BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Rasulullah Saw. memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dan
memeriksa benar-benar suatu Hadis yang hendak disampaikan kepada orang lain.
Oleh karena itu, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. para sahabatpun sedikit
demi sedikit menyampaikan Hadis kepada orang lain.
Para sahabat setelah wafatnya Rasul tidak lagi berdiam di kota Madinah,
mereka pergi kekota-kota lain. Maka penduduk kota lainpun mulai menerima Hadis
dan para Tabi’in mempelajari Hadis dari para sahabat itu. Dengan demikian
mulailah berkembang riwayat dalam kalangan Tabi’in.
Riwayat Hadis pada permulaan periode sahabat masih sangat terbatas, hanya
disampaikan kepada yang memerlukan saja dan bila perlu saja, belum bersifat
pelajaran.
Perkembangan Hadis dan membanyakkan riwayatnya, terjadi setelah sesudah
masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab atau masa Usman bin Affan dan Ali bin Abu
Thalib. Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab belum diperluaskna,
mereka mengerahkan minat ummat (sahabat) untuk menyebarkan Al-qur’an dan
memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dalam menerima riwayat Hadis.
Maka dari dari itu, makalah ini kami harapkan dapat menjadi acuan dan
sarana untuk mengetahui serta dapat mempelajari mengenai Sejarah Hadis Periode Sahabat dan
Tabi’in, agar dapat memahami
bagaimana sejarah islam dalam pembukuan Hadis.
B.
Rumusan
Masalah
1. Siapa
yang disebut Sahabat dan Tabi’in?
2. Bagaimana
Sejarah Hadis pada Periode Sahabat?
3. Bagaimana
Sejarah Hadis pada Perode Tabi’in?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
Pengertian Sahabat dan Tabi’in serta mengetahui siapa saja yang termasuk
Sahabat dan Tabi’in
2. Mengetahui
Sejarah Hadis pada Periode Sahabat
3.
Mengetahui
Sejarah Hadis pada Periode Tabi’in
BAB II
PEMBAHASAN
A. SAHABAT DAN
TABI’IN
1. Sahabat
Periode
kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat yang berlangsung sekitar
tahun 11 H sampai dengan 40 H masa ini disebut dengan masa sahabat besar.[1]
Setelah
mengetahui sejerah perkembangan hadis yang kedua adalah pariode sahabat maka
akan timbul pertanyaan “siapa yang disebut sahabat” maka jawabannya antara
lain:
1.
Orang yang
pernah berjumpah dengan Nabi Muhammad Saw dengan beriman kepadanya dan mati
sebagai orang islam.
2.
Orang yang lama
menemani Nabi Muhammad Saw. Dan berulang kali mengadakan perjumpaan dengannya
dalam rangka mengikuti dan mengambil pelajaran darinya.
3.
Orang islam yang
pernah menemani Nabi Muhammad Saw. Atau melihatnya.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sahabat itu mempunyai unsur bergaul
dengan Nabi dan mereka beragama Islam. Jika periode Rasul adalah periode ketika
Rasul masih hidup, yang sering disebut periode wahyu dan pembentukan tata
aturan isalam, maka yang disebut periode sahabat adalah periode sesudah Nabi
Muhammad Saw. wafat.[2]
Begitu
banyaknya sahabat nabi sehingga tidak dapat dihitung secara pasti. Mereka juga
tidak bersamaan masuk islam sehingga pengelompokan sahabat ini dapat dilihat
dari tingkat keutamaannya.
Ø Sahabat
yang masuk islam di Mekkah, seperti Abu Bakar, Umar, Usman.
Ø Sahabat
yang tergabung dalam Dar al nadwah.
Ø Sahabat
yang turut hijrah bersama Nabi Muhammad Saw.
Ø Sahabat
yang membai’at Nabi Saw. di Aqabat al-Ula.
Ø Sahabat
yang ikut berperang bersama Nabi Saw. (perang Badar)
Ø Para remaja dan anak-anak yang sempat melihat
Rasulullah.[3]
2.
Tabi’in
Tabi'in artinya pengikut, yaitu orang Islam yang masa hidupnya setelah para Sahabat
Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad. Usianya tentu saja lebih muda dari Sahabat Nabi bahkan ada yang
masih anak-anak atau remaja pada masa Sahabat masih hidup. Tabi'in disebut juga
sebagai murid Sahabat Nabi.
Seperti Al- Qaasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq, Al-Hasan Al-Bashriy,
Abu Hanifah Umar bin Abdul Aziz.
B. SEJARAH HADIS
PERIODE SAHABAT
Pada
tahun sekitar 11 H sampai 40 H periose ini disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada periode ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan
dan penyebaran Al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan
terlihat masih dibatasi. Oleh karena itu, periode ini oleh para ulama
menganggap sebagai periode yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan.
1. Manjaga pesan
Rasul Saw.
Pada
masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul Saw. berpesan kepada para sahabat agar
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang
lain, sebagaimana sabdanya:
“Telah
aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada
keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Hadis)’’. HR. Malik
Dan
sabdanya pula:
“sampaikan dariku walau satu ayat/ satu hadis.’’
(HR. Al-Bukhari).
Pesan-pesan Rasul Saw. sangat mendalam
pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah
semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesan kecintaan mereka
kapada Rasul SAW. dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya.
2. Berhati- hati dalam
meriwayatkan dan menerima Hadis
Perhatian
para sahabat pada masa ini difokuskan pada usaha pemeliharaan dan menyebarkan
Al-Qur’an. Ini terlihat bagaiman Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas
saran Umar ibn Khattab. Usaha pembukuan ini juga diulang pada masa Usman ibn
Affan.
Kehati-hatian
dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena
mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis
merupakan sumber tasyri’ setelah Al-Qur’an yang harus terjaga dari
kekeliruannya sebagaiman al-qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya
khulafa’urasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, Ali) dan sahabat lainnya, seperti
Zubair, ibn Abbas dan ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan
hadis.[4]
Abu
Bakar
Abu
Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara
Hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima
Hadis dengan hati-hati, Misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain
ketika seorang nenek datang kepadanya mengatakan “Saya mempunyai hak atas harta
yang ditinggal oleh putra anak laki-laki saya .” kata Abu Bakar, “ Saya tidak melihat
ketentuan seperti itu, baik dari al-qur’an maupun dari Rasul.” Lebih lanjut
khalifah berkata, “ siapa diantara kalian yang mendengar ketentuan itu dari Rasul?”
maka tampillah Muhammad bin Maslamah sebagai saksi bahwa seorang nenek seperti
kasus tersebut mendapat bagian seperenam (1/6) harta peninggalan cucu dari anak
laki-lakinya. Kemudian Abu Bakar memberikan bagian tersebut.[5]
Umar
bin Khattab
Sikap kehati-hatian
juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka
meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Perlu pula
dijelaskan bahwa, pada masa Umar bin Khattab belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab
seperti Al-qur’an. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau
kekhususan mereka (umat islam) dalam mempelajari Al-qur’an. Alasan kedua, para
sahabat banyak menerima hadis dari Rasul SAW. sudah tersebar keberbagai daerah
kekuasaan islam, dengan kesibuknnya masing-masing sebagai pembina masyarakat.
Sehingga dengan kondisi seperti ini ada kesulitan untuk mengumpulkan mereka
secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal pembukuan hadis, dikalangan
para sahabat sendiri terjadi terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya
perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.[6]
Abu Hurairah seorang sahabat terbanyak
meriwayatkan hadis, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak
meriwayatkan hadis dimasa Umar, lalu menjawab “ sekiranya aku meriwayatkan
hadis dimasa umar bin khattab seperti aku meriwayatkannya kepadamu, niscaya
Umar akan mencambukku dengan cambuknya.[7]
3.
Periwayatan
hadis dengan lafaz dan makna
Pembatasan
atau penyederhanaan periwayatan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat
dengan sikap kehati-hatiannya bukan berarti hadis-hadis Rasul tidak
diriwayatkan, khususnya berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari
seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan
setelah diteliti secara ketat pembawa hadis tersebut dan kebenaran isi
matannya.
Ada
dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul Saw. pertama dengan
jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul
Saw.) dan kedua dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).
a.
Periwayatan
lafzhi
Seperti
telah dikatakan, bahwa periwayatan lafzhi, adalah periwayatan hadis yang
redaksinya atau matannya persisi seperti yang disampaikan kepada Rasul Saw. ini
hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul Saw.
Kebanyakan
sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar
periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasul Saw. bukan menurut redaksi
mereka. Sebagian dari sahabat secara ketat melarang meriwayatkan dengan
maknanya saja, hingga satu huruf atau satu katapun tidak beleh diganti.
Diantara
para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan jalan
lafzhi adalah ibnu Uamar. Ia sering kali menegur sahabat yang membacakan hadis
yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul Saw.,
seperti yang pernah dilakukannya terhadap Ubaid ibn Amir yang menyebutkan hadis
tentang lima prinsip dasar islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan
ketiga. Ibn Umar serentak menyeruh agar meletakkan urutan keempat, sebagaimana
yang didengarnya dari rasul Saw.
b.
Periwayatan
maknawi
Diantara
para sahabat lainnya ada yang perpendapat, bahwa dalam keadaan darurat karena
tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul Saw., boleh meriwayatkan hadis
secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan yang matannya tidak
sama dengan yang didengarnya dari
Rasul Saw. akan tetapi, isi atau maknanya tetap secara utuh sesuai
dengan yang dimaksudkan oleh Rasul Saw. tanpa ada perubahan sedikitpun.[8]
C. HADIS PADA PERIODE
TABI’IN
Pada
dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan
yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka mengikuti jejek para sahabat sebagai
guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan
yang dihadapi para sahabat. Pada periode
Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushap. Di pihak lain, usaha yang
telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’Al-Rasyidin, khususnya masa
kekhalifaan Usman. Para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah
kekuasaan Islam. Kepada merekalah para Tabi’in mempelajari Hadis.
Ketika
pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam sampai
meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol, disamping
Madina, Makkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan
wilayah kekuasaan Islam, menyebarnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut
terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan
Hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar).
1. Pusat-Pusat Hadis
Tercatat
beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat
tujuan para Tabi’in dalam mencari Hadis ialah.
a.
Madina
Di
antara tokoh-tokoh hadis di kota Madina dalam kalangan sahabat ialah: Abu
Bakar, Umar, Ali (sebelum berpindah kekufah), Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Umar,
Abu sa’id Al Khudri dan Zaid bin Tsabit.
Di
antara sarjana-sarjana tabi’in yang belajar pada sahabat-sahabat itu ialah:
Sa’id, Urwah, Az Zuhri, Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah ibn Mas’ud, Salim ibn
Abi Bakar, Nafi, Abu Bakar ibn Abdir Rahman ibn Al Harits ibn Hisyam dan Abul
Sinad.
b. Makkah
Di
antara tokoh Hadis Makkah, ialah: Mu’adz, kemudian Ibnu Abbas. Di antara
tabi’in yang belajar padanya ialah: Mujahid, Ikrimah, Atha ibn Abi Rabah, Abu
Zubair Muhammad ibn Muslim.
c.
Kufah
Ulama sahabat yang mengembangkan hadis di
Kufah ialah: Ali, Abdullah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Sa’id ibn Zaid,
Khabbah ibn Al Arat, Salman Al Farisy, Hudzaifah Ibnul Yaman, Ammar ibn Yasir,
Abu Musa-Al Baraq Al-Mughirah, Al-nu’Man, Abul Thufail, Abu Juhaifah dan
lain-lain.
d.
Bashrah
Pemimpin hadis di basrah dari golongan sahabat ialah: Anas
ibn malik, Utbah,’ imran ibn husain, Abu Barzah, ’Abdullah ibn syakhir, ’Ma’qil,
Abu bakar, ibn Yasar ,Abd rahman ibn samurah, ’Abdullah ibn yikhkhir dan jahraiah
ibn kudamah.
Sarjana-sarjana
tabi’in yang belajar pada mereka antara lain ialah: Abul’Aliyah, Rafi’ ibn Mihram
Al Riyahy, Al Hasan Al Bishry, Muhammad ibn Sirim, Abu say’tsa’, Jabir ibn Zaid,
Qatadah, Mutaharraf ibn Abdullah, Ibn Syikhir dan Abu Bardah ibn Abi Musa.
e. Syam
Tokoh
hadis dari sahabat di syam ini ialah: Mu’adz ibn Jabal, Ubadah ibn Shamit dan Abu Darda’. Pada beliau-beliau itulah
banyak tabi’in belajar diantaranya: Abu Idris Al Khaulany, Qabisah ibn Dzuaib, Makhul,
Raja ibn Haiwah.
f.
Mesir
Di
antara sahabat yang mengembangkan hadis di Mesir ialah: Abdullah ibn Amer, ’Uqbah ibn Amir, Khrijah ibn Hudzaifah,
Abdullah ibn Sa’ad, Muhammiyah ibn Juz, Abdullah ibn Harits, Abu khair, Basyrah,
Abu Sa’ad Al Khair, Mu’adz ibn Anas Al juhary.
Ada
kira-kira 140 orang sahabat yang mengembangkan hadis di Mesir di antara tabi’in
yang belajar pada mereka, ialah Abul Khair Martsad Al Yasini dan Yazid ibn Abi
Habib.
Dengan
masuknya hadis dalam fase ini, mulailah hadis mendapatkan perhatian yang luas
dan dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Para tabi’in memindahka isi hati
mereka sebelum berpulan. Perkunjungan para sahabat ke sebuah kota, sungguh
menarik perhatian para tabi’in. Mereka mendatangi sahabat untuk menerima Hadis
yang ada pada sahabat itu.
Di
antara sahabat yang banyak meriwayatkan Hadis ialah:
1.
Abu Hurairah,
meriwayatkan Hadis sebanyak 5374 Hadis.
