Senin, 23 Juni 2014

SURAT UNTUK AYAH



Aku adalah gadis yang berasal dari keluarga sederhana. Aku mempunyai 3 bersaudara; 2 laki-lakidan 1 perempuan. Ibu kami hanya bekerja di rumah, sedangkan ayah dulunya berprofesi sebag"ai pegawai di salah satu instansi pemerintah. Sengaja aku mengemukakan kata-kata “dulu” karena sekarang ia telah pergi meninggalkan kami sejak beberapa bulan yang lalu dalam peristiwa kecelakaan mobil ketika sedang melaksanakan tugasnya.
Almarhum ayah sendiri adalah sosok pria yang tidak ada bandingannya, karena ia selalu memenuhi setiap permintaan dari siapapun selama masih bisa dilakukan hingga hal ini diketahui dengan baik oleh para kerabat, tetangga dan teman sejawatnya. Tidak ada satu hari pun yang dilewatikecuali ia menunaikan kebutuhan salah seorang dari mereka tanpa mereka terpaksa. Selain itu, jiwanya selalu tulus membantu. Seandainya ketulusannya itu disebar ke seluruh permukaan numi niscaya sanggup menutupinya.
Rezeki yang diperoleh selalu diterimanya dengan sikap qana’ah tanpa merasa iri dengan rezeki atau harta yang diperoleh orang lain. Bahkan, ia selalu memuji tuhannya atas nikmat sehat dan perlindungan-Nya. Jika ada yang menyatakan kepadanya “sifulan punya barang ini dan itu”, ia menanggapinya dengan mengatakan “Semoga Allah memberkahinya”, padahal kami suka mencemohnya karena bersikap seperti itu. kami memiliki keyakinan bahwa ketulusan dan sikap qana’ah adalah perilaku negatif dan tidak bisa meningkatkan taraf hidupnya.
Hanya dengan mengandalkan gaji bulanannyakami dapat hidup berkecukupan berkat kecakapan ibu mengatur pengeluaran rumah tangga. Ayah sengaja menyerahkan sepenuhnya tuga itu kepada ibu dnegan keyakinan ia mampu melaksanakan tugas sulit tersebut. Setelah kami besar, lulus kuliah, mempunyai pekerjaan yang baik dan gaji sendiri yang bebas digunakan untuk apa saja, ayah tidak pernah meminta agar kami membantunya untuk meringankan biaya pengeluaran rumah tangga. Bahkan, ia sendiri yang mencukupi tanpa menperhitungkannya.
Seingatku, ia memiliki aktivitas yang tidak biasa dilakukan. Ia rela membanting tulang demi melayani kami sejak masih kecil-kecil. Setelah kami besar dan mampu melayani diri sendiri, ia tetap tidak keberatan mencuci baju atau kaos kaki, menyiapkan sarapan pagi dan malam hari untuk kami, atau keluar rumah membeli semua keinginan kami meskipun masih ada saudara-saudara yang lain di rumah, sedangkan ia sendiri tidak pernah meminta kami memenuhi kebutuhannya walau sekalipun.
Ia memperlakukanku dan adik perempuanku seperti saudara laki-laki kami. Bahkan lebih dari itu, jika ia merasa salah seorang dari mereka membuat kami marah, ia akan mendatangkannya di hadapan kami, kemudian memberitahukannya bahwa kami tidaka akan menyatakan apapun tentangnya. Tetapi kami lebih utama darinya di mata ayah, karena kami selalu dan membantu ibu meyelesaikan tugas rumah, sementara ia hanya sibuk dengan dirinya sendiri
Seperti itulah kami tumbuh dan merasa bahwa kami memiliki tulang punggung yang selalu menopang dan berdiri di samping kami. Aku ingat betul, ia sangat menyayangi kami. Ia tidak tenang jika melihat salah seorang dari kami menderita influenza atau bersin-bersin di hadapannya. Serta merta ia bangkit dengan perasaan terusik menanyakan penyakit yang kami derita dan segera mengobatinya dengan teh hangat, air jeruk dan obat.
Seingatku jika ada sakit, ia yang memberikan obat kendati di tengah malam, meletakkan jam weker di sampingnya untuk membangunkannya dari tidur agar dapat memberikan obat kepada anaknya yang sedang sakit walau terkadang kami merasa terusik dengan perhatiannya dan menertawakannya.
Kami tidak pernah tahu seberapa besar cintanya kepada kami. Padahal, terkadang kami membuatnya marah dengan tingkah laku kami yang belum dewasa; dan jika kami merasa dipojokkan dengan cemohannya, ia sendiri yang mendatangi kami untuk meminta maaf seolah-olah ia yang bersalah. Kami tidak pernah mengira hal itu akan dilakukannya.
Tidak hanya terhadap kami, ia bahkan melakukan hal itu kepada orang lain jika ada salah seorang teman atau kerabatnya berbuah salah terhadapnya, ia tidak segan-segan menegur dan memarahinya dan pada hari berikutnya ia melupakan  apa yang pernah terjadi, bahkan bersedia melayani atau membantu orang tersebut.
Almarhum ayah adalah pria yang baik hati, tidak pernah iri kepada orang lain, memberikan segala yang ia mampu berikan untuk membahagiakan orang lain tanpa mengharapkan balasan. Bersamanya aku memiliki kenangan yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidupku, ketika seorang pria-yang semua orang melihatnya cocok- datang meminangku namun aku tidak nyaman dengannya hingga ibu memarahinya. Ayahlah satu-satunya orang yang berani menyatakan, “Pernikahan yang ia jalani adalah kehidupannya sendiri, dan ia bebas memilih. Bagaimana ia bisa hidup bersama pria yang tidak disenanginya? Semua itu berkaitan dengan nasib, dan nasibnya kali ini belum beruntung.”
Ia kemudian menyarankanku agar tidak cepat menilai pria mana saja yang datang meminangku dan memikirkannya dengan baik-baik, karena ia tidak akan memaksaku menikah dengan pria yang tidak aku sukai, hingga akhirnya aku berkenalan dengan pria yang berperilaku baik dan sesuai denganku darin semua sisi, lalu aku meberitahukannya kepada ayah-ibu bahwa pria itu ingindatang melamarku. Dengan suka cita ayah dan mengajukan pertanyaan kepadanya. Jika memang cocok, ia akan merestuinya, karena hal pertama yang ia harapkan adalah kebahagiaanku.
Seperti ayah yang dilakukan terhadapku dalam masalah pernikahan, ia melakukan itu juga kepada adik perempuanku, dan aku akui bahwa aku tifak pernah melihat sifat itu kecuali aku menikah dan tinggal jauh darinya.
Perasaan rindu akan kasih sayang, cinta dan sentuhan tangannya terus menggelayuti perasaanku. Namun , sayangnya sehari pun aku dan adikku tidak bisa mengungkapkan kecintaan dan kerinduan kami kepadanya seperti yang ia tunjukkan terhadap dahulu. Ia telah berpulang meninggalkan kami tanpa mengucapkan kata perpisahan sepatah kata pun, dan tanpa ada seorang  pun dari kami di sampingnya saat ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Ia pergi setelah mengucapkan selamat tinggal kepada semua kerabat kami, namun tidak sempat mengucapkannya kepada anak-anaknya yang menikmati kebaikannya. Selama bertahun-tahun hingga saat ini, ia pergi tanpa mengetahui betapa kami mencintainya dan berharap dapat mencium tanpa disaksikan oleh kami dan melepasakan pandangan terakhir kepadanya. Yang tertinggal hanyalah kenangan indah bersamanya, dan ibu yang selalu aku doakkan agar dipanjangkan umurnya sehingga kami dapat memenuhi hak-haknya, terus merawat dan melayaninya sepanjang hidup kami.
Mungkin Anda bertanya, “Apa pentingnya kisah ini bagi para pembaca?” sebenarnya aku ingin mengirim surat cinta dan menyampaikan berita gembira kepada arwah ayah dan ingin menyatakan, “Seandainya waktu bisa diputar kembali, kami tidak akan pergi meninggalkannya bersama ibu agar bisa mengurus dan menyenangkannya sekuat tenanga.” Selain itu, aku ingin menunjukkan surat ini kepadapara muda-mudi dan anak-anak agar mencium tangan ayah dan ibu mereka di setiap pagi dan petang. Ungkapkan kepada mereka perasaan cinta Anda dengan segala cara dan jangan kikir untuk membalas segala kebaikan merekaselama ini. Lakukanlah selama mereka masih hidup demi untuk membahagiakan mereka dan agar tidak menyesali kekurangan Anda dalam menunaikan hak-hak mereka sebelum keduanya pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.
Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005. Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.

Tidak ada komentar: