Cerita hikmah
dalam kehidupan:
Kecerdikan Seorang
Napi
Di sebuah desa, hiduplah seorang
bapak tua yang memiliki sawah luas. Ia tidak lagi sanggup untuk mengurus
sawahnya karena usianya sudah lanjut dan tenaganya melemah. Saat tengah malam
dan ditemani hujan rintik, ia menulis surat kepada putranya yang tengah
mendekam di dalam penjara.
“Anakku, betapa Bapak sangat
kesepian di rumah. Ibumusudah lama pergi untuk selama-lamanya. Kini engkau,
putraku satu-satunya, telah berulah pada negara hingga ditangkap dan dimasukkan
ke penjara. Bapak sedih sekali. Bapak akan mengurus sawah, tetapi tenaga Bapak
sudah tidak kuat lagi. Di usia tua ini, bagaimana mungkin Bapak bisa
mengcangkul sawah? Akh, andai saja engkau ada disini, tentunya kau dapat
memabantu Bapak mencangkul dan mengurus sawah. Bapak rindu sekali padamu...”
Setelah selesai menulis, surat
itu pun dilayangkan kepada putranya yang tengah dipenjara. Sebelum surat itu
diberikan, diperiksa dulu isinya oleh sipir penjara. Setelah dicermati tidak
ada hal yang ganjil, surat itu disampaikan. Sang anak yang memperoleh surat
dari bapaknya merasa sangat terharu. Saaat itu juga ia menulis surat balasan
untuk bapaknya di desa.
“Bapak, saya minta maaf karena
telah membuat Bapak tinggal sendirian di rumah. Saya pun rindu pada bapak.
Harapan saya agar Bapak selalu mendoakan saya. Mengenai sawah kita, jangan
dicangkul dulu karena di dalamnya masih ada senjata-senjata yang ditimbun oleh
kaum pemberontak untuk melawan negara. Saya khawatir kalau bapak cangkul sekarang,
Bapak pun dapat turut ditangkap karena dituduh ikut terlibat menimbun senjata.
Itu saja pesan saya. Satu lagi, walaupun saya berada di dalam penjara, tetapi
bakti saya sebagai seorang anak tidak akan pernah dapat dibatasi oleh apa pun
juga.”
Begitulah ia menjawab surat
bapaknya. Lagi-lagi, sebelum dilayangkan, surat ini diperiksa terlebih dahulu
oleh sipir penjara. Betapa terkejutnya sipir penjara begitu membaca isi surat
yang menyatakan bahwa di sawah bapak ini terdapat senjata. Kontan, saat itu
juga, sipir penjara melapor kepada atasannya. Surat itu disita dan dalam waktu
singkat puluhan polisi disebar ke desa mengarah sawah bapak ini. Semua sawahnya
dicangkul tanpa ada satu petak pun yang diabaikan guna mencari senjata yang
dimaksud. Namun aneh, mereka tetap tidak menemukan senjata sedalam apa pun
mencangkul. Akhirnya, polisi-polisi ini pulang ke markas dengan tangan hampa.
Bapak yang putranya dipenjara ini
heran melihat ada rombongan polisi datang dan langsung mengcangkul sawahnya.
Akhirnya, ia kembali menulis surat kepada putranya.
“Aneh, sungguh aneh! Pagi-pagi
sekali puluhan polisi mendatangi sawah kita sambil membawa cangkul. Dengan semangat, mereka mencangkuli seluruh
sawah tanpa minta izin terlebih dahulu pada bapak. Bapak jadi heran, apa tujuan
mereke?”
Surat ini dilayangkan dan seperti
biasa diperiksa oleh sipir penjara. Setelah dicermati tidak ada hal yang aneh,
surat ini disampaikan kepada putra si bapak. Membaca surat ini, sang anak
terkekeh0kekeh. Lalu ia membalas surat bapaknya.
“Bapak, seperti yang saya katakan
sebelumnya, walaupun berada dalam penjara, namun bakti saya sebagai anak tidak
akan terhalang oleh apa pun. Bapak tidak usah pusing memikirkan ulah puluhan
polisi itu. Sekarag bapak tidak usah bingung tentang sawah kita. Bukankah
sawahnya kini sudah gembur dicangkuli oleh puluhan polisi yang datang itu?”
sekarang Bapak tinggal menanam saja benih yang bapak inginkan. Nah, saya
ucapkan selamat menanam!”
Hikmh cerita
Allah telah mengaruniakan kepada
kita potensi akal. Akal inilah yang kemudian membedakan manusia dengan manusia.
Binatang tidak diberikan potensi akal sehingga hanya hidup dengan naluri dan
hawa nafsu. Namun, manusia mempunyai akal sehingga dapat mengurus diri menjadi
lebih baik.
Karunia Allah berupa akal ini
hendaknya dimanfaatkan sebaik mungkin. Seperti kisah tersebut yang menceritakan
upaya seorang anak berbakti kepada orang tua dengan akalnya. Berbakti kepada
orangtua adalah kewajiban dari Allah kepada setiap anak. Alangkah indahnya jika
karunia Allah ini dimanfaatkan untuk menjadikan diri semakin taat dan semakin
mengenal Allah swt.
Referensi:
Chalil
komaruddin M. H. Hikmah di Balik Fenomena Kehidupan. Cet. I; Bandung:
Pustaka Madani. 2007.
Kecerdikan Seorang
Napi
Di sebuah desa, hiduplah seorang
bapak tua yang memiliki sawah luas. Ia tidak lagi sanggup untuk mengurus
sawahnya karena usianya sudah lanjut dan tenaganya melemah. Saat tengah malam
dan ditemani hujan rintik, ia menulis surat kepada putranya yang tengah
mendekam di dalam penjara.
“Anakku, betapa Bapak sangat
kesepian di rumah. Ibumusudah lama pergi untuk selama-lamanya. Kini engkau,
putraku satu-satunya, telah berulah pada negara hingga ditangkap dan dimasukkan
ke penjara. Bapak sedih sekali. Bapak akan mengurus sawah, tetapi tenaga Bapak
sudah tidak kuat lagi. Di usia tua ini, bagaimana mungkin Bapak bisa
mengcangkul sawah? Akh, andai saja engkau ada disini, tentunya kau dapat
memabantu Bapak mencangkul dan mengurus sawah. Bapak rindu sekali padamu...”
Setelah selesai menulis, surat
itu pun dilayangkan kepada putranya yang tengah dipenjara. Sebelum surat itu
diberikan, diperiksa dulu isinya oleh sipir penjara. Setelah dicermati tidak
ada hal yang ganjil, surat itu disampaikan. Sang anak yang memperoleh surat
dari bapaknya merasa sangat terharu. Saaat itu juga ia menulis surat balasan
untuk bapaknya di desa.
“Bapak, saya minta maaf karena
telah membuat Bapak tinggal sendirian di rumah. Saya pun rindu pada bapak.
Harapan saya agar Bapak selalu mendoakan saya. Mengenai sawah kita, jangan
dicangkul dulu karena di dalamnya masih ada senjata-senjata yang ditimbun oleh
kaum pemberontak untuk melawan negara. Saya khawatir kalau bapak cangkul sekarang,
Bapak pun dapat turut ditangkap karena dituduh ikut terlibat menimbun senjata.
Itu saja pesan saya. Satu lagi, walaupun saya berada di dalam penjara, tetapi
bakti saya sebagai seorang anak tidak akan pernah dapat dibatasi oleh apa pun
juga.”
Begitulah ia menjawab surat
bapaknya. Lagi-lagi, sebelum dilayangkan, surat ini diperiksa terlebih dahulu
oleh sipir penjara. Betapa terkejutnya sipir penjara begitu membaca isi surat
yang menyatakan bahwa di sawah bapak ini terdapat senjata. Kontan, saat itu
juga, sipir penjara melapor kepada atasannya. Surat itu disita dan dalam waktu
singkat puluhan polisi disebar ke desa mengarah sawah bapak ini. Semua sawahnya
dicangkul tanpa ada satu petak pun yang diabaikan guna mencari senjata yang
dimaksud. Namun aneh, mereka tetap tidak menemukan senjata sedalam apa pun
mencangkul. Akhirnya, polisi-polisi ini pulang ke markas dengan tangan hampa.
Bapak yang putranya dipenjara ini
heran melihat ada rombongan polisi datang dan langsung mengcangkul sawahnya.
Akhirnya, ia kembali menulis surat kepada putranya.
“Aneh, sungguh aneh! Pagi-pagi
sekali puluhan polisi mendatangi sawah kita sambil membawa cangkul. Dengan semangat, mereka mencangkuli seluruh
sawah tanpa minta izin terlebih dahulu pada bapak. Bapak jadi heran, apa tujuan
mereke?”
Surat ini dilayangkan dan seperti
biasa diperiksa oleh sipir penjara. Setelah dicermati tidak ada hal yang aneh,
surat ini disampaikan kepada putra si bapak. Membaca surat ini, sang anak
terkekeh0kekeh. Lalu ia membalas surat bapaknya.
“Bapak, seperti yang saya katakan
sebelumnya, walaupun berada dalam penjara, namun bakti saya sebagai anak tidak
akan terhalang oleh apa pun. Bapak tidak usah pusing memikirkan ulah puluhan
polisi itu. Sekarag bapak tidak usah bingung tentang sawah kita. Bukankah
sawahnya kini sudah gembur dicangkuli oleh puluhan polisi yang datang itu?”
sekarang Bapak tinggal menanam saja benih yang bapak inginkan. Nah, saya
ucapkan selamat menanam!”
Hikmh cerita
Allah telah mengaruniakan kepada
kita potensi akal. Akal inilah yang kemudian membedakan manusia dengan manusia.
Binatang tidak diberikan potensi akal sehingga hanya hidup dengan naluri dan
hawa nafsu. Namun, manusia mempunyai akal sehingga dapat mengurus diri menjadi
lebih baik.
Karunia Allah berupa akal ini
hendaknya dimanfaatkan sebaik mungkin. Seperti kisah tersebut yang menceritakan
upaya seorang anak berbakti kepada orang tua dengan akalnya. Berbakti kepada
orangtua adalah kewajiban dari Allah kepada setiap anak. Alangkah indahnya jika
karunia Allah ini dimanfaatkan untuk menjadikan diri semakin taat dan semakin
mengenal Allah swt.
Referensi:
Chalil
komaruddin M. H. Hikmah di Balik Fenomena Kehidupan. Cet. I; Bandung:
Pustaka Madani. 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar