Selasa, 10 November 2015

makalah tentang istihsan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Ushul fiqh menduduki posisi sentral dalam studi keislaman. Lebih dari itu, juga merupakan metodologi terpenting yang ditemukan oleh dunia pemikiran Islam, dan belum terbukti dimiliki umat lain. Sebenarnya ilmu ini tidak hanya menjadi metodologi baku bagi hukum Islam saja, tetapi juga bagi seluruh intelektual Islam. Namun, sejarah pemikiran Islam telah mempersempit wilayah kerjanya hanya dalam wilayah pemikiran hukum saja.
Ushul fiqh pada dasarnya merupakan bidang ilmu yang berlandaskan pada nalar bayani, yang menjadikan teks sebagai sumber memperoleh pengetahuan (otoritas teks); dan teks dimaksud, utamanya ialah Al-quran dan hadis. Oleh karena itu, secara epistemologi, yang dikaji dalam ilmufiqh ialah petunjuk (dalalah) yang ada dalam teks wahyu, baik petunjuk secara tekstual (dalalat al-nass) yang membahas relasi antara lafal dan makna, maupun petunjuk yang ada dibalik teks (dalalat ma’qulal-nass)yang membahas relasi al-asl (teks) dan al-far’ (yang tidak tertulis dalam teks), yang didasarkan adanya kesamaan ma’qul al-nass (“illah).
Para ahli Ushul fiqh membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari’at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kdang untuk menetapkan hukum dengan


mempergunakan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk “Hukum Fiqh” supaya dapat diamalkan dengan mudah.
Di samping empat dalil syara’ yang disepakati di kalangan jumhur ulama, terdapat pula dalil-dalil lain yang penggunaannya sebagai dalil tidak disepakati seluruh ulama ushul fiqh, antara lain: Istihsan, mashlahah al-mursalah, urf, istishhab, syar’u man qablana, qaul ash-shahabi, dan sadd adz-dzari’ah. Namun demikian, sesuai dengan latar belakang masalah diatas, maka kami hanya terfokus membahas Istihsan; pengertian istihsan, pembagian istihsan, dan pro kontrak di sekitar kehujjahan istihsan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Istihsan?
2.      Ada berapa pembagian Istihsan?
3.      Bagaimana pro kontra di sekitar kehujjahan Istihsan?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Istihsan.
2.      Untuk mengetahui pembagian Istihsan.
3.      Untuk mengetahui pro kontra di sekitar kehujjahan Istihsan.
D.    Manfaat Penulisan
Dengan makalah ini wawasan kita tentang Istihsan bertambah serta dapat dijadikan sebagai bahan ajar tambahan dalam proses perkuliahan ushul fiqh.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Istihsan
Dari segi etimologi, istihsan berarti menilai sesuatu sebagai baik. Ia juga berarti sesuatu yang digemari dan disenagi manusia, walaupun dipandang buruk orang lain. Secara terminologis istihsan adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan qiya jaliy kepada qiyas khafiy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional atau berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan hukm kully kepada tuntutan hukum juz’iy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional. Yang dimaksud dengan qiyas jaliy ialah qiyas yang jelas ‘illatnya, tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan syariat lemah; ia sering diungkapkan dengan nama qiyas. Sedangkan qiyas khafiy adalah qiyas yang samar ‘illatnya, tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan syariat kuat. Adapaun hukm kulliy adalah kaidah hukum yang bersifat universal dan berdaya laku umum, sedang hukm juz’iy adalah kaidah hukum yang bersifat partikular dan berdaya laku spesifik.
Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama:
a.       Menurut al-Bazdawi:
اَلْعُدُوْلُ عَنْ مُوْجِبِ قِيَاسٍ إِلَى قِيَاسٍ أَقْوَى مِنْهُ أَوْ هُوَ تَخْصِيْصُ قِيَاسٍ بِدَلِيْلِ أَقْوَى مِنْهُ.
Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas yang pertama.
b.      Menurut al-Karakhi, sebagaimana dikutip oleh al-Bukhari:


أَنْ يَعْدِلَ الإِنْسَانُ عَنْ أَنْ يَحْكُمْ فِيْ اْلمَسْأَلَةِ بِمِثْلِ مَا حَكَمَ بِهِ فِيْ نَظَاءِرِهَا إِلَي خِلَافِهِ لِوَجْهِ أَقْوَى يَقْتَضِي اْلعُدُوْلَ عَنْ اْلأَوَّلِ.
Seorang mujtahid beralih dari hukum suatu masalah yang sama hukumnya berdasarkan metode qiyas, kepada hukum lain yang berbeda, karena ada faktor yang lebih kuat yang menuntut adanya pengalihan tersebut dari hukum yang pertama.
c.       Menurut Imam Malik:
اَلْعَمَلُ بِأَقْوَى الدَّلِيْلَيْنِ، أَوِ اْلأَخْذُ بِمِصْلَحَةِ جُزْ نِيَّةٍ فِيْ مُقَا بِلَةِ دَلِيْلٍ كُلَّيِّ.
Menerapkan yang terkuat di antara dua dalil, atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum.
d.      Wahbah as-Zuhaili merumuskan dua definisi yaitu,
Pertama,
تَرْجِيْحُ قِيَاسٍ خَفِيِّ عَلَى قِيَاسٍ جَلِيِّ بِنَاءَ عَلَى دَلِيْلٍ.
Lebih menggunggulkan qiyas khafi daripada qiyas jali berdsarkan alasan tertentu.
Kedua:
إِسْتِثْنَاءُ مَسْأَلَةِ جُزْ نِيَّةٍ مِنْ أَصْلٍ كُلِّيِّ أَوْ قَضِيَّةِ عَامِّةٍ بِنَاءَ عَلَى دَلِيْلٍ خَا صِّ يَقْتَضِي ذَلِكَ.


Mengecualikan hukum kasus tertentu dari prinsip hukum atau premis yang bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu yang menuntut berlakunya pengecualian tersebut.
e.       Menurut Abdul Wahab Khallaf, istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali kepada tuntutan qiyas khafi, atau dari hukum kully kepada hukum istitsnai berdasarkan dalil.
f.       Menurut Imam Malik mendefenisikan istihsan dengan beramal dengan salah satu dari dua yang paling kuat atau mengambil maslahah juz’iyah dalam berhadapan dengan dalil kulli.













B.     Pembagian Istihsan
Berdasarkan proses perpindahannya, istihsan dibagi dua, yaitu:
a.      Istihsan Qiyasi
Istihsan qiyasi adalah mendahulukan qiyas khafi dari qiyas jali karena ada alasan yang dibenarkan syara’. Atau Istihsan qiyasi ialah, suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksudkan di sini adalah kemaslahatan. Tiga contoh di bawah ini akan dapat lebih mendekatkan pemahaman kita kepada pengertian istihsan qiyasi.
Contoh pertama: apabila sesorang mewakafkan sebidang tanah pertanian untuk kepentingan umum, maka berdasarkan istihsan, yang diwakafkan itu termasuk hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu, dan bentuk-bentuk lainnya yang berkaitan dengan tanah tersebut.
Apabilah ketentuan wakaf ditetapkan berdasarkan qiyas jali kepada transaksi jual beli, maka hak-hak tersebut tidak ikut beralih kepada penerima wakaf. Sebab dalam jual beli, yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Akan tetapi, karena alasan kemaslahatan, maka hak-hak tersebut ikut berpindah kepada penerima wakaf, yaitu dengan cara meng-qiyas-kan wakaf itu kepada transaksi sewa-menyewa.


Dalam transaksi sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik hak kepada penyewa. ‘illah yang sama ditemukan dalam hal wakaf, meskipun bentuk ‘illah tersebut bersifat  khafi (tersembunyi). Yang prnting pada wakaf ialah agar barang yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan. Tanah pertanian baru dapat dimanfaatkan secara baik jika di dalamnya terdapat pengairan yang baik. Hak manfaat yang menjadi tujuan wakaf tidak tercapai, jika transaksi wakaf tanah pertanian tersebut di-qiyas-kan kepada jual beli, melalui qiyas jali. Sebab, pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik, bukan hak manfaat. Karena itulah transaksi wakaf di-qiyas-kan kepada transaksi sewa-menyewa. Di mana tujuannya sama dengan wakaf, yaitu hak manfaat. Pengalihan hukum dari yang berdasarkan qiyas jali tersebut karena ada alasan yang kuat yaitu tujuan kemaslahatan wakaf untuk memanfaatkan tanah pertanian.
Contoh kedua: jika penjual dan pembeli berselisih tentang harga sebelum serah terima barang dilakukan, berdasarkan istihsan mereka berdua dapat disumpah, padahal menurut qiyas, penjual tidak disumpah, tetapi menghadirkan bukti.
Contoh ketiga: berdasarkan istihsan qiyasi, yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti: sisa minuman burung gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis


dan haram diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyas-kan kepada dagingnya.
Sebagaimana diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut binatang buas yang tidak langsung bertemu dengan dagingnya. Mulut binatang buas terdiri atas daging yang haram dimakan, sedang paruh burung buas merupakan tulang atau zat tanduk. Sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika burung buas minum, daging dan air liurnya tidak secara langsung bertemu dengan air, karena dipisahkan oleh paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk itu. Oleh karena itu, air sisa minuman burung buas tidak najis dan halal diminum.
Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa minuman binatang bias ni ditetapkan berdasarkan istihsan qiyasi, yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.
b.      Istihsan Istitsna’i
Istihsan istitsna’i ialah, qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Atau mengecualikan hukum juz’i dari hukum kully dengan dalil. Misalnya, menurut hukum kully, jual beli barang


yang ma’dum itu dilarang, karena mengandung gharar, tetapi berdasarkan istihsan diperbolehkan melalui akad salam.
Berdasarkan sandarannya, istihsan dibagi menjadi enam, yaitu:
a.      Istihsan bi an- Nashsh
Istihsan bi an-nashsh ialah, pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nashsh yang mengecualikannya, baik nashsh tersebut Alquran maupun sunnah. Atau adanya ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus berbeda dengan ketentuan kaidah umum.
Contoh istihsan istitsnai berdasarkan nashsh Al-quran ialah, berlakunya ketentuan wasiat setelah sesorang wafat, padahal menurut ketentuan umum, ketika orang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap hartanya, karena telah beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh Al-quran, antara lain surah an-Nisa: 12:
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوْصِيْنَ بِهَآ أَوْدَيْنٍ.
Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar utangnya.
Contoh istihsan istitsnai yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya puasa orang yang makan atau minum karena lupa, padahal menurut ketentuan umum, makan dan minum membatalkan puasa. Nyatanya ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan hadis:


عَنْ أَبِي هَرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ مَنْ نَسِيَوَهُوَ صَاءِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ.
Dari Abu Hurairah ra, katanya, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya”.
b.      Istihsan bi al-Ijma’
Istihsan bi al-ijma ialah meninggalkan qiyas dalam suatu masalah berdasarkan ijma’ yang menetapkan hukum berbeda dengan hukum yang ditunjuk oleh qiyas. Atau istihsan bi al-ijma’ ialah, pengalihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada ketentuan ijma’ yang mengecualikannya. Sebagai contoh, boleh melakukan transaksi istitsna (seseorang bertransaksi dengan pengarajin untuk dibuatkan barang dengan harga tertentu), padahal menurut ketentuan umum jual beli, dilarang melakukan transaksi terhadap barang yang belum ada. Rasulullah saw bersabda:
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ.
Jangan jual belikan sesuatu yang belum ada padamu.
Berdasarkan hadits di atas, seharusnya transaksi tersebut batal, karena ketika transaksi berlangsung, objek transaksinya belum ada. Akan tetapi, trasanksi istitsna’ tersebut boleh dilakukan, karena sejak dahulu praktik tersebut terus berlangsung, tanpa ada larangan dari seorang ulama pun. Sikap


ulama tersebut dipandang sebagai ijma’ demi memelihara kebutuhan masyarakat, dan menghindarkan kesulitan yang akan timbul jika transaksi tersebut dilarang.
c.       Istihsan bi al-‘Urf
Istihsan bi al-‘urf ialah istihsan berdasarkan kebiasan yang berlaku umum. Atau pengecualian hukum dari prinsip syariah yang umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku.
Contoh istihsan bi al-‘urf ialah, menurut kententuan umum, menetapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan jauh atau dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab transaksi upah mengupah harus berdasarkan kejelasan pada objek upah yang dibayar. Akan tetapi, melalui istihsan, transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan masyarakat, dan terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap transaksi tersebut. Contoh lainnya, sewa permandian dengan harga tertentu dengan tanpa pembatasan air yang digunakan serta lamanya waktu yang dihabiskan. Menurut qiyas hal ini tidak dibolehkan, sebab menurut qiyas obyek akad ijarah itu harus jelas sehingga tidak menimbulkan perselisihan. Namun menurut istihsan hal itu dibolehkan lantaran kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat tidak menuntur jumlah air yang digunakandan waktu yang digunakan.


d.      Istihsan bi ad-Dharurah
Istihsan bi ad-dharurah ialah, ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Atau Istihsan bi ad- dharurah ialah suatu keadaan darurat yang mendorong mujtahid untuk mengecualikan ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan mengatasi keadaan darurat. Sebagai contoh, menghukumkan sucinya air sumur atau kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras airnya. Menurut ketentuan umum, tidak mungkin mensucikan air sumur atau kolam hanya dengan mengurasnya. Sebab, ketika air sedang dikuras, mata air akan terus mengeluarkan air kemudian akan bercampur dengan air yang bernajis. Demikian juga dengan alat pengurasnya (timba atau mesin pompa air); ketika bekerja, air yang bernajis akan mengotori alat tersebut, sehingga air akan tetap bernajis. Akan tetapi, demi kebutuhan menghadapi keadaan darurat, berdasarkan istihsan, air sumur atau kolam dipandang suci setelah dikuras.
e.       Istihsan bi al-Mashlahah al-Mursalah
Istihsan bi al-mushlahah al-mursalah ialah, mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat yang ditujukan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berada di bawah pengampuan baik karena ia kurang akal maupun karena berperilaku boros. Menurut ketentuan umum,


tindakan hukum terhadap harta dari orang yang dibawah pengampuan tidak sah, karena akan mengabaikan kepentingannya terhadap hartanya,di mana tujuan pengampuan itu sendiri adalah untuk memelihara hartanya. Akan tetapi, demi kemaslahatan, wasiat orang tersebut dipandang sah. Sebab, dengan memberlakukan hukum sah wasiatnya yang ditujukan untuk kebaikan, maka hartanya akan tetap terpelihara. Apalagi mengingat bahwa hukum berlakunya wasiat adalah setelah ia wafat; tentu hal itu tidak mengganggu kepentingan orang yang berwasiat tersebut. Oleh karena itu, ketentuan umum yang berlaku dalam tasharruf orang yang di bawah pengampuan dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat.
f.       Istihsan berdasarkan qiyas khafi
Misalnya menurut Hanafiyah jika penjual dan pembeli berselisih tentang harga barang sebelum searah terima barang dilakukan, menurut qiyas penjual harus mendatangkan bukti dan pembeli disumpah. Namun, menurut istihsan keduanya dapat disumpah.








C.    Pro Kontra di Sekitar Kehujjahan Istihsan
Pendapat ulama terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan istihsan.  Pertama kelompok yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara’. Mereka ini adalah mazhab Hanafi, Malik, dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua yang menolak penggunaan istihsan sebagai dalil syara’ adalah asy-Syafi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa menggunakan istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan cara menggunakan nalar murni untuk hukum yang ditetapkan dalil syara’. Di antara mereka adalah Imam asy-Syafi’i. Bahkan diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahannya sebagai dalil syara’, Imam asy-Syafi’i berkata: “barangsiapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah menetapkan hukum syara’ sendiri”.
Para ulama yang menggunakan istihsan sebagai dalil syara’ mengemukakan banyak argumen, di antaranya adalah sebagai berikut.
a.       Menggunakan istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit, sesuai dengan firman Allah swt pada surah al- Baqarah: 185:
يَرِيْدُ اللهُ بِكُمُ اْليُسْرَ وَالَا يُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
b.      Firman Allah swt pada Surah az-Zumar: 55:
وَاتَّبِعُواْ أَحْسَنَ مَآ أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ مِّنْ قَبْلِ أَنْ يَأْ تِيَكُمُ اْلعُذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُوْنَ {55}


Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.
c.       Ucapan Abdullah bin Mas’ud ra:
فَمَارَآهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدِ اللهِ حَسَنٌ.
Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah swt.
Sementara itu, kelompok ulama yang menolak kehujjahan istihsan menggunakan dalil, antara lain, sebagai berikut.
a.       Firman alla swt pasa Surah al-Maidah: 49:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ.
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mareka menurut yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
b.      Firman Allah swt pada surah an-Nahl: 44:
بِالبَيِّنَتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيكَ الذّكْرَ لِتُبَيِّنَ الِنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَرُوْنَ.
Dan kami turunkan kepadamu Al-quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah swt menurunkan Al-quran, dan di samping itu ada hadis Rasulullah saw yang berperan memerinci hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-quran. Dengan demikian istihsan tidak diperlukan untuk menetapkan hukum syara’.


c.       Rasulullah saw tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan yang dasarnya aalah nalar murni, melainkan menunggu turunnya wahyu. Sebab beliau tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu belaka.
d.      Istihsan itu landasannya adalah akal, di mana kedudukan orang yang terpelajar dan tidak adalah sama. Jika menggunakan istihsan dibenarkan, tentu setiap orang boleh menetapkan hukum baru untuk kepentingan dirinya.
Bahkan al-Imam as-Syafi’i menyusun argumentasi secara detil untuk menolak eksistensi istihsan:
a.       Syariat itu ditetapkan dengan nash dan qiyas. Istihsan bukan nash dan bukan pula qiyas. Jika begitu menggunakan istihsan berarti mengakui adanya hukum-hukum yang belum ditetapkan oleh nash dan qiyas dan ini bertentangan dengan surat al-Qiyamah ayat 36 yang artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan saja (tanpa pertanggung jawaban).
b.      Banyak ayat Al-Quran yang menyuruh mentaati Allah dan Rasulnya dan jika terjadi perselisihan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Sedangkan istihsan tidak termasuk kitab dan sunnah dan juga tidak menunjuk kepada Al-Quran dan Sunnah.
c.       Nabi saw. Tidak pernah berfatwa berdasarkan istihsan. Ketika ditanya berbagai kasus beliau tidak memberikan jawaban berdasarkan istihsan melainkan menunggu wahyu. Jika istihsan diperkenankan tentu Nabi tidak akan menunggu wahyu dan cukup menggunakan pendapatnya sendiri.


d.      Nabi menolak fatwa sebagian sahabat berdasarkan istihsan ketika berada jauh dari Nabi. Jika istihsan diperbolehkan tentu beliau tidak akan menolaknya.
e.       Istihsan itu tidak menjadi kriteria dan tolak ukur untuk membedakan yang hak dan yang batil sebagaimana qiyas. Jika setiap hakim atau mufti atau mujtahid boleh memutuskan hukum yang berbeda-beda dalam satu kasus karena perbedaan pandangan masing-masing hakim, mufti atau mujtahid.
f.       Jika istihsan diperbolehkan, padahal ia bukan nash dan juga tidak merujuk kepada nash, berarti ia menetapkan hukum berdasarkan akal semata. Dan hal ini tidak dibenarkan.
Dari argumen yang digunakan kedua kelompok ulama di atas, dapat dikatakan, pada hakikatnya perbedaan kedua kelompok tersebut tidak menyentuh hal-hal yang mendasar. Dengan kata lain, pada kenyataannya, perbedaan pendapat di antara mereka hanya dari segi penggunaan istilah (al-khulf lafzi). Sebab, kritik yang dikemukakan asy-Syafi’i terhadap istihsan adalah istihsan yang semata-semata didasarkan kepada pertimbangan akal murni, tanpa didasarkan kepada dalil syara’. Padahal, sebagaimana terlihat pada uraian istihsan sebelumnya, semua bentuk istihsan menggunakan sandaran, baik dalam bentuk nash Al-quran atau sunnah, atau ijma’, atau mashlahah mursalah yang juga sejalan dengan prinsip-prinsip syara’. Tambahan lagi, sebagaimana disebut al-Bazdawi, bahwa Imam Abu Hanifah sebagai orang yang banyak mengusung dalil istihsan, adalah orang yang sangat wara’ dan sangat jauh dari pemikiran melahirkan hukum tanpa dalil syara’.


Pada hakikatnya, istihsan, dengan segala bentuknya, adalah mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada hukum lain yang didasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini yang menjadi subtansi istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang ulamapun yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara’.


















BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
a.       Dari segi etimologi, istihsan berarti menilai sesuatu sebagai baik. Ia juga berarti sesuatu yang digemari dan disenagi manusia, walaupun dipandang buruk orang lain. Secara terminologis istihsan adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan qiya jaliy kepada qiyas khafiy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional atau berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan hukm kully kepada tuntutan hukum juz’iy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional.
b.      Berdasarkan proses perpindahannya, istihsan dibagi dua, yaitu:
1.      Istihsan Qiyasi.
2.      Istihsan Istitsna’i.
Berdasarkan sandarannya, istihsan dibagi menjadi enam, yaitu:
1.      Istihsan bi an- Nashsh.
2.      Istihsan bi al-Ijma’.
3.      Istihsan bi al-‘Urf
4.      Istihsan bi ad-Dharurah.
5.      Istihsan bi al-Mashlahah al-Mursalah.
6.      Istihsan berdasarkan qiyas khafi.
c.       Pada hakikatnya, istihsan, dengan segala bentuknya, adalah mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada


d.      hukum lain yang didasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini yang menjadi subtansi istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang ulamapun yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara’.
B.     Saran
Semoga dengan makalah ini dapat dijadikan sebagai rujukan tambahan ilmu ushul fiqh tentang istihsan dan dalam isi makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga kami menerima kritikan dan saran yang sifatnya kondusif.
















DAFTAR PUSTAKA
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. Cet. I. Jakarta: Amzah. 2011.
Dahlan Rahman abd. Ushul Fiqh. Cet. I. Jakarta: Azmah. 2010.

Suwarjin. Ushul Fiqh. Cet. I. Yogyakarta: Teras. 2012.

Tidak ada komentar: