Senin, 23 Juni 2014

PENYEBAB YANG MENYAKITKAN


Jika Anda memang butuh ucapan “maaf” darinya setelah sekian lama,
Maka dengan sikapnya yang menerima Anda
Untuk yang kedua adalah bentuk permintaan maaf darinya. Jika memang hal
Itu belum dianggap cukup,
Lalu kenapa Anda tidak balik mencelanya
Atas ucapan yang pernah dilontarkannya.
Dengan demikian, kedudukannya menjadi seri
agar kebahagian rumah tangga kalian tetap langgeng?
            Aku seorang pria berumur 30 tahun. Kisahku ini dimulai setelah lulus bangku kuliah dan diangkat menjadi guru di salah satu sekolah yang ada d provinsi Al-Giza, serta ketika aku mulai membangun masa depan.
            Saat itu, tiba-tiba pandanganku tertuju kepada seorang gadis cantik dengan postur tubuh semampai hingga hingga membuat hatiku berdetak keras. Kemudian aku bertanya perihal dirinya dan sangat gembira ketika mengetahui bahwa kakakku mengenal keluarganya.segera saja ia membuat janji dengan ayahnya dan menemanikan menghadap orang tuanya dengan tujuan perkenalan pertama. Orang tua gadis itu kemudian menyambut kami dengan hangat, dan kami saling bertukar cerita.tidak lama kemudian, sang gadis keluar menemui kami hingga menbuat hatiku berdegup kencang sampai aku khawatir seandainya ada orang yang mendengarnya.
            Selang beberapa waktu kebersamaan kami, ayahnya dan saudaranya beranjak ke ruang tengah yang mungkin saja untuk memberikan kesempatan kepada kami agar saling bertukar fikiran. Selama beberapa saat kemudian, akhirnya mereka berdua kembali. Sebelum mereka datang, gadis tersebut bangkit dengan sikap kurang baik. Ia menganggap rendah aku dengan meninggalkan ruangan sembari berkata kepada ayahnya di hadapan kami, “ Gerangan siapakah yang ayah hadirkan di hadapanku ini ?” ungkapan yang menyakitkan itu meluncur keteliga kami layaknya petir yang datang menyambar. Sang ayah merasa malu dan berusaha menghindari kami, namun aku telah tenggelam dalam perasaan malu.
            Yang lebih menyakitkan, aku mendengar dari arah ruang tengah cekikikan suara tawa saudara-saudari gadis itu yang lain. Aku berani bertaruh, gadis itu mencerikan kepada mereka apa yang terjadi dan mengatakan bahwa ayahnya telah mendatangkan pria yang tidak memiliki apa-apa. Parahnya lagi, kulitku yang gelap membuat mereka tertawa berbarengan. Saat itu, aku berharap seandainya saja bumi terbelah dan menelan diriku. Dengan susah payah aku berusaha menahan diri dan pergi meninggalkan rumah tersebut dengan langkah yang berat.
            Kenati demikian, aku tetap bersikeras mengetahui sebab penolakan tersebut. Kemudian aku meminta saudaraku untuk menanyakan hal tersebut kepada ayah sang gadis. Ternyata apa yang kubayngkan tidak meleset, ia menolakku hanya karena warna kulit dan keadaan kami yang sangat lemah. Saudaraku kemudian berusaha menenangkanku dengan mengatakan bahwa masih banyak wanita lain dan aku pasti akan mendapatkannya..dan seterusnya. Aku mengeleng-gelengkan kepala untuk lebih meyakinkannya. Lalu aku masuk dalam kamar dan menutup pintu agar lebih puas menangisi diri. Aku merasa kehormatannku telah dinjak-injak dan dipermalukan oleh seorang gadis, padahal yang kuharapkan darinya hanyalah kebaikan.
            Setelah itu, aku bersikap apatis terhadap kejadian itu dan berusaha melupakan ucapan gadis tersebut dengan segala cara agar sakit hati ini terobati. Selang beberapa bulan, aku mendapat kesempatan kerja di salah satu negara Arab. Kemudian aku berangkat dan sibuk dalam kehidupan yang baru. Aku tenggelam dalam dunia kerja selama 5 tahun. Dalam rentang waktu tersebut, aku mendapat berita dari saudaraku bahwa gadis itu telah dilamar 2 kali namun gagal karena sebab-sebab yang tidak diketahui.
            Setelah masa kontrak kerjaku di luar negara selesai, aku kembali ke keluarga dengan kondisi ekonomi yang sudah mapan hingga kami bisa mengontrak sebuah flat. Aku kemudian mulai memikirkan belahan jiwa, sebab sebagian umurku telah dimakan habis oleh zaman. Tiba-tiba saja saudariku menyarankanku untuk maju dan meminang gadis yang sebelumnya menolakku karena samapai sekarang ia masih sendiri, dan ia pasti akan menyambut baik kedatanganku.
            Aku sempat sempat bimbang dengan usulan ini, namun aku coba berpikir dan bertanya kepada diri sendiri, kenapa tidak aku lakukan saja? Bukankah kondisi ekonomiku sudah mapan dan sudah tidak lagi halangan yang merintangiku untuk mendapatkannya.
            Kami kemudian memutuskan untuk berkunjung ke rumah gadis tersebut. Sesampainya disana, sang gadis menemui kami di ruang tamu, tetapi hatiku tidka berdegup kencang seperti dulu. Yang kuliat, rona wajahnya telah berubah dan segala kecongkakannya yang dahulu telah hilang, sehingga aku merasa telah menang dan berfikir kenapa tidak aku nikahi saja dan membalas penghinaan yang pernah ia lakukan kepadaku dahulu?
            Dengan sungguh-sungguh aku berniat bisa sukses hingga proses lamaran selesai, sementara aku snediri tidak tahu apakah akan bahagia hidup dengan gadis itu. yang jelas, aku bahagia karena dapat menundukkan dirinya. Kami terus maju untuk mempersiapkan pernikahan, sedangkan yang aku pikirkan adalah bagaimana mendiktekan syarat-syarat kepada calon istri. Dalam benak ini, aku berniat untuk memaksanya setelah menikah agar dia tidak mengunjungi keluarganya kecuali jika aku mau dan tidak meninggalkan rumah kecuali dengan mengantongi izinku yang dilakukan dengan memelas dan seterusnya.
            Setelah menikah aku, memperlakukannya seperti biasa dan tidak menampakkan sikap manja terhadap dirinya. Pada minggu-minggu pertama, aku sengaja keluar bersama saudaraku dan istrinya dengan meninggalkannya sendirian di rumah. Namun anehnya, iatidak memberontak dan tidak mencela perlakuanku itu. karena itu, aku terus menperlakukannya seperti itu. hingga suatu hari, aku dikejutkan oleh keluhan sakitnya dan memintaku untuk mengontrolkannya ke dokter. Di sore hari, aku menemaninya ke dokter. Setelah dokter memeriksanya, ia tersenyum dan memberi selamat kepadaku atas kehamilan istriku  dan memintanya untuk beristirahat serta minum obat.
            Kami pun kemudian beranjak meninggalkan klinik, sedangkan pikiranku berkecamuk antara perasaan senang dan gelisah. Aku telah berniat untuk mengobati perassan dendamku sebelum ia menjadi ibu dari anakku. Aku dituntut untuk menjaganya agar ia bisa menjaga jabang bayi yang bakal lahir. Permasalahannya, sakit hati yang aku alami tidak kunjung reda karena penghinaan yang dilontarkannya terhadap diri ini yang berkulit hitam dan ketidaksiapanku secara materi.
            Apakah aku harus melupakan kesepian dan kepedihan yang aku alami dan berhenti memperlalukannya dengan buruk atau aku lepaskan dengan cara baik-baik dan membiarkannya seperti sekarang agar dendam yang membara dalam hati menjadi redup?

Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005. Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.

Tidak ada komentar: