BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan meupakan kunci sekaligus
pembuka bagi perkembangan suatu bangsa, pendidikan yang maju dan kuat akan
mempercepat terjadinya perubahan social. Namun jika sebaliknya pendidikan
suatu bangsa mengalami kemunduran maka sudah dipastikan akan kontra produktif
terhadap jalannya proses perubahan social suatu bangsa dan justru akan
menimbulkan ketidak harmonisan tatanan social.
Dampak globalisasi sebagai akibat
dari kemajuan teknologi yang mau tak mau telah memberi pengaruh dan merubah
peradaban dunia. Demikian pula keterbukaan terhadap arus informasi yang
menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan telah memberikan dampak terhadap
lingkungan, begitu mudahnya terakses dan dikomsumsi oleh masyarakat kita.
Kecenderungan seperti itu harus diantisipasi oleh dunia pendidikan terutama
madrasah diniayah, jika ingin menempatkan pendidikan pada visi sebagai agen
pembangunan dan perkembangan yang tidak ketingalan zaman.
Dalam konteks ini pendidikan seperti
yang dinyatakan oleh Amir Faisal, pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya
manusia yang tidak sekedar menerima arus informasi global, tetapi harus
memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengolah, menyesuaikan, dan
mengembangkan apa yang ditrima melalui arus informasi itu, yaitu manusia yang
kreatif dan produktif. Manusia yang kreatif dan produktif inilah yang menurut
Mochtar Buchori yang harus dijadikan visi pendidikan termasuk pendidikan Islam
karena manusia yang demikianlah yang didambakan kehadiranya baik secara individual,
social maupun nasional. Dan disinilah madrasah diniyah harus mampu mencetak
manusia-manusia yang kretaif dan produktif yang mampu memberikan warna dalam
masyarakatnya, serta tidak ikut terbawa oleh arus global tapi mampu mengambil
kemanfatan untuk dirinya dan orang lain.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah madrasah?
2.
apa pengertian madrasah
diniyah?
3.
Bagaimana sejarah
perkembangan madrasah diniyah di Indonesia?
4.
Bagaimana tingkatan dalam
madrasah diniyah?
5.
Bagaimana potensi dan
kelebihan madrasah diniyah?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui sejarah
madrasah.
2.
Untuk mengetahui pengertian
madrasah diniyah.
3.
Untuk mengetahui sejarah
perkembangan madrasah diniyah di Indonesia.
4.
Untuk mengetahui tingkatan
dalam madrasah diniyah.
5.
Untuk mengetahui potensi
dan kelebihan madrasah diniyah.
D. Manfaaat Penulisan
Dapat menambah wawasan kita dalam bidang ilmu pemikiran pendidikan islam
khususnya dalam hal madrasah diniyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Madrasah
Madrasah sebagai lembaga pendidikan dalam bentuk pendidikan formal sudah
dikenal sejak awal abad ke-11 atau 12 M, atau abad ke 5-6 H, yaitu sejak
dikenal adanya Madrasah Nidzamiyah yang didirikan di Baghdad oleh Nizam
Al-Mulk, seorang wazir dari Dinasti Saljuk. Pendirian Madarasah ini telah
memperkaya khasanah lembaga pendidikan dilingkungan masyarakat Islam, karena
pada masa sebelumnya masyarakat Islam hanya mengenal pendidikan tradisional
yang diselenggarakan di masjid-masjid dan dar al-khuttab. Di Timur Tengah
institusi madrasah berkembang untuk menyelenggarakan pendidikan keislaman
tingkat lanjut (advance/tinggi), yaitu melayani mereka yang masih haus
ilmu sesudah sekian lama menimbanya dengan belajar di masjid-masjid dan/atau dar
al-khuttab. Dengan demikian, pertumbuhan madrasah sepenuhnya merupakan
perkembangan lanjut dan alamiah dari dinamika internal yang tumbuh dari dalam
masyarakat Islam sendiri.
di Indonesia, keadaan tidak demikian. Madrasah merupakan fenomena modern
yang muncul pada awal abad ke-20. Berbeda dengan di timur Tengah di mana
madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pelajaran ilmu agama tingkat
lanjut, sebutan madrasah di Indonesia mengacu kepada lembaga pendidikan yang
memberikan pelajaran agama Islam tingkat rendah dan menengah. perkembangannya
diperkirakan lebih merupakan reaksi terhadap faktor-faktor yang berkembang dari
luar lembaga pendidikan yang secara tradisional sudah ada, terutama munculnya
pendidikan modern Barat. Dengan perkataan lain, tumbuhnya madrasah di Indonesia
adalah hasil tarik menarik antara pesantren sebagai lembaga pendidikan asli (indegenus
culture/tradisional) yang sudah ada di satu sisi, dengan pendidikan Barat
(modern) di sisi lain.
Apabila ditelusuri sejarah masuknya agama Islam di Indonesia, maka agama
Islam datang ke Indonesia dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat, disiarkan
secara damai tanpa paksaan, kekerasan atau perang. Dalam penyiaran Islam pada
tahun-tahun permulaan dilakukan oleh pemuka masyarakat yang dikenal dengan
sebutan para wali. Para wali inilah yang berjasa mengembangkan agama Islam,
terutama di Pulau Jawa, yang dikenal dengan sebutan wali songo.
Para wali menyiarkan Islam dengan cara bijaksana, kebiasaan yang hidup
dan berkembang di kalangan masyarakat tidak sepenuhnya dihilangkan, bahkan adat
istiadat dan kebiasaan itu dilindungi dan dikembangkan, disesuaikan dan diisi
dengan agama Islam. Karena itu maka tidak heran apabila sampai sekarang kita
masih melihat adanya adat istiadat nenek moyang yang masih melekat pada umat
Islam.
Orang-orang yang kemudian masuk Islam ingin mempelajari dan mengetahui
lebih lanjut tentang ajaran Islam, orang ingin bisa mengerjakan sembahyang,
bisa berdoa, bisa membaca Al-Qur’an. Dari sinilah mulai tumbuh pendidikan agama
Islam, pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah, di langgar, di mesjid dan
kemudian berkembang menjadi Pondok Pesantren.
dalam perkembangan selanjutnya lembaga pesantren ini mendapatkan
perhatian para sultan, sesuai dengan kedudukan tinggi para wali di mata sultan,
tidak sedikit pesantren yang mendapatkan perhatian dan bantuan dari sultan.
Contohnya nama Tegalsari yang merupakan hadiah sultan kepada kyai atas
jasa-jasanya. Pondok Pesantren Tegalsari sampai abad ke-19 merupakan pondok
terkemuka di Jawa, bahkan santrinya banyak yang berasal dari Sumatera,
Kalimantan dan lain-lain.
sebagai pembuktian sejarah dapat disebutkan di sini bahwa pada waktu
serombongan kapal laut yang berbendera Belanda di bawah pimpinan Cornelis de
Houtman mendarat di Pulau Jawa pada tahun 1596, mereka melihat kenyataan bahwa
di Pulau ini terdapat perguruan rakyat yang telah dipengaruhi oleh paham agama,
yaitu Hindu dan Islam. Perguruan semacam itu tetap bertahan dan dalam
perkembangan sejarah yang panjang, kemudian dikenal denga sebutan Pesantren
atau Pondok Pesantren.
Zainuddin Labay dapat disebut sebagai tokoh pertama
yang pada tanggal 10 Oktober 1915 mendirikan lembaga pendidikan Islam
(Madrasah) di Padang Panjang. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa pada
tahun itu pula berdirilah madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang
pertama di Jawa Tengah yang bernama Madrasah Muawanatul Muslimin Kenepan (M3K)
di Kudus yang didirikan tanggal 7 Juli 1915, lama pelajarannya 8 tahun terdidri
dari kelas 9. kelas 1 A, kelas 1 B, kemudian kelas 2 sampai kelas 6. mata pelajarannya
terdiri dari pelajaran agama dan pengetahuan umum.
B. Pengertian Madrasah
Diniyah
Madrash Diniyah adalah satu lembaga pendidikan keagamaan
pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara terus menerus memberikan
pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi pada jalur
sekolah yang diberikan melalui system klasikal serta menerapkan jenjang
pendidikan.
Madrasah Diniyah adalah madrasah-madrasah yang seluruh mata
pelajaranya bermaterikan ilmu-ilmu agama, yaitu fiqih, tafsir, tauhid dan
ilmu-ilmu agama lainya. Dengan materi agama yang demikian padat dan lengkap,
maka memungkinkan para santri yang belajar didalamnya lebih baik penguasaanya
terhadap ilmu-ilmu agama.
Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan
pendidikan dan pengajaran secara klasikal dalam pengetahuan agama Islam kepada
pelajar bersama-sama sedikitnya berjumlah 10 orang atau lebih, diantaranya
anak-anak yang berusia 7 (tujuh) sampai 18 (delapan belas) tahun.
Madrasah Diniyah merupakan bagaian dari sitem pendidikan
formal pesantren. Madrasah Diniyah ini menjadi pendukung dan melengkapi
kekurangan yang ada dalam system pendidikan formal pesantren, sehingga antara
pendidikan pesantren dan pendidikan diniyah saling terkait.
Posisi Madrasah Diniyah adalah sebagai penambah dan
pelengkap dari sekolah pendidikan formal yang dirasa pendidikan agama yang
diberikan disekolah formal hanya sekitar 2 jam dirasa belum cukup untuk
menyiapkan keberagaman anaknya sampai ketingkat yang memadai untuk mengarungi
kehidupanya kelak.
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
Madrasah Diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan pada jalur non
formal, dan merupakan jalur formal di pendidikan pesantren yang mengunakan
metode klasikal dengan seluruh mata pelajaran yang bermaterikan agama yang
sedemikian padat dan lengkap sehingga memungkinkan para santri yang belajar
didalamnya lebih baik penguasaanya terhadap ilmu-ilmu agama.
C. Sejarah
Perkembangan Madrasah Diniyah
Sejarah Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa
pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika
kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu yang panjang, pendidikan
keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa pengajian al-Qur’an dan pengajian
kitab, dengan metode yang dikenalkan (terutama di Jawa) dengan nama sorogan,
bandongan dan halaqah. Tempat belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang
masjid atau tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut:
surau, dayah, meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.
Perubahan kelembagaan paling penting terjadi setelah
berkembangnya sistem klasikal, yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintah
kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang didirikannya di berbagai wilayah Nusantara.
Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh
Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah
agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah
al-Diniyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem klasikal seperti
rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya, terutama yang
mayoritas penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga pendidikan
keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah formal yang
berada pada jalur sekolah sekarang. Meskipun sulit untuk memastikan kapan
madrasah didirikan dan madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun
Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) mengakui bahwa setelah Indonesia merdeka
sebagian besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang berkembang
menjadi mad-rasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). Dengan perubahan tersebut
berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang dikelola
penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah pembinaan Departemen Agama.
Meskipun demikian tercatat masih banyak pula madrasah
diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang semula, meskipun dengan status
sebagai pendidikan keagamaan luar sekolah. Pada masa yang lebih kemudian,
mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1964, tumbuh pula
madrasah-madrasah diniyah tipe baru, sebagai pendidikan tambahan berjenjang
bagi murid-murid sekolah umum. Madrasah diniyah itu diatur mengikuti
tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah umum, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah
untuk murid Sekolah Dasar, Wustha untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama,
dan ‘Ulya untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Madrasah diniyah dalam hal
itu dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan klasikal jalur luar sekolah
bagi murid-murid sekolah umum. Data EMIS (yang harus diperlakukan sebagai data
sementara karena ketepatan-nya dapat dipersoalkan) mencatat jumlah madrasah
diniyah di Indonesia pada tahun ajaran 2005/2006 seluruhnya 15.579 buah dengan
jumlah murid 1.750.010 orang.
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan
Pemerintah. Madrasah Diniyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional
untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah
termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang
pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan
agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari
keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.
Keberadaan peraturan perundangan tersebut seolah
menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis
identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak
banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas
menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan
eksistensinya.
Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa
karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan
Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada
dalam lingkaran pengaruh pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini merupakan
kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang
menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan
diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan
menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan yang
diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal di pagi
hari. Keempat, pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren
tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah
formal.
D.
Tingkatan dalam Madrasah Diniyah
1.
Madrasah
Diniyah Awaliyah.
Yaitu satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah
yang menyelenggarkan pendidikan agama Islan tingkat dasar ,dengan masa belajar
4 tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu.
2.
Madrasah
Diniyah Wustha.
Yaitu
satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarkan pendidikan
agama Islam tingkat menengah pertama sebagai pengembangan yang diperoleh pada
madrasah diniyah awaliyah dengan masa belajar 2 tahun, dan jumlah jam
belajar 18 jam pelajaran seminggu.
3.
Madrasah
Diniyah Ulya.
Yaitu
satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarkan pendidikan
agama Islam tingkat menengah atas sebagai pengembangan yang diperoleh
pada madrasah diniyah wustha dengan masa belajar 2 tahun, dan jumlah jam
belajar 18 jam pelajaran seminggu
E.
Potensi dan Kelemahan Madrasah Diniyah
1.
Potensi
Madrasah Diniyah.
Pada
dasarnya, potensi yang ada pada Madrasah Diniyah tidak jauh berbeda dengan
potensi pondok pesantren, karena kedua bentuk satuan pendidikan ini sama-sama
lembaga pendidikan yang lahir, tumbuh, dan berkembang ditengah-itengah masyarakat,
dan dilatar belakangi oleh kebutuhan masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan
yang dibutuhkan oleh masyarakat dan murni diselenggarakan oleh swasta.
Kekuatan
utama Madrasah Diniyah adalah kekennyalannya menghadapi permasalahan yang
timbul. Meskipun dengan kondisi yang serba kekurangan, madrasah diniyah ini
terus berkembang. Kekuatan lain yang dimiliki Madrasah Diniyah adalah
keabsahannya memilih pola, pendekatan, bahkan sistem pembelajaran yang
dipergunakan, tanpa terikat dengan model-model tertentu.
Eksistensi
madrasah semakin dibutuhkan tatkala ‘jebolan’ pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan formal ternyata kurang mampu dalam penguasaan ilmu agama. Dengan
kenyataan itu maka keberadaan Madrasah Diniyah, sebagai penopang dan pendukung
pendidikan formal yang ada. Selain itu diharapkan dapat mendukung pengembangan
madrasah diniyah dimasa-masa mendatang. .Hal ini tampak dari semakin semaraknya
kehidupan beragama, seperti terekam dalam beberapa media masa, baik media cetak
maupun media elektronika.
2. Kelemahan-
Kelemahan Madrasah Diniyah
Sebagai
lembaga pendidikan baik itu formal maupun non formal, pasti mempunyai
kelemahan-kelemahan. Meskipun Madrasah Diniyah dan siswanya semakin meningkat
dari tahun-ketahun sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang berbasis pada
mayarakat ini tidak berkembang dengan optimal. Sebagian besar diniyah adalah
lembaga pendidikan yang melayani lapisan masyarakat yang lemah atau mereka yang
membutuhkan nilai lebih dari agama. Hal ini disatu sisi menempatkan diniyah
sebagai penyelamat bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya terhadap
pendidikan agama, tapi di sisi lain
berkembang dengan manajemen dan sumber daya pendidikan (SDM, sarana prasarana,
pembiayaan,) yang lemah dan pada akhirnya berdampak pada rendahnya kualitas hasil
pendidikan dan jaminan kelangsungan hidupnya. Banyak Madrasah Diniyah yang saat
didirikan cukup baik perkembangannya, namun karena keterbatasan sumber daya
pendidikan akhirnya mengalami penurunan.
Permasalahan
pokok lain, walaupun diniyah merupakan lembaga pendidikan secara historis
merupakan bagian penting dalam usaha pencerdasan rakyat, dirasakan perhatian
negara dan pemerintah masih rendah. Hal ini tidak saja tampak dalam ketidak
jelasan kedudukan dan pengakuan lulusan Madrasah Diniyah dalam sistem
perundang-undangan tentang pendidikan nasional, tetapi juga tampak dalam
substansi pelayanan/pembinaan.
Kelemahan
lain yang ada pada madrasah diniyah adalah sistem pendidikan yang dimiliki
lebih banyak terkesan ‘ala kadarnya’. Ada banyak langkah yang bisa ditempuh
untuk mewujudkan model pendidikan yang ideal, antara lain:
a. Integralisasi
sistem pendidikan Madrasah Diniyah ke dalam sistem pendidikan formal pesantren.
b. Penerapan
menejemen pendidikan secara benar dalam Madrasah Diniyah
c. Sistem
pembelajaran yang dilaksanakan harus mengacu kepada pola pembelajaran yang
terpola dan berpedoman kepada ‘kurikulum’.
d. Melengkapi
Madrasah Diniyah dengan media pendidikan yang sesuai.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1. Zainuddin Labay dapat disebut sebagai
tokoh pertama yang pada tanggal 10 Oktober 1915 mendirikan lembaga pendidikan
Islam (Madrasah) di Padang Panjang.
2. Madrasah diniyah adalah madrasah yang
diselenggarakan di luar bangku pendidikan formal.
3. Perkembangan madrasah Diniyah di
Indonesia mengalami peningkatan.
4. Tingkatan madrasah Diniyah antara
lain, awaliyah, wusta dan ulya.
5. Potesi dan Kelemahan Madrasah diniyah
di berbagai segi isi pendidikan maupun saran dan prasana pendidikan yang kurang
memadai.
B.
Saran
Demikianlah makalah ini kami buat
kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan untuk itu
kami mengharap masukan dan sarannya untuk menjadikan makalah ini seperti yang
kami dan teman-teman harapkan sehingga dapat diambil manfaatnya bagi kita semua
amin.
DAFTAR PUSTAKA
digilib.uinsby.ac.id/10841/5/bab%202.pdf. 2013.
http://didingnurarifin.blogspot.co.id/2015/03/pengertian-madrasah-diniyah.html
http://kuliyyatul.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-madrasah-diniyah.html
http://pai-5d.blogspot.co.id/2010/10/potensi-madrasah-diniyyah-di-era-modern.html
http://sangit26.blogspot.co.id/2011/07/pemahaman-dan-permasalahan-madrasah.html
Shaleh Rachman Abdul. Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa. Ed.
1; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2006.