2.
Abdullah ibn
Umar, meriwayatkan Hadis sebanyak 2630 Hadis.
3.
Anas ibn Malik,
meriwayatkan Hadis sebanyak 2276 Hadis.
4.
Aisyah,
meriwayatkan Hadis sebanyak 2210 Hadis.
5.
Abdullah ibn
Abbas, meriwayatkan Hadis sebanyak 1660 Hadis.
6.
Jabir ibn
Abdullah, meriwayatkan Hadis sebanyak 1540 Hadis.
7.
Abu Said Al
Khudry, meriwayatkan Hadis sebanyak 1770 Hadis.[9]
2. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits
Pergolakan ini
sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan
Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi
akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam
kedalam beberapa kelompok.
Dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap
perkembangan hadits. Pengaruh yang berlangsung dan bersifat negatif, ialah
dengan munculnya hadits-hadits palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan
politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Adapun pengaruh yang berakibat positif, adalah lahirnya rencana dan usaha
yang mendorong di adakannya kodifikasi atau Tadwin hadits, sebagai upaya
penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolaan
politik tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pengertian
sahabat dan tabi’in
Ø Sahabat
a) Orang
yang pernah berjumpah dengan Nabi Muhammad Saw dengan beriman kepadanya dan mati
sebagai orang islam.
b) Orang
yang lama menemani Nabi Muhammad Saw. Dan berulang kali mengadakan perjumpaan
dengannya dalam rangka mengikuti dan mengambil pelaharan darinya.
c) Orang
islam yang pernah menemani Nabi Muhammad Saw. Atau melihatnya.
Ø Tabi’in
Tabi'in
artinya pengikut, yaitu orang Islam awal yang masa hidupnya setelah para Sahabat Nabi dan tidak
mengalami masa hidup Nabi Muhammad. Usianya tentu
saja lebih muda dari Sahabat Nabi bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja
pada masa Sahabat masih hidup. Tabi'in disebut juga sebagai murid Sahabat Nabi.
2. pada
periode sahabat perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran Al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan
terlihat masih dibatasi. Oleh karena itu, periode ini oleh para ulama
menganggap sebagai periode yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan
terutama pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
3. Pada
dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan
yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka mengikuti jejek para sahabat sebagai
guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan
yang dihadapi para sahabat. Pada periode Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu
mushap. Di pihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa
Khulafa’Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifaan Usman. Para sahabat ahli hadis
telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Kepada merekalah para
Tabi’in mempelajari Hadis. Di antara
sahabat yang banyak meriwayatkan Hadis ialah:
8. Abu
Hurairah, meriwayatkan Hadis sebanyak 5374 Hadis.
9. Abdullah
ibn Umar, meriwayatkan Hadis sebanyak 2630 Hadis.
10. Anas
ibn Malik, meriwayatkan Hadis sebanyak 2276 Hadis.
11. Aisyah,
meriwayatkan Hadis sebanyak 2210 Hadis.
12. Abdullah
ibn Abbas, meriwayatkan Hadis sebanyak 1660 Hadis.
13. Jabir
ibn Abdullah, meriwayatkan Hadis sebanyak 1540 Hadis.
14. Abu
Said Al Khudry, meriwayatkan Hadis sebanyak 1770 Hadis
B. Saran
Sebagai Mahasiswa
dengan Prodi Pendidikan Agama Islam, Wajib untuk mengetahui, memahami, serta
mempelajari Hadis, karena Hadis merupakan sumber pedoman hidup setelah
Al-Qur’an. Mahasiswa juga harus mengetahui peroses bagaiman para pendahulu
Islam dalam mepertahankan dan memperjuangkan islam terutama dalam pembukuan
Hadis.
Maka dari itu, makalah
ini dapat kami selesaikan dengan tepat waktu dan berharap agar makalah ini
dapat menjadi acuan sebagai bahan diskusi untuk lebih memahami serta
mempelajari sejarah Hadis periode sahabat dan tabi’in.
DAFTAR
PUSTAKA
Assiddiqy, M.
Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1953.
Suparta,
Drs. Munzier MA.. Ilmu Hadis Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.
Zuhri,
DR.Muh. Hadis Nabi. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997.
[1] Drs.
Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003). hlm.
79
[2]
DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997). hlm.37-38.
[3]DR.Muh.Zuhri,
Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997). hlm.41-42.
[4] Drs.
Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).hlm.
79-81
[5]
DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm. 38.
[6] Drs.
Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).hlm.
82
[7]DR.Muh.Zuhri,
Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm.39.
[8]DR.Muh.Zuhri,
Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm.83-84.
[9]M. Hasbi
Assiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta:Bulan Bintang, 1953).
hlm.72-73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar