Aku adalah
seorang istri berusia 38 tahun. Hari-hariku aku jalani bersama keluarga. Aku
bersyukur karena hidup dalam bimbingan dan penuh ketenangan, hingga aku bisa
lulus dari perguruan tinggi. Aku adalah tipe orang yang suka bekerja, sebab aku
merasa bisa melakukannya dengan serius. Sebagai contoh, aku mampu menjahit
hingga dalam jumlah yang banyak setiap harinya. Semua pakaian itu kebanyakan
berasal dari teman-teman.
Ketika masih
duduk di bangku kuliah, aku sudah memakai jilbab atas kemauan dan pilihanku
sendiri. Banyak surat panggilan kerja berdatangan dari berbagai perusahaan, dan
semuanya tidak ada yang menolak memperkerjakanku, hingga aku memilih salah satu
perusahan dan bekerja di sana hingga usiakku mencapai 34 tahun. Merasa telah
bergaul akrab dengan teman-teman yang lain, mereka pun tidak sungkan-sungkan
mencadaiku dan menanyakan memgapa aku belum menikah pada usia seperti ini.
Ssat itu,
sebenarnya aku telah kenal akrab dengan seorang pemuda yang usianya lebih muda
2 tahun dariku. Pendidikan terakhirnya S1 di salah satu perguruan tinggi, dan
ia juga sudah bekerja. Namun di tengah-tengah karirnya, semuanya anjlok.
Walaupun begitu, aku rela dengan keadaannya, sebab aku merasa bisa bekerja
sendiri(menggantikan posisinya), walaupun dengan tenaga dan kekuatan yang
terbatas. Aku yakin insya Allah semua akan baik-baik saja.
Aku tidak
sedih dengan keputusan itu, aku justru bahagia dan berusaha untuk mencintainya.
Ia pun mulai terjaga dari ketidaksadarannya akan cintaku. Ia seperti laki-laki
lainnya, berbicara dengan kata-kata yang manis, seakan-akan menghilangkan rasa
dahagadalam hidupku. Kami pun mulai mempersiapkan segalanya, namun anehnya ia
meminta foto copy kartu tanda pendudukku. Saat itu, aku tidak mengertik untuk
apa kartu identitasku dimintanya.
Pada hari
berikutnya, aku dikagetkan oleh suara telepon dari ibunya yang memintaku segera
datang menemuinya. Aku tidak tahu ada apa, ayang jelas badanku gemetar dan
tiba-tiba merasa takut dengan suaranya
yang seakan-akan ungin menyerangku. Ketika sampainya di rumahnya, ibu dari
teman akrabku itu segera mengeluarka foto copy KTP milikku lalu bertanya,
“Apakah tempat dan tanggal lahir ini benar?” dengan nada suara pelan menjawab,
“benar.” Mendengar pertanyaan itu,aku merasa biasa saja. Namun, aku mulai
gemetar dan gugup ketik ia bertanya, “Kalau begitu, usiamu sekarang mendekati
40 tahun?” untuk pertanyaan kedua ini aku hanya bisa menelan ludah. Sambil
menenangkan diri aku berusaha menjawabnya dengan pelan, “benar, usiaku 34
tahun.”
Perbedaan umur
sebenarnya bukan masalah baginya, namun menurutnya pada usia seperti itu
seorang gadis akan sangat sulit melahirkan seorang anak, padahal ia sangat
mendambakan dapat menimang cucu. Ia tidak mau keinginannya itu hanya sebatas
angan dimana aku mustahil bisa hamil mengingat usiaku yang menginjak kepala
empat.
Aku hanya bisa
mendengar apa yang diaktakannya, walaupun aku juga ada sesuatu yang sangat
mencekik leherku. Setelah pertemuan itu usai, aku pun kembali ke rumah dengan
perasaan sedih. Ibuku pun sejak hari itu merasa yakin dengan hari bahagia yang
ditunggu-tunggunya; dan benar saja,hal itu pun terjadi , semua rencana
pernikahan dibatalkan. Hari bahagia yang ditunggu-tunggu tidak pernah ada.
Kepalaku seolah mau pecah mengetahuihalitu, seakan-akan ada benda keras yang
menimpaku.
Semua orang
pasti akan sedih jika mengalami hal yang sama denganku. Meski begitu, aku tetap
menjalin hubungan baik dengannya (matan calon suamiku), sebab semua itu
bukanlah keinginannya, tapi keinginan orang tuanya. Ia juga telah berusaha
berkali-kali menjelaskan kepada ibunya agar merestui pernikahan kami.
Seringkali ia menelponku, hingga tidak terasa waktu telah berjalan setahun
penuh tanpa ada pembicaraan yang lain.
Aku merasa
bahwa semua ini harus dihentikan, dan aku juga harus mulai mengintropeksi diri.
Akhirnya aku putuskan baha aku harus rela memutus hubungan denganya untuk
selamanya dnegan cara menolak menemui atau mengangkat telepon darinya.
6 bulan sudah
aku lewati kegelisahanku ini, hingga aku putuskan untuk menunaikan ibadah
umrah. Aku ingin menghilangkan kegelisahanyang selama ini aku alami, dan
berharap semuanya berakhir karena kedekatank dengan Allah. Di sana aku
betul-betul merasakan kenikmatan dan kedamaian yang luar biasa, hingga setiap
kali berdoa, aku meneteskan air mata. Aku hanya memohon agar selalu dituntun
dan diberi petunjuknya.
Pada suatu
hari, ketika aku selesai melaksanakan shalat di masjidil Haram, aku duduk
bersimpuh membayangkan hidupku dnegan sangat tenang.aku mendapati seorang ibu
yang berada di sampingku sedang membaca Al-quran dengan suara yang indah, ia
mengulang-ulang ayat yang mulia, “Dan adalah karunia Allah swt sangatlah
besar atasmu.” (Qs. An-nisa: 113) tidak terasa air mataku mengalir deras.
Ketika au menoleh ke arah ibu itu, ia
justru menyuruhku untuk mendekatinya. Aku merasa tenang , dengan penuh perasaan
sayang ia mengusap pundakku.
Setelah surah
itu ia baca, ia kemudian membaca surah adh-dhuha. Hingga ketika sampai pada
ayat ke-5 “dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-nya kepadamu lalu
(hati) kamu menjadi puas” aku seolah merasa bahwa ayat itu baru pertama
kali aku dengar dalam hidupku, padahal aku sering mengulangi-ulanginya setiap
kali shalat. Sungguh jiwaku merasa sangat tenang.
Ibu yang
berada di dekatku itu pun menanyakan sebab-sebab aku menangis, hingga akhirnya
aku merasa harus memceritakan kepadanya tanpa ada rasa malu sedikitpun. Lalu ia
pun berkata bahwa Allah swt mampu menjadikan segala sesuatu yang mudah menjadi
susah; dan jika sekarang dalam keadaan susah, maka esok hari akan dimudahkan
oleh-nya. Sesunggguhnya semua yang terjadi adalah karunia Allah swt, bahkan
dalam setiap cobaan pasti ada nikmat yang tersembunyi. Kemudian aku ucapkan
terima kasih kepadanya atas segala harapan baiknya. Semoga Allah memberikan yang
terbaik kepadanya.
Ibu yang
berada di dekatku itu pun menanyakan sebab-sebab aku menangis, hingga akhirnya
aku merasa harus menceritakan kepadanya
tanpa ada rasa malu sedikitpun. Lalu ia pun berkata bahwa Allah swt mampu
menjadikan segala sesuatu yang mudah menjadi susah; dan jika sekarang dalam
keadaan susah, maka esok hari akan dimudahkan olehnya. Sesungguhnya semua yang
terjadi adalah karunia Allah swt, bahkan dalam setiap cobaan pasti ada nikmat
yang tersembunyi. Kemudian aku ucapkan terima kasih kepadanya atas segala
ucapan baiknya. Semoga Allah memberikan yang terbaik kepadanya.
Setelah
bercengkrama penuh makna itu, aku kembali ke
hotel tempatku tinggal untuk beristirahat dan berbenah diri, sebab esok
hari aku harus menuju ke bandara untuk kembali lagi ke kota kelahiranku, kairo.
Dalam pesawat yang aku tumpangi, berdampingan denganku,kebetulan ia adalah
seorang pemuda yang berperawakan gagah dan berwajah ganteng. Kami saling
berkenalan dan akrab seperti orang yang sudah kenal lama.
Sesampainya di
Kairo, kami pu berpisah, aku juga harus
menyelesaikan sedikit urusan di bandara. Tidak disangka, ketika keluar dari
pintu bandara, aku mendapati sumai temanku tengah berada di ruang tunggu, ia
kemudian mengucapkan selamat atas kepulanganku.
Karena merasa
heran, aku akhirnya menanyakan kenapa ia ada di bandara. Ia pun menjawab bahwa
ia sedang menunggu temannya yang pulang dengan pesawat yang sama. Tidak lama
kemudia, datanglah teman yang ia tunggu, dan ternya ia adalah orang yang duduk
di sampingku saat berada di dalam pesawat. Kami pun saling menyapa, lalu aku
tinggalkan tempat itu dengan ditemani oleh ayahku.
Tidak lama
setelah itu tiba di rumah dan mengganti pakaian untuk beristirahat sejenak,
terdengar suara telepon yang ternyata adalah suara suami temanku yang ingin
berbicara denganku,ia mengatakan bahwa temannya senang denganku dan ingin
melihatku malam itu juga.
Menurut suami
temanku, ia adalah seorang pemuda yang baik dan juga berasal dari keluarga yang
baik, ia seorang pekerja keras dan tidak gampang menyerah, ditambah lagi
memiliki akhlak yang mulia.
Hatiku pun
berdebar-debar, ada perasaan aneh menyusup hatiku. Aku lalu coba untuk
berdialog dengan ayahku mengenal apa yang dikatakan oleh temanku itu, dan
ternyata ia menyuruhku untuk berkunjung ke rumah temanku itu, tempat dimana ia
menginap. Semoga Allah swt memberiku jalan.
Aku pun
akhirnya mengunjujungi rumah temanku, lalu bercerita bahwa aku telah bertemu
dengan teman suaminya itu saat di pesawat, kebetulan kami duduk bersebelahan
dan saling perkenanlan. Rasanya belum genap seminggu, ia pun maju untuk
melamarku. Tidak lebih dari sebulan setengah dari proses lamaran itu, kami pun
melangsungkan pernikahan. Aku selalu teringat apa yang dikatakan seorang ibu
yang berada di masjdil haram bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan.
Kehidupan
rumah tanggaku penuh dengan kebaikan dan kebahagian aku merasa menenukan semua
yang kuharapkan ada pada diri suamiku; ia menjadi seorang laki-laki
bernaung,penuh rasa cinta, kasih sayang dan kemulian. Kami selalu berbuat baik
kepada keluarganya dan juga keluarganku.
Setelah
beberapa bulan menikah, kami belum menemukan tanda-tanda kehamilan. setiap hari
aku merasa gelisah dan takut, apalagi usiaku setiap hari bertambah, saat itu
aku mengunjak 36 tahun. Aku meminta untuk segara memeriksakan aku ke dokter,
aku sangat takut jika ternyta tidak bisa hamil. Namun, ia justru memelukkku dan
berkata dengan penuh kasih sayang dan menyejutkan hati bahwa dia tidak
mementingkan dunia selain diriku; dan ia tidak merisaukan apakah aku bisa hamil
atau tidak, sebab ia telah senang dengan suara teriakan anak dan kenakalan
mereka.
Akan tetapi,
aku tetap pada permintaanku, lalu kami pun pergi ke dokter. Namun, dokter itu
memerintahku untuk pergi memeriksa di laboratorium. Setelah menunggu beberapa
hari, datanglah waktunya untuk mengetahui keterangan dokter. Sesampainya kami
di tempat dokter itu, ia mengatakan “Tidak ada lagi pemeriksaan. Selamat,
nyonya , atas kehamilan Anda?”
Anda bisa
membayangkan betapa gembiranya aku dan suamiku mendengar hal ini, dan aku
seorang yang paling bersyukur atas anugerah ini.
Pada waktu
suamiku sedang menyiapkan keberangkatannya ke mekkah guna melaksanakan ibadah
haji, aku memintanya memperkenanlkanku untuk ikut serta menunaikan haji sebagai
kewajiban ummat islam dan sebagai tanda syukurku. Namun, suamiku menolak dengan
keras, begitu pula dnegan dokter pribadiku, sebab aku masih pada bulan-bulan
opertama kehamilan. Tetapi, aku bersikeras dengan keinginanku, aku mengatakan
kepadanya berdua, “Ynag menciptakan janin ini kepadaku, dialah yang akan
memeliharanya segala macam keburukan.”
Akhirnya,
suamiku memenuhi permintaaku, setelah sebelumnya bermusyawarah dengan dokter.
Setelah tiba waktunya, kami pun berangkat haji. Setalah itu, aku kembali dari
perjalanan haji dengan keadaan yang lebih baik daripada sebelumnya.
Diakhir masa kehamilan, aku bisa melewatinya
dengan baik, walaupun sedikti merasakan sakit di sebabkan bertambahnya usiaku
dan bobot bayi, aku tidak mau mengertahui jenis kelamin janinku ini, aku yakin
bahwa apa yang diberikan Allah itu lebiha baik dan mulia.
Suatu ketika,
aku merasa mengeluh kepada dokter tentang besarnya perutku. Dia menjelaskan
bahwa memanga seperti itu jika seseorang hamil di usia 36 tahun.
Saat-saat
kelahiran telah diambang pintu, maka aku pun dibawah ke rumah sakit untuk menjalani proses
persalinan, dan alhamdulillah semua berjalan lancar. Setalah semua berjalan
baik, dokter datang menemuiku siapa nama bayimu, maka aku menjawab, “yang aku
harapkan dari Allah swt dan kelahirannya saja, aku tidak mementingkan jenis
kelaminnya.” Sepertinya dokter kaget apa yang aku ucapakan, lalu dia berkata,
“biaklah kalau begitu, bagaimana pendapatmu jika aku memberikannya nama hasan,
Husain dan Fatimah!”
Aku tidak
paham apa yang ia maksud, lalu dia menganjurkanku untuk tenang. Ia kemudian
menjelaskan Alla swt telah mengaruniaku 3orang kembar. Aku berfikir,
seakan-akan Allah swt telah berkehendak diakhir usiaku dengan memberikan 3
putra sekaligus. Ini merupakan rahmat darinya disebabkan usiaku yang semakin
tua. Dokter sebenarnya telah mengetahui kondisi kehamilanku, namun ia tidak
memberitahukanku dengan pertimbangan demi menjaga kesehatanku pada masa-masa
kehamilan, agar tidak bertambah rasa takutku.
Aku tidak lagi
mendengar apa yang dikatakan dokter, aku langsung tertawa histeris dan
menangis, serta tidak putus-putusnya mengucapkan pujian dan syukur kepada Allah
swt. Aku kembali teringat ibu yang berda di masjidil haram saat membaca ayat
yang mulia, “dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-nya kepadamu lalu
(hati) kamu menjadi puas” aku bersyukur pun kepada Allah swt yang telah
meridhahiku dan memberikan kenikmatan yang lebih banyak dari apa yang aku
mimpikan.
Sakarang aku
pun bahwa sikap suamiku yang tidak aku hamil dengan alasan ketidaksukaannya memdengar
jeritan anak-anak, itu hanya cara pada saat itu tidak merasa putus asa; sebab
jika ia mengungkapkan keinginannya untuk segera menimang anaknya, maka saat itu
aku akan merasa lebih gelisah dan sedih. Semua itu terlebih ketika aku terdiam
dan tampak tenang memuji dan bersyukur kepada Allah swt.
Aku menulis
artikel itu aku ketika aku sedang menikmati segarnya udara di tepi pantai,
dengan harapan semoga kisahku ini bisa menjadi motivasi bagis setiap gadis yang
usianya sudah tua namun belum menikah, aku sudah menikah tapi belum hamil.
Jangan pernah
berputus asa dari Allah swt, mintalah pertolongan dari sang pencipta. Teruslah
berdoa agar permohonan dikabulkannya, dan doa yang sering kali aku ulang-ulang
adalah, “Tuhanku, jika aku tidak mempunyai keluarga ingin mencapai rahmatmu,
maka rahmatmu dalam keluargaku yang telah engkau sampai kepadaku sebab aku
telah puas atas segalanya.” Terakhir, aku berharap kepada Anda dari rubrik ini
dengan memberikan sebaik-baik doa untukku, suamiku yang penyayangi dan anak-anakku.
Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005.
Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.
SAAT-SAAT MENEGANGKAN
Aku adalah
seorang istri berusia 38 tahun. Hari-hariku aku jalani bersama keluarga. Aku
bersyukur karena hidup dalam bimbingan dan penuh ketenangan, hingga aku bisa
lulus dari perguruan tinggi. Aku adalah tipe orang yang suka bekerja, sebab aku
merasa bisa melakukannya dengan serius. Sebagai contoh, aku mampu menjahit
hingga dalam jumlah yang banyak setiap harinya. Semua pakaian itu kebanyakan
berasal dari teman-teman.
Ketika masih
duduk di bangku kuliah, aku sudah memakai jilbab atas kemauan dan pilihanku
sendiri. Banyak surat panggilan kerja berdatangan dari berbagai perusahaan, dan
semuanya tidak ada yang menolak memperkerjakanku, hingga aku memilih salah satu
perusahan dan bekerja di sana hingga usiakku mencapai 34 tahun. Merasa telah
bergaul akrab dengan teman-teman yang lain, mereka pun tidak sungkan-sungkan
mencadaiku dan menanyakan memgapa aku belum menikah pada usia seperti ini.
Ssat itu,
sebenarnya aku telah kenal akrab dengan seorang pemuda yang usianya lebih muda
2 tahun dariku. Pendidikan terakhirnya S1 di salah satu perguruan tinggi, dan
ia juga sudah bekerja. Namun di tengah-tengah karirnya, semuanya anjlok.
Walaupun begitu, aku rela dengan keadaannya, sebab aku merasa bisa bekerja
sendiri(menggantikan posisinya), walaupun dengan tenaga dan kekuatan yang
terbatas. Aku yakin insya Allah semua akan baik-baik saja.
Aku tidak
sedih dengan keputusan itu, aku justru bahagia dan berusaha untuk mencintainya.
Ia pun mulai terjaga dari ketidaksadarannya akan cintaku. Ia seperti laki-laki
lainnya, berbicara dengan kata-kata yang manis, seakan-akan menghilangkan rasa
dahagadalam hidupku. Kami pun mulai mempersiapkan segalanya, namun anehnya ia
meminta foto copy kartu tanda pendudukku. Saat itu, aku tidak mengertik untuk
apa kartu identitasku dimintanya.
Pada hari
berikutnya, aku dikagetkan oleh suara telepon dari ibunya yang memintaku segera
datang menemuinya. Aku tidak tahu ada apa, ayang jelas badanku gemetar dan
tiba-tiba merasa takut dengan suaranya
yang seakan-akan ungin menyerangku. Ketika sampainya di rumahnya, ibu dari
teman akrabku itu segera mengeluarka foto copy KTP milikku lalu bertanya,
“Apakah tempat dan tanggal lahir ini benar?” dengan nada suara pelan menjawab,
“benar.” Mendengar pertanyaan itu,aku merasa biasa saja. Namun, aku mulai
gemetar dan gugup ketik ia bertanya, “Kalau begitu, usiamu sekarang mendekati
40 tahun?” untuk pertanyaan kedua ini aku hanya bisa menelan ludah. Sambil
menenangkan diri aku berusaha menjawabnya dengan pelan, “benar, usiaku 34
tahun.”
Perbedaan umur
sebenarnya bukan masalah baginya, namun menurutnya pada usia seperti itu
seorang gadis akan sangat sulit melahirkan seorang anak, padahal ia sangat
mendambakan dapat menimang cucu. Ia tidak mau keinginannya itu hanya sebatas
angan dimana aku mustahil bisa hamil mengingat usiaku yang menginjak kepala
empat.
Aku hanya bisa
mendengar apa yang diaktakannya, walaupun aku juga ada sesuatu yang sangat
mencekik leherku. Setelah pertemuan itu usai, aku pun kembali ke rumah dengan
perasaan sedih. Ibuku pun sejak hari itu merasa yakin dengan hari bahagia yang
ditunggu-tunggunya; dan benar saja,hal itu pun terjadi , semua rencana
pernikahan dibatalkan. Hari bahagia yang ditunggu-tunggu tidak pernah ada.
Kepalaku seolah mau pecah mengetahuihalitu, seakan-akan ada benda keras yang
menimpaku.
Semua orang
pasti akan sedih jika mengalami hal yang sama denganku. Meski begitu, aku tetap
menjalin hubungan baik dengannya (matan calon suamiku), sebab semua itu
bukanlah keinginannya, tapi keinginan orang tuanya. Ia juga telah berusaha
berkali-kali menjelaskan kepada ibunya agar merestui pernikahan kami.
Seringkali ia menelponku, hingga tidak terasa waktu telah berjalan setahun
penuh tanpa ada pembicaraan yang lain.
Aku merasa
bahwa semua ini harus dihentikan, dan aku juga harus mulai mengintropeksi diri.
Akhirnya aku putuskan baha aku harus rela memutus hubungan denganya untuk
selamanya dnegan cara menolak menemui atau mengangkat telepon darinya.
6 bulan sudah
aku lewati kegelisahanku ini, hingga aku putuskan untuk menunaikan ibadah
umrah. Aku ingin menghilangkan kegelisahanyang selama ini aku alami, dan
berharap semuanya berakhir karena kedekatank dengan Allah. Di sana aku
betul-betul merasakan kenikmatan dan kedamaian yang luar biasa, hingga setiap
kali berdoa, aku meneteskan air mata. Aku hanya memohon agar selalu dituntun
dan diberi petunjuknya.
Pada suatu
hari, ketika aku selesai melaksanakan shalat di masjidil Haram, aku duduk
bersimpuh membayangkan hidupku dnegan sangat tenang.aku mendapati seorang ibu
yang berada di sampingku sedang membaca Al-quran dengan suara yang indah, ia
mengulang-ulang ayat yang mulia, “Dan adalah karunia Allah swt sangatlah
besar atasmu.” (Qs. An-nisa: 113) tidak terasa air mataku mengalir deras.
Ketika au menoleh ke arah ibu itu, ia
justru menyuruhku untuk mendekatinya. Aku merasa tenang , dengan penuh perasaan
sayang ia mengusap pundakku.
Setelah surah
itu ia baca, ia kemudian membaca surah adh-dhuha. Hingga ketika sampai pada
ayat ke-5 “dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-nya kepadamu lalu
(hati) kamu menjadi puas” aku seolah merasa bahwa ayat itu baru pertama
kali aku dengar dalam hidupku, padahal aku sering mengulangi-ulanginya setiap
kali shalat. Sungguh jiwaku merasa sangat tenang.
Ibu yang
berada di dekatku itu pun menanyakan sebab-sebab aku menangis, hingga akhirnya
aku merasa harus memceritakan kepadanya tanpa ada rasa malu sedikitpun. Lalu ia
pun berkata bahwa Allah swt mampu menjadikan segala sesuatu yang mudah menjadi
susah; dan jika sekarang dalam keadaan susah, maka esok hari akan dimudahkan
oleh-nya. Sesunggguhnya semua yang terjadi adalah karunia Allah swt, bahkan
dalam setiap cobaan pasti ada nikmat yang tersembunyi. Kemudian aku ucapkan
terima kasih kepadanya atas segala harapan baiknya. Semoga Allah memberikan yang
terbaik kepadanya.
Ibu yang
berada di dekatku itu pun menanyakan sebab-sebab aku menangis, hingga akhirnya
aku merasa harus menceritakan kepadanya
tanpa ada rasa malu sedikitpun. Lalu ia pun berkata bahwa Allah swt mampu
menjadikan segala sesuatu yang mudah menjadi susah; dan jika sekarang dalam
keadaan susah, maka esok hari akan dimudahkan olehnya. Sesungguhnya semua yang
terjadi adalah karunia Allah swt, bahkan dalam setiap cobaan pasti ada nikmat
yang tersembunyi. Kemudian aku ucapkan terima kasih kepadanya atas segala
ucapan baiknya. Semoga Allah memberikan yang terbaik kepadanya.
Setelah
bercengkrama penuh makna itu, aku kembali ke
hotel tempatku tinggal untuk beristirahat dan berbenah diri, sebab esok
hari aku harus menuju ke bandara untuk kembali lagi ke kota kelahiranku, kairo.
Dalam pesawat yang aku tumpangi, berdampingan denganku,kebetulan ia adalah
seorang pemuda yang berperawakan gagah dan berwajah ganteng. Kami saling
berkenalan dan akrab seperti orang yang sudah kenal lama.
Sesampainya di
Kairo, kami pu berpisah, aku juga harus
menyelesaikan sedikit urusan di bandara. Tidak disangka, ketika keluar dari
pintu bandara, aku mendapati sumai temanku tengah berada di ruang tunggu, ia
kemudian mengucapkan selamat atas kepulanganku.
Karena merasa
heran, aku akhirnya menanyakan kenapa ia ada di bandara. Ia pun menjawab bahwa
ia sedang menunggu temannya yang pulang dengan pesawat yang sama. Tidak lama
kemudia, datanglah teman yang ia tunggu, dan ternya ia adalah orang yang duduk
di sampingku saat berada di dalam pesawat. Kami pun saling menyapa, lalu aku
tinggalkan tempat itu dengan ditemani oleh ayahku.
Tidak lama
setelah itu tiba di rumah dan mengganti pakaian untuk beristirahat sejenak,
terdengar suara telepon yang ternyata adalah suara suami temanku yang ingin
berbicara denganku,ia mengatakan bahwa temannya senang denganku dan ingin
melihatku malam itu juga.
Menurut suami
temanku, ia adalah seorang pemuda yang baik dan juga berasal dari keluarga yang
baik, ia seorang pekerja keras dan tidak gampang menyerah, ditambah lagi
memiliki akhlak yang mulia.
Hatiku pun
berdebar-debar, ada perasaan aneh menyusup hatiku. Aku lalu coba untuk
berdialog dengan ayahku mengenal apa yang dikatakan oleh temanku itu, dan
ternyata ia menyuruhku untuk berkunjung ke rumah temanku itu, tempat dimana ia
menginap. Semoga Allah swt memberiku jalan.
Aku pun
akhirnya mengunjujungi rumah temanku, lalu bercerita bahwa aku telah bertemu
dengan teman suaminya itu saat di pesawat, kebetulan kami duduk bersebelahan
dan saling perkenanlan. Rasanya belum genap seminggu, ia pun maju untuk
melamarku. Tidak lebih dari sebulan setengah dari proses lamaran itu, kami pun
melangsungkan pernikahan. Aku selalu teringat apa yang dikatakan seorang ibu
yang berada di masjdil haram bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan.
Kehidupan
rumah tanggaku penuh dengan kebaikan dan kebahagian aku merasa menenukan semua
yang kuharapkan ada pada diri suamiku; ia menjadi seorang laki-laki
bernaung,penuh rasa cinta, kasih sayang dan kemulian. Kami selalu berbuat baik
kepada keluarganya dan juga keluarganku.
Setelah
beberapa bulan menikah, kami belum menemukan tanda-tanda kehamilan. setiap hari
aku merasa gelisah dan takut, apalagi usiaku setiap hari bertambah, saat itu
aku mengunjak 36 tahun. Aku meminta untuk segara memeriksakan aku ke dokter,
aku sangat takut jika ternyta tidak bisa hamil. Namun, ia justru memelukkku dan
berkata dengan penuh kasih sayang dan menyejutkan hati bahwa dia tidak
mementingkan dunia selain diriku; dan ia tidak merisaukan apakah aku bisa hamil
atau tidak, sebab ia telah senang dengan suara teriakan anak dan kenakalan
mereka.
Akan tetapi,
aku tetap pada permintaanku, lalu kami pun pergi ke dokter. Namun, dokter itu
memerintahku untuk pergi memeriksa di laboratorium. Setelah menunggu beberapa
hari, datanglah waktunya untuk mengetahui keterangan dokter. Sesampainya kami
di tempat dokter itu, ia mengatakan “Tidak ada lagi pemeriksaan. Selamat,
nyonya , atas kehamilan Anda?”
Anda bisa
membayangkan betapa gembiranya aku dan suamiku mendengar hal ini, dan aku
seorang yang paling bersyukur atas anugerah ini.
Pada waktu
suamiku sedang menyiapkan keberangkatannya ke mekkah guna melaksanakan ibadah
haji, aku memintanya memperkenanlkanku untuk ikut serta menunaikan haji sebagai
kewajiban ummat islam dan sebagai tanda syukurku. Namun, suamiku menolak dengan
keras, begitu pula dnegan dokter pribadiku, sebab aku masih pada bulan-bulan
opertama kehamilan. Tetapi, aku bersikeras dengan keinginanku, aku mengatakan
kepadanya berdua, “Ynag menciptakan janin ini kepadaku, dialah yang akan
memeliharanya segala macam keburukan.”
Akhirnya,
suamiku memenuhi permintaaku, setelah sebelumnya bermusyawarah dengan dokter.
Setelah tiba waktunya, kami pun berangkat haji. Setalah itu, aku kembali dari
perjalanan haji dengan keadaan yang lebih baik daripada sebelumnya.
Diakhir masa kehamilan, aku bisa melewatinya
dengan baik, walaupun sedikti merasakan sakit di sebabkan bertambahnya usiaku
dan bobot bayi, aku tidak mau mengertahui jenis kelamin janinku ini, aku yakin
bahwa apa yang diberikan Allah itu lebiha baik dan mulia.
Suatu ketika,
aku merasa mengeluh kepada dokter tentang besarnya perutku. Dia menjelaskan
bahwa memanga seperti itu jika seseorang hamil di usia 36 tahun.
Saat-saat
kelahiran telah diambang pintu, maka aku pun dibawah ke rumah sakit untuk menjalani proses
persalinan, dan alhamdulillah semua berjalan lancar. Setalah semua berjalan
baik, dokter datang menemuiku siapa nama bayimu, maka aku menjawab, “yang aku
harapkan dari Allah swt dan kelahirannya saja, aku tidak mementingkan jenis
kelaminnya.” Sepertinya dokter kaget apa yang aku ucapakan, lalu dia berkata,
“biaklah kalau begitu, bagaimana pendapatmu jika aku memberikannya nama hasan,
Husain dan Fatimah!”
Aku tidak
paham apa yang ia maksud, lalu dia menganjurkanku untuk tenang. Ia kemudian
menjelaskan Alla swt telah mengaruniaku 3orang kembar. Aku berfikir,
seakan-akan Allah swt telah berkehendak diakhir usiaku dengan memberikan 3
putra sekaligus. Ini merupakan rahmat darinya disebabkan usiaku yang semakin
tua. Dokter sebenarnya telah mengetahui kondisi kehamilanku, namun ia tidak
memberitahukanku dengan pertimbangan demi menjaga kesehatanku pada masa-masa
kehamilan, agar tidak bertambah rasa takutku.
Aku tidak lagi
mendengar apa yang dikatakan dokter, aku langsung tertawa histeris dan
menangis, serta tidak putus-putusnya mengucapkan pujian dan syukur kepada Allah
swt. Aku kembali teringat ibu yang berda di masjidil haram saat membaca ayat
yang mulia, “dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-nya kepadamu lalu
(hati) kamu menjadi puas” aku bersyukur pun kepada Allah swt yang telah
meridhahiku dan memberikan kenikmatan yang lebih banyak dari apa yang aku
mimpikan.
Sakarang aku
pun bahwa sikap suamiku yang tidak aku hamil dengan alasan ketidaksukaannya memdengar
jeritan anak-anak, itu hanya cara pada saat itu tidak merasa putus asa; sebab
jika ia mengungkapkan keinginannya untuk segera menimang anaknya, maka saat itu
aku akan merasa lebih gelisah dan sedih. Semua itu terlebih ketika aku terdiam
dan tampak tenang memuji dan bersyukur kepada Allah swt.
Aku menulis
artikel itu aku ketika aku sedang menikmati segarnya udara di tepi pantai,
dengan harapan semoga kisahku ini bisa menjadi motivasi bagis setiap gadis yang
usianya sudah tua namun belum menikah, aku sudah menikah tapi belum hamil.
Jangan pernah
berputus asa dari Allah swt, mintalah pertolongan dari sang pencipta. Teruslah
berdoa agar permohonan dikabulkannya, dan doa yang sering kali aku ulang-ulang
adalah, “Tuhanku, jika aku tidak mempunyai keluarga ingin mencapai rahmatmu,
maka rahmatmu dalam keluargaku yang telah engkau sampai kepadaku sebab aku
telah puas atas segalanya.” Terakhir, aku berharap kepada Anda dari rubrik ini
dengan memberikan sebaik-baik doa untukku, suamiku yang penyayangi dan anak-anakku.
Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005.
Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.