HADHANAH
Makalah ini Diajukan Sebagai tugas
makalah Pada Mata Kuliah Fikih Ibadah Jurusan
Tarbiyah Prodi Pendidikan Agama Islam(PAI)Kelompok 1
Oleh
SUKMAWATI (02131015)
FIRMAN SYAM (02131011)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang senantiasa melimpahkan rahmat dan ridho-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah mata
kuliah Fikih Ibadah yang berjudul “Hadhanah”.
Shalawat serta
salam tetap tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW. Yang mana beliau telah memberikan kita petunjuk
kepada jalan yang benar.
Tak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu
selaku Dosen kami dalam pembelajaran mata kuliah Fikih Ibadah, juga kepada
semua teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada kami dalam
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari jika dalam menyusun makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan hati yang terbuka kritik serta
saran yang konstruktif guna kesempurnaan
makalah ini.
Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata
yang kurang berkenan dan banyak terdapat kekurangan, kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Dan hanya kepada Allah-lah kita berlindung dan mengharapkan taufiq serta
hidayahnya. Amin Ya Rabbal Almin....
Wallahul Muwafieq ilaa Aqwamith
Thorieq
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Watampone, 28 Maret 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL
KATA
PENGATAR i
DAFTAR
ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN 1
A.
Latar
Belakang Masalah 1
B.
Rumusan
Masalah 1
C.
Tujuan
Penulisan 2
D.
Manfaat
Penulisan 2
BAB II
PEMBAHASAN 3
A.
Pengertian
Hadhanah 3
B.
Hak
Pengasuan Anak 3
C.
Orang
Yang Paling Berhak Mengasuh Anak 6
D.
Syarat-Syarat
Mengasuh Anak 9
E.
Batas
Akhir Mengasuh Anak 11
F.
Hukum
Mengasuh Anak Dengan Sukarela 14
BAB III
PENUTUP 17
A.
Simpulan 17
B.
Saran 18
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Manusia
dalam kehidupan ini mengalami proses pertumbuhan. Permulaan dari air yang
dibandingkan dengan yang lain tidak ada artinya, kemudian menjadi emberio,
segumpal darah, janin sehingga akhirnya kita terlahir di dunia ini dalam
keadaan selamat. Setelah proses tersebut, perjalanan manusia baru akan dimulai
dan melanjutkan proses tersebut sampai akhirnya kita bisa beradaptasi dengan
sesama manusia yang lain.
Melihat
perkembangan sekarang banyak manusia yang melantarkan anak di tengah jalan,
Disebabkan karena faktor ekonomi. Sehingga dia tidak mendapat kasih sayang
kepada kedua orang tuanya serta mereka bingung akan kemana mereka untuk masa
kedepannya bahkan yang lebih parah lagi adalah kepada siapa yang akan mengasuh
mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah lembaga yang dapat mengayomi mereka
agar mendapatkan kehidupan yang layak seperti manusia biasanya.
Sehingga
dalam hal tersebut penting bagi kita untuk mengetahui seputar hadhanah serta
hal-hal yang berkaitan dengan perkara tersebut.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian hadhanah ?
2. Siapa
yang berhak pengasuan anak tersebut ?
3. Siapa
orang yang paling berhak mengasuh anak ?
4. Apa
syarat-syarat mengasuh anak ?
5. Bagaimana
batas akhir mengasuh anak ?
6. Bagaimana
hukum mengasuh anak dengan sukarela ?
C. Tujuan
Penulisan
a. Untuk
mengetahui pengertian hadhanah.
b. Untuk
mnegetahui hak pengasuan anak.
c. Untuk
mengetahui orang yang paling berhak mengasuh anak.
d. Untuk
mengetahui syarat-syarat mengasuh anak.
e. Untuk
mengetahui batas akhir mengasuh anak.
f. Untuk
mengetahui hukum mengasuh anak dengan sukarela.
D. Manfaat
Penulisan
Kita
dapat jadikan hal ini sebagai pintu untuk lebih memperhatikan anak kita
sehingga mereka mendapatkan jaminan kehidupan yang layak dan ketentram dalam
kehidupan terutama di masa akan mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hadhanah
Hadhanah
menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau dipangkuan. Karena
ibu waktu menyusuka anaknya meletakkan dipangkuannya, seakan-akan ibu di saat
itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga hadhanah dijadikan istilah yang
maksudnya: pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai ia sanggup
berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu. Secara terminologi hadhanah adalah menjaga anak yang belum
bisa mengatur dan merawat dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya.
B. Hak Pengasuan
Anak
Berbeda
pendapat para ulama tentang siapa yang berhak terhadap hadhanah, apakah yang
berhak itu hadhin atau mahdhun (anak). Sebahagian pengikut mazhab Hanafi,
berpendapat bahwa hadhanah itu adalah hak anak, sedang menurut Syafi’i, Ahmad,
dan sebahagian pengikut mazhab Maliki berpendapat bahwa hadhinlah yang berhak
terhadap hadhanah.
Jika
diikuti pendapat pertama yang menyatakan bahwa mahdhun yang berhak berarti anak
dapat menentukan pilhan apakah ia akan dididik dan dipelihara dengan baik atau
tidak. Jika ia menginginkannya tentu hal itu baik baginya, sebaliknya jika ia
tidak bersedia dididik dan dipelihara oleh hadhin, maka hadhin tidak dapat
memaksanya, karena hadhanah itu hak si anak. Hal ini akan berakibat anak tidak terdidik dan
terpelihara. Sebaliknya jika diikuti pendapat kedua yang menyatakan
bahwa
hadhanah ia hak mahdhin, maka hal ini berarti bahwa hadhin mempunyai hal pilih
dalam melaksanakan haknya itu. Sebaliknya jika hadhin tidak bersedia
melaksanakan hadhanah ia tidak dapat dipaksa melaksanakannya, karena hadhanah
itu adalah haknya, ia boleh memilih untuk melakukan atau tidak melakukannya.
Seandainya terjadi hal yang demikian maka dikhawatirkan bahwa anak akan
terlunta-lunta pendidikan dan pemeliharannya.
Jika
diperhatikan maksud ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, maka dipahamkan bahwa
hadhanah itu disamping hak hadhin juga merupakan hak madhun. Allah swt
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar memelihara keluarganyandari
api neraka dengan mendidik dan memeliharanya agar menjadi orang yang
melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Anak
termasuk salah satu anggota keluarga. Jadi terpeliharanya dari api neraka merupakan
hak anak yang wajib dilaksanakan orang tuanya. Allah swt berfirman: Terjemahannya:
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirmu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar yang keras yang tidak
mendurhai Allah terhadap apa yang diperuntahkannya kepada mereka dan selalu
megerjakan apa yang diperintahkan.
Dalam
hal itu hadhin berhak menperoleh pahala dari anaknya sekalipun ia telah
meninggal dunia nanti, jika ia behasil mendidik dan memelihara anak menjadi
orang yang takwa dikemudian hari. Karena itu hadhin terutama orang tua berhak
atas pendidikan dan pemeliharaan anaknya, karena ia memerlukan ketakwaan anak
itu.
Dasarnya: Artinya: “Bersabda Rasulullah saw: “Apabila seorang muslim meninggalkan
dunia, putuslah semua (pahala) analnya, kecuali tiga perkara: pahala dari anak
yang saleh yang mendoakannya, pahala dari shadaqah jariyah atau pahala dari
ilmu yang bermanfaat”.
Dari
keterangan diatas nyatalah bahwa hadhanah itu adalah hak dari hadhin dan
mahdhun. Tentu saja dalam pelaksanaanya diperlukan suatu kebijaksanaan sehingga
tidak terlalu memberatkan kepada masing-masing pihak.
C. Orang
Yang Paling Berhak Mengasuh Anak
Seorang
anak pada permulaan hidupnya sampai kepada umur tertentu memerlukan orang lain
untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan, pakaian, membersihkan
dirinya, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidurnya. Karena itu perlu
orang yang menjaganya mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai
keinginan agar anak itu baik dikemudian hari. Di samping itu ia harus mempunyai
waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu. Karena agama menetapkan wanita
adalah orang yang sesuai dengan syarat-syarat tersebut seperti dalam hadits : Artinya: “Dari Abdullah bin Umar bahwasahnya seorang wanita berkata: “Ya
Rasulullah, bahwasahnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah
yang mengawasinya dan air susukulah minumannya. Bapaknya hendak mengambilnya
dariku. Maka berkatalah Rasulullah : “Engkau lebih berhak atasnya (anak Itu)
selama engkau belum nikah (dengan laki-laki yang lain)”.
Menurut
riwayat Malik dalm kitab Muwaththa’ dari Yahya bin Sa’id berkata Qasim bin
Muhammad bahwa Umar bin Khatthab mempunyai seorang anak, namanya ‘Ashim bin
Umar, kemudian ia bercerai, pada suatu waktu Umar pergi ke Quba dan menemui
anaknya itu sedang bermain-main di dalam
masjid, Umar mengambil anaknya itu dan meletakkan diatas kudanya. Dalam pada
itu datanglah nenek si anak. Umar berkata: “anakku” wanita itu berkata pula
“anakku”. Maka dibawalah perkara itu kepada khalifah Abu Bakar. Abu Bakar
memberi keputusan bahwa anak Umar itu ikut ibunya, dengan dasar yang
dikemukakannya: Artinya:
“Ibu
lebih cenderung (kepada anak), lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun,
lebih baik dan lebih penyayang.ia lebih berhak atas anaknya selama ia belum
kawin (dengan laki-laki lain)”.
Menurut
hadits-hadits diatas maka dapatlah ditetapkan bahwa ibu dari anak adalah orang
yang paling berhak melakukan hadhanah baik ia masih terikat dengan perkawinan
atau ia dalam masa idah talak raj’i, talak ba’in atau telah habis masa
iddahnya, tetapi ia belum kawin dengan laki-laki lain. Bahkan hal ini dikuatkan
oleh hadits Rasulullah saw:
Artinya: “Bersabda Rasulullah saw: “Barangsiapa
yang memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, niscaya Allah akan
memisahkan antara orang itu dengan kekasihnya di hari kiamat”.
Karena
itu hendaklah hakim, wali, bekas suami atau orang lain behati-hati dalam
memberi keputusan atau berusaha memisahkan seorang ibu dengan anaknya mengingat
ancaman Rsulullah dalm hadits diatas.
Jika ibu
tidak ada, yang berhak menjadi hadhin ialah ibu dari ibu (nenek) dan seterusnya
keatas, kemudian ibu dari bapak (nenek) dan seterusnya keatas.
Kemudian
saudara ibu yang perempuan sekandung, saudara ibu perempuan seibu dan saudara
ibu yang perempuan seayah. Kemudian anak perempuan dari saudara perempuan sekandung,
anak perempuan dari saudara perempuan seibu dan anak perempuan dari saudara
perempuan seayah, kemudian bibi ibu yang sekandung dengan ibunya, bibi ibu yang
seibu dengan ibunya dan bibi ibu yang sekandung dengan ibunya. Kemudian anak
perempuan dari saudara laki-laki sekandung, anak perempuan dari saudara
laki-laki seibu dan anak perempuan dari saudara laki-laki
seayah.
Kemudian bibi yang sekandung dengan bapak, bibi yang seibu dengan bapak, bibi
yang sebapak dengan bapak. Kemudian bibi dari ibu sekandung dengan ibunya, bibi
dari ibu yang seayah dengan ibunya dan bibi dari yang seayah dengan ibunya.
Kemudian bibi dari bapak yang sekandung dengan ibunya, bibi dari bapak yang
seibu dengan ibunya dan bibi dari bapak yang seayah dengan ibunya. Demikianlah
seterusnya.
Jika
tidak ada yang akan melakukan hadhanah pada tingkat perempuan, maka yang berhak
melaksanakan hadhinah dalah pihak laki-lakiyang urutannya sesuai dengan urutan
perempuan diatas.
Jika
pihak laki-laki juga tidak ada, maka kewajiban melakukann hadhinah itu merupakan
kewajiban pemerintah.
Dasar
urutan orang-orang yang berhak melakukan hadhanah diatas, ialah:
a. Kerabat
pihak ibu didahulukan atas kerabat pihak bapak jika tingkatannya dalam kerabat
adalah sama.
b. Nenek
perempuan didahulukan atas saudara perempuan, karena anak merupaka bahagian
dari kakek itu. Karena itu nenek lebih berhak dibanding dengan saudara
perempuan.
c. Kerabat
sekandung didahulukan dari kerabat yang bukan sekandung dan kerabat seibu lebih
didahulukan atas kerabat seayah.
d. Dasar
urutan ini adalah urutan kerabat yang ada hubungan mahram, dengan ketentuan
bahwa pada tingkat yang sama pihak ibu didahulukan atas pihak bapak.
D. Syarat-syarat
Mengasuh Anak
Untuk
kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlukan syarat-syarat bagi hadhinah dan
hadhin. Syarat-syarat hadhinah, ialah:
a. Tidak
terikat suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan hadhanah dengan
baik, seperti hadhinah terikat dengan pekerjaan yang berjauhan tempatnya dengan
tempat si anak, atau hampir waktunya dihabiskan untuk bekerja;
b. Hendaklah
ia orang yang mukallaf, yaitu telah baliq, berakal, dan tidak terganggu
ingatannya. Hadhanah adalah suatu pekerjaan yang penuh dengan tanggung jawab,
sedang orang yang bukan mukallaf adalah orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
c. Hendaklah
mempunyai kemampuan melaksanakan hadhanah.
d. Hendaklah
dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak terutama yang berhubungan
dengan budi pekerti. Orang yang dapat merusak budi pekerti anak, seerti pezina,
pencuri tidaklah pantas melakukan hadhanah.
e. Hendaklah
hadhinah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengan si
anak. Jika ia kawin dengan laki-laki yang ada hubungan mahram dengan si anak,
maka hadhinah itu berhak melaksanakan hadhanah, seperti ia kawin dengan paman
si anak dan sebagainya.
f. Hadhinah
hendaklah orang yang tidak membenci si anak. Jika hadhinah orang yang menbenci
si anak dikhawatirkan anak akan berada dalam kesengsaraan.
Persamaan
agama tidaklah menjadi syarat bagi hadhinah, kecuali jika dikhawatirkan ia akan
memalingkan si anak dari agama islam. Sebab yang penting dalam hadhanah itu
adalah hadhinah mempunyai rasa cinta dan kasih sayang kepada anak, bersedia
memelihara anak sebaik-baiknya.
Jika
pendidik dan pemeliharan anak itu laki-laki, disyaratkan sama agama antara si
anak dengan hadhin. Sebab laki-laki yang boleh sebagai hadhin adalah laki-laki
yang ada hubungan waris mewaris dengan si anak.
E. Batas
Akhir Mengasuh Anak
Tidak
terdapat ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan dengan tegas tentang
masa hadhanah; hanya terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan masa tersebut.
Karena itu para ulama melaksanakan ijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkannya
dnegan berpedoman kepada syarat-syarat itu. Seperti menurut mazhab Hanafi
hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak itu tidak lagi memerlukan
penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari seperti makan,
minum, mengatur pakaian membersihkan tempatnya dan sebagainya. Sedang masa
hadhanah wanita berakhir apabila ia telah baliq atau telah datang masa haid
pertamanya.
Sedang
pengikut mazhab hanafi yang terakhir ada yang menetapkan bahwa masa hadhanah
itu berakhir umur sembilan tahun bagi laki-laki dan umur sebelas tahun bagi
wanita.
Undang-undang
Mesir tidak menetapkan batas akhir masa hadhanah dengan tegas, tetapi melihat
keadaan kehidupan bapak dan ibu dari anak itu, jika kedua bapak dan ibunya
masih terikat dalam tali perkawinan, maka dianggap tidak ada persoalan
hadhanah. Persoalah dianggap ada jika telah terjadi perceraian antara kedua
orang ibu bapak dari anak dan keduanya berbeda pendapat dalam melaksanakan
hadhanah. Jika terjadi perbedaan penapat antara ibu dan bapak tentang
haadhanah, maka undang-undang menyerahkan kepada kebijaksanaan dan keputusan
hakim dengan memberikan ketentuan bahwa masa hadhanah anak yang minimal ialah
tujuh tahun dan masa yang maximal ialah sembilan tahun, sedang masa
hadhanah
wanita yang minimal ialah sembilan tahun dan maximal sebelas tahun. Namun,
demikian diserahkan juga kepada kebijaksanaan hakim dengan pedoman bahwa
kemaslahatan anak harus diutamakan.
Mazhab
Syafi’i berpendapat bahwa masa hadhanah itu berakhir setelah anak mumayyiz,
yaitu berumur antara lima dan enam tahun, dengan dasar hadits yang artinya: :
“Rasulullah saw bersabda: “Anak ditetapkan antaar bapak dan ibunya ,
sebagaimana anak (anak belum mumayyiz) perempuan ditetapkan antara bapak dan
ibunya”.
Sebagai
pedoman tentang masa hadhanah ini dibawah ini dikemukakan beberapa hadits:
a. Sabda
Rasulullah saw kepada seorang wanita yang mengadukan kepada Rasulullah saw
bahwa anaknya yang masih kecil akan diambil oleh bapaknya (bekas suaminya):
Artinya:
“Engkau lebih berhak terhadap anakmu ini selama
engkau belum nikah (dengan laki-laki lain).
b. Peristiwa
Umar bin Khaththab yang memperebutkan anaknya dengan mertuanya, dan mertuanya
meminta agar anak itu diasuh oleh ibunya, (bekas istri Umar). Kemudian khalifah
Abu Bakar memutuskan bahwa anak itu diserahkan kepada ibunya.
c. Hadits
yang menerangkan bahwa seorang wanita mengadukan kepada Rasulullah saw bahwa
bekas suaminya bermaksud membawa anaknya.
Kemudian Rasulullah saw mengadili pihak-pihak
yang berperkara itu dengan menghadirkan anak itu dimuka sidang pengadilan,
beliau berkata:
Artinya:“Hai anak, ini bapak engkau dan ini
ibu engkau, maka peganglah tangan salah seorang dari keduanya yang engkau sukai”.
Lalu si anak memegang tangan ibunya dan ibunya itu membawanya pergi”.
d. Hadits
yang berhubungan dengan anjuran Rasulullah saw agar orang tua menyuruh
anak-anaknya yang telah berumur enam atau tujuh tahun mengerjakan shalat. Maka
apabila anak itu telah berumur sembilan tahun enggan melaksanakan perintah
orang tuanya mengerjakan shalat, anak itu boleh dipaksa kalau perlu dengan
memukulnya.
Berdasarkan
keterangan diatas , maka praktek keputusan hakim dan undang-undang yang berlaku
di Mesir itu, termasuk yang sesuai dengan jiwa hadits diatas.
Sesuai
pula dengan hadits diatas, maka bila anak-anak laki telah berumur lebih tujuh
atau sembilan tahun atau anak perempuan telah baliq ia dapat memilih diantara
kelaurganya yang dianggapnya dapat memelihara dan mendidiknya, sehingga ia
menjadi orang yang takwa. Tentu saja pemilihan ini harus didasarkan kepada yang
paling maslahat bagi anak.
F. Hukum
Mengasuh Anak Dengan Sukarela
Golongan Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah berpendapat bahwa wanita yang memiliki hak pengasuhan berhak
meminta upahnya selama mengasuh, baik yang mengasuh itu ibu dari anak yang
diasuh maupun wanita lain selain ibu yang mendapatkan hak pengasuhan, karena
pengasuhan tidaklah wajib bagi ibu, dan jika ibu dari anak tersebut enggan
untuk melakukan pengasuhan terhadap anaknya maka diperbolehkan, dan tidak boleh
seorang pun memaksa ibu tersebut untuk mengasuh anaknya. Adapun biaya untuk
pengasuhan, dikeluarkan dari harta anak yang diasuhnya. Namun jika anak
tersebut tidak memiliki harta maka kewajiban tersebut dibebankan terhadap orang
yang menanggung nafkah anak tersebut, karena dari sebab-sebab keseimbangan dan
kecukupan adalah nafkah. Dan upah pengasuhan yang diberikan kepada ibu adalah
upah yang nilainya sebanding, golongan Al-Hanabilah berpendapat: walaupun
terdapat wanita yang rela untuk mengasuh, tetapi golongan Asy-Syafi’iyah
menegaskan nilai tersebut berlaku jika tidak ada wanita yang rela untuk
mengasuh anaknya, atau tidak adanya yang bersedia diberi upah dengan nilai yang
lebih kecil dari upah sesuai standar yang ada, dan jika terdapat wanita yang
sukarela untuk mengasuh atau yang bersedia dibayar lebih kecil dari upah yang
standar maka gugurlah hak asuh ibu, dan ada yang mengatakan: bahwa ibu berhak
mendapatkan upah yang standar sesuai yang telah ditentukan, dan hak asuh yang
dimilikinya tidak gugur walaupun terdapat wanita asing yang sukarela dalam
mengasuh atau terdapat wanita yang bersedia diberikan upah lebih kecil dari
nilai yang telah ditentukan.
Golongan Al-Hanafiyah menegaskan
jika seseorang yang mendapatkan hak asuh, baik itu ketika ia masih dalam
perlindungan suamninya maupun ketika berada pada masa ‘iddah talak raj’i maka
ia tidak berhak mendapatkan upah dari pengasuhannya karena pengasuhan baginya
atas anaknya merupakan kewajibannya, dan akan dihitung sebagai hutang jika ibu
tersebut tidak melaksanakan kewajibannya, hal ini berlaku juga bagi wanita yang
berada pada masa ‘iddah talak bain.
Jika pengasuh bukanlah ibunya, atau
ibunya yang telah berakhir masa ‘iddahnya, atau disebutkan dalam suatu riwayat
ia berada pada masa ‘iddah talak bain, maka ia berhak meminta upah atas
pengasuhannya dari harta yang dimiliki anaknya jika anaknya tersebut memiliki
harta, namun jika anaknya tidak memiliki
harta maka kewajiban membayar upah untuk yang mengasuh jatuh kepada ayahnya
atau kepada orang yang diberikan tanggung jawab untuk memberikan nafkah untuk
anak yang yang berada dalam asuhan, hal ini terjadi jika tidak ada wanita yang
secara sukarela menawarkan dirinya untuk mengasuh anak tersebut, dan apabila
ada wanita yang sukarela untuk mengasuh dan ia bukan pula mahram bagi anak yang
diasuh maka ibu yang didahulukan untuk mengasuh anak walaupun ia meminta upah
atas pengasuhannya, dan baginya upah yang sepadan, dan jika wanita yang
sukarela itu mahram bagi anak yang diasuhnya, maka ibu diberi pilihan untuk
memilih menahan upah yang akan diberikan kepadanya atau memberikannya kepada
wanita yang telah sukarela untuk mengasuh, namun hal ini terikat dengan 2
keadaan:
a)
Keadaan ayah yang sulit secara
ekonomi, terlepas dari keadaan anakanya apakah anaknya tersebut memiliki harta
atau tidak.
b)
Keadaan ayah yang lapang dalam
hartanya, dengan keadaan anak yang lapang pula dalam rezekinya dan ayah
bermaksud untuk memelihara harta anaknya, karena dalam keadaan ini upah
dibebankan kepada harta anaknya.
Maka jika ayah memiliki harta yang
berlebih dan anaknya tidak memiliki harta maka ibu didahulukan dalam pemberian
hak asuh terhadap anaknya walaupun ibu tersebut meminta upah, hal ini
untuk kebaikan anaknya.
Golongan Al-Malikiyah berpendapat
bahwa tidak adanya upah dalam pengasuhan, Malik pernah berkata: orang yang
memiliki hak asuh maka ia diberi nafkah dari harta anak yang diasuhnya, dan
terdapat perbedaan hukum ketika pengasuh tersebut termasuk dari kalangan yang
mampu, namun jika pengasuh tersebut seseorang yang tidak mempunyai harta maka
ia diberikan nafkah karena kefakirannya bukan karena pengasuhan yang telah
dilakukannya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Simpulan
1. Hadhanah
menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau dipangkuan. Secara terminologi hadhanah adalah menjaga anak yang belum
bisa mengatur dan merawat dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya.
2. Hak pengasuan anak : Berbeda
pendapat para ulama tentang siapa yang berhak terhadap hadhanah, apakah yang
berhak itu hadhin atau mahdhun (anak). Sebahagian pengikut mazhab Hanafi,
berpendapat bahwa hadhanah itu adalah hak anak, sedang menurut Syafi’i, Ahmad,
dan sebahagian pengikut mazhab Maliki berpendapat bahwa hadhinlah yang berhak
terhadap hadhanah.
3. Orang
yang paling berhak mengasuh anak; bahwa ibu dari anak adalah orang yang paling
berhak melakukan hadhanah baik ia masih terikat dengan perkawinan atau ia dalam
masa idah talak raj’i, talak ba’in atau telah habis masa iddahnya, tetapi ia
belum kawin dengan laki-laki lain.
4. Syarat-syarat
mengasuh anak:
a. Tidak
terikat suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan hadhanah dengan
baik, seperti hadhinah terikat dengan pekerjaan yang berjauhan tempatnya dengan
tempat si anak, atau hampir waktunya dihabiskan untuk bekerja;
b. Hendaklah
ia orang yang mukallaf, yaitu telah baliq, berakal, dan tidak terganggu
ingatannya. Hendaklah mempunyai kemampuan melaksanakan hadhanah.
c. Hendaklah
dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak terutama yang berhubungan
dengan budi pekerti.
d. Hendaklah
hadhinah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengan si
anak.
e. Hadhinah
hendaklah orang yang tidak membenci si anak.
5. Batas
mengasuh anak; mazhab Hanafi hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak
itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya
sehari-hari seperti makan, minum, mengatur pakaian membersihkan tempatnya dan
sebagainya. Sedang masa hadhanah wanita berakhir apabila ia telah baliq atau
telah datang masa haid pertamanya.
6. Hukum
mengasuh anak dengan sukarela boleh-boleh saja selama tidak ada pihak yang d
rugikan.
B. Saran
Semoga
dengan eksistensi makalah ini ilmu tentang hadhanah dapat bertambah dan
menambah cakrawala ilmu kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Ilmu Fiqh. Jakarta: 1983.
www.rumahfiqih.com/ensiklopedi/x.php?id=77.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar