Senin, 09 November 2015

makalah: SEJARAH HADIS PADA PERIODE SAHABAT DAN TABI’IN ULUMUL HADIS

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Rasulullah Saw. memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dan memeriksa benar-benar suatu Hadis yang hendak disampaikan kepada orang lain. Oleh karena itu, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. para sahabatpun sedikit demi sedikit menyampaikan Hadis kepada orang lain.
Para sahabat setelah wafatnya Rasul tidak lagi berdiam di kota Madinah, mereka pergi kekota-kota lain. Maka penduduk kota lainpun mulai menerima Hadis dan para Tabi’in mempelajari Hadis dari para sahabat itu. Dengan demikian mulailah berkembang riwayat dalam kalangan Tabi’in.
Riwayat Hadis pada permulaan periode sahabat masih sangat terbatas, hanya disampaikan kepada yang memerlukan saja dan bila perlu saja, belum bersifat pelajaran.
Perkembangan Hadis dan membanyakkan riwayatnya, terjadi setelah sesudah masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab atau masa Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab belum diperluaskna, mereka mengerahkan minat ummat (sahabat) untuk menyebarkan Al-qur’an dan memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dalam menerima riwayat Hadis.
Maka dari dari itu, makalah ini kami harapkan dapat menjadi acuan dan sarana untuk mengetahui serta dapat mempelajari mengenai Sejarah Hadis Periode Sahabat dan Tabi’in, agar dapat memahami bagaimana sejarah islam dalam pembukuan Hadis.   





B.       Rumusan Masalah
1.      Siapa yang disebut Sahabat dan Tabi’in?
2.      Bagaimana Sejarah Hadis pada Periode Sahabat?
3.      Bagaimana Sejarah Hadis pada Perode Tabi’in?
C.      Tujuan
1.      Mengetahui Pengertian Sahabat dan Tabi’in serta mengetahui siapa saja yang termasuk Sahabat dan Tabi’in
2.      Mengetahui Sejarah Hadis pada Periode Sahabat
3.      Mengetahui Sejarah Hadis pada Periode Tabi’in














BAB II
PEMBAHASAN
A.  SAHABAT DAN TABI’IN
1.    Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H masa ini disebut dengan masa sahabat besar.[1]
Setelah mengetahui sejerah perkembangan hadis yang kedua adalah pariode sahabat maka akan timbul pertanyaan “siapa yang disebut sahabat” maka jawabannya antara lain:
1.    Orang yang pernah berjumpah dengan Nabi Muhammad Saw dengan beriman kepadanya dan mati sebagai orang islam.
2.    Orang yang lama menemani Nabi Muhammad Saw. Dan berulang kali mengadakan perjumpaan dengannya dalam rangka mengikuti dan mengambil pelajaran darinya.
3.    Orang islam yang pernah menemani Nabi Muhammad Saw. Atau melihatnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sahabat itu mempunyai unsur bergaul dengan Nabi dan mereka beragama Islam. Jika periode Rasul adalah periode ketika Rasul masih hidup, yang sering disebut periode wahyu dan pembentukan tata aturan isalam, maka yang disebut periode sahabat adalah periode sesudah Nabi Muhammad Saw. wafat.[2]
Begitu banyaknya sahabat nabi sehingga tidak dapat dihitung secara pasti. Mereka juga tidak bersamaan masuk islam sehingga pengelompokan sahabat ini dapat dilihat dari tingkat keutamaannya.
Ø Sahabat yang masuk islam di Mekkah, seperti Abu Bakar, Umar, Usman.
Ø Sahabat yang tergabung dalam Dar al nadwah.
Ø Sahabat yang turut hijrah bersama Nabi Muhammad Saw.
Ø Sahabat yang membai’at Nabi Saw. di Aqabat al-Ula.
Ø Sahabat yang ikut berperang bersama Nabi Saw. (perang Badar)
Ø   Para remaja dan anak-anak yang sempat melihat Rasulullah.[3]
2.    Tabi’in
Tabi'in artinya pengikut, yaitu orang Islam yang masa hidupnya setelah para Sahabat Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad. Usianya tentu saja lebih muda dari Sahabat Nabi bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja pada masa Sahabat masih hidup. Tabi'in disebut juga sebagai murid Sahabat Nabi. Seperti Al- Qaasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq, Al-Hasan Al-Bashriy, Abu Hanifah Umar bin Abdul Aziz.
                     



   










B.  SEJARAH HADIS PERIODE SAHABAT
Pada tahun sekitar 11 H sampai 40 H periose ini disebut dengan masa sahabat besar. Karena pada periode ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan terlihat masih dibatasi. Oleh karena itu, periode ini oleh para ulama menganggap sebagai periode yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan.
1.    Manjaga pesan Rasul Saw.
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul Saw. berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana sabdanya:



“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Hadis)’’. HR. Malik
Dan sabdanya pula:

 “sampaikan dariku walau satu ayat/ satu hadis.’’ (HR. Al-Bukhari).
       Pesan-pesan Rasul Saw. sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesan kecintaan mereka kapada Rasul SAW. dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya.
2.    Berhati- hati dalam meriwayatkan dan menerima Hadis
Perhatian para sahabat pada masa ini difokuskan pada usaha pemeliharaan dan menyebarkan Al-Qur’an. Ini terlihat bagaiman Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar ibn Khattab. Usaha pembukuan ini juga diulang pada masa Usman ibn Affan.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber tasyri’ setelah Al-Qur’an yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaiman al-qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya khulafa’urasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, Ali) dan sahabat lainnya, seperti Zubair, ibn Abbas dan ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.[4]
Abu Bakar
Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara Hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima Hadis dengan hati-hati, Misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek datang kepadanya mengatakan “Saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh putra anak laki-laki saya .”  kata Abu Bakar, “ Saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari al-qur’an maupun dari Rasul.” Lebih lanjut khalifah berkata, “ siapa diantara kalian yang mendengar ketentuan itu dari Rasul?” maka tampillah Muhammad bin Maslamah sebagai saksi bahwa seorang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian seperenam (1/6) harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya. Kemudian Abu Bakar memberikan bagian tersebut.[5]
Umar bin Khattab
       Sikap kehati-hatian juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Perlu pula dijelaskan bahwa, pada masa Umar bin Khattab belum ada usaha secara resmi  untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab seperti Al-qur’an. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat islam) dalam mempelajari Al-qur’an. Alasan kedua, para sahabat banyak menerima hadis dari Rasul SAW. sudah tersebar keberbagai daerah kekuasaan islam, dengan kesibuknnya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini ada kesulitan untuk mengumpulkan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal pembukuan hadis, dikalangan para sahabat sendiri terjadi terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.[6]

          Abu Hurairah seorang sahabat terbanyak meriwayatkan hadis, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadis dimasa Umar, lalu menjawab “ sekiranya aku meriwayatkan hadis dimasa umar bin khattab seperti aku meriwayatkannya kepadamu, niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya.[7]
3.    Periwayatan hadis dengan lafaz dan makna
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya bukan berarti hadis-hadis Rasul tidak diriwayatkan, khususnya berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadis tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul Saw. pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul Saw.) dan kedua dengan jalan periwayatan maknawi            (maknanya saja).
a.    Periwayatan lafzhi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan lafzhi, adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persisi seperti yang disampaikan kepada Rasul Saw. ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul Saw.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasul Saw. bukan menurut redaksi mereka. Sebagian dari sahabat secara ketat melarang meriwayatkan dengan maknanya saja, hingga satu huruf atau satu katapun tidak beleh diganti.
Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan jalan lafzhi adalah ibnu Uamar. Ia sering kali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul Saw., seperti yang pernah dilakukannya terhadap Ubaid ibn Amir yang menyebutkan hadis tentang lima prinsip dasar islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyeruh agar meletakkan urutan keempat, sebagaimana yang didengarnya dari rasul Saw.
b.    Periwayatan maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang perpendapat, bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul Saw., boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari         Rasul Saw. akan tetapi, isi atau maknanya tetap secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul Saw. tanpa ada perubahan sedikitpun.[8]















C.  HADIS PADA PERIODE TABI’IN
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka mengikuti jejek para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada periode         Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushap. Di pihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifaan Usman. Para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Kepada merekalah para Tabi’in mempelajari Hadis.
Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol, disamping Madina, Makkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, menyebarnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan Hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar).
1.    Pusat-Pusat Hadis
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para  Tabi’in dalam mencari Hadis ialah.
a.    Madina
Di antara tokoh-tokoh hadis di kota Madina dalam kalangan sahabat ialah: Abu Bakar, Umar, Ali (sebelum berpindah kekufah), Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Umar, Abu sa’id Al Khudri dan Zaid bin Tsabit.
Di antara sarjana-sarjana tabi’in yang belajar pada sahabat-sahabat itu ialah: Sa’id, Urwah, Az Zuhri, Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah ibn Mas’ud, Salim ibn Abi Bakar, Nafi, Abu Bakar ibn Abdir Rahman ibn Al Harits ibn Hisyam dan Abul Sinad.
b.    Makkah
Di antara tokoh Hadis Makkah, ialah: Mu’adz, kemudian Ibnu Abbas. Di antara tabi’in yang belajar padanya ialah: Mujahid, Ikrimah, Atha ibn Abi Rabah, Abu Zubair Muhammad ibn Muslim.

c.       Kufah  
     Ulama sahabat yang mengembangkan hadis di Kufah ialah: Ali, Abdullah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Sa’id ibn Zaid, Khabbah ibn Al Arat, Salman Al Farisy, Hudzaifah Ibnul Yaman, Ammar ibn Yasir, Abu Musa-Al Baraq Al-Mughirah, Al-nu’Man, Abul Thufail, Abu Juhaifah dan lain-lain.
d.      Bashrah
     Pemimpin hadis  di basrah dari golongan sahabat ialah: Anas ibn malik, Utbah,’ imran ibn husain, Abu Barzah, ’Abdullah ibn syakhir, ’Ma’qil, Abu bakar, ibn Yasar ,Abd rahman ibn samurah, ’Abdullah ibn yikhkhir dan jahraiah ibn kudamah.
    Sarjana-sarjana tabi’in yang belajar pada mereka antara lain ialah: Abul’Aliyah, Rafi’ ibn Mihram Al Riyahy, Al Hasan Al Bishry, Muhammad ibn Sirim, Abu say’tsa’, Jabir ibn Zaid, Qatadah, Mutaharraf ibn Abdullah, Ibn Syikhir dan Abu Bardah ibn Abi Musa.
e.    Syam
    Tokoh hadis dari sahabat di syam ini ialah: Mu’adz ibn Jabal, Ubadah ibn Shamit  dan Abu Darda’. Pada beliau-beliau itulah banyak tabi’in belajar diantaranya: Abu Idris Al Khaulany, Qabisah ibn Dzuaib, Makhul, Raja ibn Haiwah.
f.     Mesir 
Di antara sahabat yang mengembangkan hadis di Mesir ialah: Abdullah  ibn Amer, ’Uqbah ibn Amir, Khrijah ibn Hudzaifah, Abdullah ibn Sa’ad, Muhammiyah ibn Juz, Abdullah ibn Harits, Abu khair, Basyrah, Abu Sa’ad Al Khair, Mu’adz ibn Anas Al juhary.
Ada kira-kira 140 orang sahabat yang mengembangkan hadis di Mesir di antara tabi’in yang belajar pada mereka, ialah Abul Khair Martsad Al Yasini dan Yazid ibn Abi Habib.  
Dengan masuknya hadis dalam fase ini, mulailah hadis mendapatkan perhatian yang luas dan dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Para tabi’in memindahka isi hati mereka sebelum berpulan. Perkunjungan para sahabat ke sebuah kota, sungguh menarik perhatian para tabi’in. Mereka mendatangi sahabat untuk menerima Hadis yang ada pada sahabat itu.
Di antara sahabat yang banyak meriwayatkan Hadis ialah:
1.    Abu Hurairah, meriwayatkan Hadis sebanyak 5374 Hadis.
2.    Abdullah ibn Umar, meriwayatkan Hadis sebanyak 2630 Hadis.
3.    Anas ibn Malik, meriwayatkan Hadis sebanyak 2276 Hadis.
4.    Aisyah, meriwayatkan Hadis sebanyak 2210 Hadis.
5.    Abdullah ibn Abbas, meriwayatkan Hadis sebanyak 1660 Hadis.
6.    Jabir ibn Abdullah, meriwayatkan Hadis sebanyak 1540 Hadis.
7.    Abu Said Al Khudry, meriwayatkan Hadis sebanyak 1770 Hadis.[9]
2.    Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits
 Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok.
Dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadits. Pengaruh yang berlangsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadits-hadits palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Adapun pengaruh yang berakibat positif, adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong di adakannya kodifikasi atau Tadwin hadits, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolaan politik tersebut.
BAB III
   PENUTUP
A.  Simpulan
1.    Pengertian sahabat dan tabi’in
Ø Sahabat
a)    Orang yang pernah berjumpah dengan Nabi Muhammad Saw dengan beriman kepadanya dan mati sebagai orang islam.
b)   Orang yang lama menemani Nabi Muhammad Saw. Dan berulang kali mengadakan perjumpaan dengannya dalam rangka mengikuti dan mengambil pelaharan darinya.
c)    Orang islam yang pernah menemani Nabi Muhammad Saw. Atau melihatnya.
Ø  Tabi’in
Tabi'in artinya pengikut, yaitu orang Islam awal yang masa hidupnya setelah para Sahabat Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad. Usianya tentu saja lebih muda dari Sahabat Nabi bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja pada masa Sahabat masih hidup. Tabi'in disebut juga sebagai murid Sahabat Nabi.
2.    pada periode sahabat perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan terlihat masih dibatasi. Oleh karena itu, periode ini oleh para ulama menganggap sebagai periode yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan terutama pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
3.    Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka mengikuti jejek para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada periode Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushap. Di pihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifaan Usman. Para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Kepada merekalah para Tabi’in mempelajari Hadis.  Di antara sahabat yang banyak meriwayatkan Hadis ialah:
8.    Abu Hurairah, meriwayatkan Hadis sebanyak 5374 Hadis.
9.    Abdullah ibn Umar, meriwayatkan Hadis sebanyak 2630 Hadis.
10.     Anas ibn Malik, meriwayatkan Hadis sebanyak 2276 Hadis.
11.     Aisyah, meriwayatkan Hadis sebanyak 2210 Hadis.
12.     Abdullah ibn Abbas, meriwayatkan Hadis sebanyak 1660 Hadis.
13.     Jabir ibn Abdullah, meriwayatkan Hadis sebanyak 1540 Hadis.
14.     Abu Said Al Khudry, meriwayatkan Hadis sebanyak 1770 Hadis
B.  Saran
Sebagai Mahasiswa dengan Prodi Pendidikan Agama Islam, Wajib untuk mengetahui, memahami, serta mempelajari Hadis, karena Hadis merupakan sumber pedoman hidup setelah Al-Qur’an. Mahasiswa juga harus mengetahui peroses bagaiman para pendahulu Islam dalam mepertahankan dan memperjuangkan islam terutama dalam pembukuan Hadis.
Maka dari itu, makalah ini dapat kami selesaikan dengan tepat waktu dan berharap agar makalah ini dapat menjadi acuan sebagai bahan diskusi untuk lebih memahami serta mempelajari sejarah Hadis periode sahabat dan tabi’in.
           



DAFTAR PUSTAKA
Assiddiqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1953.
Suparta, Drs. Munzier MA.. Ilmu Hadis Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.
Zuhri, DR.Muh. Hadis Nabi. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997.





[1] Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003). hlm. 79
[2] DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997). hlm.37-38.

[3]DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997). hlm.41-42. 
[4] Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).hlm. 79-81
[5] DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm. 38.
[6] Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).hlm. 82
[7]DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm.39.
[8]DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm.83-84.
[9]M. Hasbi Assiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta:Bulan Bintang, 1953). hlm.72-73. 

Tidak ada komentar: