Salam Hidup Penuh Berkah

Selasa, 10 November 2015

makalah: jual beli

BAB I
PENDAHULAUAN
A.  Latar Belakang
Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Menurut bahasa atau lugat, pengertian riba artinya ziyadah (tambahan) atau nama’ (berkembang). Sedangkan menurut istilah pengertian dari riba adalah penambahan pada harta dalam akad tukar-menukar tanpa adanya imbalan atau pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.
Di dalam Islam Riba dalam bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun juga adalah dilarang oleh Allah SWT. Sehingga, hukum riba itu adalah haram sebagaimana dalil rentang riba dalam firman Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan riba sebagai berikut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa  yang dimaksud dengan jual beli?
2.      Apa dasar hukum dari jual beli?
3.      Apa  saja rukun dari jual beli?
4.      Bagaimana membedakan jual beli yang diperbolehkan dan dilarang?
      C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk menjelasakan pengertian jual beli dan dasar hukumnya.
2.    Menerangkan rukun jaula beli
3.    Menjelaskan yang mana jual beli yang diperbolehakan dan dilarang
           











BAB II
PEMBAHASAN
A.    DEFINISI JUAL BELI
Jual beli (al-bay’)secara bahasa artinya memindahkanhak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti.
Adapun makna bay’i (jual beli) menurut istilah ada beberapa definisi yang paling bagus adalah definisi yang disebutkan oleh Syaikh Al-Qalyubi dalam hasyiyah-nya bahwa : “Akad saling mengganti dengan harta yang berakibat kepada kepemilikan terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo waktu selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah.”
Ada juga yang mendefinisikan jual beli sebagai pemilikan terhadap harta atau manfaat untuk selamanya dengan bayaran harta.
Oleh sebab itu, sebagian ulama mendefinisikan jual beli secara syar’i sebagai akad yang mengandung sifat menukar satu harta dengan harta yang lain dengan cara khusus.
B.     DASAR HUKUM JUAL BELI
Jual beli telah disahkan oleh Alquran, sunnah, dan ijma’ umat.
Adapun dalil dari Alquran yaitu firman Allah :


Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah (2):275)
Riba adalah haram dan jual beli adalah halal. Jadi tidak semua akad jual beli adalah haram sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang berdasarkan ayat ini. Bahwa jual beli adalah umum, maka ia dapat dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan berupa riba dan yang lainnya dari benda yang dilarang untuk diakadkan seperti minuman keras, bangkai, dan yang lainnya dari apa yang disebutkan dalam sunnah dan ijma para ulama akan larangan tersebut.
Menurut bahasa atau lugat, pengertian riba artinya ziyadah (tambahan) atau nama’ (berkembang). Sedangkan menurut istilah pengertian dari riba adalah penambahan pada harta dalam akad tukar-menukar tanpa adanya imbalan atau pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.

Di dalam Islam Riba dalam bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun juga adalah dilarang oleh Allah SWT. Sehingga, hukum riba itu adalah haram sebagaimana dalil rentang riba dalam firman Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan riba sebagai berikut.

Di tempat lain, Allah berfirman:




Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa’ (4):29)
Allah telah mengharamkan memakan harta orang lain dengan cara batil yaitu tanpa ganti dan hibah.
C.  RUKUN JUAL BELI
Arkan  adalah bentuk jamak dari rukun. Rukun sesuatu berarti sisinya yang paling kuat, sedangkan arkan berarti hal-hal yang harus ada untuk terwujudnya satu akad dari sisi luar.
Rukun jual beli ada tiga: kedua belah pihak yang berakad (‘aqidan), yang diakadkan (ma’qud alaih), dan shighat (lafal).
1.      ‘Aqid (pihak yang berakad)
jika dikatakan kata ‘aqid,  maka perhatian langsung tertuju kepada penjual dan pembeli karena keduanya mempunyai andil dalam terjadinya pemilikan dengan harga dan syarat yang dikatakan oleh penulis ada empat: yang pertama dan kedua khusus untuk penjual, ketiga dan keempat khusus untuk pembeli, dan dibawah ini kami akan membahas syarat-syarat pihak yang berakad kemudian syarat barang yang diakadkan.
2.      Ma’qud ‘alihi (Barang Diakadkan)
Ma’qud ‘alihi, yaitu harta yang akan dipindahkan dari tangan salah seorang yang berakad kepada pihak lain, baik harga atau barang berharga. Ketahuilah bahwa uang selalu menjadi harga dan barang yang dijual sebagai penggantinya, tapi jika masuk huruf Ba’  dalam ucapan saya: “bi’tuka hadza ad-dinara bi ‘asyrati aqlamin (saya jual kepadamu uang dinar ini dengan sepuluh pena), maka uang dinar di sini menjadi harga dan sepuluh pena sebagai pengganti harga. Namun jika harga dan yang dihargakan adalah uang atau dua barang,maka harga adalah yang dimasuki huruf Ba’  (dengan) dan yang dijual adalah yang di depannya, contohnya: “bi’tuka hadza ats-tsauba bihaqibah” (saya jual baju ini dengan sebuah tas), maka tas adalah harga dan baju adalah penggantinya.
3.      Shighat
Shighat adalah ijab dan qabul, dan ijab seperti yang diketahui sebelumnya diambil dari kata aujaba yang artinya meletakkan, dari pihak penjual yaitu pemberian hak milik, dan qabul  yaitu orang yang menerima hak milik. Jika penjual berkata: “bi’tuka” (saya jual kepadamu) buku ini dengan ini dan ini, maka ini adalh ijab, dan ketika pihk lain berkata: “qabiltu” (saya terima), maka inilah qabul. Dan jika pemneli berkata: “ Juallah kepadaku kitab ini dengan harga begini” lalu penjual berkata: “saya jual kepadamu”, maka yang pertama adalah qabul dan yang kedua adalah ijab. Jadi dalam akad jual beli penjual selalu menjadi yang ber-ijab dan pembeli menjadi penerima baik diawalkan atau diakhirkan lafalnya.
D.   JUAL BELI YANG DILARANG DAN  YANG DIPERBOLEHKAN
1.      Jual Beli yang Dilarang
Jual beli yang dilarang sangat beragam, akan disebutkan beberapa jenis jual beli ini menurut pandangan ulama fiqh. Di antara jual beli yang dilarang adalah sebagai berikut:
a.      Bai’ al-ma’dum
Merupakan bentuk jual beli atas objek transaksi yang tidak ada ketika kontrak jual beli dilakukan. Ulama madzhab sepakat atas ketidakabsahan akad ini. Seperti menjual mutiara yang masih ada di dasar lautan, wol yang masih di punggung domba, menjual buku yang belum dicetak dan lainnya. Pelarangan ini bersandar pada sabda Rasul: “Nabi melarang jual beli habl al hablah” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi dari Ibnu Umar), yakni anak onta yang masih berada dalam kandungan.
b.      Bai’ Ma’juz al Taslim
Merupakan akad jul beli di mana objek transaksi tidak bisa diserahterimakan. Mayoritas ulama Hanafiyah melarang jual beli ini walaupun objek tersebut merupakan milik penjual. Seperti menjual burung merpati yang keluar dari sangkarnya, mobil yang dibawa pencuri, dan lainnya. Ulama 4 madzhab sepakat atas batalnya kontrak jual beli ini, karena objek transaksi tidak bisa diserahterimakan dan mengandung unsur gharar.
c.       Bai’ Dain (Jual beli hutang) 
Hutang adalah sesuatu yang menjadi kewajiban untuk diserahkan/dikembalikan kepada orang yang berhak menerimanya, seperti uang sebagai harga beli dalam kontrak jual beli, uang sewa, upah bekerja, pinjaman dari orang lain, dan lainnya. Bai’ dain  biasanya dilakukan dengan orang yang memiliki beban hutang atau rang lain, baik secara kontan atau tempo.
d.      Bai’ al Gharar
Secara harafiah, gharar bermakna risiko, sesuatu yang berpotensi terhadap kerusakan. Bai’ al-gharar berarti jual beli barang yang mengandung unsur risiko. Menurut as-Sarakhsi (Hanafiyah) gharar adalah sesuatu yang akibatnya tidak diketahui. Al Maliki mengatakan, sesuatu yang tidak diketahui apakah bisa dihasilkan atau tidak, Syafiiyah menyatakan, sesuatu yang belum bisa dipastikan.
e.       Asuransi
Dalam kehidupan di dunia, manusia selalu dahadapkan pada sejumlah ketidakpastian yang bisa menyebabkan kerugian finansial di masa yang akan datang, ketidakpastian dari kerugian finansial inni sering disebut sebagai risiko. Sebagai ikhtiar untuk mengantisipasi dampak yang akan ditimbulkan ole risikko tersebut, manusia membutuhkan persiapan yang biasanya dikaitkan dengan finansial/dana sejak dini. Dalam dunia modern, mekanisme tersebut dikenal dengan istilah asuransi yang mana status hukum maupun cara aktivitasnya perlu mendapatkan tinjauan dari sudut pandang syariah, tinjauan dari sudut pandang syariah ini penting agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum dari bentuk transksi ini.
f.       Jual Beli Barang Najis
Menurut Hanafiyah, jual beli minuman keras, babi, bangkai dan darah tidak sah, karena hal ini tidak bisa dikategorikan sebagai harta secara asal. Tapi, perniagaan atas anjing, macan, serigala, kucing diperbolehkan. Karena secara hakiki terdapat manfaat, seperti untuk keamanan dan berburu, sehingga dapat digolongkan sebagai harta.

2.      Jual beli yang diperbolehkan

a.    Urbun, uang muka: Pembeli menyerahkan uang kepada penjual sebagai mukadimah akad, bila akad terlaksana maka ia termasuk harga, bila batal maka ia milik penjual dan pembeli tidak mendapatkan apa pun. Dari Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata, “Nabi melarang jual beli urbun.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Imam Ahmad mendhaifkannya.
b.      Menjual dengan laba atau tanpa laba tanpa rugi atau dengan rugi: Yang pertama menjual di atas harga modal, yang kedua dengan harga modal dan yang ketiga di bawah harga modal. Yang pertama sudah umum. Yang kedua dan ketiga adalah haknya, termasuk membeli dari orang yang menjual karena terpaksa oleh keadaan.
c.    Lelang: Menjual kepada penawar tertinggi, berbeda dengan penjualan di atas penjualan orang lain atau pembelian di atas pembelian orang lain. Yang pertama, seseorang datang kepada calon pembeli dan berkata, “Saya punya barang yang sama dengan harga lebih murah atau barang lebih bagus dengan harga sama.” Yang kedua, seseorang datang kepada calon penjual dan berkata, “Saya membelinya dengan harga lebih tinggi.” Keduanya dilarang dalam hadits, “Seseorang jangan menjual di atas penjualan saudaranya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
d.   Menjual atau membeli dengan syarat: Penjual menetapkan syarat atas pembeli untuk mendiami rumah yang dijual selama satu bulan atau pembeli mensyaratkan atas penjual untuk mengantarkan barang yang dibeli ke rumahnya.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpualan
Sesuatu hal yang sering kita lupakan menjadi hal yang dapat merusak nilai amalan yang kita lakukan dalam jual beli, jadi hal upaya tentang penulisan ini dilakukan untuk memberikan informasi tentang pengertian, dasar hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, hal yang terlarang dalam jual beli. Agar terciptanya lingkungan ekonomi perdagangan islam yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu penulis menyimpulkan bahwa jual beli islam adalah suatu kegiatan yang bersifat kepentingan umum, juga menjadi tolak ukur untuk mensejahterakan kehidupan rakyat terutama dalam bidang perekonomian. Karena manusia ini adalah makhluk sosial, jadi diperlukan kegiatan jual beli ini juga seluk beluk mengenai jual beli islam ini sudah dapat dilihat dalam bab-bab makalah ini.
B.  Saran
Penulisan makalah ini menunjukkan hal yang berkaitan dengan apa-apa saja mengenai hukum-hukum, tata cara pelaksanaan yang terkait tentang hubungan jual beli yang baik antara penjual juga pembeli, sehingga dapat mendorong munculnya penulisan makalah yang sejenis dalam pemberi informasi yang lebih baik lagi tentang hal-hal yang berkaitan dengan hubungan jual beli.



DAFATAR PUSTAKA
Muhammad Azzam Abdul Azizi. (2010). Fikhi Muamalat. Jakarta : Hamzah.
Bjuawaini Dmyauddin. (2008). Fikhi Muamalah. Yogyakarta  : Pustaka Belajar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar