Minggu, 22 Juni 2014

KENANGAN PAHIT


Ini rahmat Allah yang dimunculkan dalam hati hambanya
Yang Dia kehendaki, dan Allah akan memberikan rahmat-Nya
Kepada hamba yang menyayangi.
(hadis)
Aku seorang wanita yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga tidak mampu dengan jumlah saudara yang cukup banyak. Aku anak kedua adari 5 bersaudara. Aku mempunyai paras yang tidak terlalu cantik dan kepribadian lebih tenang dibandingkan saudari-saudariku yang lain, sedangkan adikku berparas cantik, manja dan selalu diperlakukan dengan baik. Sebaliknya aku selalu mendapat cemohan dan pelaku kasar. Jika adikku melakukan kesalahn, maka akulah yang menjadi sasaran hukuman. Alasannya adalah, sepatutnya aku menjaga dan menjauhkannya dari kesalahan-kesalahan.
Sebelum aku, kakak perempuanku yang harus sering merasakannya, walaupun terkadang ayah selalu berbeda pendapat dengannya. Jika ia tidak bisa menghindar dari perlakuan kasar ayah, maka karena aku belum paham dengan apa yang terjadi aku harus menghormati dan menuruti semua permintaan mereka. Jika sedikit saja aku terlambat atau keliru, hukumannya adalah dikurung dalam kamar mandiatau dipukul dengan ikat pinggang, atau diikat kaki dan tanganku kemudian dipukuli hingga bababk belur.
Peelakuan seperti ini bukan hanya berlaku kepadaku, tapi juga saudara-saudaraku yang lain, walaupun akulah yang sering mendapat perlakuan ynag paling kasar di antara yang lain. Ayahku dengan sikap tidak manusiawinya menghancurkan semua makna harga diri,hingga perlakuan kasar itu sering meninggalkan bekas. Orang yang melihat tidak percaya dan terheran-heran; terkadang mata kami tampak biru, wajah kami bengkak atau terluka dan terkadang ada tanda memar di tangan.
Setiap har ayah memilih salah seorang dari kami untuk jadikan korban. Ia lantas menghajar dengan perabotanm rumah dan tidak akan berhenti kecuali darah telah menguncur serta menginjak lehernya yang sedang terkapar di atas tanah seperti hendak pingsan. Seakan-akan ia hendak mengatakan kepada kami “akulah tuhan kalian yang paling tinggi”. Akibatnya, kami merasa takut kepadanya.
Saat itu, ibuku hanya bersikap diam dan apatis dengan apa yang menimpa anaknya-anaknya. Setelah salah seorang dari kami mengalami penyiksaan sedemikian rupa, ia datang menemuinya di dalam kamar dan berkata dengan ekspresi gembira yang hingga sekarang aku baru megetahui penyebabnya, “apakah kamu sekarang merasa lebih baik?”. Selain itu, ia tidak mau memcuci pakaian atau membantuku menyisir rambut, padahal saat itu aku masih kecil. Ia juga tidak senang melihatku tidur dengan tenang, selalu saja ada pekerjaan yang harus aku lakukan.
Perlakuannya tidak hanya sampai di situ saja, ia juga merobek-robek buku-buku yang aku beli dari hasil tabungan, melarangku keluar walaupun untuk menemui dokter, karena selalu saja ada pekerjaan yang harus aku lakukan sendiri sedangkan ia dan saudara-saudaraku pergi meninggalkanaku sendiri menemani saudara yang sedang menghadapi ujian agar bisa melayaninya atau menemani ayah selalu sibuk dengan pekerjaanya agar aku dapat menjaganya serta lebih sering mendapatkan perlakuan kasar.
Ayah dan ibu sebenarnya menyadari perlakuan mereka yang tidak manusiawi. Padahal, keduanya adlah orang yang terpelajar. Ayah pernah memeganga beberapa jabatan sebelum pensiun dari tugasnya dan kemudian berprofesi sebagai pedagang.
Tahun demi tahun aku lalui dengan menanggung beban penderitaan seorang diri. Dengan segala daya-upaya dan pikiran aku harus tetap konsen pada studi hingga akhirnya membuahkan hasil, meskipun sering mendapat tekanan dari segala penjuru. Kemudiaan aku lulus kuliah dengan peringkat sangat baik. Setelah itu, aku memutuskan untuk mengenakan hijab tanpa persentujuan ibu yang selalu mengejek dan menghina. Dalam studi informasi aku berhasil mendapat ijazah komputer.
Ketika saudara-saudara telah tumbuh lebih dewasa mereka menberontak terhadap perlakuan ayah yang kasar dan sikap ibu yang dingin. Kakak kemudian mulai berani mengumpat jika ibu membuatnya emosi. Akibatnya, ibu menghindarinya karena takut dengan makian kakak dan berusaha menyembunyikan hal itu dari ayah tujuan agar ia semakin membangkang. Akibatnya, kakak bertambah menjadi sangat fanatik, membangkang dan berani menghancurkan barnag-barang, serta berteriak histeris hingga membuat para tetangga berdatangan.
Sedangkan adik laki-laki lari dari rumah dan merusak nama baik ayah di mata orang lain. Perilaku itu muncul karena sikap tidak mau menuruti keinginan ayah dan ibu. Ia bersikeras untuk menikah gadis yang tidak disetujui orang tua karena status sosialayang tidak setara. Di samping itu, ia sering menbebani ayah dengan kebutuhan materinya untuk digunakan bersenang-senang bersama teman-temanya.
Demikianlah semua anggota keluarga memberontak kepda orang tua hingga akhirnya ayah terserang penyakit kecing manis, sedangkan ibu  terkena tekanan darah tinggi. Tahun demi tahun berlalu, kakak dan adik telah menikah, tinggal aku yang belum. Mereka sibuk dan tenggelam dalam kehidupan masing-masing setelah menggunakan segala cara untuk memaksa ayah membiayai pernikahan yang sesuai dengan keinginan mereka.
Tinggal aku yang melayani ayah dan ibu selama beberapa tahun. Yang terlontar dari mulutnya hanya cerita kedurhakaan, sikap tidak peduli tidak berperasaan. Sampai-sampai ayah dan ibu lupa bahwa aku juga butuh pakaian dan kebituhan dasar lainnya yang tidak sempat dipenuhi oleh mereka. Akibatnya, penampilankua tampak sperti pembantu. Hal itu dikarenakan kau tidak pernah memberontak dan berdiri di hadapan mereka dengan membentak dan mengacam seperti yang dilakukan oleh saudara-saudaraku yang lain.
Akhirnya Allah mmeberikan jalan keluar bagiku. Aku dipertemukan dengan seorang pria berakhlak baik, dan memegang teguh prinsip agama. Ia mencintaiku dengan tulus dan begitu pula aku. Aku tidak terlalu mengandalkan pendapatnya yang pas-pasan dan kemampuanya yang terbatas, tetapi aku berjanji untuk bekerja bersamanya membantunya membina bahtera rumah tangga.
Untuk menceritakan secara panjang lebar kepada Anda tentang perlakuan yang aku dapat dari ayah dan ibu sebelum keduanya menerima pernikahanku dengan terpaksa, mungkin tidak cukup lewat surat ini. Tetapi cukup aku katakan bahwa ibuku pernah melotarkan kata-kata kepadaku saat hari pernikahan bahwa ia tidak setuju dengan pernikahanku hanya karena ada pria yang lebih baik dari dia.
Hari ketika kami membeli perabotan rumah tangga merupakan hari yang paling menyedihkan dan mengiris hati, karena ibuku hanya membelikan perabotan seadanya walaupun ayah manpu membeli barang yang lebih berkualitas. Hal itu membuat merasa tidak enak dengan suami dan hanya bisa menggeleng-geleng kepala karena malu. Setelah itu, kami meletakkan semua perabotan tersebut di rumah, sementara suami tidak terlalu peduli dengan hal itu. bahkan, ia tampak bahagia dan bangga dengan diriku.
Akhirnya, kami pun menikah. Untuk pertama kalinya aku merasa damai dan tenang dalam hidup, aku merasa menjadi orang yang mempunyai harga diri, menjadi manusia yang mulia dan patut dihormati dan dicintai.
Setelah seatahun usia pernikahan, aku melahirkan seorang ana. Hal ini serasa dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang saar pertama kali aku melihatnya. Karena itu, merasa heran melihat sikap ibu atau ayah yang tega memperlakukan buah hatinya dengan kasar. Padahal, kami merupakan belahan jiwa dan darah dagingnya.
Karena itu, aku bernadzar kepada Allah ketika anakku lahir, aku tidak akan memukul atau memperlakukannya dengan kasar, menjatuhkan harga dirinya atau membuatnya merasa hina dan rendah. Aku akan berusaha membuatnya merasa tegar, mulia dan bahagia, memperlakukannya sebagaimana manusia normal agar ia mencintai Allah, sesama manusia, melakukan kebaikan an berperilaku manusiawi, serta menghindarkan dirinya dari tekanan jiwa dan kenangan pahit.
Aku sendiri merasa harus berkonsultsi dengan dokter jiwa untuk menyembuhkan gangguan (penyakit) yang merasuk ke dalam alam bawah sadarku akibat perlakuan kasar ayah. Sehingga sekarang aku masih sering menangis setiap kali membaca surta konsultasi yang memceritakan perlakuan kasar orang tua terhadap anaknya.
Perlakukanlah anak-anak kalian dengan mulia dan baguskanlah etika mereka.(hadist)
Perlakuan kasar hanya akan membuahkan sikap memberontak, tidak mau diatur, durhaka dan akan mengalami gangguan mental.

Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005. Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.

Tidak ada komentar: