Minggu, 22 Juni 2014

BAHTERA YANG HILANG


Apabila ada pria yang engkau ridhai agama dan akhlaknya datang kepadamu, maka nikahkanlah ia. Karena kalau tidak,akan terjadi fitnah dan kerusakan yang dahsyat di muka bumi. (hadits)
            Kisah yang ada di hadapan Anda bukan hanya masalah pribadi yang pernah aku alami, tetapi merupakan pengalaman hidupku yang ingin aku bagi kepada orang lain agar dapat diambil pelajaran dan hikmah di balik itu semua, terutama bagi para gadis yang sudah memiliki cukup umur untuk menikah.
            Aku seorang istri yang berumur 28 tahun yang bekerja di sebuah lembaga asing. Aku adalah lulusan sebuah universitas terkemuka dan memiliki posisi yang baik di tempatku bekerja, di samaping sebagai pemerhati pemikiran Islam dan Barat. Di samping itu, aku juga pernah menjuarai perlombaan atletik.
            Pengalaman yang aku alami ini bermula dari kedatangan seorang pria yang ingin melamarku ketika masih duduk di bangku kuliah tingkat akhir. Ia adalah seorang pemudyang berumur lebih tua beberapa tahun dariku, sehingga wajahnya tampak lebih dewasa.
            Karena aku tumbuh besar tanpa belaian seorang ibu, yang telah , meninggal dunia sejak aku masih kecil, sehingga sebagai seorang laki-laki ayahku tidak cakap menangani masalah-masalah rumah tangga, sementara saudara-saudaraku yang masih muda tenggelam dlam lagu, film, fashion dan tren mobil terbaru.
            Tentu saja aku mersa kehilangan orang yang paling sering berbagi perasaan dan masalah denganku, apalagi aku juga kehilangan saudari kandung yang menjadi korban peristiwa menyedihkan, padahal ia adalah satu-satunya saudari dan tema terbaik yang pernah aku miliki. Yarhamhallah!
            Demikianlah, sejak itu aku tidak mampu membuat keputusan final dan mersa sangsi menerima pinangan pemuda tersebut kendati ia sosok pria yang sempurna, dan dalam pandanganku ia tidak memliki kekurangan apapun selain masih kolot soal tren mode, lagu terbaru, dan dunia otomotif dan lain sebagainya.
            Perbedaan umur yang begitu jauh antara aku dengannya juga amat mengkhawatirkanku, keluarga dan teman-teman. Di samping itu, yang aku pahami cintanya hanya sebagai upaya untuk menyembunyikan kekurangannya. Karena itulah aku berani menolaknya. Wlaupun demikian, ia masih meminta untuk mempertimbangkannya lagi dan aku pun mengabulkan permintaan itu.
            Waktu telah berjalan sekian lama, namun pria itu masih menggantungkan harapannya agar aku menerima dan menikah dengannya. Tanpa putus asa ia berani maju untuk meminangku, aku pun terkadang menolak dan terkadang menggantungkannya, bahkan kelurgaku menyikapinya dengan dingin. Kondisi seperti ini berlangsung beberapa tahun; dan dalam kurun waktu tersebut, aku mendapati teman-temaniku sudah banyak yang menikah, tinggal aku sendiri yang belum menikah.
            Lama-kelamaan aku merasa gelisah dan khawatir juga terhadap masa depan, apalagi slam kurun waktu tersebut ayahku jatuh sakit hingga meninggal dunia. Yarhamhullah!
            Tidak ada yang mendampingiku semenjak ayahku sakit kecuali pemuda tersebut, walaupun aku tidak menyukainya. Kemudian ada pemuda lain yang datang meminangku, aku pun pantas menerimanya tanpa memikirkan perubahan sikap pemuda pertama yang masih mengharapkan sejak lama. Belum lama pinangan itu berlangsung, krikil kecemburuan dari pemuda pertama menjadi masalah yang sangat besar, padahal ia memprediksikan setelah pinangan tersebut selesai, aku bakal menerimanya kali ini. Namun, untuk kedua kalinya, aku mengecewakannya, bahkan aku telah menerima pinangan pria yang masih mempunyai hubungan saudara dneganku, yang kemudian berjuang pada pernikahan. Namun, sayang pernikahan kami hanya berumur jagung.
            Tidak lama kemudian, aku menikah lagi dengan seorang teman yang sma-sama bergelut dalam dunia olah raga. Ia memiliki obsesi, cita-cita dan perhatian yang tidak jauh berbeda denganku, dan seperti itulah yang aku harapkan dari orang yang akan menjadi teman hidupku. Akan tetapi, meski memiliki banyak kesamaan, kami tetap tidak bisa menyelamatkan bahtera rumah tangga yang telah kami bangun haingga harus berakhir dengan perceraian.
            Setelah itu, pikiranku menjadi kacau, aku kehilangan konsentrasi dalam bidang olah raga yang aku tekuni. Aku juga kehilangan kesempatan memenangkan pemilihan dalam jajaran pengurus di bidang yang aku tekuni. Kondisiku pun bertambah buruk. Kemudian aku berfikir untuk menikah lagi, namun hanya karena mengiginkan seorang pria yang dapat melindungiku walaupun ia tidak seperti yang aku harapkan.
            Dalam kegalauan dan kesedihan karena hidup sebatang kara, sementara saudara-saudara pun sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing, maka semakin buruk kehidupan yang aku alami. Kemudian aku bertanya kepada diriku sendiri, siapa pria yang mau mendampingku dalam kondisi seperti ini meraih tanganku dan mengembalikan kepercayaan diriku?
            Serta merta terbayang wajah seorang pemuda amanah yang pernah datang meminang pertama kali, namun saat itu aku menolak pinangannya lebih dari satu kali, naumun ia tak kunjung menyerah. Berubah niat, membenci atau hilang keinginanya untuk memiliki diriku.          Kemudian aku bertanya kepada diriku sendiri, apa yang kurang dari pria yang berpembawaan tenang, bijak, tampan, berkepribadian menarik, berperasaan lembut dan baik dengan keluarganya!
            Aku teringat dengan tulisan yang sering kubaca bahwa “kita tidak berarti dan bermilai kecuali jika bersama orang yang mencintai, menginginkan, melakukan segala sesuatu demi dan untuk menjaga kita.”
            Aku pun menyampaikan kesediaanku menerima ajakannya untuk menikah jika ia masih menginginkanku dan tidak merasa ragu untuk maju kedua kalinya. Akhirnya, ia pun maju meminang walaupun aku tidak mencintainya. Namun, pada sisi lain aku berharap cinta di antara kita akan bersemi pada suatu hari nanti.
            Pesiapan pernikahan segera di rampungkan dalam waktu yang singkat, kemudian kami pun menikah. Dalam hati aku berharap agar cinta bisa lahir dalam waktu yang tak lama. Akhirnya dengan rahmat Allah, cinta itu pun menghampiriku hanya dalam hitungan minggu pertama pernikahan kami. Aku betul-betul mendapatkan apa yang kuharapkan dari teman hidupku; tata beragama, berinteraksi dengan baik, penuh kasih sayang dan dukungan yang tiada henti-hentinya sehingga aku semakin mencintainya.
            Hampir saja aku iri dengan perasaan cinta yang aku dapatkan bersamanya. Saat itu jug aku menyesali tahun-tahun yang telah kulewati dengan sia-sia sebelum menikah dengannya. Sekarang usia pernikahan kami bahagia ini sudah mencapai 3 tahun. Hidup kami selalu penuh dengan cinta dan ketenangan. Kami pun telah dikaruniai Allah swt 2 anak yang tampan, dan kenikmatan iru semakin lengkap dengan kesuksesan kami dalam pekerjaan sehingga aku dapat menunaikan ibadah umrah bersama suami. Kebahagiaanku hanya bisa aku gambarkan dengan kata-kata, dialah suami, kekasihku, saudara, ayah dan teman yang terbaik.
            Aku benar-benar bersyukur kepada Allah karena telah membimbingku pada keyakinan ini, setelah terombang-ambing dalam keraguan yang aku yakin semua gadis yang akan menikah pernah mengalaminya, hingga aku mendapatkan kebahagian bersama suami tercinta dan setelah kesendirian yang aku rasakan sepeninggal ayah dan mengalami kegagalan yang berulang-ulang.
            Aku sekarang mersa sangat berdosa kepda suami yang sejak awal dengan gigih menginginkanku, tetapi aku berpaling karena ketidaktahuan dan kelalaianku. Aku ingi semua gadis mengingat hadits Nabi saw yang berbunyi “Apabila ada pria yang engkau ridhai agama dan akhlaknya datang kepadamu, maka nikahkanlah ia. Karena kalau tidak,akan terjadi fitnah dan kerusakan yang dahsyat di muka bumi.”
            Banyak gadis tidak berfikir ketika ada seorang pria datang melamarnya kecuali sejauh mana kecocokannya, kesetaraaan materi, jiwa, obsesi, penampilan, pakaian dan faktor-faktor lainnya, tanpa pernah terlintas dalam pikiran mereka komitmen pria dalam memahami dan mengajarkan Alquran, hadits, akhlak dan etikanya. Konsekuensinya, seperti yang kita lihat sekarang ini, banyak terjadi perceraian.
            Saranku selanjutnya, aku ungkapkan dengan meminjam perumpamaan yang tercantum dalam stau risalah Imam Ali Abi Thalib yang maknya sebagai berikut:
Sesungguhnya kehancuran seseorang terletak pada sikap enggannya terhadap orang yang menginginkan dirinya.

Bukanlah sikap bijak apabila kita menilai orang dari penampilan luarnya atau sejauh mana ia mengikuti tren modern.

Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005. Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.

Tidak ada komentar: