikan untuk membahagiakan orang lain tanpa mengharapkan balasan. Bersamanya aku memiliki kenangan yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidupku, ketika seorang pria-yang semua orang melihatnya cocok- datang meminangku namun aku tidak nyaman dengannya hingga ibu memarahinya. Ayahlah satu-satunya orang yang berani menyatakan, “Pernikahan yang ia jalani adalah kehidupannya sendiri, dan ia bebas memilih. Bagaimana ia bisa hidup bersama pria yang tidak disenanginya? Semua itu berkaitan dengan nasib, dan nasibnya kali ini belum beruntung.”
Ia kemudian menyarankanku agar tidak cepat menilai pria mana saja yang datang meminangku dan memikirkannya dengan baik-baik, karena ia tidak akan memaksaku menikah dengan pria yang tidak aku sukai, hingga akhirnya aku berkenalan dengan pria yang berperilaku baik dan sesuai denganku darin semua sisi, lalu aku meberitahukannya kepada ayah-ibu bahwa pria itu ingindatang melamarku. Dengan suka cita ayah dan mengajukan pertanyaan kepadanya. Jika memang cocok, ia akan merestuinya, karena hal pertama yang ia harapkan adalah kebahagiaanku.
Seperti ayah yang dilakukan terhadapku dalam masalah pernikahan, ia melakukan itu juga kepada adik perempuanku, dan aku akui bahwa aku tifak pernah melihat sifat itu kecuali aku menikah dan tinggal jauh darinya.
Perasaan rindu akan kasih sayang, cinta dan sentuhan tangannya terus menggelayuti perasaanku. Namun , sayangnya sehari pun aku dan adikku tidak bisa mengungkapkan kecintaan dan kerinduan kami kepadanya seperti yang ia tunjukkan terhadap dahulu. Ia telah berpulang meninggalkan kami tanpa mengucapkan kata perpisahan sepatah kata pun, dan tanpa ada seorang  pun dari kami di sampingnya saat ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Ia pergi setelah mengucapkan selamat tinggal kepada semua kerabat kami, namun tidak sempat mengucapkannya kepada anak-anaknya yang menikmati kebaikannya. Selama bertahun-tahun hingga saat ini, ia pergi tanpa mengetahui betapa kami mencintainya dan berharap dapat mencium tanpa disaksikan oleh kami dan melepasakan pandangan terakhir kepadanya. Yang tertinggal hanyalah kenangan indah bersamanya, dan ibu yang selalu aku doakkan agar dipanjangkan umurnya sehingga kami dapat memenuhi hak-haknya, terus merawat dan melayaninya sepanjang hidup kami.
Mungkin Anda bertanya, “Apa pentingnya kisah ini bagi para pembaca?” sebenarnya aku ingin mengirim surat cinta dan menyampaikan berita gembira kepada arwah ayah dan ingin menyatakan, “Seandainya waktu bisa diputar kembali, kami tidak akan pergi meninggalkannya bersama ibu agar bisa mengurus dan menyenangkannya sekuat tenanga.” Selain itu, aku ingin menunjukkan surat ini kepadapara muda-mudi dan anak-anak agar mencium tangan ayah dan ibu mereka di setiap pagi dan petang. Ungkapkan kepada mereka perasaan cinta Anda dengan segala cara dan jangan kikir untuk membalas segala kebaikan merekaselama ini. Lakukanlah selama mereka masih hidup demi untuk membahagiakan mereka dan agar tidak menyesali kekurangan Anda dalam menunaikan hak-hak mereka sebelum keduanya pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.
Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005. Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.

SURAT UNTUK AYAH



Aku adalah gadis yang berasal dari keluarga sederhana. Aku mempunyai 3 bersaudara; 2 laki-lakidan 1 perempuan. Ibu kami hanya bekerja di rumah, sedangkan ayah dulunya berprofesi sebag"ai pegawai di salah satu instansi pemerintah. Sengaja aku mengemukakan kata-kata “dulu” karena sekarang ia telah pergi meninggalkan kami sejak beberapa bulan yang lalu dalam peristiwa kecelakaan mobil ketika sedang melaksanakan tugasnya.
Almarhum ayah sendiri adalah sosok pria yang tidak ada bandingannya, karena ia selalu memenuhi setiap permintaan dari siapapun selama masih bisa dilakukan hingga hal ini diketahui dengan baik oleh para kerabat, tetangga dan teman sejawatnya. Tidak ada satu hari pun yang dilewatikecuali ia menunaikan kebutuhan salah seorang dari mereka tanpa mereka terpaksa. Selain itu, jiwanya selalu tulus membantu. Seandainya ketulusannya itu disebar ke seluruh permukaan numi niscaya sanggup menutupinya.
Rezeki yang diperoleh selalu diterimanya dengan sikap qana’ah tanpa merasa iri dengan rezeki atau harta yang diperoleh orang lain. Bahkan, ia selalu memuji tuhannya atas nikmat sehat dan perlindungan-Nya. Jika ada yang menyatakan kepadanya “sifulan punya barang ini dan itu”, ia menanggapinya dengan mengatakan “Semoga Allah memberkahinya”, padahal kami suka mencemohnya karena bersikap seperti itu. kami memiliki keyakinan bahwa ketulusan dan sikap qana’ah adalah perilaku negatif dan tidak bisa meningkatkan taraf hidupnya.
Hanya dengan mengandalkan gaji bulanannyakami dapat hidup berkecukupan berkat kecakapan ibu mengatur pengeluaran rumah tangga. Ayah sengaja menyerahkan sepenuhnya tuga itu kepada ibu dnegan keyakinan ia mampu melaksanakan tugas sulit tersebut. Setelah kami besar, lulus kuliah, mempunyai pekerjaan yang baik dan gaji sendiri yang bebas digunakan untuk apa saja, ayah tidak pernah meminta agar kami membantunya untuk meringankan biaya pengeluaran rumah tangga. Bahkan, ia sendiri yang mencukupi tanpa menperhitungkannya.
Seingatku, ia memiliki aktivitas yang tidak biasa dilakukan. Ia rela membanting tulang demi melayani kami sejak masih kecil-kecil. Setelah kami besar dan mampu melayani diri sendiri, ia tetap tidak keberatan mencuci baju atau kaos kaki, menyiapkan sarapan pagi dan malam hari untuk kami, atau keluar rumah membeli semua keinginan kami meskipun masih ada saudara-saudara yang lain di rumah, sedangkan ia sendiri tidak pernah meminta kami memenuhi kebutuhannya walau sekalipun.
Ia memperlakukanku dan adik perempuanku seperti saudara laki-laki kami. Bahkan lebih dari itu, jika ia merasa salah seorang dari mereka membuat kami marah, ia akan mendatangkannya di hadapan kami, kemudian memberitahukannya bahwa kami tidaka akan menyatakan apapun tentangnya. Tetapi kami lebih utama darinya di mata ayah, karena kami selalu dan membantu ibu meyelesaikan tugas rumah, sementara ia hanya sibuk dengan dirinya sendiri
Seperti itulah kami tumbuh dan merasa bahwa kami memiliki tulang punggung yang selalu menopang dan berdiri di samping kami. Aku ingat betul, ia sangat menyayangi kami. Ia tidak tenang jika melihat salah seorang dari kami menderita influenza atau bersin-bersin di hadapannya. Serta merta ia bangkit dengan perasaan terusik menanyakan penyakit yang kami derita dan segera mengobatinya dengan teh hangat, air jeruk dan obat.
Seingatku jika ada sakit, ia yang memberikan obat kendati di tengah malam, meletakkan jam weker di sampingnya untuk membangunkannya dari tidur agar dapat memberikan obat kepada anaknya yang sedang sakit walau terkadang kami merasa terusik dengan perhatiannya dan menertawakannya.
Kami tidak pernah tahu seberapa besar cintanya kepada kami. Padahal, terkadang kami membuatnya marah dengan tingkah laku kami yang belum dewasa; dan jika kami merasa dipojokkan dengan cemohannya, ia sendiri yang mendatangi kami untuk meminta maaf seolah-olah ia yang bersalah. Kami tidak pernah mengira hal itu akan dilakukannya.
Tidak hanya terhadap kami, ia bahkan melakukan hal itu kepada orang lain jika ada salah seorang teman atau kerabatnya berbuah salah terhadapnya, ia tidak segan-segan menegur dan memarahinya dan pada hari berikutnya ia melupakan  apa yang pernah terjadi, bahkan bersedia melayani atau membantu orang tersebut.
Almarhum ayah adalah pria yang baik hati, tidak pernah iri kepada orang lain, memberikan segala yang ia mampu berikan untuk membahagiakan orang lain tanpa mengharapkan balasan. Bersamanya aku memiliki kenangan yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidupku, ketika seorang pria-yang semua orang melihatnya cocok- datang meminangku namun aku tidak nyaman dengannya hingga ibu memarahinya. Ayahlah satu-satunya orang yang berani menyatakan, “Pernikahan yang ia jalani adalah kehidupannya sendiri, dan ia bebas memilih. Bagaimana ia bisa hidup bersama pria yang tidak disenanginya? Semua itu berkaitan dengan nasib, dan nasibnya kali ini belum beruntung.”
Ia kemudian menyarankanku agar tidak cepat menilai pria mana saja yang datang meminangku dan memikirkannya dengan baik-baik, karena ia tidak akan memaksaku menikah dengan pria yang tidak aku sukai, hingga akhirnya aku berkenalan dengan pria yang berperilaku baik dan sesuai denganku darin semua sisi, lalu aku meberitahukannya kepada ayah-ibu bahwa pria itu ingindatang melamarku. Dengan suka cita ayah dan mengajukan pertanyaan kepadanya. Jika memang cocok, ia akan merestuinya, karena hal pertama yang ia harapkan adalah kebahagiaanku.
Seperti ayah yang dilakukan terhadapku dalam masalah pernikahan, ia melakukan itu juga kepada adik perempuanku, dan aku akui bahwa aku tifak pernah melihat sifat itu kecuali aku menikah dan tinggal jauh darinya.
Perasaan rindu akan kasih sayang, cinta dan sentuhan tangannya terus menggelayuti perasaanku. Namun , sayangnya sehari pun aku dan adikku tidak bisa mengungkapkan kecintaan dan kerinduan kami kepadanya seperti yang ia tunjukkan terhadap dahulu. Ia telah berpulang meninggalkan kami tanpa mengucapkan kata perpisahan sepatah kata pun, dan tanpa ada seorang  pun dari kami di sampingnya saat ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Ia pergi setelah mengucapkan selamat tinggal kepada semua kerabat kami, namun tidak sempat mengucapkannya kepada anak-anaknya yang menikmati kebaikannya. Selama bertahun-tahun hingga saat ini, ia pergi tanpa mengetahui betapa kami mencintainya dan berharap dapat mencium tanpa disaksikan oleh kami dan melepasakan pandangan terakhir kepadanya. Yang tertinggal hanyalah kenangan indah bersamanya, dan ibu yang selalu aku doakkan agar dipanjangkan umurnya sehingga kami dapat memenuhi hak-haknya, terus merawat dan melayaninya sepanjang hidup kami.
Mungkin Anda bertanya, “Apa pentingnya kisah ini bagi para pembaca?” sebenarnya aku ingin mengirim surat cinta dan menyampaikan berita gembira kepada arwah ayah dan ingin menyatakan, “Seandainya waktu bisa diputar kembali, kami tidak akan pergi meninggalkannya bersama ibu agar bisa mengurus dan menyenangkannya sekuat tenanga.” Selain itu, aku ingin menunjukkan surat ini kepadapara muda-mudi dan anak-anak agar mencium tangan ayah dan ibu mereka di setiap pagi dan petang. Ungkapkan kepada mereka perasaan cinta Anda dengan segala cara dan jangan kikir untuk membalas segala kebaikan merekaselama ini. Lakukanlah selama mereka masih hidup demi untuk membahagiakan mereka dan agar tidak menyesali kekurangan Anda dalam menunaikan hak-hak mereka sebelum keduanya pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.
Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005. Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.

SAAT-SAAT MENEGANGKAN


Aku adalah seorang istri berusia 38 tahun. Hari-hariku aku jalani bersama keluarga. Aku bersyukur karena hidup dalam bimbingan dan penuh ketenangan, hingga aku bisa lulus dari perguruan tinggi. Aku adalah tipe orang yang suka bekerja, sebab aku merasa bisa melakukannya dengan serius. Sebagai contoh, aku mampu menjahit hingga dalam jumlah yang banyak setiap harinya. Semua pakaian itu kebanyakan berasal dari teman-teman.
Ketika masih duduk di bangku kuliah, aku sudah memakai jilbab atas kemauan dan pilihanku sendiri. Banyak surat panggilan kerja berdatangan dari berbagai perusahaan, dan semuanya tidak ada yang menolak memperkerjakanku, hingga aku memilih salah satu perusahan dan bekerja di sana hingga usiakku mencapai 34 tahun. Merasa telah bergaul akrab dengan teman-teman yang lain, mereka pun tidak sungkan-sungkan mencadaiku dan menanyakan memgapa aku belum menikah pada usia seperti ini.
Ssat itu, sebenarnya aku telah kenal akrab dengan seorang pemuda yang usianya lebih muda 2 tahun dariku. Pendidikan terakhirnya S1 di salah satu perguruan tinggi, dan ia juga sudah bekerja. Namun di tengah-tengah karirnya, semuanya anjlok. Walaupun begitu, aku rela dengan keadaannya, sebab aku merasa bisa bekerja sendiri(menggantikan posisinya), walaupun dengan tenaga dan kekuatan yang terbatas. Aku yakin insya Allah semua akan baik-baik saja.
Aku tidak sedih dengan keputusan itu, aku justru bahagia dan berusaha untuk mencintainya. Ia pun mulai terjaga dari ketidaksadarannya akan cintaku. Ia seperti laki-laki lainnya, berbicara dengan kata-kata yang manis, seakan-akan menghilangkan rasa dahagadalam hidupku. Kami pun mulai mempersiapkan segalanya, namun anehnya ia meminta foto copy kartu tanda pendudukku. Saat itu, aku tidak mengertik untuk apa kartu identitasku dimintanya.
Pada hari berikutnya, aku dikagetkan oleh suara telepon dari ibunya yang memintaku segera datang menemuinya. Aku tidak tahu ada apa, ayang jelas badanku gemetar dan tiba-tiba merasa takut dengan  suaranya yang seakan-akan ungin menyerangku. Ketika sampainya di rumahnya, ibu dari teman akrabku itu segera mengeluarka foto copy KTP milikku lalu bertanya, “Apakah tempat dan tanggal lahir ini benar?” dengan nada suara pelan menjawab, “benar.” Mendengar pertanyaan itu,aku merasa biasa saja. Namun, aku mulai gemetar dan gugup ketik ia bertanya, “Kalau begitu, usiamu sekarang mendekati 40 tahun?” untuk pertanyaan kedua ini aku hanya bisa menelan ludah. Sambil menenangkan diri aku berusaha menjawabnya dengan pelan, “benar, usiaku 34 tahun.”
Perbedaan umur sebenarnya bukan masalah baginya, namun menurutnya pada usia seperti itu seorang gadis akan sangat sulit melahirkan seorang anak, padahal ia sangat mendambakan dapat menimang cucu. Ia tidak mau keinginannya itu hanya sebatas angan dimana aku mustahil bisa hamil mengingat usiaku yang menginjak kepala empat.
Aku hanya bisa mendengar apa yang diaktakannya, walaupun aku juga ada sesuatu yang sangat mencekik leherku. Setelah pertemuan itu usai, aku pun kembali ke rumah dengan perasaan sedih. Ibuku pun sejak hari itu merasa yakin dengan hari bahagia yang ditunggu-tunggunya; dan benar saja,hal itu pun terjadi , semua rencana pernikahan dibatalkan. Hari bahagia yang ditunggu-tunggu tidak pernah ada. Kepalaku seolah mau pecah mengetahuihalitu, seakan-akan ada benda keras yang menimpaku.
Semua orang pasti akan sedih jika mengalami hal yang sama denganku. Meski begitu, aku tetap menjalin hubungan baik dengannya (matan calon suamiku), sebab semua itu bukanlah keinginannya, tapi keinginan orang tuanya. Ia juga telah berusaha berkali-kali menjelaskan kepada ibunya agar merestui pernikahan kami. Seringkali ia menelponku, hingga tidak terasa waktu telah berjalan setahun penuh tanpa ada pembicaraan yang lain.
Aku merasa bahwa semua ini harus dihentikan, dan aku juga harus mulai mengintropeksi diri. Akhirnya aku putuskan baha aku harus rela memutus hubungan denganya untuk selamanya dnegan cara menolak menemui atau mengangkat telepon darinya.
6 bulan sudah aku lewati kegelisahanku ini, hingga aku putuskan untuk menunaikan ibadah umrah. Aku ingin menghilangkan kegelisahanyang selama ini aku alami, dan berharap semuanya berakhir karena kedekatank dengan Allah. Di sana aku betul-betul merasakan kenikmatan dan kedamaian yang luar biasa, hingga setiap kali berdoa, aku meneteskan air mata. Aku hanya memohon agar selalu dituntun dan diberi  petunjuknya.
Pada suatu hari, ketika aku selesai melaksanakan shalat di masjidil Haram, aku duduk bersimpuh membayangkan hidupku dnegan sangat tenang.aku mendapati seorang ibu yang berada di sampingku sedang membaca Al-quran dengan suara yang indah, ia mengulang-ulang ayat yang mulia, “Dan adalah karunia Allah swt sangatlah besar atasmu.” (Qs. An-nisa: 113) tidak terasa air mataku mengalir deras. Ketika au menoleh ke arah  ibu itu, ia justru menyuruhku untuk mendekatinya. Aku merasa tenang , dengan penuh perasaan sayang ia mengusap pundakku.
Setelah surah itu ia baca, ia kemudian membaca surah adh-dhuha. Hingga ketika sampai pada ayat ke-5 “dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-nya kepadamu lalu (hati) kamu menjadi puas” aku seolah merasa bahwa ayat itu baru pertama kali aku dengar dalam hidupku, padahal aku sering mengulangi-ulanginya setiap kali shalat. Sungguh jiwaku merasa sangat tenang.
Ibu yang berada di dekatku itu pun menanyakan sebab-sebab aku menangis, hingga akhirnya aku merasa harus memceritakan kepadanya tanpa ada rasa malu sedikitpun. Lalu ia pun berkata bahwa Allah swt mampu menjadikan segala sesuatu yang mudah menjadi susah; dan jika sekarang dalam keadaan susah, maka esok hari akan dimudahkan oleh-nya. Sesunggguhnya semua yang terjadi adalah karunia Allah swt, bahkan dalam setiap cobaan pasti ada nikmat yang tersembunyi. Kemudian aku ucapkan terima kasih kepadanya atas segala harapan baiknya. Semoga Allah memberikan yang terbaik kepadanya.
Ibu yang berada di dekatku itu pun menanyakan sebab-sebab aku menangis, hingga akhirnya aku merasa harus  menceritakan kepadanya tanpa ada rasa malu sedikitpun. Lalu ia pun berkata bahwa Allah swt mampu menjadikan segala sesuatu yang mudah menjadi susah; dan jika sekarang dalam keadaan susah, maka esok hari akan dimudahkan olehnya. Sesungguhnya semua yang terjadi adalah karunia Allah swt, bahkan dalam setiap cobaan pasti ada nikmat yang tersembunyi. Kemudian aku ucapkan terima kasih kepadanya atas segala ucapan baiknya. Semoga Allah memberikan yang terbaik kepadanya.
Setelah bercengkrama penuh makna itu, aku kembali ke  hotel tempatku tinggal untuk beristirahat dan berbenah diri, sebab esok hari aku harus menuju ke bandara untuk kembali lagi ke kota kelahiranku, kairo. Dalam pesawat yang aku tumpangi, berdampingan denganku,kebetulan ia adalah seorang pemuda yang berperawakan gagah dan berwajah ganteng. Kami saling berkenalan dan akrab seperti orang yang sudah kenal lama.
Sesampainya di Kairo, kami pu  berpisah, aku juga harus menyelesaikan sedikit urusan di bandara. Tidak disangka, ketika keluar dari pintu bandara, aku mendapati sumai temanku tengah berada di ruang tunggu, ia kemudian mengucapkan selamat atas kepulanganku.
Karena merasa heran, aku akhirnya menanyakan kenapa ia ada di bandara. Ia pun menjawab bahwa ia sedang menunggu temannya yang pulang dengan pesawat yang sama. Tidak lama kemudia, datanglah teman yang ia tunggu, dan ternya ia adalah orang yang duduk di sampingku saat berada di dalam pesawat. Kami pun saling menyapa, lalu aku tinggalkan tempat itu dengan ditemani oleh ayahku.
Tidak lama setelah itu tiba di rumah dan mengganti pakaian untuk beristirahat sejenak, terdengar suara telepon yang ternyata adalah suara suami temanku yang ingin berbicara denganku,ia mengatakan bahwa temannya senang denganku dan ingin melihatku malam itu juga.
Menurut suami temanku, ia adalah seorang pemuda yang baik dan juga berasal dari keluarga yang baik, ia seorang pekerja keras dan tidak gampang menyerah, ditambah lagi memiliki akhlak yang mulia.
Hatiku pun berdebar-debar, ada perasaan aneh menyusup hatiku. Aku lalu coba untuk berdialog dengan ayahku mengenal apa yang dikatakan oleh temanku itu, dan ternyata ia menyuruhku untuk berkunjung ke rumah temanku itu, tempat dimana ia menginap. Semoga Allah swt memberiku jalan.
Aku pun akhirnya mengunjujungi rumah temanku, lalu bercerita bahwa aku telah bertemu dengan teman suaminya itu saat di pesawat, kebetulan kami duduk bersebelahan dan saling perkenanlan. Rasanya belum genap seminggu, ia pun maju untuk melamarku. Tidak lebih dari sebulan setengah dari proses lamaran itu, kami pun melangsungkan pernikahan. Aku selalu teringat apa yang dikatakan seorang ibu yang berada di masjdil haram bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan.
Kehidupan rumah tanggaku penuh dengan kebaikan dan kebahagian aku merasa menenukan semua yang kuharapkan ada pada diri suamiku; ia menjadi seorang laki-laki bernaung,penuh rasa cinta, kasih sayang dan kemulian. Kami selalu berbuat baik kepada keluarganya dan juga keluarganku.
Setelah beberapa bulan menikah, kami belum menemukan tanda-tanda kehamilan. setiap hari aku merasa gelisah dan takut, apalagi usiaku setiap hari bertambah, saat itu aku mengunjak 36 tahun. Aku meminta untuk segara memeriksakan aku ke dokter, aku sangat takut jika ternyta tidak bisa hamil. Namun, ia justru memelukkku dan berkata dengan penuh kasih sayang dan menyejutkan hati bahwa dia tidak mementingkan dunia selain diriku; dan ia tidak merisaukan apakah aku bisa hamil atau tidak, sebab ia telah senang dengan suara teriakan anak dan kenakalan mereka.
Akan tetapi, aku tetap pada permintaanku, lalu kami pun pergi ke dokter. Namun, dokter itu memerintahku untuk pergi memeriksa di laboratorium. Setelah menunggu beberapa hari, datanglah waktunya untuk mengetahui keterangan dokter. Sesampainya kami di tempat dokter itu, ia mengatakan “Tidak ada lagi pemeriksaan. Selamat, nyonya , atas kehamilan Anda?”
Anda bisa membayangkan betapa gembiranya aku dan suamiku mendengar hal ini, dan aku seorang yang paling bersyukur atas anugerah ini.
Pada waktu suamiku sedang menyiapkan keberangkatannya ke mekkah guna melaksanakan ibadah haji, aku memintanya memperkenanlkanku untuk ikut serta menunaikan haji sebagai kewajiban ummat islam dan sebagai tanda syukurku. Namun, suamiku menolak dengan keras, begitu pula dnegan dokter pribadiku, sebab aku masih pada bulan-bulan opertama kehamilan. Tetapi, aku bersikeras dengan keinginanku, aku mengatakan kepadanya berdua, “Ynag menciptakan janin ini kepadaku, dialah yang akan memeliharanya segala macam keburukan.”
Akhirnya, suamiku memenuhi permintaaku, setelah sebelumnya bermusyawarah dengan dokter. Setelah tiba waktunya, kami pun berangkat haji. Setalah itu, aku kembali dari perjalanan haji dengan keadaan yang lebih baik daripada sebelumnya.
 Diakhir masa kehamilan, aku bisa melewatinya dengan baik, walaupun sedikti merasakan sakit di sebabkan bertambahnya usiaku dan bobot bayi, aku tidak mau mengertahui jenis kelamin janinku ini, aku yakin bahwa apa yang diberikan Allah itu lebiha baik dan mulia.
Suatu ketika, aku merasa mengeluh kepada dokter tentang besarnya perutku. Dia menjelaskan bahwa memanga seperti itu jika seseorang hamil di usia 36 tahun.
Saat-saat kelahiran telah diambang pintu, maka aku pun dibawah ke  rumah sakit untuk menjalani proses persalinan, dan alhamdulillah semua berjalan lancar. Setalah semua berjalan baik, dokter datang menemuiku siapa nama bayimu, maka aku menjawab, “yang aku harapkan dari Allah swt dan kelahirannya saja, aku tidak mementingkan jenis kelaminnya.” Sepertinya dokter kaget apa yang aku ucapakan, lalu dia berkata, “biaklah kalau begitu, bagaimana pendapatmu jika aku memberikannya nama hasan, Husain dan Fatimah!”
Aku tidak paham apa yang ia maksud, lalu dia menganjurkanku untuk tenang. Ia kemudian menjelaskan Alla swt telah mengaruniaku 3orang kembar. Aku berfikir, seakan-akan Allah swt telah berkehendak diakhir usiaku dengan memberikan 3 putra sekaligus. Ini merupakan rahmat darinya disebabkan usiaku yang semakin tua. Dokter sebenarnya telah mengetahui kondisi kehamilanku, namun ia tidak memberitahukanku dengan pertimbangan demi menjaga kesehatanku pada masa-masa kehamilan, agar tidak bertambah rasa takutku.
Aku tidak lagi mendengar apa yang dikatakan dokter, aku langsung tertawa histeris dan menangis, serta tidak putus-putusnya mengucapkan pujian dan syukur kepada Allah swt. Aku kembali teringat ibu yang berda di masjidil haram saat membaca ayat yang mulia, “dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-nya kepadamu lalu (hati) kamu menjadi puas” aku bersyukur pun kepada Allah swt yang telah meridhahiku dan memberikan kenikmatan yang lebih banyak dari apa yang aku mimpikan.
Sakarang aku pun bahwa sikap suamiku yang tidak aku hamil dengan alasan ketidaksukaannya memdengar jeritan anak-anak, itu hanya cara pada saat itu tidak merasa putus asa; sebab jika ia mengungkapkan keinginannya untuk segera menimang anaknya, maka saat itu aku akan merasa lebih gelisah dan sedih. Semua itu terlebih ketika aku terdiam dan tampak tenang memuji dan bersyukur kepada Allah swt.
Aku menulis artikel itu aku ketika aku sedang menikmati segarnya udara di tepi pantai, dengan harapan semoga kisahku ini bisa menjadi motivasi bagis setiap gadis yang usianya sudah tua namun belum menikah, aku sudah menikah tapi belum hamil.
Jangan pernah berputus asa dari Allah swt, mintalah pertolongan dari sang pencipta. Teruslah berdoa agar permohonan dikabulkannya, dan doa yang sering kali aku ulang-ulang adalah, “Tuhanku, jika aku tidak mempunyai keluarga ingin mencapai rahmatmu, maka rahmatmu dalam keluargaku yang telah engkau sampai kepadaku sebab aku telah puas atas segalanya.” Terakhir, aku berharap kepada Anda dari rubrik ini dengan memberikan sebaik-baik doa untukku, suamiku yang penyayangi dan anak-anakku.

Referensi:

Muthawi Wahab Abdul. 2005. Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.


SAAT-SAAT MENEGANGKAN
Aku adalah seorang istri berusia 38 tahun. Hari-hariku aku jalani bersama keluarga. Aku bersyukur karena hidup dalam bimbingan dan penuh ketenangan, hingga aku bisa lulus dari perguruan tinggi. Aku adalah tipe orang yang suka bekerja, sebab aku merasa bisa melakukannya dengan serius. Sebagai contoh, aku mampu menjahit hingga dalam jumlah yang banyak setiap harinya. Semua pakaian itu kebanyakan berasal dari teman-teman.
Ketika masih duduk di bangku kuliah, aku sudah memakai jilbab atas kemauan dan pilihanku sendiri. Banyak surat panggilan kerja berdatangan dari berbagai perusahaan, dan semuanya tidak ada yang menolak memperkerjakanku, hingga aku memilih salah satu perusahan dan bekerja di sana hingga usiakku mencapai 34 tahun. Merasa telah bergaul akrab dengan teman-teman yang lain, mereka pun tidak sungkan-sungkan mencadaiku dan menanyakan memgapa aku belum menikah pada usia seperti ini.
Ssat itu, sebenarnya aku telah kenal akrab dengan seorang pemuda yang usianya lebih muda 2 tahun dariku. Pendidikan terakhirnya S1 di salah satu perguruan tinggi, dan ia juga sudah bekerja. Namun di tengah-tengah karirnya, semuanya anjlok. Walaupun begitu, aku rela dengan keadaannya, sebab aku merasa bisa bekerja sendiri(menggantikan posisinya), walaupun dengan tenaga dan kekuatan yang terbatas. Aku yakin insya Allah semua akan baik-baik saja.
Aku tidak sedih dengan keputusan itu, aku justru bahagia dan berusaha untuk mencintainya. Ia pun mulai terjaga dari ketidaksadarannya akan cintaku. Ia seperti laki-laki lainnya, berbicara dengan kata-kata yang manis, seakan-akan menghilangkan rasa dahagadalam hidupku. Kami pun mulai mempersiapkan segalanya, namun anehnya ia meminta foto copy kartu tanda pendudukku. Saat itu, aku tidak mengertik untuk apa kartu identitasku dimintanya.
Pada hari berikutnya, aku dikagetkan oleh suara telepon dari ibunya yang memintaku segera datang menemuinya. Aku tidak tahu ada apa, ayang jelas badanku gemetar dan tiba-tiba merasa takut dengan  suaranya yang seakan-akan ungin menyerangku. Ketika sampainya di rumahnya, ibu dari teman akrabku itu segera mengeluarka foto copy KTP milikku lalu bertanya, “Apakah tempat dan tanggal lahir ini benar?” dengan nada suara pelan menjawab, “benar.” Mendengar pertanyaan itu,aku merasa biasa saja. Namun, aku mulai gemetar dan gugup ketik ia bertanya, “Kalau begitu, usiamu sekarang mendekati 40 tahun?” untuk pertanyaan kedua ini aku hanya bisa menelan ludah. Sambil menenangkan diri aku berusaha menjawabnya dengan pelan, “benar, usiaku 34 tahun.”
Perbedaan umur sebenarnya bukan masalah baginya, namun menurutnya pada usia seperti itu seorang gadis akan sangat sulit melahirkan seorang anak, padahal ia sangat mendambakan dapat menimang cucu. Ia tidak mau keinginannya itu hanya sebatas angan dimana aku mustahil bisa hamil mengingat usiaku yang menginjak kepala empat.
Aku hanya bisa mendengar apa yang diaktakannya, walaupun aku juga ada sesuatu yang sangat mencekik leherku. Setelah pertemuan itu usai, aku pun kembali ke rumah dengan perasaan sedih. Ibuku pun sejak hari itu merasa yakin dengan hari bahagia yang ditunggu-tunggunya; dan benar saja,hal itu pun terjadi , semua rencana pernikahan dibatalkan. Hari bahagia yang ditunggu-tunggu tidak pernah ada. Kepalaku seolah mau pecah mengetahuihalitu, seakan-akan ada benda keras yang menimpaku.
Semua orang pasti akan sedih jika mengalami hal yang sama denganku. Meski begitu, aku tetap menjalin hubungan baik dengannya (matan calon suamiku), sebab semua itu bukanlah keinginannya, tapi keinginan orang tuanya. Ia juga telah berusaha berkali-kali menjelaskan kepada ibunya agar merestui pernikahan kami. Seringkali ia menelponku, hingga tidak terasa waktu telah berjalan setahun penuh tanpa ada pembicaraan yang lain.
Aku merasa bahwa semua ini harus dihentikan, dan aku juga harus mulai mengintropeksi diri. Akhirnya aku putuskan baha aku harus rela memutus hubungan denganya untuk selamanya dnegan cara menolak menemui atau mengangkat telepon darinya.
6 bulan sudah aku lewati kegelisahanku ini, hingga aku putuskan untuk menunaikan ibadah umrah. Aku ingin menghilangkan kegelisahanyang selama ini aku alami, dan berharap semuanya berakhir karena kedekatank dengan Allah. Di sana aku betul-betul merasakan kenikmatan dan kedamaian yang luar biasa, hingga setiap kali berdoa, aku meneteskan air mata. Aku hanya memohon agar selalu dituntun dan diberi  petunjuknya.
Pada suatu hari, ketika aku selesai melaksanakan shalat di masjidil Haram, aku duduk bersimpuh membayangkan hidupku dnegan sangat tenang.aku mendapati seorang ibu yang berada di sampingku sedang membaca Al-quran dengan suara yang indah, ia mengulang-ulang ayat yang mulia, “Dan adalah karunia Allah swt sangatlah besar atasmu.” (Qs. An-nisa: 113) tidak terasa air mataku mengalir deras. Ketika au menoleh ke arah  ibu itu, ia justru menyuruhku untuk mendekatinya. Aku merasa tenang , dengan penuh perasaan sayang ia mengusap pundakku.
Setelah surah itu ia baca, ia kemudian membaca surah adh-dhuha. Hingga ketika sampai pada ayat ke-5 “dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-nya kepadamu lalu (hati) kamu menjadi puas” aku seolah merasa bahwa ayat itu baru pertama kali aku dengar dalam hidupku, padahal aku sering mengulangi-ulanginya setiap kali shalat. Sungguh jiwaku merasa sangat tenang.
Ibu yang berada di dekatku itu pun menanyakan sebab-sebab aku menangis, hingga akhirnya aku merasa harus memceritakan kepadanya tanpa ada rasa malu sedikitpun. Lalu ia pun berkata bahwa Allah swt mampu menjadikan segala sesuatu yang mudah menjadi susah; dan jika sekarang dalam keadaan susah, maka esok hari akan dimudahkan oleh-nya. Sesunggguhnya semua yang terjadi adalah karunia Allah swt, bahkan dalam setiap cobaan pasti ada nikmat yang tersembunyi. Kemudian aku ucapkan terima kasih kepadanya atas segala harapan baiknya. Semoga Allah memberikan yang terbaik kepadanya.
Ibu yang berada di dekatku itu pun menanyakan sebab-sebab aku menangis, hingga akhirnya aku merasa harus  menceritakan kepadanya tanpa ada rasa malu sedikitpun. Lalu ia pun berkata bahwa Allah swt mampu menjadikan segala sesuatu yang mudah menjadi susah; dan jika sekarang dalam keadaan susah, maka esok hari akan dimudahkan olehnya. Sesungguhnya semua yang terjadi adalah karunia Allah swt, bahkan dalam setiap cobaan pasti ada nikmat yang tersembunyi. Kemudian aku ucapkan terima kasih kepadanya atas segala ucapan baiknya. Semoga Allah memberikan yang terbaik kepadanya.
Setelah bercengkrama penuh makna itu, aku kembali ke  hotel tempatku tinggal untuk beristirahat dan berbenah diri, sebab esok hari aku harus menuju ke bandara untuk kembali lagi ke kota kelahiranku, kairo. Dalam pesawat yang aku tumpangi, berdampingan denganku,kebetulan ia adalah seorang pemuda yang berperawakan gagah dan berwajah ganteng. Kami saling berkenalan dan akrab seperti orang yang sudah kenal lama.
Sesampainya di Kairo, kami pu  berpisah, aku juga harus menyelesaikan sedikit urusan di bandara. Tidak disangka, ketika keluar dari pintu bandara, aku mendapati sumai temanku tengah berada di ruang tunggu, ia kemudian mengucapkan selamat atas kepulanganku.
Karena merasa heran, aku akhirnya menanyakan kenapa ia ada di bandara. Ia pun menjawab bahwa ia sedang menunggu temannya yang pulang dengan pesawat yang sama. Tidak lama kemudia, datanglah teman yang ia tunggu, dan ternya ia adalah orang yang duduk di sampingku saat berada di dalam pesawat. Kami pun saling menyapa, lalu aku tinggalkan tempat itu dengan ditemani oleh ayahku.
Tidak lama setelah itu tiba di rumah dan mengganti pakaian untuk beristirahat sejenak, terdengar suara telepon yang ternyata adalah suara suami temanku yang ingin berbicara denganku,ia mengatakan bahwa temannya senang denganku dan ingin melihatku malam itu juga.
Menurut suami temanku, ia adalah seorang pemuda yang baik dan juga berasal dari keluarga yang baik, ia seorang pekerja keras dan tidak gampang menyerah, ditambah lagi memiliki akhlak yang mulia.
Hatiku pun berdebar-debar, ada perasaan aneh menyusup hatiku. Aku lalu coba untuk berdialog dengan ayahku mengenal apa yang dikatakan oleh temanku itu, dan ternyata ia menyuruhku untuk berkunjung ke rumah temanku itu, tempat dimana ia menginap. Semoga Allah swt memberiku jalan.
Aku pun akhirnya mengunjujungi rumah temanku, lalu bercerita bahwa aku telah bertemu dengan teman suaminya itu saat di pesawat, kebetulan kami duduk bersebelahan dan saling perkenanlan. Rasanya belum genap seminggu, ia pun maju untuk melamarku. Tidak lebih dari sebulan setengah dari proses lamaran itu, kami pun melangsungkan pernikahan. Aku selalu teringat apa yang dikatakan seorang ibu yang berada di masjdil haram bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan.
Kehidupan rumah tanggaku penuh dengan kebaikan dan kebahagian aku merasa menenukan semua yang kuharapkan ada pada diri suamiku; ia menjadi seorang laki-laki bernaung,penuh rasa cinta, kasih sayang dan kemulian. Kami selalu berbuat baik kepada keluarganya dan juga keluarganku.
Setelah beberapa bulan menikah, kami belum menemukan tanda-tanda kehamilan. setiap hari aku merasa gelisah dan takut, apalagi usiaku setiap hari bertambah, saat itu aku mengunjak 36 tahun. Aku meminta untuk segara memeriksakan aku ke dokter, aku sangat takut jika ternyta tidak bisa hamil. Namun, ia justru memelukkku dan berkata dengan penuh kasih sayang dan menyejutkan hati bahwa dia tidak mementingkan dunia selain diriku; dan ia tidak merisaukan apakah aku bisa hamil atau tidak, sebab ia telah senang dengan suara teriakan anak dan kenakalan mereka.
Akan tetapi, aku tetap pada permintaanku, lalu kami pun pergi ke dokter. Namun, dokter itu memerintahku untuk pergi memeriksa di laboratorium. Setelah menunggu beberapa hari, datanglah waktunya untuk mengetahui keterangan dokter. Sesampainya kami di tempat dokter itu, ia mengatakan “Tidak ada lagi pemeriksaan. Selamat, nyonya , atas kehamilan Anda?”
Anda bisa membayangkan betapa gembiranya aku dan suamiku mendengar hal ini, dan aku seorang yang paling bersyukur atas anugerah ini.
Pada waktu suamiku sedang menyiapkan keberangkatannya ke mekkah guna melaksanakan ibadah haji, aku memintanya memperkenanlkanku untuk ikut serta menunaikan haji sebagai kewajiban ummat islam dan sebagai tanda syukurku. Namun, suamiku menolak dengan keras, begitu pula dnegan dokter pribadiku, sebab aku masih pada bulan-bulan opertama kehamilan. Tetapi, aku bersikeras dengan keinginanku, aku mengatakan kepadanya berdua, “Ynag menciptakan janin ini kepadaku, dialah yang akan memeliharanya segala macam keburukan.”
Akhirnya, suamiku memenuhi permintaaku, setelah sebelumnya bermusyawarah dengan dokter. Setelah tiba waktunya, kami pun berangkat haji. Setalah itu, aku kembali dari perjalanan haji dengan keadaan yang lebih baik daripada sebelumnya.
 Diakhir masa kehamilan, aku bisa melewatinya dengan baik, walaupun sedikti merasakan sakit di sebabkan bertambahnya usiaku dan bobot bayi, aku tidak mau mengertahui jenis kelamin janinku ini, aku yakin bahwa apa yang diberikan Allah itu lebiha baik dan mulia.
Suatu ketika, aku merasa mengeluh kepada dokter tentang besarnya perutku. Dia menjelaskan bahwa memanga seperti itu jika seseorang hamil di usia 36 tahun.
Saat-saat kelahiran telah diambang pintu, maka aku pun dibawah ke  rumah sakit untuk menjalani proses persalinan, dan alhamdulillah semua berjalan lancar. Setalah semua berjalan baik, dokter datang menemuiku siapa nama bayimu, maka aku menjawab, “yang aku harapkan dari Allah swt dan kelahirannya saja, aku tidak mementingkan jenis kelaminnya.” Sepertinya dokter kaget apa yang aku ucapakan, lalu dia berkata, “biaklah kalau begitu, bagaimana pendapatmu jika aku memberikannya nama hasan, Husain dan Fatimah!”
Aku tidak paham apa yang ia maksud, lalu dia menganjurkanku untuk tenang. Ia kemudian menjelaskan Alla swt telah mengaruniaku 3orang kembar. Aku berfikir, seakan-akan Allah swt telah berkehendak diakhir usiaku dengan memberikan 3 putra sekaligus. Ini merupakan rahmat darinya disebabkan usiaku yang semakin tua. Dokter sebenarnya telah mengetahui kondisi kehamilanku, namun ia tidak memberitahukanku dengan pertimbangan demi menjaga kesehatanku pada masa-masa kehamilan, agar tidak bertambah rasa takutku.
Aku tidak lagi mendengar apa yang dikatakan dokter, aku langsung tertawa histeris dan menangis, serta tidak putus-putusnya mengucapkan pujian dan syukur kepada Allah swt. Aku kembali teringat ibu yang berda di masjidil haram saat membaca ayat yang mulia, “dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-nya kepadamu lalu (hati) kamu menjadi puas” aku bersyukur pun kepada Allah swt yang telah meridhahiku dan memberikan kenikmatan yang lebih banyak dari apa yang aku mimpikan.
Sakarang aku pun bahwa sikap suamiku yang tidak aku hamil dengan alasan ketidaksukaannya memdengar jeritan anak-anak, itu hanya cara pada saat itu tidak merasa putus asa; sebab jika ia mengungkapkan keinginannya untuk segera menimang anaknya, maka saat itu aku akan merasa lebih gelisah dan sedih. Semua itu terlebih ketika aku terdiam dan tampak tenang memuji dan bersyukur kepada Allah swt.
Aku menulis artikel itu aku ketika aku sedang menikmati segarnya udara di tepi pantai, dengan harapan semoga kisahku ini bisa menjadi motivasi bagis setiap gadis yang usianya sudah tua namun belum menikah, aku sudah menikah tapi belum hamil.
Jangan pernah berputus asa dari Allah swt, mintalah pertolongan dari sang pencipta. Teruslah berdoa agar permohonan dikabulkannya, dan doa yang sering kali aku ulang-ulang adalah, “Tuhanku, jika aku tidak mempunyai keluarga ingin mencapai rahmatmu, maka rahmatmu dalam keluargaku yang telah engkau sampai kepadaku sebab aku telah puas atas segalanya.” Terakhir, aku berharap kepada Anda dari rubrik ini dengan memberikan sebaik-baik doa untukku, suamiku yang penyayangi dan anak-anakku.

Referensi:

Muthawi Wahab Abdul. 2005. Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.