Aku adalah
gadis yang berasal dari keluarga sederhana. Aku mempunyai 3 bersaudara; 2
laki-lakidan 1 perempuan. Ibu kami hanya bekerja di rumah, sedangkan ayah
dulunya berprofesi sebag"ai pegawai di salah satu instansi pemerintah.
Sengaja aku mengemukakan kata-kata “dulu” karena sekarang ia telah pergi
meninggalkan kami sejak beberapa bulan yang lalu dalam peristiwa kecelakaan
mobil ketika sedang melaksanakan tugasnya.
Almarhum ayah
sendiri adalah sosok pria yang tidak ada bandingannya, karena ia selalu
memenuhi setiap permintaan dari siapapun selama masih bisa dilakukan hingga hal
ini diketahui dengan baik oleh para kerabat, tetangga dan teman sejawatnya.
Tidak ada satu hari pun yang dilewatikecuali ia menunaikan kebutuhan salah
seorang dari mereka tanpa mereka terpaksa. Selain itu, jiwanya selalu tulus
membantu. Seandainya ketulusannya itu disebar ke seluruh permukaan numi niscaya
sanggup menutupinya.
Rezeki yang
diperoleh selalu diterimanya dengan sikap qana’ah tanpa merasa iri dengan rezeki
atau harta yang diperoleh orang lain. Bahkan, ia selalu memuji tuhannya atas
nikmat sehat dan perlindungan-Nya. Jika ada yang menyatakan kepadanya “sifulan
punya barang ini dan itu”, ia menanggapinya dengan mengatakan “Semoga Allah
memberkahinya”, padahal kami suka mencemohnya karena bersikap seperti itu. kami
memiliki keyakinan bahwa ketulusan dan sikap qana’ah adalah perilaku negatif
dan tidak bisa meningkatkan taraf hidupnya.
Hanya dengan
mengandalkan gaji bulanannyakami dapat hidup berkecukupan berkat kecakapan ibu
mengatur pengeluaran rumah tangga. Ayah sengaja menyerahkan sepenuhnya tuga itu
kepada ibu dnegan keyakinan ia mampu melaksanakan tugas sulit tersebut. Setelah
kami besar, lulus kuliah, mempunyai pekerjaan yang baik dan gaji sendiri yang
bebas digunakan untuk apa saja, ayah tidak pernah meminta agar kami membantunya
untuk meringankan biaya pengeluaran rumah tangga. Bahkan, ia sendiri yang
mencukupi tanpa menperhitungkannya.
Seingatku, ia
memiliki aktivitas yang tidak biasa dilakukan. Ia rela membanting tulang demi
melayani kami sejak masih kecil-kecil. Setelah kami besar dan mampu melayani
diri sendiri, ia tetap tidak keberatan mencuci baju atau kaos kaki, menyiapkan
sarapan pagi dan malam hari untuk kami, atau keluar rumah membeli semua keinginan
kami meskipun masih ada saudara-saudara yang lain di rumah, sedangkan ia
sendiri tidak pernah meminta kami memenuhi kebutuhannya walau sekalipun.
Ia
memperlakukanku dan adik perempuanku seperti saudara laki-laki kami. Bahkan
lebih dari itu, jika ia merasa salah seorang dari mereka membuat kami marah, ia
akan mendatangkannya di hadapan kami, kemudian memberitahukannya bahwa kami
tidaka akan menyatakan apapun tentangnya. Tetapi kami lebih utama darinya di
mata ayah, karena kami selalu dan membantu ibu meyelesaikan tugas rumah,
sementara ia hanya sibuk dengan dirinya sendiri
Seperti itulah
kami tumbuh dan merasa bahwa kami memiliki tulang punggung yang selalu menopang
dan berdiri di samping kami. Aku ingat betul, ia sangat menyayangi kami. Ia
tidak tenang jika melihat salah seorang dari kami menderita influenza atau
bersin-bersin di hadapannya. Serta merta ia bangkit dengan perasaan terusik
menanyakan penyakit yang kami derita dan segera mengobatinya dengan teh hangat,
air jeruk dan obat.
Seingatku jika
ada sakit, ia yang memberikan obat kendati di tengah malam, meletakkan jam
weker di sampingnya untuk membangunkannya dari tidur agar dapat memberikan obat
kepada anaknya yang sedang sakit walau terkadang kami merasa terusik dengan
perhatiannya dan menertawakannya.
Kami tidak
pernah tahu seberapa besar cintanya kepada kami. Padahal, terkadang kami
membuatnya marah dengan tingkah laku kami yang belum dewasa; dan jika kami
merasa dipojokkan dengan cemohannya, ia sendiri yang mendatangi kami untuk
meminta maaf seolah-olah ia yang bersalah. Kami tidak pernah mengira hal itu
akan dilakukannya.
Tidak hanya
terhadap kami, ia bahkan melakukan hal itu kepada orang lain jika ada salah
seorang teman atau kerabatnya berbuah salah terhadapnya, ia tidak segan-segan
menegur dan memarahinya dan pada hari berikutnya ia melupakan apa yang pernah terjadi, bahkan bersedia
melayani atau membantu orang tersebut.
Almarhum ayah
adalah pria yang baik hati, tidak pernah iri kepada orang lain, memberikan
segala yang ia mampu berikan untuk membahagiakan orang lain tanpa mengharapkan
balasan. Bersamanya aku memiliki kenangan yang tidak akan pernah terlupakan
sepanjang hidupku, ketika seorang pria-yang semua orang melihatnya cocok-
datang meminangku namun aku tidak nyaman dengannya hingga ibu memarahinya.
Ayahlah satu-satunya orang yang berani menyatakan, “Pernikahan yang ia jalani
adalah kehidupannya sendiri, dan ia bebas memilih. Bagaimana ia bisa hidup
bersama pria yang tidak disenanginya? Semua itu berkaitan dengan nasib, dan
nasibnya kali ini belum beruntung.”
Ia kemudian
menyarankanku agar tidak cepat menilai pria mana saja yang datang meminangku
dan memikirkannya dengan baik-baik, karena ia tidak akan memaksaku menikah
dengan pria yang tidak aku sukai, hingga akhirnya aku berkenalan dengan pria
yang berperilaku baik dan sesuai denganku darin semua sisi, lalu aku
meberitahukannya kepada ayah-ibu bahwa pria itu ingindatang melamarku. Dengan
suka cita ayah dan mengajukan pertanyaan kepadanya. Jika memang cocok, ia akan
merestuinya, karena hal pertama yang ia harapkan adalah kebahagiaanku.
Seperti ayah
yang dilakukan terhadapku dalam masalah pernikahan, ia melakukan itu juga
kepada adik perempuanku, dan aku akui bahwa aku tifak pernah melihat sifat itu
kecuali aku menikah dan tinggal jauh darinya.
Perasaan rindu
akan kasih sayang, cinta dan sentuhan tangannya terus menggelayuti perasaanku.
Namun , sayangnya sehari pun aku dan adikku tidak bisa mengungkapkan kecintaan
dan kerinduan kami kepadanya seperti yang ia tunjukkan terhadap dahulu. Ia telah
berpulang meninggalkan kami tanpa mengucapkan kata perpisahan sepatah kata pun,
dan tanpa ada seorang pun dari kami di
sampingnya saat ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Ia pergi
setelah mengucapkan selamat tinggal kepada semua kerabat kami, namun tidak
sempat mengucapkannya kepada anak-anaknya yang menikmati kebaikannya. Selama
bertahun-tahun hingga saat ini, ia pergi tanpa mengetahui betapa kami
mencintainya dan berharap dapat mencium tanpa disaksikan oleh kami dan
melepasakan pandangan terakhir kepadanya. Yang tertinggal hanyalah kenangan
indah bersamanya, dan ibu yang selalu aku doakkan agar dipanjangkan umurnya
sehingga kami dapat memenuhi hak-haknya, terus merawat dan melayaninya
sepanjang hidup kami.
Mungkin Anda
bertanya, “Apa pentingnya kisah ini bagi para pembaca?” sebenarnya aku ingin
mengirim surat cinta dan menyampaikan berita gembira kepada arwah ayah dan
ingin menyatakan, “Seandainya waktu bisa diputar kembali, kami tidak akan pergi
meninggalkannya bersama ibu agar bisa mengurus dan menyenangkannya sekuat
tenanga.” Selain itu, aku ingin menunjukkan surat ini kepadapara muda-mudi dan
anak-anak agar mencium tangan ayah dan ibu mereka di setiap pagi dan petang.
Ungkapkan kepada mereka perasaan cinta Anda dengan segala cara dan jangan kikir
untuk membalas segala kebaikan merekaselama ini. Lakukanlah selama mereka masih
hidup demi untuk membahagiakan mereka dan agar tidak menyesali kekurangan Anda
dalam menunaikan hak-hak mereka sebelum keduanya pergi dan tidak akan pernah
kembali lagi.
Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005.
Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar