Selasa, 03 November 2015

Cerita hikmah dalam kehidupan: Bahaya marah

Cerita hikmah dalam kehidupan:
Bahaya marah
Alkisah, hiduplah seorang anak muda yang pemarah. Masalah kecil saja dapat menimbulkan amaranhnya sampai meledak-ledak. Hingga pada suatu ketika, anak muda ini ingin sekali berhenti dari sifat pemarahnyadan menjadi seorang yang sabar. Lalu, datnglah ia kepada seorang ustaz guna mengutarakan keinginannya itu.
Kemudian,, jawab ustaz, “alhamdulillah, baiklah! Begini saja, siapkan olehmu sebuah papan yang lebar di halaman rumahmu. Ingat, setiap kali kamu mara, tancapkan sebuah paku di sana. Dan setelah amarahmu mereda, cabutlah paku tersebut. Lakukanlah ini selama satu bulan, setelah itu datanglah lagi kemari.
Anak muda ini sangat berterima kasih kepada sang ustaz atas petunjuknya. Setibanya di rumahnya, ia langsung melaksanakan pesan sang ustas. Disiapkan olehnya sebuah papan yang lebar di halam rumahnya, dan setiap kali ia marah, ditancapkanlah sebuah paku di papan itu. Namun, setelah amarahnya reda, paku itu dicabutnya. Selang sebulan kemudian, dia kembali meneumui sang ustaz untuk menerima petunjuk berikutnya.
Katanya, “Wahai ustaz, sebulan sudah saya melaksanakan perintahmu. Bagaimana sekarang?”
Jawab ustaz, “Anakku, ilmu apa yang telah kau peroleh dari paku-paku tersebut?”
Anak muda ini menggelengkan kepalanya. Lalu, kata sang ustaz, “Anakku, anggaplah papan yang lebar itu sebagai hati seseorang dan paku itu adalah amarahmu. Setiap kali kau marah, paku itu kau tancapkan di papan. Setelah amaarahmu reda, lalu kaun cabut kembali paku itu. Ketahuilah, sesungguhnya begitulah akibat dari marah. Setelah amarahmu reda, engkau mencabut kembali paku itu. Namun, bagaimanapun juga, engkau telah meninggalkan luka di hati orang tersebut.”
Mendengar penjelasan gurunya, anak muda ini hanya terdiam. Ia kini menyadari betapa dahsyatnya akibat yang ditimbulkan oleh amarah. Dalam hati ia berjanji untuk tidak lagi menguumbar amarah dan menjadi orang yang sabar.

Hikmah cerita:
Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah saw. Mengibaratkan amarah itu seperti api yang bergejolak di dalam hati. Coba saja diperhatikan raut wajah orang marah. Matanya melotot dan memerah, urat-uratnya menonjol, dan wajahnya tertekuk seram, serta keluar dari mulutnya kata-kata yang kasar dan cacian. Pendeknya, tidak ada yang bagus sama sekali yang dapat dilihat dari orang yag sedang marah. Orang yang pemarah pun umumnya selalu dijauhi dan tidak disukai.
Rasulullah saw. Adalah contoh baik bagi yang ingin belajar sabar. Terhadap cacian, beliau mendoakan orang yang mencacinya. Tercatat dalam sejarah, beliau hanya marah satu kali saja. Itu pun marah yang menjadi solusi. Ketika membagi-bagi hasil rampasan perang ada beberapa pihak yang tidak puas. Maka beliau berkata , “Jika Allah dan Rasulnya sudah kalian anggap tidak adil, maka siapa lagi yang adil?”
Begitulah kemarahan Rasulullah saw yang membungkam beberapa pihak  yang meragukan keadilan Allah. Kalaupun harus mencela, beliau hanya berkata, “Semoga dahimu berlumuran debu dan tanah.”
Tidak ada gunanya mengumbar amarah karena hanya akan membuat setan tertawa senang. Kemarahan itu bersifat menghancurkan, baik menghancukan hati, menghancurkan keakraban, kedamaian, kegembiraan, maupun tali silaturahmi. Seperti yang telah digambrkan dalam cerita di atas, kemarahan itu tetap akan membekas di hati orang yang dimarahi. Walaupun keduanya sudah saling meminta maaf dan memaafkan. Oleh karena itu, masih maukah menjadi seorang pemarah?

Referensi:
Chalil komaruddin M. H. Hikmah di Balik Fenomena Kehidupan. Cet. I; Bandung: Pustaka Madani. 2007.



Tidak ada komentar: