BAB I
PENDAHULAUAN
A.
Latar Belakang
Allah SWT telah
menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya
mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan
hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, baik dalam urusan kepentingan
sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Menurut bahasa atau lugat, pengertian
riba artinya ziyadah (tambahan) atau nama’ (berkembang). Sedangkan menurut
istilah pengertian dari riba adalah penambahan pada harta dalam akad
tukar-menukar tanpa adanya imbalan atau pengambilan tambahan dari harta pokok
atau modal secara batil.
Di dalam Islam Riba dalam bentuk apa
pun dan dengan alasan apa pun juga adalah dilarang oleh Allah SWT. Sehingga,
hukum riba itu adalah haram sebagaimana dalil rentang riba dalam firman Allah
SWT dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan riba sebagai berikut.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan jual beli?
2. Apa
dasar hukum dari jual beli?
3. Apa saja rukun dari jual beli?
4. Bagaimana
membedakan jual beli yang diperbolehkan dan dilarang?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk
menjelasakan pengertian jual beli dan dasar hukumnya.
2.
Menerangkan
rukun jaula beli
3.
Menjelaskan
yang mana jual beli yang diperbolehakan dan dilarang
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI JUAL BELI
Jual beli (al-bay’)secara bahasa artinya memindahkanhak milik terhadap benda
dengan akad saling mengganti.
Adapun makna bay’i (jual beli) menurut istilah ada beberapa definisi yang paling
bagus adalah definisi yang disebutkan oleh Syaikh Al-Qalyubi dalam hasyiyah-nya bahwa : “Akad saling
mengganti dengan harta yang berakibat kepada kepemilikan terhadap satu benda
atau manfaat untuk tempo waktu selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada
Allah.”
Ada juga yang mendefinisikan jual beli
sebagai pemilikan terhadap harta atau manfaat untuk selamanya dengan bayaran
harta.
Oleh sebab itu, sebagian ulama
mendefinisikan jual beli secara syar’i sebagai akad yang mengandung sifat
menukar satu harta dengan harta yang lain dengan cara khusus.
B.
DASAR HUKUM JUAL BELI
Jual beli telah disahkan oleh Alquran, sunnah, dan
ijma’ umat.
Adapun dalil dari Alquran yaitu firman
Allah :
Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah (2):275)
Riba adalah haram dan jual beli adalah
halal. Jadi tidak semua akad jual beli adalah haram sebagaimana yang disangka
oleh sebagian orang berdasarkan ayat ini. Bahwa jual beli adalah umum, maka ia
dapat dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan berupa riba dan yang
lainnya dari benda yang dilarang untuk diakadkan seperti minuman keras,
bangkai, dan yang lainnya dari apa yang disebutkan dalam sunnah dan ijma para
ulama akan larangan tersebut.
Menurut bahasa atau lugat, pengertian riba
artinya ziyadah (tambahan) atau nama’ (berkembang). Sedangkan menurut istilah
pengertian dari riba adalah penambahan pada harta dalam akad tukar-menukar
tanpa adanya imbalan atau pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil.
Di dalam Islam Riba dalam bentuk apa
pun dan dengan alasan apa pun juga adalah dilarang oleh Allah SWT. Sehingga,
hukum riba itu adalah haram sebagaimana dalil rentang riba dalam firman Allah
SWT dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan riba sebagai berikut.
Di tempat lain, Allah berfirman:
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. (QS. An-Nisa’ (4):29)
Allah telah mengharamkan memakan harta
orang lain dengan cara batil yaitu tanpa ganti dan hibah.
C.
RUKUN JUAL BELI
Arkan
adalah bentuk jamak dari rukun. Rukun sesuatu berarti sisinya yang paling kuat, sedangkan arkan berarti hal-hal yang harus ada
untuk terwujudnya satu akad dari sisi luar.
Rukun jual beli ada tiga: kedua belah
pihak yang berakad (‘aqidan), yang
diakadkan (ma’qud alaih), dan shighat (lafal).
1.
‘Aqid
(pihak
yang berakad)
jika dikatakan kata ‘aqid, maka perhatian
langsung tertuju kepada penjual dan pembeli karena keduanya mempunyai andil
dalam terjadinya pemilikan dengan harga dan syarat yang dikatakan oleh penulis
ada empat: yang pertama dan kedua khusus untuk penjual, ketiga dan keempat
khusus untuk pembeli, dan dibawah ini kami akan membahas syarat-syarat pihak
yang berakad kemudian syarat barang yang diakadkan.
2.
Ma’qud
‘alihi (Barang Diakadkan)
Ma’qud ‘alihi, yaitu harta yang akan dipindahkan dari tangan salah
seorang yang berakad kepada pihak lain, baik harga atau barang berharga.
Ketahuilah bahwa uang selalu menjadi harga dan barang yang dijual sebagai
penggantinya, tapi jika masuk huruf Ba’ dalam ucapan saya: “bi’tuka hadza ad-dinara bi ‘asyrati aqlamin (saya jual kepadamu
uang dinar ini dengan sepuluh pena), maka uang dinar di sini menjadi harga dan
sepuluh pena sebagai pengganti harga. Namun jika harga dan yang dihargakan
adalah uang atau dua barang,maka harga adalah yang dimasuki huruf Ba’ (dengan) dan yang dijual adalah yang di
depannya, contohnya: “bi’tuka hadza
ats-tsauba bihaqibah” (saya jual baju ini dengan sebuah tas), maka tas
adalah harga dan baju adalah penggantinya.
3.
Shighat
Shighat adalah ijab dan
qabul, dan ijab seperti yang diketahui sebelumnya diambil dari kata aujaba yang artinya meletakkan, dari
pihak penjual yaitu pemberian hak milik, dan qabul yaitu orang yang
menerima hak milik. Jika penjual berkata: “bi’tuka”
(saya jual kepadamu) buku ini dengan ini dan ini, maka ini adalh ijab, dan ketika pihk lain berkata: “qabiltu” (saya terima), maka inilah qabul. Dan jika pemneli berkata: “
Juallah kepadaku kitab ini dengan harga begini” lalu penjual berkata: “saya
jual kepadamu”, maka yang pertama adalah qabul
dan yang kedua adalah ijab. Jadi
dalam akad jual beli penjual selalu menjadi yang ber-ijab dan pembeli menjadi penerima baik diawalkan atau diakhirkan
lafalnya.
D.
JUAL BELI YANG DILARANG DAN YANG DIPERBOLEHKAN
1.
Jual Beli yang Dilarang
Jual
beli yang dilarang sangat beragam, akan disebutkan beberapa jenis jual beli ini
menurut pandangan ulama fiqh. Di antara jual beli yang dilarang adalah sebagai
berikut:
a.
Bai’
al-ma’dum
Merupakan bentuk jual beli atas objek transaksi yang
tidak ada ketika kontrak jual beli dilakukan. Ulama madzhab sepakat atas
ketidakabsahan akad ini. Seperti menjual mutiara yang masih ada di dasar
lautan, wol yang masih di punggung domba, menjual buku yang belum dicetak dan
lainnya. Pelarangan ini bersandar pada sabda Rasul: “Nabi melarang jual beli habl al hablah” (HR Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Nasai, Tirmidzi dari Ibnu Umar), yakni anak onta yang masih berada dalam
kandungan.
b.
Bai’
Ma’juz al Taslim
Merupakan akad jul beli di mana objek transaksi
tidak bisa diserahterimakan. Mayoritas ulama Hanafiyah melarang jual beli ini
walaupun objek tersebut merupakan milik penjual. Seperti menjual burung merpati
yang keluar dari sangkarnya, mobil yang dibawa pencuri, dan lainnya. Ulama 4
madzhab sepakat atas batalnya kontrak jual beli ini, karena objek transaksi
tidak bisa diserahterimakan dan mengandung unsur gharar.
c.
Bai’
Dain (Jual beli hutang)
Hutang adalah sesuatu yang menjadi kewajiban untuk
diserahkan/dikembalikan kepada orang yang berhak menerimanya, seperti uang
sebagai harga beli dalam kontrak jual beli, uang sewa, upah bekerja, pinjaman
dari orang lain, dan lainnya. Bai’ dain biasanya dilakukan dengan orang yang memiliki
beban hutang atau rang lain, baik secara kontan atau tempo.
d.
Bai’
al Gharar
Secara harafiah, gharar
bermakna risiko, sesuatu yang berpotensi terhadap kerusakan. Bai’ al-gharar berarti jual beli barang
yang mengandung unsur risiko. Menurut as-Sarakhsi (Hanafiyah) gharar adalah sesuatu yang akibatnya
tidak diketahui. Al Maliki mengatakan, sesuatu yang tidak diketahui apakah bisa
dihasilkan atau tidak, Syafiiyah menyatakan, sesuatu yang belum bisa
dipastikan.
e.
Asuransi
Dalam kehidupan di dunia, manusia selalu dahadapkan
pada sejumlah ketidakpastian yang bisa menyebabkan kerugian finansial di masa
yang akan datang, ketidakpastian dari kerugian finansial inni sering disebut
sebagai risiko. Sebagai ikhtiar untuk mengantisipasi dampak yang akan
ditimbulkan ole risikko tersebut, manusia membutuhkan persiapan yang biasanya
dikaitkan dengan finansial/dana sejak dini. Dalam dunia modern, mekanisme
tersebut dikenal dengan istilah asuransi yang mana status hukum maupun cara
aktivitasnya perlu mendapatkan tinjauan dari sudut pandang syariah, tinjauan
dari sudut pandang syariah ini penting agar masyarakat mendapatkan kepastian
hukum dari bentuk transksi ini.
f.
Jual Beli Barang Najis
Menurut Hanafiyah, jual beli minuman keras, babi,
bangkai dan darah tidak sah, karena hal ini tidak bisa dikategorikan sebagai
harta secara asal. Tapi, perniagaan atas anjing, macan, serigala, kucing
diperbolehkan. Karena secara hakiki terdapat manfaat, seperti untuk keamanan
dan berburu, sehingga dapat digolongkan sebagai harta.
2.
Jual beli yang diperbolehkan
a.
Urbun, uang muka:
Pembeli menyerahkan uang kepada penjual sebagai mukadimah akad, bila akad
terlaksana maka ia termasuk harga, bila batal maka ia milik penjual dan pembeli
tidak mendapatkan apa pun. Dari Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya
berkata, “Nabi melarang jual beli urbun.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Imam
Ahmad mendhaifkannya.
b.
Menjual dengan laba atau tanpa laba
tanpa rugi atau dengan rugi: Yang pertama menjual
di atas harga modal, yang kedua dengan harga modal dan yang ketiga di bawah
harga modal. Yang pertama sudah umum. Yang kedua dan ketiga adalah haknya,
termasuk membeli dari orang yang menjual karena terpaksa oleh keadaan.
c.
Lelang:
Menjual kepada penawar tertinggi, berbeda dengan penjualan di atas penjualan
orang lain atau pembelian di atas pembelian orang lain. Yang pertama, seseorang
datang kepada calon pembeli dan berkata, “Saya punya barang yang sama dengan
harga lebih murah atau barang lebih bagus dengan harga sama.” Yang kedua, seseorang
datang kepada calon penjual dan berkata, “Saya membelinya dengan harga lebih
tinggi.” Keduanya dilarang dalam hadits, “Seseorang jangan menjual di atas
penjualan saudaranya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah.
d.
Menjual atau membeli dengan syarat:
Penjual menetapkan syarat atas pembeli untuk mendiami rumah yang dijual selama
satu bulan atau pembeli mensyaratkan atas penjual untuk mengantarkan barang
yang dibeli ke rumahnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpualan
Sesuatu
hal yang sering kita lupakan menjadi hal yang dapat merusak nilai amalan yang
kita lakukan dalam jual beli, jadi hal upaya tentang penulisan ini dilakukan
untuk memberikan informasi tentang pengertian, dasar hukum jual beli, rukun dan
syarat jual beli, hal yang terlarang dalam jual beli. Agar terciptanya
lingkungan ekonomi perdagangan islam yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk itu penulis menyimpulkan bahwa jual beli islam adalah suatu kegiatan yang
bersifat kepentingan umum, juga menjadi tolak ukur untuk mensejahterakan
kehidupan rakyat terutama dalam bidang perekonomian. Karena manusia ini adalah
makhluk sosial, jadi diperlukan kegiatan jual beli ini juga seluk beluk
mengenai jual beli islam ini sudah dapat dilihat dalam bab-bab makalah ini.
B. Saran
Penulisan makalah ini menunjukkan hal yang berkaitan dengan apa-apa saja
mengenai hukum-hukum, tata cara pelaksanaan yang terkait tentang hubungan jual
beli yang baik antara penjual juga pembeli, sehingga dapat mendorong munculnya
penulisan makalah yang sejenis dalam pemberi informasi yang lebih baik lagi
tentang hal-hal yang berkaitan dengan hubungan jual beli.
DAFATAR PUSTAKA
Muhammad Azzam Abdul Azizi. (2010). Fikhi Muamalat. Jakarta : Hamzah.
Bjuawaini Dmyauddin. (2008). Fikhi
Muamalah. Yogyakarta :
Pustaka Belajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar