Senin, 12 Oktober 2015

filsafat cinta

Filsafat Patah Hati

Anda ingin tahu bagaimana seorang mahasiswa baru jurusan filsafat menulis surat untuk seorang gadis yang telah membuatnya patah hati? Begini:
Gua memang harus bilang terima kasih sama kamu yang sudah ngebuat gua patah hati bahkan berkali-kali.
Patah hati mungkin buat banyak orang adalah hal yang menyakitkan. Tapi bagi gua itu adalah karunia tak ternilai, sebab berarti Tuhan lagi-lagi masih memberikan anugerah cintanya.
Mengenal kamu adalah hal terindah bagi gua, karena meskipun kamu gak sadar akan hal itu, kamu telah banyak memberikan inspirasi terhadap hidup gua. Tak hanya di urusan cinta, tetapi bahkan gua menemukan kembali keseimbangan dalam hidup. Gua sadar, selama ini gua benar-benar seorang utilitarian penganut setia John Stuart Mill. Tindakan gua hanya berdasarkan pertimbangan efektivitas dan efisiensi. Tetapi saat berhadapan dengan kamu, rasionalitas utilitarian tak lagi bisa gua pertahankan. Pendek kata, gua meluruh dalam emosi cinta yang gua bangun sendiri.
Tadinya gua berpikir ini adalah ilusi yang gua ciptakan sebagai akibat ketertarikan atas kamu secara seksual. Pikiran itu mendorong gua untuk kembali membaca psikoanalisis-nya Sigmund Freud (Three Essays on the Theory of Sexuality). Maka sempat gua menyimpulkan bahwa satu-satunya solusi atas hal ini adalah dengan mengungkapkan "libido" gua secara vulgar, dan seharusnya ketika itu terungkapkan, maka pikiran gua bisa bebas dari ilusi tentang kamu. Tapi nyatanya, kesimpulan itu salah. Ada sesuatu yang lebih dari hanya "kepanasaran" gua terhadap kamu.
Agak sedikit melenceng, gua jadi ingat istilah Hannah Arendt (seorang perempuan filsuf yang pernah pacaran dengan filsuf besar Jerman, Martin Heidegger) bahwa "politik adalah seni untuk mengabadikan diri manusia". Maka gua kembali berteori bahwa "perjuangan" yang gua lakukan untuk mendapatkan kamu adalah bagian dari keinginan setiap manusia untuk mengeksistensikan dirinya. Tiba-tiba gua merasa menjadi seorang eksistensialis. Bukankah Adam adalah seorang eksistensialis ketika ingin mendapatkan Hawa?
Sampai di sini, gua hampir saja menemukan jawaban, bahwa kalau gua memperbanyak pola eksistensialis semacam ini, hasrat gua terhadap kamu pasti akan semakin menipis. Tetapi lagi-lagi model ini menemukan jalan buntu. Gua malah semakin cinta sama kamu. Gua jadi agak frustasi dan hampir saja terdorong untuk membuang semua teori. Namun bukankah Stephen Hawking mengatakan bahwa semua hal pasti ada rumusnya? (Theory of Everything)
Kembali gua buka semua catatan dari filsuf-filsuf besar dunia yang pernah gua baca buku-bukunya. Dari konsep cartesian-nya Descartes hingga keseimbangan kosmiknya Fritjof Kapra. Dari konsep universalitasnya Kant hingga konsep dialogisnya Habermas. Dari konsep komunitariannya Robert N Bellah hingga pragmatismenya John Dewey.
Dan akhirnya... gua memang tidak pernah bisa mendapatkan jawabannya... namun tetaplah ada filosofi di balik itu semua. Gua menemukan sistesis dari semuanya, bahwa cinta adalah hal yang harus terus dicari oleh manusia. Cinta bukan sebuah konsep fana yang hidup hanya pada momen-momen romantik seperti akhir cerita buku-buku HC Andersen, tetapi lebih dari itu, cinta adalah sebuah cita-cita yang dibangun dari pengalaman emosional dan transendental setiap manusia.

Patah hati adalah ekses dari proses pencarian cinta. Dan sekali lagi terima kasih Xxx... kamu telah menyingkap sekian banyak misteri tentang cinta.

Tidak ada komentar: