BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Setiap generasi
ingin mewariskan sesuatu kepada generasi penerusnya. Yang diwariskan dapat
merupakan produk budaya pada generasi sebelumnya atau mungkin merupakan produk
budaya pada zamannya. Sesuatu itu bisa berupa pengetahuan, keterampilan, sikap,
dan nilai. Sementara proses pewarisan tersebut acapkali menggunakan pendidikan
sebagai alat atau sarananya. Tatkala masyarakat sendiri yang menyelenggarsksn
pendidikannya, tatkala itulah pendidikan sekedar dipandang sebagai peristiwa
social. Hanya karena bertambahnyya tuntunan, bertambahnya kompleksitas
kehidupan, pendidikan yang diselenggarakan masyarakat sendiri tanpa adanya
intervensi dari penguasa atau pemerintah umumnya tidak memadai. Itulah
sebabnya, pengurusan masalah-masalah pendidikan dibutuhkan intervensi dari
pemerintah atau penguasa.
B. Rumusan Masalah
A. Bagaimana Konsep
Kebijakan Pendidikan ?
B. Bagaimana
Landasan dan Pokok-pokok Kebijaksanaa?
C. Bagaimana
Supervisi pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
A. Menjelaskan
Konsep Kebijakan Pendidikan
B. Menjelaskan
Landasan dan Pokok-pokok Kebijaksanaa
C. Menjelaskan
Supervisi pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep
Kebijaksanaan Pendidikan
Adapun
konsep dasar kebijaksanaan pendidikan meliputi, (1) batas kebijaksanaan
pendidikan, (2) kebijaksanaan pendidikan dan kebijaksanaan negara, (3) system
politik dan kebijaksanaan pendidikan, (4) tingkat-tingkat kebijaksanaan
pendidikan, dan (5) studi mengenai kebijaksanaaan pendidikan.
1. Batas-batas
Kebijaksanaan Pendidikan
Secara
etimologis, kebijaksanaan merupakan terjemahan dari kata policy, dalam bahasa Inggris. Kata policy sebenarnya banyak dijumpai dalam bahasa-bahasa lain seperti
Latin, Yunani, dan Sanskrit. Adapun kebijaksanaan pendidikan merupaakan
terjemahan dari educational policy. Educational policy sendiri merupakan penggabungan
antara kata education dan policy.
Secara
terminologis, pengertian kebijaksanaan atau policy
dikemukakan oleh para ahli seperti berikut:
a. Lasswell (1970) mendefinisikan
kebijaksanaan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan
praktik-praktik yang terarah (a projected
program of goals and practices).
b.
Anderson (1979) mendefinisikan kebijaksanaan sebagai serangkaian tindakan yang
mempunyai tutjuan tertentu yang mesti diikuti dan dilakukan oleh para
pelakunya untuk memecahkan suatu masalah
(a purposive corse of problem or matter
of concern).
c. Halco
dalam Jones (1977) memberikan batasan kebijaksanaan sebagai cara bertindak yang
sengaja dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah-masalah.
d. Eulau
dalam Jones (1977) mengartikan kebijaksanaan sebagai keputusan yang tetap,
dicirikan oleh tindakan yang bersinambung, dan berulang-ulang pada mereka yang
membuat dan melaksanakan kebijaksanaan.
e. Amara
Raksasa Taya dalam Tjokro Amidjojo (1976) memberikan batasan kebijaksanaan
sebagai suatu taktik atau strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan.
f. Friedrik
(1963) memberikan batasan kebijaksanaan sebgaai serangkain tindakan yang
diajukan oleh seseorang, grup dan pemerintah dalam lingkungan tertentu dengan
mencantumkan kendala-kendala yang dihadapi serta kesempatan yang memungkinkan
pelaksanaan usulan tersebut dalam upaya mencapai tujuan.
g. Budiardjo
dalam Supanji (1988) menyatakan bahwa kebijaksanaan adlah sekumpulan keputusan
yang diambiloleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih
tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Pada prinsipnya,
pihak yang membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan itu mempunyai kekuasaan untuk
melaksankannya.
h. Carter
V. Good (1959), jauh sebelumnya melalui Dictionary
of education memberikan pengertian kebijakan sebagai sebuah pertimbangan
yang didasarkan atas suatu nilai dan beberapa penilaian terhadap factor-faktor
yang bersifat situasional, untuk mengoperasikan perencanaan yang bersifat umum
dan memberikan bimbingan dalam pengambilan keputusan demi tercapainyatujuan.
i. Indrafachrudi
(1984) memberikan pengertian policy
sebagai suatu ketentuan pokok yang menjadi dasar dan arah dalam melaksanakan
kegiatan administrasi atau pengelolaan.
j. Jones
(1977) menganalisis komponen-komponen pengertian kebijaksanaan yang terdiri
dari:
1. Goal,
atau tujuan yang diinginkan
2. Plan,
atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan
3. Program,
yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan
4. Decision,
keputusan, ialah tindakan-tindakan untuk
menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan, menilai rencana
5. Effect,
yaitu akibat-akibat dari rencana (disengaja atau tidak, primer atau sekunder,
diperhitutngkan sebelumnya atau tidak, diestimasi atau tidak).
Kebijaksanaan adalah terjemahan dari kata policy, sedangkan kebijakan adalah
terjemahan dari kata wisdom. Kebijakan
adalah aturan-aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu,
mengikat kepada siapapu yang dimaksud untuk diikat oleh kebijaksanaan tersebut.
Sedangkan kebijakan adalah suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dengan
aturan yang ada, yang dikenakan pada seseorang karena adanya alas an yang dapat
diterima untutk tidak memberlakukan aturan yang berlaku.
2.
Kebijaksanaan
Pendidikan dan Kebijaksaan Negara
Kebijaksanaan pendidikan adalah suatu kebijaksanaan
negara. Selain kebijaksanaan pendidikan, masih banyak
kebijaksanaan-kebijaksanaan lain di berbagai bidang lain seperti, ekonomi,
politik, pertahanan keamanan, pertambangan dan energy, industry, agama, budaya,
luar negri, perhubungan dan sebagainya.
3.
Sistem
Politik dan Kebijaksanaan Pendidikan
System politik sendiri dapat diartikan sebagai
kumpulan-kumpulan pendapat, prinsip yang membentuk suatu kesatuan, yang
berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan
mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur hubungan antara individu dengan
individu, kelompok dengan individu, kelompok dengan kelompok, atau negara
dengan negara.
4.
Tingkat-tingkat
Kebijaksanaan pendidikan
Ada empat tingkat kebijaksanaan, yaitu:
1.Tingkat
kebijaksanaan nasional. Sebagai penentu tingkat kebijaksanaan nasional ini
adalah: MPR. Kebijakan yang berbeda pada nasional ini, disebut juga sebagai
kebijakan administratif.
2.Tingkat
kebijaksanaan umum. Tingkat kebijaksanaan ini disebut sebagai kebijaksanaan
eksekutif, oleh yang karena yang menentukan adalah mereka yang berada pada
posisi eksekutif.
3.Tingkat
kebijaksanaan khusus. Tingkat kebijaksanaan khusus ini letak penentunya ada di
tangan Menteri.
4.Tingkat
kebijaksanaan teknis. Tingkat kebijaksanaan teknis lazim disebut dengan
kebijaksanaan operatif. Sebab merupakan pelaksana dari kebijaksanaan
pendidikan.
5.
Studi
Tentang Kebijaksanaan Pendidikan
Studi mengenai kebijaksanaan publik
menjadi sebuah studi yang otonom, berdiri sendiri, berpisah dari sebuah studi
sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli politik. Jurnal-jurnal mengenai
kebijaksanaan public, banyak bermunculan, bahkan masuk jurusan-jurusan di
universitas yang membidangi kebijaksanaan publik.
Selain sebagai bagian dari kebijaksanaan
publik secara keseluruhan, kebijaksanaan pendiddikan dapat dipandang sebagai bagian
dari kebijaksanaan administras pendidikan, atau bagian dari menejemen
pendidikan.
B. Landasan dan Pokok-pokok Kebijaksanaan
Ketetapan MPR-RI No. II/MPR/1983 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai pola umum Pembangunan Nasional
mengarahkan rangkaiana program pembangunan di segala bidang untuk mewujudkan tujuan
nasioanl seperti tercantum di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Khusus
mengenai pendidikan nasional yaitu:
“pendidikan nasional perdasarkan
Pancasila bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang MahaEsa,
kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian
dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya serta bersama-sama
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”[1].
Sifat pembangunan nasional harus
bersifat fungsional, yaitu berfungsi untuk penegembangan kelembagaan
masyarakata menuju perkembangan kehidupan bangsa yang menyangkut perkembangan
pribadi dan watak bangsa. Sebab keduanya ini merupakan kriteria dasar di dalam
mewujudkan suatu sistem pendidikan nasional.
Secara mendasar pengembangan bangsa
tersebut dapat dilihat dan dipahami melalui Proklamasi Kemerdekaan dan
Pembukaan UUD 1945 merupakan pandangan hidup, kepribadian, dan tujuan nasional.
Sedangkan penjabaran secara konstitusionalnya dapat dilihat melalui UUD 1945
dalam rangka mwujudkan cita-cita nasional.
Pengembangan sumber daya manusia adalah
yang paling penting dan utama jika dibandingkan dengan pengembangan sumber daya
alam demi pembangunana bangsa, meskipun keduanya saling berkaitan. Maka
pengembangan sumber daya manusia pada hakikatnya adalah adalah proses
kebudayaan[2].
1.
Kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang pendidikan selama ini tidak didasari
oleh kepentingan rakyat semata, banyak terkandung unsur-unsur hegemoni di
dalamnya. Seringkali dikatakan bidang pendidikan merupakan salah satu bidang
yang menjadi alat bagi pemerintah selama ini untuk mempertahankan kekuasaannya
(status quo).
2.Kebijakan
pemerintah di bidang pendidikan tinggi belum mengarah pada suatu system yang
mantap dan profesional. Kebijakan dalam bidang pendidikan yang ada di Indonesia
cenderung bersifat tambal sulam (incremental).
Suatu kebijakan yang dikeluarkan akan diubah setelah mendapata kritik tajam
dari berbagai kalangan. Sementara itu pemerintah kadang-kadang mengambil
kebijakan untuk tidak mengambil kebijakan.
3.Peringkat
SDM Indonesia berada jauh di bawah beberapa negara ASEAN yaitu hanya 102. Hal
ini menunjukkan bahwa kemampuan bangsa ini untuk meningkatkan mutu SDM nya
masih jauh panggang dari api. Perlu diminta komitmen yang tinggi dari berbagai
pihak yang terkait dengan bidang tersebut.
4.Penetapan
anggaran 20 persen untuk bidang pendidikan sampai detik ini belum menjadi
kenyataan. Walaupun hal itu sudah ditetapkan dalam sistem perundang-udangan
yang berlaku, ternyata hal itu baru sampai pada batas wacana saja. Keinginan
yang tampaknya kurang realitas ini, terkesan hanya sebagai komoditi politik
bagi kelompok tertentu yang sedang memegang kekuasaan[3].
C.
Supervisi
Pendidikan
1. Pengertian Supervisi
Supervisi adalah suatu proses yang
digunakan oleh personalia sekolah yang bertanggung jawab terhadap aspek-aspek
tujuan sekolah dan yang bertanggung jawab secara langsung kepada para
personalia yang lain, untuk menolong mereka menyelesaikan tujuan sekolah itu
(Sergiovanni, 1971, h. 10).
Supervisi hanya sebagai satu fungsi
yaitu fungsi menejemen, ialah pengarahan yang terdiri dari inisiatif dan
kepemimpinan, pengaturan dan pembimbingan, pemberian motivasi, dan pengawasan.
Tetapi literatur lain menunjukkan beraneka ragam fungsi, dengan istilah yang
berbeda-beda antara lain tugas, fungsi, pelaksanaan, dan sejenisnya (Huse,
1972, h. 265).
Pada hakikatnya supervisi adalah suatu
proses pembimbingan dari pihak atasan kepada guru-guru dan para personalia
sekolah lainnya yang langsung menangani belajar para siswa, untuk memperbaiki
situasi belajar mengajar, agar para siswa dapat belajar secara efektif dengan
prestasi belajar yang semakin meningkat.
2. Makna Organisasi Supervisi
Organisasi supervise dapat dipandang sebagai system tersendiri,
ia juga merupakan sub system darisistem persekolahan, yang wajib memiliki
cirri-ciri sistematis, relasional, kontekstual, dan totalitas. Artinya
komponen-komponen supervise itu sendiri wajibmenyusun diri sedemikian rupa
sehingga menjadi teratur, dengan langkah kerja yang jelas dan arah yang sudah
pasti pula. Sifat inilah antra lain yang membuat supervise sebagai system akan
memiliki cirri-ciri yang sistematis.
3.Teknik-teknik
Supervisi
Teknik-teknik supervise berhubungan dengan kelas,
diskusi dalam rapat,spesifik operasional, teknik supervise sebaya, pendapat
para siswa, kunjungan sekolah, dan pertemuan pendidikan.
Teknik-teknik yang berhubungan dengan
kelas:
a. Observasi
kelas
b. Kunjungan
kelas
1. Teknik-teknik
dengan berdiskusi:
a. Pertemuan
formal
b. Pertemuan
informal
c. Rapat
guru
2. Supervisi
yang direncanakan bersama
3. Teknik
supervisi sebaya
4. Teknik
yang memakai pendapat siswa dan alat eletronika
5. Teknik
yang memgunjungi sekolah lain
6. Teknik melalui pertemuan pendidikan
4. Supervisi
dan Kebijakan Pendidikan
Prinsip-prinsip yang melandasi kebijakn dan
kebudayaan adalah (1) menghindari kecenderungan kea rah pendangkalan dan
pengerdilan dalam kehidupan spiritual keagamaan, (2) tidak hanya mengejar
kemajuan lahiriah kebendaan saja, (3) menjunjung tinggi matabat manusia, (4)
mengusahakan semakin kokonya persatuan
dan kesatuan bangsa, (5) supervise sebagai salah satu uunsur pembinaan
harus sejalan dengan kebijakan-kebijakan tersebut.
a. Sistem penerimaan siswa baru
Cara penerimaan siswa baru di SLTP atau SLTA
bermacam-macam bentuknya, begitu pula halnya dengan cara penerimaan mahasiswa
baru di perguruan tinggi. System-sistem yang dipakai dalam penerimaan siswa
baru atau mahasiswa baru dapat dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu (1)
dengan tes nasioanl, (2) dengan tes wilayah atau provinsi, (3) dengan tes
sekolah atau universitas/institusi, dan (4) dengan nilai raport dan rekomendasi
sekolah.
Masing-masing system tersebut di atas memiliki
kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dengan tes nasional akan didapat
calon-calon yang kualitasnya relative sama secara nasional, bila denga tes
wilayah hanya akan memperoleh calon-calon yang kualitasnya relative sama secara
wilayah saja, sementara itu dengan tes sekolah atau universitas/institusi dapat
memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada sekolah atau
universitas/institusi yang bersangkutan untuk menetukan kriteria yang cocok
bagi kebutuhan mereka.
b.
Bimbingan Karir
Melalaui bimbingan karir ini para siswa diharapkan
dapat bantuan dalam hal:
1. memahami diri secara lebih tepat tentang keadan,
kemampuan (dan bakat). Atas dasar pemahaman ini para diharapkan dapat
memebangun diri sendiri (ketetapan MPR RI, 1983, h. 55) dengan arah yang
relative tepat sesuai dengan kemampuan, bakat, dan kondisi dirinya sendiri.
2. menyadari nilia-nilai yang ada pada dirinya dan
yang yang terdapat dalam masyarakat. Misalnya tentang nilai-nilai yang dia
pahami dan yang belum jelas dipahami, nilai-nilai yang dia junjung tinggi, pertentangan
nilai-nilai diri sendiri dengan nilai-nilai orang lain, nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat, nilai yang akan dapat meningkatkan persatuan dan kesatuan.
3. mengenal berbagai macam pekerjaan serta
jenis-jenis pendidikan dan latihan yang diperlukan. Ini dimaksudkan agar para
siswa dapat menggabungkan bakat dengan pekerjaan yang cocok.
4. Menyiapkan diri secara matang untuk
memasuki dunia kerja. Penyiapan ini tidaklah selalu mudah, banyak terjadi
rintangan-rintangan. Rintangan itu bisa bersumber dari diri sendiri misalnya
cita-cita yang tidak realistis tidak sesuai dengan kemampuan. Bisa juga dari
pengaruh teman atau dororngan orang tua yang sebenarnya kurang cocok dengan
kemampuan dan bkat sendiri. Atau rintangan-rintangan yang dialami dalam belajar
atau berlatih seperti gangguan psikis, ekonomi, social, dan sebagainya.
5. menyadari akan kebutuhan masyarakat
dan negara Indonesia yang sedang membangun, yaitu macam-macam tenaga kerja yang
dibutuhkan, jumlah kebutuhan setiap macam yang mencakup tenaga menengah dan
tenaga ahli.
6. merencanakan masa depan sehingga dapat
melaksanakan pekerjaan dengan semangat dan gembira.
c.
Pengembangan
Bakat dan Pendidikan Wiraswasta
Salah satu pengembanagn bakat yang
penting ialah pendidikan wiraswasta. Pendidikan wiraswasta bertujuan membentuk
sikap wiraswasta atau sikap mandiri dalam usaha mencari nafkah. Mengapa
pendidikan ini menjadi penting? Karena setiap siswa yang bakatnya sudah
dikembangkan belum tentu mampu atau berusaha mengadakan usaha bisnis sendiri.
Mungkin kepada pemerintah yang membutuhkan tenaga kerja atau pengusaha di
bidang bisnis. Keadaan seperti inilah sebagai salah satu sebab terjadinya
pengangguran. Hal ini bisa diatasi melalui pendidikan wiraswasta.
d.
Pendekatan
Keterampilan Proses dan Metode
“Memancing Ikan”
Keterampilan proses ialah:
1. Belajar
melakukan penemuan, mengkaji bidang-bidang kehidupan secara ilmiah.
2. Belajar
sebagaiman belajar sebenarnya dan mengembangkan pikiran dengan
mengaplikasikannya dalam praktek.
3. Meningkatkan
pemahaman dan ingatan tentang konsep-konsep.
4. Menangkap
konsep-konsep dan fakta-fakta baru yang belum dikenal, dan berusaha membentuk
konsep-konsep sendiri.
5. Meningkatkan
usaha belajar karenaa hasil penemuan sendiri merupakan hadiah yang intrinsic.
Metode “Memancing Ikan” menurut tulisah
Nugroho (dimensi-dimensi Pendidikan Nasioanl Kita, 2983, h. 6) adalah usaha
mengajarkan para siswa sebagaiman menangkaap ikan. Mereka tidak boleh hanya
diberi ikan saja banyak-banyak. Cara mengajar yang hanya memberi ikan inilah
yang membuat para siswa harus membuat sejumlah besar materi pelajaran yang
seringkali membuat guru kekurangan waktu untuk mengajarkannya.
e.
Belajar
Tuntas
Uji coba belajar tuntas yang dimaksud
dengan kondisi di sini antara lain dengan fasilitas yang memadai, dengan yang
beragam, dan dengan waktu yang cukup bagi setiap siswa. Bila syarat-syarat ini
terpenuhi, menurut konsep ini semua siswa bisa belajar secara tuntas, artinya
mereka relatif menguasai materi-materi
pelajaran yang dipelajari.
Namun demikian, konsep belajar tuntas
ini tetap diwujudkan daalm bentuk klasikal. Hal ini disebabkan manfat belajar
tuntas antara lain dapat meningkatkan kualitas dan taraf serap siswa sesuai
dengan tingkat kemampuan masing-masing dan meningkatkan jumlah siswa yang dapat
menguasai pelajaran secara tuntas.
f.
Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa
Pendekatan yang digunakan dalam proses
belajar ini adalah tiga tingkat yang bersifat kontinu. (Petunjuk Pelaksanaan
Proses Belajar Mengajar PSPB, 1983, h. 2-5).
1.Metode yang dipakai dalam tingkat ini
bisa ceramah, bisa juga cerita, atau melihat gambar, bangunan-bangunan, dan
sebagainya tentang kepahlawana dan hasil perjuangan mereka.
2.Pengkajian nilai-nilai yang
menitikberatkan pada analis terhadap nilai-nilai untuk menemukan pilihan.
Metode yang dipakai di sini adalah Tanya jawab dan atau diskusi.
3.Bila beberapa siswa sudah menemukan
nilai-niali yang baik, kini mereka akan mengungkapan, menghayati, dan
menerapkan nilai itu. Tingkat ini menekanka pada internalisasi dan bertindak
sesuai dengan nilai-nilai yang baik tadi.
g.
Proses Belajar Mengajar Yang Memberikan Hasil-hasil Pengiring
Perkembangan siswa tidak semuanya
disebabkan oleh pelajaran-pelajaran yang diberikan di sekolah. Sebagian dari
perkembanagn itu adalah disebabkan oleh pengalaman ataupun belajar sendiri baik
di sekolah maupun di luar sekolah. Program yang sengaja disiapkan oleh sekolah
disebut efek pengajaran atau hasil pengajaran, sedangkan hasil belajar atau
pengalaman sendiri disebut efek atau hasil pengiring (Program Akta Mengajar
V-B, buku II, 1983, h. 42).
6.
Supervisi
dan Hubungan Dengan Masyarakat
a.
Pengertian
hubungan dengan masyarakat
Suatu sekolah tidak dibenarkan mengisolasi
diri dari masyarakat. Sekolah tidak boleh merupakan tersendiri yang tertutup
terhadap masyarakat sekitarnya, ia tidak boleh melaksanakan idenya sendiri
dengan tidak mau tahu akan aspirasi-aspirasi masyarakat. Sekolah tidak boleh
bersikap dan berperilaku demikian, sebab pada hakikatnya ia adalah milik
masyarakat. Masyarakat menginginkan sekolah itu berdiri di daerahnya untuk
meningkatkan perkembangan putra-putra mereka. Masyarakat juga menginnginkan
agar sekolah bisa memberiakn pengaruh positif terhadap perkembangan masyarakat
baik langsung maupun tidak langsung. Untuk maksud ini masyarakat siap mendukung
usaha-usaha sekolah di daerahnya.
Sekolah adalah merupakan system terbuka
terhadap lingkungannya termasuk masyarakat pendukungnya. Sebagai system terbuka
sudah jelas ia tidak dapat megsolasi diri, sebab bila hal ini ia lakukan
berarti ia menuju ambang kematian, akibat menentang kewajaran hukum alam.
Sebagai system terbuka, sekolah selalu membuka pintu terhadap kehadiran warga
masyarakat, terhadap ide-ide mereka, terhadap kebututhan mereka, dan terhadap
nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Setiap aktivitas pendidiakn, terutama
mengenai aktivitas-aktivitas yang baru diperkenalkan, sepatutnya
dikomunikasikan sepatutnya dikomunikasikan kepada orang tua siswa dan
masyarakat. Agar mereka sebagai pemilik sekolah tahu dan memahami mengapa
aktivitas tersebut diberikan di sekolah. Pemahaman ini akan menghindarkan
kemungkinan suasana tegang dalam lingkungan belajar siswa yaitu di sekolah dan
masyarakat sekitarnya. Seperti dilakukan oleh bebrapa sekolah dalam menentukan
besar sumbangan pembangunan gedung misalnya, selalu didahului oleh komunikasi
antara sekolah dengan para orang tua siswa disertai perincian-perincian
kegunaanya.
Hubungan dengan masyarakat berarti
komunikasi sekolah dengan masyarakat, ialah mengkomunikasikan masalah-masalah
pendidikan baik yang bersumber dari sekolah maupun yang bersumber dari
masyarakat. Komunikasi inilah merupakn pintu-pintu keterbukaan sekolah terhadap
masyarakat, pintu-pintu yang menghubungkan sekolah sebagi system dengan
masyarakat sebagi suprasistemnya.
Komunikasi itu merupakan lintasan dua
arah dari arah sekolah ke masyarakat dan dari arah masyarakat ke sekolah. Kedua
kelompok kehidupan itu saling memberi informasi, berpartisipasi membina
pendidikan. Joes (1969, h. 388) menyambut hubungan dengan masyarakat itu sebagai
hubungan dua arah tempat memadu ide antara sekolah dan masyarakat untuk
melahirkan saling pengertian. Ide-ide tentang pendidikan tidak selalu dating
dari sekolah. Lagi pula tidak semua ide di sekolah itu dapat diterima masyarakat
sebagai pemilik sekolah. Masyarakat yang mempunyai kepentingan pendidikan
terhadap pendidikan putra-putranya seringkali punya ide tertentu yang dapat
dimanfaatkan oleh sekolah.
b.
Mengapa
sekolah perlu mengadakan hubungan dengan masyarakat
Tampak bahwa masyarakat memang perlu
tahu secara garis besar tentang pendidikan di sekolah. Agar mereka dapat
mengantisipasi aktivitas putra-putranya, bisa menyiapkan sumber-sumber belajar
yang diperlukan, dan bisa melayani kebutuhan
putra-putranya.
Jones menulisakan kebutuhan hubungan
dengan masyarakat sebagai berikut : 1. Agar masyarakat tahu tentang hal-hal
persekolahan dan inovasi-inovasinya, 2. Untuk mempermudahkan memperbaiki
pendidikan di sekolah sebab masyarakat sudah memahaminya, 3. Meningkatkan
profesi staf agar sekolah daan hubungannya dengan masyarakat menjadi baik, 4. Agar konsep masyarakat
tentang guru menjadi benar, 5. Untuk mendapatkan koreksi dari masyarakat.
Sebab sekolah adalah bagian dari
masyaraakat, bila sekolah terbuka bagi para siswa, maka begitu pula hendaknya
terhadap masyarakat. Sekolah sebagai bagian dari masyarakat mengandung arti
bahwa sekolah ada di masyarakat, menjadi milik masyarakat, dan menjadi tanggung
jawab masyarakat. Sekolah sebagai bagian dari masyarakat mendukung pernyataan
bahwa pendidikan kejuruan dan pendidikan umum cenderung tidak terpisah.
c.
Peranan
supervisor dalam hubungan dengan masyarakat
Kepala sekolah beserta supervisor
memegang kunci akaan keberhasilan mengadaakan hubungan dengan masyarakat. Para
supervisor adalah patner kepala sekolah yang mempunyai kedudukan yang sama
dalam masalah-masalah sepervisi. Dari
uraian terlebih dahulu dapaat diketahui baahwa sebagian besar hubungan sekolah dengan
masyarakat bermaksud meningkatkan mutu pendidikan. Oleh sebab itu hubungan
dengan masyarakat yang berkenaan dengan usaha meningkatkan mutu pendidikan di
sekolah selalu ditangani bersama oleh kepala sekolah dan para supervisor.
Peranan supervisor dalam mengadakan
hubungan dengan masyarakat :
1. Membantu
kepala sekolah merencanakan program hubunagn sekolah dengan masyarakat
2. Membantu
kepala sekolah meningkatkan atau menningkatkan program tersebut
3. Membina
staf mengisi program hubungan dengan masyarakat secara baik
4. Membantu
kepala sekolah mengdakan kontak-kontak hubunagn dengan:
a) Dewan
penasehat atau yayasan
b) Organisasi
orang tua siswa
c) Kelompok-kelompok
penuntut di masyarakat
d) Sekolah-sekolah
dan perguruan-perguruan tinggi
e) Majikan
pemakai tenaga kerja
f) Individu-individu
yang berkpentingan
Tugas mensukseskan hubungan dengan masyarakat ini
perlu disadarai oleh para supervisor dalam membina guru-guru.
Supervisor-supervisor bekerja sama dengan kepala sekolah hendaklah berusaha
memacu guru-guru agar dapat memahami makna hubungan dengan masyarakat dan mampu
melaksanakannya dengan baik. Tugas-tugas ini bukan hanya terbatas kepada
memanfaatkan masyarakat untuk kepentingan proses belajar mengajar saja,
melainkan juga mencakup pelayanan terhadap permasalahaan-permasalahan
pendidikan yang berhubungan dengan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat itu sendiri akan pendidikan putra-putri mereka. Supervisor berusaha
dengan bermacam-macam upaya agar para guru yang dibimbingnya sadar akan dan
bisa melaksanakan tugasnya yang mulia termasuk melaksanakan hubungan dengan
masyarakat demi kemajuan pendidikan di sekolah.
7.
Bentuk-bentuk
hubungan dengan masyarakat
Cara-cara dan alat-alat yang dipakai oleh sekolah
untuk melakukan hubungan dengan masyarakat ialah (1) Melalui aktifitas para
siswa (2) Aktivitas guru-guru, (3) Ekstrakurikuler, (4) kunjungan masyarakat
atau orang tua siswa ke sekolah, dan (5) melalui media massa ( Jones, 1969, h.
395-400 ). Cara-cara ini perlu ditambah lagi dengan pertemuan-pertemuan
kelompok. Dengan demikian bentuk hubungan sekolah dengan masyarakat adalah
sebagai ikhtisar 9 berikut .
Bentuk hubungan sekolah dengan masyarakat berupa :
1. Aktifitas
para siswa/kelas atau tingkat kelas.
2. Aktifitas
guru, beberapa guru, atau guru-guru satu bidang studi
3. Aktifitas
ko dan
4. Media
massa
5. Kunjungan
warga masyarakat atau orang tua siswa ke sekolah
6. Pertemuan
dengan masyarakat yang menaruh perhatian kepada pendidikan di sekolah .
Bentuk kegiatan para guru dalam kaitannya dengan
hubungan masyarakat sangat memegang
peranan. Gurulah yang mengintervensi hubungan antaraa anak dengan orang tuanya,
namun ia harus tunduk kepadaa kerelaan orang tua itu. Guru berkewajiban
meningkatkan komunikasi yang positif antara siswa dan orang tuanya, sebagai
iklim segar bagi kelancaran proses pendidikan. Disamping mendorong hubungan
yang akrab, intervensi guru juaga mencoba menggugah hati para orang tua siswa
untuk memikirkan secara masak tentang pendidikan yang bagaimana pantas
diberikan kepada putra mereka masing-masing. Berarti guru-guru tidak secara
apriori memaksakan konsep-konsepnya untuk diterapkan dalam pendidikan para
siswa, melainkan menyerahkan hal itu kepada nilai-nilai pilihan masyarakat
pendukung sekolah[4].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konsep dasar kebijaksanaan
pendidikan meliputi, batas kebijaksanaan pendidikan, kebijaksanaan pendidikan
dan kebijaksanaan negara, sistem politik dan kebijaksanaan pendidikan,
tingkat-tingkat kebijaksanaan pendidikan, dan studi mengenai kebijaksanaaan
pendidikan.
Landasan kebijakan pendidikan
yaitu Ketetapan MPR-RI No. II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
sebagai pola umum Pembangunan Nasional mengarahkan rangkaiana program
pembangunana di segala bidang untuk mewujudkan tujuan nasioanl seperti
tercantum di dalaam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Supervisi adalah suatu proses
yang digunakan oleh personalia sekolah yang bertanggung jawab terhadap
aspek-aspek tujuan sekolah dan yang bertanggung jawab secara langsung kepada
para personalia yang lain, untuk menolong mereka menyelesaikan tujuan sekoah
itu.
B.
Saran
Kebijakan-kebijakan dalam pendidikan
harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan demi terwujudnya
pembelajaran yang terarah dan tercapainya tujuan yang menjadi target dalam sebuah pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, H. Abu.
2003. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Chan, M. Swot.
2007. Analisis Swot: Kebijakan Pendidikan
Era Otonomi Daerah. Jakarta: PY. RajaGrafindo Persada.
Gunawan, Ary H.
1995. Kebijakan-kebijakan Pendidikan.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Imron, Ali.
1996. Kebijaksanaan Pendidikan di
Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Pidarta, Made. 1992. Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar