Senin, 12 Oktober 2015

cinta itu cahaya

Cinta itu cahaya
Cinta itu cahaya. Dan frekuensi getaran cahaya bermacam-macam. Begitu pun cinta, ia memiliki getaran yang berbeda. Ada cinta yang hanya bisa ditangkap oleh mata kepala saja. Ada cinta yang bisa dilihat oleh mata inderawi dan mata akal. Dan, ada yang bisa dipandang oleh ketiga mata, yaitu mata kepala, mata akal, dan mata hati. Dari sinilah, cinta terbagi menjadi tiga macam.
Untuk mendiskusikan tiga macam cinta tersebut, kita coba mengaitkannya dengan surat An-Nur ayat 35 di atas. Dan menurut Sa'id Hawa, dalam kitab Tarbitunâ Ruhiyah (Maktabah Wahbah, 1992), yang dimaksud dengan misykat (dinding tak tembus) pada ayat di atas adalah jasad kita. Adapun zujâjah (kaca) adalah hati kita dan mishbah adalah iman dan Al-Quran. Pendapat beliau ini, bersandarkan keterangan dari Ibnu Katsir, bahwa Abu Ja'far Ar-Razy berkata: "Dari Rabi', dari Ubai Al-'Aliyah, yang berkata tentang firman Allah Swt, "Allah cahaya langit dan bumi, perumpamaan cahaya-Nya", menurutnya, ini adalah perumpamaan seorang mukmin yang telah Allah jadikan iman dan Al-Quran berada dalam hatinya."
Mari kita bahas satu persatu. Pertama, Cinta Misykat. Kata "misykat" artinya lobang tidak tembus. Di rumah bangsa Arab, biasanya ada lobang di dinding yang tidak tembus sampai ke sebelahnya. Lubang ini berfungsi untuk tempat menyimpan lampu, atau barang yang lainnya. Kata misykat ini untuk melambangkan jasad manusia. Sedangkan jasad adalah materi. Dengan kata lain, cinta misykat adalah cinta karena materi; kebendaan.
Cinta misykat ini, dalam kehidupan sehari-hari, sering kita dengan istilah cinta sex appeal dan cinta matre. Cinta sex appeal tertuju pada tubuh seseorang. Contohnya, ketampanan atau kecantikan. Sedangkan, cinta matre pada benda-benda yang melekat pada tubuh atau di luar tubuh seseorang. Misalnya, pada makanan, minuman, pakaian, mobil, rumah, dan seterusnya.
Cinta misykat muncul dari keindahan atau keagungan yang dilihat oleh mata kepala. Sebab objeknya berbentuk materi. Sudah barang tentu, siapa saja yang memiliki mata inderawi, ia akan merasakan cinta ini. Wajar, jika Ustadz Husni Amin menyebut cinta ini dengan sebutan cinta alami atau cinta manusiawi (al-mahabbah ath-thabi'iyah aw al-insâniyah).
Bila cinta ini tidak dituntun oleh akal dan agama, maka akan berubah menjadi hawa nafsu. Banyak manusia yang tertipu dengannya. Mereka menyangka inilah cinta sejati. Padahal itu bukan cinta sejati, itu hanyalah dorongan insting seksualitas (gharizah nau'). Dari sinilah, mungkin, asal-muasal kebanyakan orang memahami cinta itu adalah seks. Mereka memahami dari cintalah akan lahir seks. Dan seks dilakukan juga akan menimbulkan cinta. Padahal itu bukan cinta, tapi itu adalah hawa nafsu, atau syahwat.
Biasanya, cinta misykat dirasakan oleh orang-orang kurang mempergunakan akal dan jauh dari agama. Dorongan menyukai lawan jenis yang muncul dari gharizah an-nau', dimaknai sebagai cinta. Lahirlah cinta monyet. Napa sih, disebut cinta monyet? Sebab, seperti monyet, malu-malu tapi menyimpan keinginan lebih besar daripada pengorbanannya. Cinta kayak begini, banyak terjangkit sama anak-anak yang baru baligh; atau para remaja yang sedang puberitas.
Begitu juga dengan orang-orang yang jauh dari agama, mereka akan terjangkit cinta misykat. Meskipun mereka telah dewasa, tapi karena tidak memegang sebuah prinsip, ia terjebak dengan hawa nafsu. Bahkan, ada yang terperosok pada 'kerak' cinta misykat ini, cinta yang benar-benar hina dan murahan, seperti dalam buku Sex 'n the city: Jakarta Undercover, yaitu cinta karena daging. Cinta mereka hadir, karena ada kebutuhan untuk bersebadan. Tak ada kepentingan lain bagi mereka, selain persoalan daging. Sehingga kehidupan mereka, lebih bejat dari binatang. Kalau binatang mereka diberi insting seksualitas supaya jenis mereka tidak punah. Sementara manusia bercinta karena daging, hanya ingin kepuasan sesaat dan sekejap saja, setelah itu mereka tak mau bertanggung-jawab. Mereka ingin enak saja, tapi tak mau menanggung resiko. Na'ûdzubillah min dzalik.
Ya, cinta misykat berkutat hanya pada persoalan jasadiyah, lahiriyah, dan kulit luarnya saja. Bila cinta sudah tertutup dengan dinding yang bersifat materi ini, maka cahaya kebenaran akan sulit memasuki diri mereka. Cinta mereka hanya cahaya fatamorgana. Mereka mengejar kebahagiaan, ternyata setelah mereka dekati, bukan kebahagiaan yang mereka dapatkan, tapi kesengsaraan. Cinta mereka hanya ingin memuaskan panca indra -mata, telinga, lidah, hidung, dan kulit- dan tubuh saja. Sedangkan panca indra dan tubuh manusia memiliki katerbatasan dan tak pernah terpuaskan. Sebab, sumber kepuasan, bukan dari benda-benda itu.
Biasanya, cinta misykat ini, tidak langgeng. Ia akan mudah berubah dan bosan. Dengan demikian, orang yang memiliki cinta ini, akan menjadi petualang cinta. Sebab, ia tak pernah menemukan kepuasan. Ia akan terus mencoba, mencoba, dan mencoba. Cinta ini juga, lebih banyak ingin 'menerima' daripada 'memberi'. Yang ia lakukan adalah ingin menerima kepuasan, bukan memberikan kepuasaan terhadap orang yang ia cintai. Tentu saja, orang yang ia cintai, lama-kelamaan tak mampu memberi lagi. Akhirnya, terjadilah perpisahan.
Juga, para penganut cinta ini, acapkali memahami cinta adalah 'memiliki' dan 'menguasai'. Cintanya, misalnya, kepada seseorang, tak ubah cintanya kepada barang. Ada semacam kepuasan tersendiri bila ia bisa 'memiliki' dan 'menguasai' seseorang. Makanya terjadilah yang namanya 'penjajahan' dan 'penghambaan' sesama manusia.
Kedua, Cinta Zujajah. Dalam bahasa Arab, zujajah artinya kaca atau cermin. Kamu tahu cermin? Bukankah cermin itu memantulkan cahaya dan pada cermin itu tergambar bayangan orang yang berada di depannya? Antara bayangan dan orang yang bercermin mirip dan serupa. Begitulah cinta ini, akan tumbuh karena ada pantulan cinta dan memiliki persamaan antara orang yang saling mencintai itu.
Cinta ini datang, karena orang tersebut memang layak untuk dicintai. Ia dicintai karena di sana ada penyebab tumbuhnya cinta. Mungkin, inilah yang dimaksud dengan firman Allah, dalam surat An-Nur 35 itu: "kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara." Yah, orang itu memang bagaikan bintang atau mutiara. Bintang merupakan sebuah simbol berada pada tempat yang tinggi. Seorang yang dianggap bintang, bila ia lebih tinggi kedudukan dari yang lainnya. Kelebihan di sini, lebih bersifat abstrak, yaitu apabila salah satu potensinya mencapai kesempurnaan. Seseorang akan dikatakan bintang kelas, apabila potensi kecerdasan di atas yang lainnya. Seseorang akan dikatakan bintang film, bila potensi aktingnya telah sempurna. Seseorang dikatakan bintang penyanyi, manakala potensi tarik suaranya sempurna. Seorang dikatakan bintang masyarakat, jika perannya lebih tinggi di masyarakat. Dan seterusnya.
Secara otomatis, orang seperti ini bagaikan mutiara. Ia sangat berharga dan sulit untuk dicari. Dengan demikian jumlahnya akan lebih sedikit dari penganut cinta sebelumnya. Perbandingannya, seperti jumlah mutiara dengan batu krikil atau pasir. Mereka jadi idaman dan pujaan orang lain. Jadi, mereka dikagumi karena potensi, keahlian, kepribadian, karakter, dan sejenisnya.
Ya, cinta ini bagaikan cermin. Bila cermin (orang yang dicintai) itu bersih, maka ia akan mendapatkan bayangannya dalam keadaan bersih. Sebaliknya, bila cermin itu berdebu, maka gambaran yang muncul akan tidak jelas, bahkan bisa jadi tidak terlihat. Apalagi jika cermin itu bukan cermin datar, misalnya cermin cembung atau cekung, maka bayangannya akan berbeda dengan yang sesungguh, bisa lebih kecil, atau lebih besar, atau bisa terbalik.
Maksudnya, jika keahlian, atau hal-hal yang menumbuhkan cinta di atas, hanya sebatas tipuan, imitasi, atau hal yang dibuat-buat, maka ia akan mendapatkan sesuatu yang jauh berbeda dengan harapannya. Melenceng dari yang tergambar dalam benaknya. Akhirnya, yang ia petik adalah kekecewaan, bukan kebahagiaan.
Nah, bila cinta seseorang tumbuh karena hal-hal di atas, itu sebagai bukti bahwa cintanya adalah cinta zujajah, atau cinta cermin. Sebuah cinta yang timbul karena sisi dalam; atau batin seseorang. Cinta ini, selain muncul karena pencerapan mata kepala, juga karena penglihatan mata akal. Cinta ini, kebalikan dari cinta sebelumnya; cinta misykat. Kalau cinta misykat bersifat materi, maka cinta zujajah karena non-materi. Cinta misykat bersifat jasadiyah, cinta zujajah bersifat batiniyah, atau persoalan hati. Inilah yang dimaksud oleh Sa'id Hawa bahwa zujajah adalah perumpamaan dari hati. Dan Ustadz Husni Amin, menyebut cinta ini dengan istilah cinta ruhani (al-mahabbah ar-rûhâniyah).
Ketiga, Cinta Mishbah. Apa yang dimaksud dengan kata "mishbah'? Kalau kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia, mishbah artinya "pelita besar". Lalu, apa pelita besar yang kita kenal selama ini? Jawabannya adalah matahari. Yah, matahari adalah pelita terbesar itu. Dengan demikian, cinta ini adalah cinta bagaikan matahari. Apa keistimewaan matahari itu?
Matahari memiliki keistimewaan tersendiri, diantara ia sebagai poros (pusat) dan memancarkan cahaya tanpa hentinya. Cinta sebagai poros (pusat) akan menebarkan energi untuk mempengaruhi orang-orang yang ia cintai. Cinta ini akan menjadi 'lingkar pengaruh' atau 'stigma 'sehingga orang yang dicintai akan mencintainya juga, setidaknya orang lain akan merasa segan dan menghormatinya. Dengan kekuatan cinta ini, maka orang lain, sangat sulit untuk membencinya.
Sedangkan "memancarkan cahaya tiada hentinya", merupakan simbol ketulusan hati. Bagi mereka, bukan menerima, tapi bagaimana memberi. Ibarat matahari, mereka memberi, memberi, dan terus memberi. Lihatlah matahari yang selalu menebarkan cahaya kepada siapa saja. Selalu setia; setiap pagi hadir. Ia tebarkan cahaya, tanpa pernah mengharapkan cahaya itu kembali kepada dirinya lagi.
Sama halnya, orang yang telah memahami dan merasakan cinta mishbah ini, ia akan terus mencurahkan cinta dan kasih sayang itu kepada siapa saja. Mereka tak pandang bulu, baik itu orang kaya atau miskin, ningrat atau wong cilik, berilmu atau bodoh, orang baik atau orang jahat. Bahkan kepada orang yang jelas-jelas membenci dan memusuhinya, rasa cinta itu tetap ia tebarkan. Hanya saja, bentuk dan caranya saja yang berbeda.
Cinta ini lahir dari kemurnian mata kepala, akal, dan hati yang mendapatkan petunjuk (hidâyah) dari Al-Wadûd (Yang Maha Mencintai), yaitu Allah Swt.. Petunjuk itu adalah iman dan Al-Quran. Inilah yang dimaksud dengan Sa'id Hawa bahwa mishbah perumpaan hati yang disinari oleh iman dan Al-Quran. Dengan kata lain, cinta mishbah muncul bukan karena materi dan non-materi. Apa yang disebut "bukan" materi dan juga "bukan" non-materi? Dia adalah Allah Swt..
Maka, yang dimaksud dengan cinta mishbah adalah cinta karena Allah Swt.. Atau cinta berdasarkan prinsip iman dan Al-Quran. Cinta yang memancar dari nurani yang mendapatkan sinar iman dan Al-Quran. Sedangkan Al-Quran adalah firman Allah. Dengan demikian, cinta mereka bersumber dari Allah. Seperti cahaya matahari yang bersumber dari Allah swt. Cinta seperti inilah cinta yang sejati, yang tak lapuk oleh air hujan dan tak lekang oleh terik panas.
Cinta mishbah, tidak seperti dua cinta sebelumnya, hanya di dunia saja, tapi dari dunia hingga akhirat. Karena iman akan menyatukan hati para pecinta dan orang yang dicintainya baik di dunia ini (QS. Mariam [19]: 96) hingga di akhirat nanti (QS. Az-Zuhruf [43 ]: 67). Sedangkan, tanpa taqwa (taqwa muncul iman), maka di akhirat orang-orang yang saling mencintai akan saling bermusuhan.
Cinta ini terus memijar bagaikan minyak Zaitun. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah: "Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api." (QS. An-Nur [24]: 35). Yah, cinta ini tidak ada di barat, juga tidak di timur. Atau cinta ini lahir, bukan karena jasadiyah seperti cinta misykat, juga bukan karena batiniyah seperti cinta zujajah, tapi cinta ini tumbuh dari, bersama, dan untuk Allah Swt.. Tanpa dipoles apapun, cinta ini akan tetap indah.
Orang yang merasakan cinta ini, jarang sekali, bahkan nyaris tak pernah merasakan kecewa. Sebab, mereka menerima "apa adanya", bukan yang "seharusnya". Juga, karena tak pernah mengharapkan pamrih atau segala bentuk penghormatan. Cinta mereka, benar-benar cinta yang tak bersyarat. Yang ada adalah keikhlasan; semuanya mengharapkan ridla Allah SWT. Cinta ini menurut Ustadz Husni Amin adalah cinta ketuhanan (al-mahabbah al-ilahiyah). Inilah cinta karena Allah semata. Cinta yang mendapatkan tuntunan-Nya. Dan cinta yang membawa para pencinta menemukan cinta sejati dan Pencipta Cinta.


Tidak ada komentar: