BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT. atas
hamba-Nya dalam bentuk perintah atau larangan adalah mengandung maslahat. Tidak
ada hukum syara’ yang sepi dari maslahat. Seluruh perintah Allah bagi manusia
untuk melakukannya mengandung manfaat untuk dirinya baik secara langsung maupun
tidak. Manfaat itu ada yang dapat dirasakannya pada waktu itu juga dan ada yang
dirasakan sesudahnya. Contohnya Allah menyuruh sholat yang mengandung banyak manfaat,
antara lain bagi ketenangan rohani dan jasmani.
Begitu pula dengan semua larangan Allah untuk
dijauhi manusia. Di balik larangan itu terkandung kemaslahatan, yaitu
terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan. Contohnya larangan meminum
minuman keras yang akan menghindarkan seseorang dari mabuk yang dapat merusak
tubuh, jiwa (mental), dan akal.
Semua ulama sependapat dengan adanya
kemaslahatan dalam hukum yang ditetapkan Allah. Namun mereka berbeda pendapat
tentang “apakah karena untuk mewujudkan maslahat itu Allah menetapkan hukum
syara’?”. Atau dengan kata lain, “apakah maslahat itu yang mendorong Allah
menetapkan hukum, atau karena ada sebab lain?”.
Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan
ulama mengenai masalah tersebut, tetapi perbedaan pendapat itu tidak memberi
pengaruh apa-apa secara praktis dalam hukum. Sebagian ulama berpendapat bahwa
Allah mentepakan hukum bukan karena terdorong untuk mendatangkan kemaslahatan,
tetapi semata-mata karena iradat dan qodrat-Nya. Tidak satupun yang mendesak,
mendorong atau memaksa Allah menetapkan hukum. Ia berbuat sesuai dengan
kehendak-Nya.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa
tujuan Allah menetapkan hukum adalah untuk mendatangkan kemaslahatan, karena
kasih sayang-Nya, maka ia menginginkan hamba-Nya selalu berada dalam
kemaslahatan.
Terlepas dari beda pendapat tersebut,
yang jelas bahwa dalam setiap perbuatan yang mengandung kebaikan dalam
pandangan manusia, maka biasanya untuk perbuatan itu terdapat hukum syara’
dalam bentuk perintah. Sebaliknya, pada setiap perbuatan yang dirasakan manusia
mengandung kerusakan, maka biasanya untuk perbuatan itu ada hukum syara’ dalam
bentuk larangan. Setiap hukum syara’ selalu sejalan dengan akal manusia, dan
akal manusia selalu sejalan dengan hukum syara’.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan pembagian maslahah mursalah?
2. Bagaimana dasar dan syarat-syarat berlakunya maslahah mursalah?
3. Bagaimana pro dan kontra fuqaha terhadap maslahah mursalah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan pembagian maslahah mursalah.
2. Untuk mengetahui dasar dan syarat-syarat berlakunya maslahah mursalah.
3. Untuk mengetahui pro dan kontra fuqaha terhadap maslahah mursalah.
D. Manfaat Penulisan
1. Dapat menetapkan hukum berdasarkan maslahat (kebaikan, kepentingan yang
tidak ada ketentuan dari syara’, baik ketentuan secara umum atau secara khusus.
2. Memahami hukum berdasarkan maslahat suatu masalah.
3. Memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum agama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maslahah Mursalah dan
Pembagiannya
1. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah musrsalah ialah pembinaan
(penetapan) hukum berdasarkan maslahat (kebaikan, kepentingan yang tidak ada
ketentuan dari syara’, baik ketentuan secara umum atau secara khusus[1].
Jadi maslahah tersebut dalam umumnya maslahah
yang bisa mendatangkan kegunaan (manfaat) dan bisa menjauhkan keburukan
(kerugian), serta hendak diwujudkan oleh kedatangan syariat Islam, di samping
adanya nas-nas syara’ dan dasar-dasarnya yang menyuruh kita untuk memperhatikan
marsalah tersebut untuk semua lapangan hidup, tetapi syara’ tidak menetukan
satu-persatunya smaslahah tersebut maupun macam keseluruhannya. Oleh karena itu
maka marsalah tersebut dinamai “mursal” artinya dengan tidak terbatas[2].
Adapun pengertian maslahah mursalah menurut
para ahli sebagai berikut[3]:
1. Abdul Wahab Khalaf
Maslahah yaitu maslahah yang ketentuan
hukumnya tidak digariskan oleh Tuhan dan tidak ada dalil syara’ yang
menunjukkan tentang kebolehan dan ketidakbolehan maslahah tersebut.
2. Abu Zahrah
Maslahah atau istislah yaitu segala
kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syar’i (dalam menentukan hukum)
dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjuk tentang diakui atau
tidaknya.
3. Yusuf Musa
Maslahah yaitu segala kemaslahatan yang
tidak diatur oleh ketentuan syara’ dengan mengakui atau tidaknya akan tetapi
mengakuinya dapat menarik manfaat dan menolah kemadaratan.
4. Abdullah bin Abdul Husein
(maslahah marsalah) yaitu keaslahatan yang
tidak jelas diakui atau ditolak oleh syara’ dengan suatu dalil tertentu dan ia
termasuk persoalan yang dapat diterima oleh akal tentang fungsinya.
2. Pembagian
Maslahah Mursalah
a. Maslahah yang Dipakai (maslahah
marsalah’tabarah)
Maslahah golongan ini ialah marsalah
yang sejalan dengan maksud-maksud umum syara’ dan yang menjadi pedoman adanya
perinath dan larangan syara’[4].
1). Maslahat Dlaruri
Yang
dimaksud dengan marsalah-dlaruri ialah setiap perbuatan yang dimaksudkan untuk
memlihara perkara yang lima, yaitu: jiwa agama, harta, akal fikiran, dan
keturunan. Menurut pandangan syara’ kelima perkara ini diharuskan adanya untuk
terwujudnya kehisupan yang baik. Kalau salah satunya tidak ada tentunya
kehidupan ini akan hancur dan mengalami kepincangan. Dasar penggolongan
perbuatan kepada maslahah dlaruri ialah apabila perbuatan tersebut bermaksud
memelihara perkara yang lima tersebut[5].
Dalam rangka perwujudan kemaslahatan ini haruslah dipelihara lima macam perkara
yang dikenal dengan “al-Maqasidul
Khamsah” atau “ad Daruriatul
Khamsah”, yaitu[6]:
a). Agama,
untuk maksud ini Islam antara lain mensyariatkan jihad untuk mempertahankan
aqidah Islamiyah, kewajiban memerangi orang yang mencoba mengganggu umat Islam
dalam menjalnkan kewajiban agama dan menghukum orang yang murtad dari Islam.
b). Jiwa,
untuk maksud ini Islam antara lain mensyariatkan pemenuhan kebutuhan biologis
manusia berupa sandang, pangan, dan papan, begitu pula hukum qisas atau diyaat
bagi orang yang melakukan kesewenang-wenangan terhadap keselamatan jiwa orang
lain.
c). Akal,
untuk maksud ini Islam antara lain mensyariatkan larangan minum minuman keras
dan segala sesuatu yang dapat merusak akal, dan menjatuhkan hukuman bagi setiap
orang yang melanggarnya.
d).
keturunan, untuk maksud ini Islam antara lain mensyariatkan larangan perzinaan,
menuduh zina terhadap perempuan muhsonat, dan menjatuhkan pidana bagi setiap
orang yang melakukannya.
e). Harta,
untuk maksud ini Islam antara lain mensyariatkan larangan mencuri dan
menjatuhkan pidana potong tangan baggi setiap orang yang melakukanya, begitu
pula larangan riba, bagi setiap orang yang membuat rusak atau hilangnya barang.
2). Maslahah Haji
Yang dimaksud dengan maslahah haji
perbuatan-perbuatan atau tindakan-tidakan yang meskipun pemeliharaan perkara
lima tersebut tidak tergantung kepadanya, namun perbuatan-perbuatan atau
tindakan-tidakan diperlukan untuk memperoleh kelonggaran hidup menghilangkan
kesempitannya, seperti mengadakan akad sewa-menyewa. Sebab dengan dibukanya
perikatan sewa menyewa dalam lapangan keperdataan, maka perikatan ini bisa
memenuhi kebutuhan yang besar, sebab setiap orang bisa memakai barang milik
orang lain. Kalau sekiranya sewa-menyewa dilarang , tentunya kehidupan manusia
akan terhenti, meskipun keadaan (susunan) masyarakat tidak rusak, akan tetapi
akan mengalami kesulitan sebab setiap orang akan terpaksa harus memiliki
sendiri barang-barang yang dibutuhkannnya, meskiipun kebutuhan tersebut hanya
sementara waktu saja[7].
3). Maslahat Takmil
Yang dimaksud dengan maslahah takmil
ialah suatu maslahah yang apabila tidak dikerjakan, kehidupan ini tidak
mengalami kesulitan, akan tetapi perwujudan maslahah tersebut merupakan tanda
akhlak yang luhur atau kebiasaan yang baik.
Jadi termasuk dalam usaha-usaha
penyempurnaan terhadap apa yang pantas dan apa yang tidak pantas, seperti
kesopanan-kesopanan dalam berbicara, makan dan minum, pembelanjaan harta dengan
sedang, yakni tidak terlalu menghambur dan
tidak pula
terlalu kikir[8].
b. Maslahah yang Tidak Dipakai
Maslahah yang tidak dipakai ialah suatu
maslahah yang tidak bisa dipakai sebagai alasan penentuan suatu hukum. Yang
menyebabkan tidak dipakainya maslahah tersebut ialah karena adanya maslahah
lain yang lebih kuat.
Seperti
ketentuan yang mempersamakan anak lelaki dengan anak perempuan dalam menerima
warisan, alasan kedua-duanya sama dekattnya dan kebaikannya terhadap orang
tuanya. Akan tetapi alasan (maslahah) ini tidak dianggap ada, sebaba kalau
dipakai berarti akan menyia-nyiakan maslahah (alasan) lain yang lebih kuat dan
yang diperlihatkan oleh syara’juga, yaitu bahwa tanggung jawab lelaki (suami)
dalam pembiayaan rumah tangga adalah lebih banyak[9].
c. Maslahah yang Tidak Ada Ketegasannya
Maslahah
golongan ini tidak seperti maslahah pertama karena ada ketegasan untuk
memakainya, juga tidak seperti maslahah kedua, di mana jelas-jelas tidak
dipakai, tetapi merupakan maslahah yang didiamkan oleh syara', sedang persoalan
(maslahah) yang mirip dengan maslahah tersebut. Jadi tidak ada dalil yang
menetapkan maslahah tersebut ataupun meniadakannya. Maslahah inilah yang
disebut maslahah-mursalah dan yang diperselisihkan oleh para fuqaha[10].
Al-maslahah bentuk ketiga ini kemudian dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu
sebagai
berikut[11]:
1. Al-maslahah al gharibah
Yaitu maslahah yang sama sekali tidak
terdapat kesaksian syara' terhadapnya, baik yang mengakui maupun menolaknya
dalam bentuk macam/species ataupun jenis/genus tindakan syara'.
Dalam kenyataannya, maslahah bentuk ini hanya ada dalam teori, tidak ditemukan
contohnya dalam kenyataan kehidupan sehari-hari.
2. Al-maslahah al-mula'imah
Yaitu maslahah yang meskipun tidak terdapat
naskh tertentu yang mengakuinya, tetapi ia sudah sesuai dengan tujuan syara'
dalam lingkup yang umum. Tujuan syara' ini dipahami dari makna umum yang
terkandung di dalam al-Qur'an, hadis, dan ijma'. Maslahah inilah yang biasanya
disebut dengan istilah al-maslahah al-mursalah.
B. Dasar dan Syarat-syarat
Berlakunya Maslahah Mursalah
1. Dasar Berlakunya Maslahah Mursalah
Ketentuan-ketentuan
(hukum-hukum) baru dalam syari'at Islam bisa diadakan oleh salah seorang faqih berdasarkan
berdasarkan prinsip maslahah dengan berpedoman
pada salah satu dari empat faktor berikut[12]:
a. Mewujudkan Kebaikan
Yaitu hal-hal yang diperlukan oleh
masyarakat untuk menegakkan kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya, seperti
mengadakan pajak-pajak yang adil guna menghadapi kepentingan umum atau
proyek-proyek vital, pembatasan harga barang-barang agar bisa membatasi
kerakusan pedagang dan menjaga kebutuhan orang banyak agar jangan sampai
dipermainkan oleh mereka, mengadakan aturan-aturan lalu-lintas sesudah
banyaknya pemakaian kendaraan-kendaraan bermotor dengan maksud tidak terjadi
tabrakan dan pengorbanan jiwa dengan sia-sia, penentuan wewenang hakim dan
tingkat-tingkat keputusan peradilan.
b. Menghindarkan Keburukan (Kerugian)
Yaitu hal-hal yang merugikan manusia,
baik sebagai perseoranggan, maupun sebagai golongan, baik kerugian materil
maupun kerugian moril. Sebagai contoh ialah penetapan tenggang waktu tanpa
alasan yang sah sebagai dasar untuk menerima gugatan atas sesuatu yang lama,
agar peradilan tidak akan mengalami kekacauan dalam mencari-cari kembali
perkara-perkara yang telah lama berlalu dan agar orang banyak suka
memperhatikan hak-haknya dengan baik.
c. Menutup Jalan
Sering-sering perbuatan yang dilarang
dalam syara' sebenarnya bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena bisa
mendatangkan perbuatan lain meskipun tidak disengajakan meskipun benar-benar
dilarang, atau bisa menjadi jalan yang sengaja dipakai , melainkan karena bisa
mendatangkan perbuatan lain, meskipun tidak disengajaka, yang memang
benar-benar dipakai orang untuk sampai kepada perkara yang dilarang, yaitu yang
dikenal dengan nama "ngakali undang-undang". Oleh karena itu setiap
jalan atau cara yang dengan sengaja atau tidak sengaja bisa mendatangkan kepada
larangan-larangan syara' dilarang. Di kalangan fuqaha terkenal dengan nama "sadduddzarai'i"
(menutup jalan).
Sebagai contoh: seorang isteri yang
diceraikan oleh suaminya tanpa kerelaannya, dalam keadaan menderita sakit
berat, tetap mendapati warisan dari bekas suaminya itu apabila dalam keadaan
iddah, suami meninggal dunia, agar hak menceraikan isteri yang diberikan kepada
suami tidak bisa dipergunakan olehnya sebagai jlan menghalang-halangi isterinya
jangan sampai menerima warisan yang sah dari padanya ketika ia tidak mempunyai
harapan hidup dan bermaksud merugikan isterinya. Di kalngan fuqaha, perceraian
tersebut dikenal dengan nama "thalaqul-firari" (talak untuk
melarikan warisan isteri), atau "thalak-ut-ta'asufi" (talak
semena-mena). Isteri tersebut tetap mendapat warisansebagai penutupan jalan
bagi perbuatan lain, yaitu menghapuskan hak mewarisnya, meskipun boleh jadi
suami tidak menyengajakan demikian.
d.
Perobahan Masa
Di antara sebab-sebab yang menimbulkan
perobahan hukum-hukum yang dihasilkan oleh ijtihadialah adanya perobahan masa
yang lain daripada waktu terjadinya penetapan hukum tersebut, apakah karena
penggantian cara hidup seperti timbulnya listrik dan alat-alat mesin yang
merobah cara-cara hidup, ataukah karena adanya kerusakan akhlak manusia.
Sebagai contoh adalah tentang menyewakan
tanah waqaf. Oleh fuqaha-fuqaha angkatan lama penyewaan tanah waqah boleh, baik
lama atau sebentar. Akan tetapi setelah banyak ketidakjujuran orang-orang yang
mengurusi harta waqaf dengan bekerja sama dengan orang-orang instansi yang
mengawasi waqaf, maka fuqaha angkatan kemudian (mutaakhirin) tidak
memperbolehkan penyewaan tanah-tanah waqaf untuk masa yang lebih drai satu
tahun bagi bangunan-bangunan, atau lebih dari tiga tahun bagi tanah-tanah
pertanian, sebab dikhawatirkan pada akhirnya pihak penyewa mengaku hak milik atas tanah waqah tersebut.
2. Syarat-syarat Berlakunya Maslahah Mursalah
Zakariyah al-Farisi dalam kitabnya
Masadirul Ahkamil Islamiyah memberikan syarat-syarat sebagai berikut[13]:
a. Hendaknya kemaslahatan itu
bersifat hakiki bukan bersifat imajinatif dalam arti apabila orang yang
berkesempatan dan yang memusatkan perhatian pada itu yakin bahwa membina hukum
berdasarkan kemaslahatan tersebut akan dapat menarik manfaat dan menolak madarat
bagi umat manusia
b. Kemaslahatan itu hendaknya bersifat universal dan tidak parsial.
Sebagai contoh ialah apa yang dikemukakan oleh al-Gazali yaitu: kalau dalam
suatu pertempuran melawan orang kafir mereka membentengi diri dan membuat
pertahanan melalui beberapa orang muslim yang tertawan, sedang oorang kafir
tersebut dikhawatirkan akan melancarkan agresi dan dapat menghancurkan kaum
muslimin mayoritas maka penyerangan terhadap mereka harus dilakukan, meskipun
akan mengakibatkan kematian bebrapa orang muslim.
c. Hendaknya kemaslahatan itu bukan
kemaslahatan yang mulgha yang jelas ditolak oleh nas. Sebagai contoh:
fatwa Imam Yahya bin al-Yaisy, salah seorang murid Imam Malik dan ulama fikih
Andalusia pada salah seorang rajanya pada waktu itu. Difawahkan bahwa bagi raja
apabila ia berbuka puasa dengan sengaja pada bulan Ramadah ia tidak boleh tidak
harus memenuhi kafarat berpuasa dan dua bulan berturut-turut. Dia berfatwa
tanpa memberikan pemilihan antara memerdekakan budak atau berpuasa sebagaimana
dipegangi oleh Imam Malik dan tidak pula dengan memerdekakan budak sebagaimana
dipegangi oleh ulama-ulama yang lain karena
dia berpendapat bahwa kemaslahatan akan dapat dicapai hanya dengan cara
itu.
C. Pro dan Kontra Fuqaha terhadap
Maslahah Mursalah
1. Pro Maslahah Mursalah[14]
Fuqaha pemakai prinsip maslahah dibagi
menjadi dua, yaitu fuqaha mazhab Hanbali dan fuqaha mazhab Maliki dan Hanafi.
Menurut mazhab Hanbali peenrapan sesuatu
nas, meskipun tidak qat'i, tidak dibatasi maslahah mursalah. Jadi pengertian
dan keumuman nas harus diutmakan.
Fuqaha-fuqaha mazhab Maliki dan Hanafi
berpendirian sebliknya, karena mereka hanya memakai ketentuan nas dalam hal-hal
yang tidak akan melibatkan adanya perlawanan dengan maslahah, sebab dengan
adanya maslahah yang ditetapkan menurut norma-norma syara' maka maslahah
tersebut cukup menjadi dalil bahwa daerah penerapan nas yang dimaksudkan oleh
syara' ialah hal-hal yang tidak bertentangan dengan maslahath tersebut.
Adapun alasan kelompok yang menerima
maslahah sebagai sumber hukum adalah sebagai berikut[15]:
a. Dalam berbagai kenyataan para
sahabat telah menggunakan maslahah sebagai dasar penetapan hukum.
b. Maslahah jika sejalan dengan tujuan pembinaan hukum, wajib dijadikan
pegangan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri dan tidak dipandang keluar
dari jalur hukum yang lain, sebab menggunakan maslahah tersebut berarti
menunjang pencapaian tujuan pembinaan hukum dan sebaliknya membiarkannya
berarti pula membiarkan tujuan itu, padahal membiarkan tujuan dimaksud
merupakan tindakan yang tak dapat dibenarkan.
c. Jika pada suatu kasusu, menyatakan jelas terdapat maslahah yang sejalan
dengan maslahah yang diakui oleh syara' kemudian maslahah itu dibiarkan begitu
saja, niscaya mengakibatkan manusia akan mendapatkan kesulitan dan kesempitan.
2. Kontra Maslahah Mursalah[16]
Fuqaha tersebut ialah imam
Syafi'i, di mana ia berpendirian bahwa sesuatu nas meskipun tidak qat'i, tidak
bisa dibatsi keumumannya. Pendirian ini memang tepat, sebab kalau pada waktu
tidak ada nas saja ia tidak mau memakai maslahah, maka terlebih lagi ketika ada
nas yang menentangnya.
Meskipun demikian, namun
dalam keadaan darurat sesuatu nas tidak bisa ditinggalkan dan harus memakai
maslahah. Tetapi landasan hukumnyaini bukan prinsip maslahah melainkan prinsip
"keadaan darurat" dan "memilih salah satu keburukan yang lebih
ringan". Prinsip-prinsip tersebut disimpulkan dalam kaidah hukum yang
berbunyi: "Adalah-dlaruratu tubihul madhlurati" (keadaan
darurat membolehkan larangan-larangan).
Sebagai contoh ialah kalau
dalam pertempuran melawan musuh, mereka bertamengkan orang-orang kita yang
ditawan oleh mereka, sedang musuh dikhawatirkan akan menghancurkan kita, maka
penyerangan terhadap mereka harus dilakukan, meskipun akan mengakibatkan
kematian orang-orang kita yang sebenarnya harus dilindungi keselamatan jiwanya
dengan nas al-Qur'an yang jelas.
Adapun alasan kelompok yang
menolak adalah sebagai berikut[17]:
a. Bahwa Allah tidak akan membiarkan
begitu saja tanpa mensyariatkan hukum yang dapat menjamin kemaslahatan mereka.
Dengan demikian Allah telah mensyariatkan hukum-hukum melalui al-Qur'an dan
as-Sunnah serta hukum-hukum yang dinisbatkan oleh ulama, lalu mereka tidak
berselisih pendapat tentang itu. Begitu juga Allah telah memberikan petunjuk
pada mereka bahwa jika mereka berbeda pandangna tentang masalah yang tidak ada
ketentuannya dalam ak-Qur'an atau as-Sunnah atau Ijma' maka hendaknya masalah
itu maka hendaknya masalah itu dikembalaikan pada sumber hukum di atas dengan
cara analogi atau lainnya.
b. Bahwa semua kemaslahatan hakiki bagi manusia telah diaturnya sedemikian
rupa oleh Allah baik dengan cara menetapkannya sebagai suatu ketentuan hukum
atau dengan cara diakuinya maslahah sebagai dasar pembinaan hukum.
c. Bahwa maslahah yang terlepas dari
dalil yang mengakui atau menolak adalah maslahah yang tidak jelas dan
mengandung kemungkinan antara yang diakui atau ditolak. Dalam kondisi semacam
ini tidak mustahil akan terselubung di dalamnya nafsu, keinginan dan kehendak
subyektif manusia yang hanya kana mengakibatkan kekaburan antara mafsadah dan
maslahah. Mafsadah mungkinmungkin dipandang sebgai maslahah, begitu juga
sebaliknya. Akal pun tak mustahil akan dapat tertipu pula, akhirnya ia
memberikan keputusan tanpa dasar pengetahuan yang sempurna.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Maslahah musrsalah ialah pembinaan (penetapan) hukum berdasarkan
maslahat (kebaikan, kepentingan yang tidak ada ketentuan dari syara’, baik
ketentuan secara umum atau secara khusus. Adapun pembagian maslahah maslahah
yaitu: (1) maslahah yang dipakai, (2) maslahah yang tidak dipakai, dan (3) maslahah yang tidak ada ketegasannya.
2. Dasar berlakunya maslahah maslahah adalah: mewujudkan kebaikan,
menghindarkan keburukan (kerugian), menutup jalan, dan perobahan masa. Adapun
syarat-syarat berlakunya maslahah mursalah adalah: hendaknya kemaslahatan itu
bersifat hakiki, kemaslahatan itu hendaknya bersifat universal, dan hendaknya kemaslahatan itu bukan kemaslahatan
yang mulgha.
3. Fuqaha yang pro maslahah mursalah yaitu fuqaha mazhab Hanbali dan fuqaha
mazhab Maliki dan Hanafi. Sedangkan fuqaha yang kontra maslahah mursalah adalah
fuqaha mazhab Syafi'i.
B. Saran
Dalam menggunaakan maslahah
mursalah untuk menentukan hukum suatu masalah hendaknya disesuaikan dengan
keadaan yang sedang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul fiqh.
Jakarta: Amzah, 2010.
Hanafi, Ahmad. Pengantar
dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Zuhri, Saifuddin. Ushul
Fiqih: Akal sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar