Senin, 09 November 2015

makalah: proses munculnya aliran mu’tazilah

BAB 1
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Golongan mu’tazilah sering kita dengar sebagai golongan Islam rasionalis dimana ia cenderung mengedepankan akal dalam berijtihad. Golongan inilah sebagai “leluhur” Islam liberal dan golongan Islam rasionalis yang sekarang berkembang pesat sebagai golongan Islam kiri. Mu’tazilah dalam pandangan politiknya, cenderung bersikap netral terhadap politik praktis yang berkembang pada saat itu. Ia tidak memihak terhadap perseteruan antara Ali dan Muawiyah. Ia cenderung memisahkan diri dari barisan antara aliran yang bertentangan dan lebih suka dalam urusan mereka, yakni mengaji Al-Quran dan hal-hal keagamaan lainnya, daripada harus berurusan dengan kepentingan politik antara pihak-pihak yang berseberangan pendapat secara politis.
Sehingga Dalam makalah ini, akan diulas secara jelas bagaimana sejarah lahirnya Mu’tazilah, perjalanan, doktrin teologis, hingga politik yang dijalankan Mu’tazilah, dan berbagai ulasan lain bagaimana peran Mu’tazilah dalam dunia politik Islam.
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana proses munculnya aliran mu’tazilah ?
2.    Ajaran apa saja yang terkandung di dalam aliran Mu’tazilah ?
C.       Tujuan
pada era dewasa ini pemikiran Mu’tazilah dengan nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan “Aqlaniyah”, Modernisasi pemikiran. “Westernasi” dan “Sekulerisme” serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran.
            Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis Kristen dan Yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji kelompok ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya.

Dengan semangat itulah, penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Mu’tazilah dalam makalah ini, yang pada intinya penulis ingin sedikit berbagi informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana kaum Mu’tazilah itu?.
D.      Manfaat
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Banyak yang mengidentikkan Mu’tazilah dengan nyeleneh, sesat, cenderug merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang menganggap Mu’tazilah sebagai main icon kebangkitan umat Islam di masa keemasannya, sehingga berfikiran bahwa umat Islam mesti menghidupkan kembali ide-ide aliran ini untuk kembali bangkit. Itu adalah sebagian dari sekian banyak fakta lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok ini memang tergolong kontroversial.
Dalam hal ini, diharapkan agar generasi selanjutnya tidak terjerumus tehadap aliran-aliran yang jelas-jelas ajarannya sangat bertentangan dengan agama islam.





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Sejarah Lahirnya Mu’tazila
mu’tazilah merupakan ism fa’il yang berakar dari kata ‘azala-i’tazala, yang berarti memisahkan-menyingkir atau memisahkan diri. Maka secara bahasa Mu’tazilah berarti orang yang memisahkan diri. Sedangkan untuk memahami Mu’tazilah dari sudut pandang terminologi, dalam hal ini Mu’tazilah sebagai sebuah kelompok atau aliran, perlu kiranya ditelusuri kapan, untuk siapa pertama kali istilah ini digunakan dan mengapa?.Dari literatur yang penulis dapatkan, terdapat dua versi tentang awal penggunaan term ini:
Pertama, Mu’tazilah adalah istilah yang digunakan bagi kelompok pengikut Washil bin ‘Atha’ (80 H-131 H) yang memisahkan diri dari halaqah ta’lim al-Hasan al-Bashri (21 H-110 H). Hal ini dapat ditemukan dalam al-Milal wa al-Nihal, al-Syahrastani berkata :
“…seseorang mendatangi halaqah ta’lim al-Hasan al-Bashri, lalu bertanya: “Wahai Imamuddin (guru besar agama), di zaman kita ini telah muncul suatu jemaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar, karena menurut mereka dosa besar itu kufur, mengeluarkan mereka dari agama, mereka itulah golongan Khawarij. Dan ada juga golongan lain yang menangguhkan hukum pelaku dosa besar, dan dosa besar itu sendiri menurut mereka tidaklah merusak keimanan, karena mereka menganggap amal tidak termasuk bagian dari iman, dan perbuatan maksiat tidak akan merusak iman, sebagaimana ketaatan tidak berguna bagi kekufuran, mereka itulah golongan Murji’ah. Maka bagaimanakah Anda memberikan keputusan kepada kami tentang masalah ini dari sisi akidah?”. Lalu al-Hasan berfikir menimbang-nimbang, sebelum sempat beliau menjawab, Washil bin ‘Atha’ berkata: “Saya tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mukmin sepenuhnya (mutlak) dan juga tidak kafir sepenuhnya (mutlak), melainkan dia berada di suatu tempat antara dua tempat (manzilah baina al-manzilatain), tidak mukmin dan tidak juga kafir”, kemudian dia berdiri meninggalkan majelis, pindah ke sisi masjid lainnya, untuk mengajarkan pahamnya kepada segolongan murid (pengikut) al-Hasan, kemudian al-Hasan berkata: “Washil telah memisahkan diri dari kita ( اعتزل عنا واصل )”, maka dinamakanlah dia dan para pengikutnya dengan Mu’tazilah”.
Dari teks tersebut jelas bahwa tindakan Washil yang memisahkan diri dari majelis al-Hasan al-Bashri merupakan sebab penamaan mereka dengan Mu’tazilah, dan yang mengungkapkan istilah itu adalah Imam al-Hasan al-Bashri. Ini adalah versi yang paling banyak dipakai.
Aliran ini muncul di zaman Bani Umayyah. Penulis belum menemukan literatur yang secara pasti menyebutkan tahun berapa terjadinya peristiwa yang disebutkan al-Syahrastani di atas, namun dengan memperhatikan usia tokoh-tokoh yang terlibat dalam kemunculannya, maka bisa diperkirakan bahwa aliran ini muncul di sekitar tahun 100 H-110 H, dan ini sesuai dengan pendapat al-Maqrizi yang mengatakan bahwa mereka muncul setelah abad I Hijriyah.
Kedua , Mu’tazilah adalah kelompok yang tidak ingin terlibat dalam sengketa panjang antara golongan Ali dan Mu’awiyah, khususnya lagi ketika Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah . Mereka lebih memilih untuk meniggalkan urusan-urusan politik dan menghabiskan waktu untuk beribadah dan memperkuat akidah dengan metode pemahaman Ulama Salaf. Maka bisa dikatakan bahwa politik adalah penyebab munculnya kelompok ini.
Penggunaan istilah Mu’tazilah untuk mereka dapat dilihat dalam perkataan beberapa penulis sejarah klasik, seperti yang dikutip Ali Mushthafa al-Gharabi dari ungkapan Abul Fida’ dalam bukunya al-Akhbar: “…dan mereka menamai kelompok tersebut (yang memisahkan diri dari golongan Ali dan Mu’awiyah) dengan Mu’tazilah karena mereka tidak ikut membai’at Ali”. Beliau juga mengutip dari kitab al-Aghani: “..dan ayah Sya’ir, Ayman bin Khuzaim, adalah salah seorang yang memisahkan diri atau tidak ikut terlibat (اعتزل) dalam perang Jamal dan Shiffin, dan dia juga tidak ikut dalam peristiwa-peristiwa setelah kedua perang tersebut”. Demikian juga yang beliau dapatkan dari Tarikh al-Thabari, bahwa Qais bin Sa’ad menulis surat kepada Ali: “Saya menghadapi orang-orang mu’tazilah/yang mengasingkan diri (rijalan mu’tazilin), mereka meminta saya agar membiarkan mereka samapi kondisi umat stabil”.
Mu’tazilah versi ini diperkirakan muncul sekitar tahun 35 H atau 36 H, karena Ali Mushthafa al-Gharabi mengutip perkataan Abul Fida’ tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 35 H, dan mengutip dari Tarikh al-Thabari tentang peristiwa tahun 36 H.
Dari dua versi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.         Mu’tazilah versi pertama dan kedua berbeda dari sisi latar belakang munculnya. Versi pertama muncul dilatarbelakangi oleh masalah akidah (teologi), yaitu tentang nasib pelaku dosa besar, sedangkan versi kedua muncul dilatarbelakangi oleh masalah politik, yaitu konflik politik antara golongan Ali dan Mu’awiyah yang berujung pada penyerahan kekuasaan oleh Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah.
2.         Mu’tazilah versi kedua lebih dahulu muncul dari Mu’tazilah versi pertama.
3.         Yang menjadi objek pembahasan makalah ini tentunya versi yang berkaitan dengan teologi, yaitu Mu’tazilah versi pertama yang memang Mu’tazilah inilah yang dimaksudkan oleh orang-orang yang membicarakan term Mu’tazilah di sepanjang zaman sejak munculnya.
Meskipun kedua versi ini berbeda, namun C.A. Nallino, seorang orientalis Italia, berpendapat bahwa golongan Mu’tazilah yang muncul belakangan mempunyai hubungan yang erat dengan golongan Mu’tazilah yang muncul pertama kali, dan Mu’tazilah kedua adalah lanjutan dari golongan Mu’tazilah pertama. Pendapat ini berdasarkan kepada pendapat al-Mas’udi yang lebih cenderung mengatakan bahwa Mu’tazilah adalah golongan yang berdiri netral di antara Khawarij, yang memandang Utsman, Ali, dan Mu’awiyah dan pelaku dosa besar lainnya kafir, dan Murji’ah, yang memandang mereka tetap mukmin. Barangkali Nallino melihat ada titik temu antara kedua kelompok ini dari sisi politik, bahwa Mu’tazilah pertama murni terbentuk karena faktor politis, sedangkan yang kedua walaupun pada dasarnya terbentuk karena faktor teologis, namun faktor teologis itupun berakar pada faktor politis yang tidak jauh beda dengan faktor politis yang membentuk Mu’tazilah versi pertama. Namun meskipun ada pertalian antara keduanya, kita agak sedikit kesulitan menganalisa sisi lain yang cukup berbeda dari kedua kelompok ini, bahwa Mu’tazilah pertama cenderung meninggalkan masalah politik dan berkosentrasi pada urusan ibadah serta berakidah seperti paham Ulama Salaf yang tidak merasionalkan masalah-masalah keimanan dan hal-hal ghaib secara mendalam, sementara Mu’tazilah generasi kedua justru dengan pembahasan masalah dosa besar itu, mereka secara tidak langsung terlibat dalam masalah politik, dan mulai lari dari paham akidah Ulama Salaf. Maka, penulis melihat pendapat Nallino tersebut tidak bisa diterima secara utuh, dan juga tidak bisa ditolak secara utuh, karena sesuatu yang tidak bisa diterima secara utuh, juga tidak bisa ditolak secara utuh (ma la yuqbalu kulluh la yutraku kulluh), artinya masih bisa diperdebatkan secara bebas (qabil lin niqasy).
Dengan memperhatikan penjelasan diatas, maka istilah Mu’tazilah yang penulis maksud dalam makalah ini adalah: aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atha’ dan temannya ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan temannya ‘ Amru bin Ubaid.
Walaupun Mu’tazilah yang dibangun Washil bin ‘Atha’ baru muncul pada akhir abad I H atau awal abad II H, akan tetapi di dalam literatur mereka, Mu’tazilah justru mengatakan bahwa mazhab mereka sudah ada, jauh sebelum perinstiwa antara Washil dan al-Hasan al-Bashri. Mereka memasukkan banyak Ahlul Bait ke dalam barisan mereka, demikian juga dengan al-Hasan al-Bashri, karena ia memiliki ide yang tidak jauh beda dengan mereka dalam masalah takdir dan pelaku dosa besar. Bahkan Ibnu al- Murtadha dalam kitab al-Munyah wa al-Amal menyebutkan ranji silsilah mazhab mereka sampai kepada Rasulullah SAW          Penulis sendiri melihat bahwa aliran ini sebagai sebuah ide (fikrah dan madrasah) sudah ada sebelum keberadaan Washil bin ‘Atha’, sedangkan yang terjadi pada masa Washil adalah munculnya aliran ini sebagai sebuah kelompok (firqah). Sama seperti ideologi-ideologi lain yang ada di dunia, penulis juga meyakini bahwa Mu’tazilah sebagai sebuah ideologi tidak bisa dikikis habis dari muka bumi, paling kurang semangatnya akan terus ada.
Para pakar memiliki beragam alasan tentang penamaan aliran ini dengan Mu’tazilah, namun semua pada intinya semua alasan berkisar sekitar arti kata-kata í’tazala (memisahkan diri, menjauhkan diri, atau menyalahi pendapat orang lain). Diantara alasan-alasan tersebut sebagai berikut :
1.         Disebut Mu’tazilah, karena Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amru bin ‘Ubaid menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian al-Hasan al-Basri di mesjid Basrah, kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak mukmin secara mutlak, juga tidak kafir secara mutlak, melainkan berada di suatu tempat di antara dua tempat (tingkatan) tersebut. Karena sikap ini, maka mereka disebut “orang Mu’tazilah” (orang yang menjahakn diri/memisahkan diri).
2.         Menurut riwayat lain, disebut Mu’tazilah karena mereka menjauhkan (menyalahi) semua pendapat yang telah ada tentang orang yang mengerjakan dosa besar. Golongan Murji’ah mengatakan bahwa pelaku dosa besar masih termasuk orang mukmin. Menurut golongan Khawarij Azariqah, ia menjadi kafir. Datanglah Washil bin ‘Atha’ untuk mengatakan bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin, bukan pula kafir, melainkan menjadi fasik. Menurut riwayat ini, sebab penamaan ini lebih bersifat ma’nawiyah, yaitu menyalahi pendapat orang lain, sedangkan sebab penamaan yang pertama bersifat lahiriyah, yaitu pemisahan secara fisik (menjauhkan diri dari tempat duduk orang lain).
3.         Disebut Mu’tazilah karena pendapat mereka yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar berarti menjauhkan diri dari golongan orang-orang mukmin dan juga golongan orang-orang kafir. Perbedaan riwayat ini dengan yang sebelumnya (kedua) adalah: menurut riwayat kedua, kemu’tazilahan (i’tizal) menjadi nama (sifat) golongan itu sendiri karena mereka mencetuskan pendapat baru yang menyalahi orang-orang sebelumnya, sedang menurut riwayat ketiga, kemu’tazilahan (i’tizal) pada awalnya menjadi sifat si pelaku dosa besar itu sendiri, kemudian menjadi sifat/nama golongan yang berpendapat demikian (yaitu pelaku dosa besar memisahkan diri dari orang-orang mukmin dan orang-orang kafir).
Dari penjelasan di atas, tentang penamaan aliran ini dengan Mu’tazilah, jelas bahwa penamaan ini bukanlah berasal dari kalangan Mu’tazilah sendiri, namun dari pihak lain, dalam hal ini secara kongkritnya adalah al-Hasan al-Bashri yang mengungkapkan: “Washil telah mengasingkan diri dari kita” (اعتزل عنا واصل). Kalangan Mu’tazilah sendiri pada awalnya tidak senang dengan sebutan ini, sebab sebutan ini bisa disalahartikan oleh lawan-lawannya dengan konotasi negatif untuk menyudutkan mereka. Karena tidak ada jalan untuk menghindarinya, sehingga merekapun mengemukakan alasan kebaikan penggunaan nama Mu’tazilah bagi mereka, seperti yang dilakukan Ibnu al-Murtadha dalam kitab al-Munyah wa al-Amal, dia mengatakan bahwa mereka sendiri yang memberikan nama itu atas diri mereka, bukan kelompok lain, dan mereka tidak menyalahi Ijmak, akan tetapi sebaliknya justru mereka menggunakan Ijmak yang ada di masa-masa awal Islam. Bahkan Ibnu al-Murtadha juga menggunakan al-Qur’an dan Hadits untuk mendukung penamaan ini, seperti:
1.QS.Al-Muzammil:10“..dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”
Menjauhi mereka adalah dengan i’tizal (memisahkan diri) dari mereka.
2.Hadits:
                                                               
من اعتزل الشر سقط في الخير

“Siapa yang menjauhi keburukan, akan jatuh dalam kebaikan”
Sesungghnya yang dilakukan Ibnu al-Murtadha ini hanyalah usaha untuk menutupi kelemahan dan membantah tudingan-tudingan negatif dari lawan-lawan mereka.
Disamping Mu’tazilah, banyak nama lain yang mereka sandang, seperti Ahlu al-’Adli wa al-Tauhid, Ahlu al-Haq, al-Qadariyah, al-Jahmiyah, al-Khawarij, al-Wa’idiyah, dan al-Mu’aththilah. Namun mereka lebih menyukai istilah Ahlu al-’Adli wa al-Tauhid (golongan keadilan dan tauhid) sebagai nama bagi golongan mereka. Istilah ini diambil dari dua prinsip dari lima prinsip yang menjadi dasar seluruh ajaran mereka (al-ushul al-khamsah).
Meskipun banyak kalangan yang mengkonotasikan nama Mu’tazilah dengan makna negatif, tapi pada dasarnya istilah ini adalah istilah biasa yang netral, tidak berkonotasi positif ataupun negatif, hanya saja pada masa-masa berikutnya dalam perkembangan aliran ini, mereka mulai memunculkan paham-paham yang dianggap aneh dan berbahaya oleh jumhur, sehingga lambat laun istilah ini menjadi berkonotasi negatif.
B.        Pandangan-Pandangan Pokok Aliran Mu’tazilah
Ø  Menurut   aliran muktazilah  mereka  tidak  mengakui   sifat-sifat   allah, al-quran  mereka anggap  sebagai  makhluk allah  swt  kelak  diakhirat  tidak  di lihat oleh  mata kepada manusia.
Ø  Menurut  aliran muktazilah  metakkan   pertanggung  jawaban  manusia  atas segala  perbuatannya.
Ø  Janji dan ancaman allah swt  tidak  akan diingkari oleh allah  swt.
Ø  Menurut  aliran  muktazilah seorang muslim  melakukan  dosa besar   ia  tergolong  bukan mukmin  tapi  tergolong  kafir ,mereka   terkategori  fasik  dan tempatnya   adalah ‘’ALMANSILATUL MANSILA TAIN ‘’,atau  posisi di antara dua posisi.




A.      Ajaran Dasar Mu’tasilah
Lima ajaran dasar teologi Mu’tazilah yaitu :
1.    Tauhid (pengEsaan Tuhan)
Tauhid adalah dasar agama islam yang pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan monopoli aliran Mu’tazilah saja, tetapi ia menjadi milik setiap orang islam. Hanya sajaaliran Mu’tazilah  mempunyai tafsir yang khusus, sedemikian rumah dan mereka mempertahankannya, sehingga mereka menekan diri mereka sebagai Ahlul Adil Wat tauhid. Tauhid yang mereka pakai itu merupakan perinsip utama dalam aliran Mu’tazilah.. sampai-sampai mereka menolak konsep-konsep sebagai berikut :
a)    Tuhan memiliki sifat, yaitu hal yang mereka percayai bahwa sifat adalah sesuatu yang melekat, sedangkan Tuhan dalam hal ini ialah Dzat yang terdahulu.
b)    Pengembangan fisik, yaitu mereka berlandaskan atas firman Allah yaitu :
Artinya :” tak ada satupun yang menyamainya” (asy-syura : 9 )
Tuhan dapat di lihat dengan mata Karena Tuhan merupakan immateri (tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan juga tidak berbentuk)
Jadi dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa sangat tampak betapa aliran Mu’tazilah itu menyusun jalan pemikirannya secara filosofi yang  jilimed, dan kadang bertentangan dengan apa yang sudah di tanamkan dalam keyakinan kita sebagai seorang muslim.
2.    Tuhan Maha Adil
Allah itu selalu adil dalam tiap-tiap janjinya. Oleh karena itu, aliran Mu’tazilah percaya akan adanya surga dan neraka yang merupakan salah-satu balasan dan janji Tuhan mereka, di dalam ajaran dasar yang ke dua ini, di percayai akan adanya keyakinan pembuatan manusia, manusia melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan,secara langsung ataupun tiadak ,dan yang terpenting ialah Tuhan itu hanya menyuruh kepada hal yang baik.di sini Tuhan itu memiliki kewajiban unuk berbuat baik, bahkan yang terbaik bagi manusia. Mengutus Rasul merupakan kewajiban Tuhan, karena alasan-alasan sebagai berikut :
a)    Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan untuk mewujudkannya maka Tuhan mengutus Rasul kepada mereka.
b)    Tuhan memberi belas kasih kepada msnusia, cara terbaik ialah dengan mengutus Rasul.
c)    Tujuan di ciptakan manusia ialah beribadah kepadanya. Jalan untuk berhasil mencapai tujuan tersebut ialah mengutus Rasul.
3.    Janji dan ancaman
Tuhan berjanji akan memberi pahala dan mengancam akan menjatuhkan siksaan, pasti di laksanakan karena Tuha sudah berjanji demikian. Siapa yang berbuat baik, maka di balas dengan kebaikan dan sebaliknya, mereka yang berbuat kejahatan akan di balas dengan kejahatan. Sebagaiman yang mereka (aliran Mu’tazilah) katakan
وغلا بعضهم فيالتعبير فقا ل يحب علي الله ان ال ربطا حثما ثم ربطواالثواب والعقاب ب لاعمفصاحب الكبيرة
إزا ما ت ولم يثب لا يخو ز أن يعفو  الله عنه لآنه ,يثبت المطيع ويعاقب مر تكب الكثيرة ولآن الطل عا ت  والآمربها ,فلولم يعاقب لزمالخلف في وعيده بالعقاب علي الكبابربه اوعد (ةلز ت ع م ل ا موق ل ي أ ل از ت ع ال ا لوق اده ) والمعا صيى والنهي عنها                                                                            
Yang artinya : “kemudian mereka menghubungkan dengan ikatan yang kuat antara pahala dan siksaan itu dengan amal perbuatan. Sebagian Mu’tazilah keterlaluan pendiriannya, mengatakan :  wajib bagi allah memberi pahala bagi orang yang taat  dan menyiksa orang berdosa besar.orang yang berdosa besar apabila meninggal dan tidak bertaubat Allah tidak boleh mengampuninya, bahwa Allah telah mengancam siksaan atas orang yang berdosa besar. Kalau seandainya tak menyiksanya, berarti Allha mengingkari ancamannya. Taat kepadanya adalah perintah dan maksiat adalah larangannya. (perkatatn iktizal atau kaum Mu’tazilah)”.
Jadi, jika kita berlaku baik dan tidak melanggar apa yang telah Tuhan berikan, maka Tuhan akan memberikan semua janji-janjinya yakni Surga. Berlaku begitu juga sebaliknya siapa yang melanggar maka neraka selalu menanti.
Kata-kata توبةنصوح (taubat yang sebenar-benarnya) itu berlaku dalam aliran Mu’tazilah. Ini bertujuan mendorong manusia agar berbuat baik dan tidak berbuat dosa.
4.    Tempat di antara dua tempat
Washil Bin Atho’ mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar selain musyrik dan belum sempat bertaubat, maka ia yidak di katakan mukmin dan tidak juga kafir. Tetapi ia di angga[ fasik, yang mana fasik itu terletak antara iman dan kafir. Sebagai mana yang telah di ucapkan oleh aliran Iktizal (kaum Mu’tazilah)  ialah:
تبة فى شبته الله بظقه او جوره فى حكمه أوك ااناللكبا بر بعضها يصل من كبر ه إلى حد الكفر والفسق منز لة بين وهز ه الكبائرة
Yang artinya:”sesungnguhnya dosa besar sebagianya sampai ke batas kufur. Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluknya atau memperbolehkan sesuatu yang di haramkan  atau memdustakan firmannya dia benar-benar kufur, ini adalah dosa besar, paling sedikit berada pada suatu tempat. Dosa-dosa besar ini pelakunya di namakan fasiq. Fasiq itu berada pada suatu tempat di antara dua tempat, tidak kufur dan tidak pula beriman. Orang yang fasiq bukan mukmin bukan pula kafir,tetapi dia berada pada suatu di antara dua tempat (perkataan kaum Mu’tazilah).
Maka dari perkataan di atas bahwa yang di maksud bukan mukmin mutlak karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada tuhan. Bukan pula kafir mutlak karena ia masih percaya kepada tuhan, rasulnya dan masih mengerjakan  pekerjaan yang baik. Jika sebelum meninggal belum bertaubat, maka ia akan kekal di dalam neraka selamanya.
Fasiq juga akan di siksa dengan di masukkan ke dalam neraka. Namun, siksanya lebih ringan dari pada kafir. Inilah yang mendorong agar manusia tidak menyepelekan perbuatan dosa, terutama dosa besar.
5.    Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Prinsip ini lebih banyak behubungan dengan taklif dan lapangan fiqih daripada lapangan tauhid. Tapi sejarah menunjukkan betapa gigihnya kaum Mu’tazilah itu mempertahankan islam, memberantas kesesatan,untuk melaksanakan suatu ‘amar ma’ruf nahi mungkar’. Sebagaimana yang telah di firmankan oleh Allah SWT:
أولئك هم المقلحو ن ولتكن منكم أمة يد
Dari ayat di atas terdapat syarat-syarat yang harus mukmin penuhi dalam melaksanakan amal ma’ruf nahi mungkar ini yaitu :
a.    Mengetahui bahwa yang di suruh ialah ma’ruf (benar) dan yang di larang ialah mungkar (kejelekan).
b.    Mengetahui kemungkaran telah nyata di lakukan orang.
c.    Mengetahui perbuatan amal ma’ruf nahi mungkar tidak membawa mudarat yang lebih besar.
d.   Mengetahui\menduga bahwa tindakan tidak membahayakan dirinya ataupun hartanya.
Yang perluh di garis bawahi bahwasannya dari aliran Mu’tazilah ialah dalam setiap melaksanakan ajarannya termasuk dalam hal ‘amar ma’ruf nahi mungkar, mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan, meskipun terhadap sesama golongan islam, karena mereka berpegang teguh pendapat mereka, meskipun bertentangan dengan apa yang di firmankan oleh Allah. Dengan kata lain jika memang di perlukan kekerasan maka mereka akan menempuhnya.
Sampai sejarah telah memberikan ciri-ciri khusus daripada kaum Mu’tazilah, yaitu : suka berdebat, terutama di hadapan umum. Mereka yakin akan kekuatan akal fikiran yang mereka miliki, karena itulah mereka suka berdebat dengan siapa saja yang berbeda pendapat dengannya.
B.       Tokoh-tokoh dalam Aliran Mu’tazilah
1.         Pergerakan Mu’tazilah yang berada di bashrah, pada abad ke II H, di pimpin oleh:
a.         Washil Bin Athan (m. 131 H).
b.        Amr Bin Ubaid (m. 144 H).
2.         Pergerakan Mu’tazilah yang berada di Bashrah,pada permulaan abad ke III H, di pimpin oleh:
a.         Abu al-Hudzail Al-Allaf (m. 235 H).
b.        Ibrahim bin Sayyar An Naddham (m. 221 H).
c.         Abu Basyar Al Marisi (m. 218 H).
d.        Ibnu Al Mu’ammar (m. 210 H).
e.         Abu Ali Al Juba’i (m. 313 H).
3.        Pergerakan Mu’tazilah berada di Baghdad, dipimpin oleh:
a.         Basyar bin Al Mu’tamar
b.        Abu Musa Al Murda
c.         Ahmad bin Abi Dawud (m. 240 H).
d.        Ja’far bin Mubasysyar (m. 234 H).
e.         Ja’far bin Harib Al Hamdani (m. 235 H).
Adapun ulama-ulama yang terkenal dan berpengaruh dalam aliran Mu’tazilah, yaitu:
a.         Utsman Al Jahiz (m. 255 H), mengarang kitab Al Hiwan.
b.         Syarif Radli (m. 406 H), mengarang kitab Majazul Qur’an.
c.         Abdul Jabbar bin Ahmad, mengarang kitab Syarah Ushulil Khamsah.
d.        Zamakhsyari (m. 528 H)mengarang kitab tafsir Al kasysyaf.
e.         Ibnu Abi Haddad (m. 655 H), mengarang kitab Syarah Najhul Balaghah.
                                                    

























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran Mu’tazilah tersebut muncul di kota bashrah (iraq) pada abad ke II H tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk bashrah mantan murid Al Hasan Al-Bashri yang bernama Wasil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-gozzal,kemunculan ini adalah karena Washil bin atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik.Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin bedosa besar masih berstatus mukmin.Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan guru,dan akhirnya  golongan mu’tazilah pun di nisbahkan kepadanya.
Aliran yang berpandangan bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin,menjelaskan bahwa andai kata pelaku dosa besar di masukkan ke dalam neraka,ia tak akan kekal di dalamnya. Sebaliknya aliran yang berpendapat bahwa pelaku dosa besarbukan lagi mukmin , berpendapat bahwa di akhirat ia akan di masukkan di neraka dan kekal di dalamnya. Ini di wakili oleh Khawarij dan Mu’tazilah, meskipun di antaranya terdapat perbedaan yang tegas.
Bahwa Khawarij memandang pelaku dosa besar adalah kafir bahkan dikatakan musyrik, dan akan di masukkan di dalam neraka untuk selamanya sebagaimana hukuman yang serupa untuk orang-orang kafir, sementara Mu’tazilah memandang pelaku dosa besar sebagai fasiq yaitu di antara mukmin dan kafir dan akan di masukkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya namun hukumannya tak seberat, tak sepedih yang di alami oleh orang-orang kafir.
Pebedaan pendangan mengenai pelaku dosa besar, jika di tinjau dari sudut pandang wa’d wa’id, dapat di klasifikasikan menjadi dua kubu utama, yaitu kubu radikal dan kubu moderat. Kubu radikal diwakili oleh Khawarij dan Mu’tazilah, sementara sisanya merupakan kubu moderat.
B.     Saran
Harapan saya kepada para pembaca agar mengamalkan setiap ilmu yang di peroleh agar ilmu tersebut tidak sia-sia, dan kepada para pembaca khususnya bagi guru pembibing agar kiranya memperbaiki setiap kesalahan baik di sengaja maupun tidak di sengaja. Dalam uraian isi makalah ini khususnya.


















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad ameen, dluha islam, jus lll,cet.VII Nahdatul Misyriah, Cairo,tt.
Amin, Ahmad, Zu’ama al-Ishlah fi al-Ashr al-Haditsat, Maktabat al-Nahdhat al-Mishriyat, al-Qariyat, 1979
Iqbal,  Muhammad, Fiqih Siyasah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001                         
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran -Aliran Sejarah Analis Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986


Tidak ada komentar: