Cerita hikmah
dalam kehidupan:
Surat kafirun
Suatu ketika seorang bupati melakukan
kunjungan ke sebuah daerah. Beliau melakukan diskusi untuk membangun desa
bersama warga di sebuah masjid. Ketika azan magrib berkumandang diskusi rehat
sejenak karena untuk persiapan salat. Kebetulan yang ditunjuk menjadi imam oleh
bupati adalah kepala desa.
“Akh, bupati biasanya senang
dengan surat yang pendek-pendek. Biarlah nanti saya baca suarat Al-Kafirun
dalam salat. Yang penting ka suar saya bagus,bapak bupati pasti senang dan saya
bisa menjadi semakin dekat dengan bapak bupati. Siap tahu nanti beliau mudah
menaikkan jabatan saya.” Demikian kata kepala desa di dalam hati sambil
tersenyum penuh arti.
Maka setelah membaca al-Fatihah,
kepala desa yang menjadi imam salat ini melajutkan dengan membaca surat
al-Kafirun;
“Qul ya-ayyuhal kafirun
La a’budu ma ta’budun
Wa la antum abiduna ma a’bud
Wa la ana abidum ma a’badtum
Wa la antum abiduna ma a’bud
Wa la ana abidum ma a’badtum
Wa la antum abidum ma a’bud
Wa la ana abidum ma’ a’badtum
Wa la antum abiduna ma’ a’bud
Wa la ana abidum ma a’badtum
Wala antum abiduna ma a’bud
.......”
Demikianlah, rupanya kepala desa
ini tidak ketemu di mana akhir surat AL-kafirun. Keringat dingin mulai
membasahi wajahnya. Rasanya ia ingin segera pergi dari mesjid karena malu,
apalagi ada bupati yang berdiri tepat di belakangnya menjadi makmum. Tapi,
untunglah sesaat kemudian ada seorang makmum yang membantunya,
“Lakum dinukum....”
Akhirnya kepala desa ini
nurut,
“lakum dinukum wa
laddalin....”
Bupati yang sudah mulai mengantuk
itu pun tanpa sadar mengucapkan, “Amin....”
Hikmah cerita:
Manusia umumnya senang dengan
pujian dan benci dnegan cacian. Padahal sesungghunya, salah satuciri ikhlas
adalah amal yang dilakukan tidak terpengaruh oleh pujian mamupun cacian.
Seperti pengalaman kepala desa dalam cerita di atas. Saking bernafsunya ingin
memperoleh pujian dari bupati karena memiliki suara merdu dan membacakan surat
pendek dalam salat, akhirnya niat kepala desa menjadi imam salat bukan lagi
mencari keridaan Allah, namun tujuannya sudah berpindah berharap memperoleh
pujian bupati. Alhasil, Allah Yang Maha Mengetahui pikiran mulai mengacaukan konsentrasi
kepala desa hingga terjadilah kesalahan dalam salatnya.
Sungguhnya merugi orang yang
hanya mencari pujian makhluk karena sebenarnya makhluk itu tidak mampu
memberikan manfaat apa pun pada dirinya. Bagaimana mungkin memberikan manfaat,
sedangkan harta kekayaannya saja diperoleh dari Allah? Jabatan bupatinya pun
hanya titipan Allah! Terlebih lagi, pujian yang keluar dari mulut bupati pun
sesungguhnya atas isi Allah! Tidak mungkin bupati mampu memberikan pujian tanpa
izin Allah. Sungguh sia-sia orang yang melupakan rida Allah dan mencintai
pujian makhluk.
Nabi Isa As. Pernah bersabda,
:”Sesungguhnya orang munafik itu adalah yang menyembah Allah dengan mulutnya,
namun dalam hatinya menyembah makhluk.” Oleh karena itu, jangan pernah amal
kita menjadi rusak oleh pujian amaupun cacian,. Ikhlaskan setiap amal yang
diperbuat hanya untuk Allah semata. Hingga bukan lagi pujian makhluk yang
dicari, melainkan rida Allah semata.
Referensi:
Chalil
komaruddin M. H. Hikmah di Balik Fenomena Kehidupan. Cet. I; Bandung:
Pustaka Madani. 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar