AKIDAH AKHLAK; AKHLAK
TERCELA
(NAMIMAH DAN GHIBAH)
Makalah
ini Diajukan Sebagai tugas makalah Pada Mata Kuliah Materi PAI 8
(Akidah Akhlak) Semister Lima Jurusan
Tarbiyah Program Studi
Pendidikan Agama Islam (PAI) Kelompok Satu
A.NURASMI BURHAN
(02131010)
FIRMAN
SYAM (02131011)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) WATAMPONE
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Karena berkat
rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “Akhlak Tercela (Namimah Dan Ghibah).”
Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada
Rasulullah SAW. yang telah membawa umatnya menuju jalan yang lurus.
Terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada dosen yang
memberikan mata kuliah Materi PAI 8 (akidah akhlak 2), Ibu DR. Wardhana, S.Ag.,
M. Pd. Tanpa adanya bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak, makalah ini
mungkin belum dapat diselesaikan.
Penulis juga menyadari
bahwa terdapat banyak kekurangan di dalam makalah ini, untuk itu saran dan
kritik yang sifatnya membangun dari
berbagai pihak sangat diharapkan demi untuk perbaikan makalah selanjutnya.
Watampone, 31 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
SAMPUL
KATA
PENGANTAR i
DAFTAR
ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN 1
A.
Latar Belakang Masalah 1
B.
Rumusan Masalah 1
C.
Tujuan Penulisan 2
D. Manfaat
Penulisan 2
BAB II
PEMBAHASAN 3
a. Pengertian
Namimah Dan Ghibah 3
b. Hukum/Ancaman
Namimah Dan Ghibah 5
c. Sikap
Terhadap Perilaku Namimah 7
d. Cara
Melepaskan Diri Dari Perilaku Namimah 8
e. Ucapan
Yang Bukan Termasuk Namimah 9
f. Ghibah
Yang Dilarang Dan Diperbolehkan 10
BAB III
PENUTUP 12
a. Simpulan 12
b. Saran 13
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menyaksikan disekitar kita ada
sebagian orang yang melakukan amal kebaikan dan sebaliknya ada yang melakukan
amal buruk. Perilaku tercela dalam islam disebut dengan akhlak tercela atau
akhlak syai’yah. Contoh dari
akhlak tercela yang dapat kita saksikan antrara lain namimah (mengadu domba ) dan gibah
(mengumpat). Salah satu akhlak tercela yaitu namimah (adu domba). Kata
adu domba identik dengan kebencian dan permusuhan. Sebagian dari kita yang
mengetahui bahaya namimah mungkin akan mengatakan,“Ah, saya tidak
mungkin berbuat demikian…” Tapi jika kita tak benar-benar menjaganya ia
bisa mudah tergelincir. Apalagi ketika rasa benci dan hasad (dengki) telah
memenuhi hati. Atau meski bisa menjaga lisan dari namimah, akan tetapi tidak
kita sadari bahwa terkadang kita terpengaruh oleh namimah yang dilakukan
seseorang. Oleh karena itu kita benar-benar harus mengenal apakah itu namimah.
Sedangkan gibah atau mengumpat adalah membicarakan orang lain tentang
sesuatu yang ada padanya dan orang itu tidak menyukai bila dibicarakannya.
Manusia adalah makhluk yang penuh dengan salah dan lupa, hal ini sudah
menjadi suatu yang manusiawi, karena tidak ada manusia yang sempurna. Sehingga
dalam makalah ini penulis membahas tentang akhlak tercela diantaranya yaitu
namimah dan gibah agar pembaca dapat menghindari akhlak-akhlak tercela tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka rumusan masalah yang dapat diambil
yaitu:
1.
Apa pengertian
namimah dan gibah ?
2.
Bagaimanakah hukum/ancaman namimah dan gibah ?
3.
Bagiamanakah
sikap kita terhadap pelaku namimah ?
4.
Bagaimana cara
melepaskan diri dari perbuatan namimah ?
5.
Apakah semua
ucapkan yang mengarah kepada berita termasuk namimah ?
6.
Bagaimanakah ghibah yang diperbolehkan dan ghibah yang dilarang ?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan yang dapat
diambil yaitu:
1.
Mengetahui
pengertian namimah dan gibah.
2.
Mengetahui hukum/ancaman namimah dan ghibah.
3.
Mengetahui
sikap kita terhadap pelaku namimah.
4.
Mengetahui cara
melepaskan diri dari namimah.
5.
Mengetahui
ucapan apa yang tidak termasuk namimah.
6.
Mengetahui
tentang gibah yang diperbolehkan dan gibah yang dilarang.
D.
Manfaat Penulisan
Dengan memahami materi tentang akhlak tercela atau akhlak mazmumah ini
yaitu diantaranya namimah dan gibah, kita akan mampu memahami mana akhlak yang
harus dilaksanakan dan mana yang harus dihindari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Namimah dan Gibah
1.
Pengertian
namimah
Menyampaikan
perkataan seseorang atau menceritakan keadaan seseorang atau mengabarkan
pekerjaan seseorang kepada orang lain dengan maksud mengadu domba antara
keduanya atau merusakkan hubungan baik antara mereka, ini dinamakan namimah. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya kejahatan antara keluarga dan sahabat,
menceritakan hubungan orang dan sebenarnya hal ini berarti memperbanyak jumlah
lawan.
Al-Baghawi rahimahullah
menjelaskan bahwa namimah adalah mengutip suatu perkataan dengan
tujuan untuk mengadu domba antara seseorang dengan si pembicara. Adapun
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaani rahimahullah mengatakan bahwa namimah
tidak khusus itu saja. Namun intinya adalah membeberkan
sesuatu yang tidak suka untuk dibeberkan. Baik yang tidak suka adalah pihak
yang dibicarakan atau pihak yang menerima berita, maupun pihak lainnya. Baik
yang disebarkan itu berupa perkataan maupun perbuatan. Baik berupa aib ataupun
bukan.
2.
Pengertian ghibah
Gibah berasal dari bahasa Arab yang
artinya mengumpat, maksudnya yaitu membicarakan orang lain tentang sesuatu yang ada padanya dan orang itu tidak
menyukainya bila dibicarakannya, sementara orang yang dibicarakan itu tidak ada
dihadapannya. Sehingga gibah merupakan suatu tindakan yang bersifat pengecut.
Gibah bertujuan untuk menghancurkan orang lain dengan menodai harga diri,
kemuliaan, dan kehormatannya.
Nabi saw.
Bersabda:” tahukah kamu apakah gibah itu?” para rasul menjawab:”Allah dan
rasul-nya lebih mengetahui,”Rasulullah bersabda:”Engkau menyebut-nyebut
saudaramu dengan kata-kata yang tidak disenangi,”Para sahabat
berkata : Bagaimana pendapatmu
jika memang terdapat pada saudaraku apa-apa yang saya katakana?” Nabi
saw.menjawab:”jika memang ada padanya apa yang kamu katakan berarti kamu telah
mengumpat/ mengunjing. Jika tidak ada berarati kamu telah
membuat kebohongan yang keji terhadap dirinya (fitnah).
Mengumpat adalah menyebut atau
memperkatakan seseorang dengan apa yang dibencinya, ini antara lain disebabkan
karena dengki, mencari muka,berolok-olok, mengada-adakan, dengan maksud ingin
mengurangi respect orang yang diumpat. Mengatakan sesuatu yang tidak kita
setujui mengenai kelakuan seseorang, sebaiknya secara berhadapan muka dengan
nasehat dan kata-kata yang baik. Jadi, janganlah mengumpat, mencari-cari keburukan orang lain sebab ini
hanyalah menanam benih permusuhan belaka serta mengurangi relasi yang baik. Imam
nawawi mendefinisikan makna ghibah sebagaimana dikutip oleh ibnu hajar Artinya:
iman Nawawi berkata dalam kitab Al-Adzkar mengikuti pandangan Al-Ghazali bahwa
ghibah adalah menceritakan tentang seseorang dengan sesuatu yang dibencinya
baik badannya, agamanya, dirinya (fisik), perilakunya, hartanya, orang tuanya,
anaknya, istrinya, pembantunya, raut mukanya yang berseri atau masam, atau yang
berkaitan dengan penyebutan seseorang baik dengan lafad (verbal), tanda,
ataupun isyarat.
B.
Hukum/Ancaman Namimah dan Ghibah
1. Namimah
Namimah hukumnya haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
Banyak sekali dalil-dalil yang menerangkan haramnya namimah dari Al
Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya, “Dan
janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak
mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.” (QS. Al Qalam: 10-11)
Dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu disebutkan, “Tidak akan masuk surga bagi Al Qattat (tukang adu
domba).” (HR. Al Bukhari).
Ibnu Katsir menjelaskan, “Al qattat adalah orang yang menguping (mencuri
dengar pembicaraan) tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan
tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba.”
Perkataan “Tidak akan masuk surga…” sebagaimana disebutkan dalam
hadist di atas bukan berarti bahwa pelaku namimah itu kekal di neraka.
Maksudnya adalah ia tidak bisa langsung masuk surga. Inilah madzhab Ahlu Sunnah
wal Jama’ah untuk tidak mengkafirkan seorang muslim karena dosa besar yang
dilakukannya selama ia tidak menghalalkannya (kecuali jika dosa tersebut
berstatus kufur akbar semisal mempraktekkan sihir.
Pelaku namimah juga diancam dengan azab di dalam kubur. Ibnu Abbas
meriwayatkan: “Suatu hari Rasulullah saw melewati dua kuburan lalu bersabda:
“Sesungguhnya penghuni kedua kubur ini sedang di azab. Dan keduanya bukanlah di
azab karena perkara yang berat untuk ditinggalkan, yang pertama, tidak
membersihkan diri dari air kencingnya.
Sedang yang kedua, berjalan kesana kemari menyebarkan namimah.” (HR. Buhkari)
2. Ghibah
Dari sejumlah dalil Qur’an dan hadits, maka ulama mengambil kesimpulan
bahwa hukum ghibah atau gosip itu terbagi tiga yaitu; haram, wajib, dan boleh.
Haram, hukum asal gosip adalah haram,
ketika kita membicarakan aib sesama muslim yang dirahasiakan. Baik aib itu
terkait dengan bentuk fisik atau perilaku, agama atau duniawi.
Wajib, Ghibah atau
membicarakan/menyebut aib orang lain
adakalanya wajib. Hal itu terjado dalam situasi di mana ia menyelamatkan
seseorang dari bencana atau potensi terjadinya sesuatu yang kurang baik.
Misalnya; ada seorang pria atau wanita yang ingin menikah. Dia meminta nasihat
tentang calon pasangannya. Maka si pemberi nasehat wajib memberi tahu keburukan
atau aib calon pasangannya sesuai dengan fakta yang diketahui pemberi nasehat.
Atau seperti si A memberitahukan pada si B bahwa si C berencana untuk mencuri
hartanya atau membunuhnya atau mencelakakan istrinya.
Boleh, imam nawawi dalam Riyadus
Shalihin 2/182 membagi gosip atau ghibah yang dibolehkan menjadi enam sebagai
berikut: pertama, At-Tazhallum. Orang yang terzalimi boleh menyebutkan
kezaliman seseorang terhadap dirinya. Tentunya hanya bersifat pengaduan kepada
orang yang memiliki qudrah (kapasitas) untuk melenyapkan kezaliman. Kedua,
Isti’anah (meminta pertolongan) untuk merubah atau menghilangkan kemungkaran.
Seperti mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu menghilangkan
kemungkaran: “Fulan telah berbuat begini (perbuatan buruk). Cegahlah dia”. Ketiga,
Al-Istifa’ atau meminta fatwa dan nasehat seperti perkataan peminta nasihat kepada
mufti (pemberi fatwa): “saya dizalimi oleh ayah atau saudara, atau suami”. KeempT,
At-Tahdzir lil Muslimin (memperingatkan orang-orang islam) dari perbuatan buruk
dan memberi nasihat pada mereka. Kelima, orang yang menampakkan
kefasikan dan perilaku maksiatnya. Seperti menampakkan diri saat minum miras,
narkoba, berpacaran di depan umum dll. Keenam, memberi julukan tertentu
pada seseorang.
C.
Sikap Terhadap Pelaku Namimah
Imam An-Nawawi berkata, “Dan setiap orang yang disampaikan kepadanya
perkataan namimah, dikatakan kepadanya: “Fulan telah berkata tentangmu begini
begini. Atau melakukan ini dan ini terhadapmu,” maka hendaklah ia melakukan
enam perkara berikut:
1.
Tidak
membenarkan perkataannya. Karena tukang namimah adalah orang fasik.
2.
Mencegahnya
dari perbuatan tersebut, menasehatinya dan mencela perbuatannya.
3.
Membencinya
karena Allah, karena ia adalah orang yang dibenci di sisi Allah. Maka wajib
membenci orang yang dibenci oleh Allah.
4.
Tidak
berprasangka buruk kepada saudaranya yang dikomentari negatif oleh pelaku namimah.
5.
Tidak
memata-matai atau mencari-cari aib saudaranya dikarenakan namimah yang
didengarnya.
6.
Tidak
membiarkan dirinya ikut melakukan namimah tersebut, sedangkan dirinya
sendiri melarangnya. Janganlah ia menyebarkan perkataan namimah itu dengan
mengatakan, “Fulan telah menyampaikan padaku begini dan begini.” Dengan
begitu ia telah menjadi tukang namimah karena ia telah melakukan perkara
yang dilarang tersebut.”.
D.
Cara Melepaskan Diri dari Perbuatan Namimah
Janganlah rasa tidak suka atau hasad kita pada seseorang menjadikan kita
berlaku jahat dan tidak adil kepadanya, termasuk dalam hal ini adalah namimah.
Karena betapa banyak perbuatan namimah yang
terjadi karena timbulnya hasad di hati. Lebih dari itu, hendaknya kita tidak
memendam hasad (kedengkian) kepada saudara kita sesama muslim. Hasad serta namimah
adalah akhlaq tercela yang dibenci Allah karena dapat menimbulkan
permusuhan, sedangkan Islam memerintahkan agar kaum muslimin bersaudara dan
bersatu bagaikan bangunan yang kokoh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian
saling mendengki, saling membenci, saling bermusuhan, dan janganlah kamu
menjual barang serupa yang sedang ditawarkan saudaramu kepada orang lain, dan
jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim)
Berusaha dan bersungguh-sungguhlah untuk menjaga lisan dan menahannya dari
perkataan yang tidak berguna, apalagi dari perkataan yang karenanya saudara
kita tersakiti dan terdzalimi. Bukankah mulut seorang mukmin tidak
akan berkata kecuali yang baik.
E.
Ucapan yang Bukan Termasuk Namimah
Apakah semua bentuk berita tentang
perkataan/perbuatan orang dikatakan namimah? Jawabannya, tidak. Bukan termasuk namimah
seseorang yang mengabari orang lain tentang apa yang dikatakan tentang
dirinya apabila ada unsur maslahat di dalamnya. Hukumnya bisa sunnat atau
bahkan wajib bergantung pada situasi dan kondisi. Misalnya, melaporkan pada
pemerintah tentang orang yang mau berbuat kerusakan, orang yang mau berbuat
aniaya terhadap orang lain, dan lain-lain. An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Jika ada kepentingan menyampaikan namimah, maka tidak ada halangan
menyampaikannya. Misalnya jika ia menyampaikan kepada seseorang bahwa ada orang
yang ingin mencelakakannya, atau keluarga atau hartanya.”
Pada kondisi seperti apa menyebarkan
berita menjadi tercela? Yaitu ketika ia bertujuan untuk merusak. Adapun bila
tujuannya adalah untuk memberi nasehat, mencari kebenaran dan menjauhi/mencegah
gangguan maka tidak mengapa. Akan tetapi terkadang sangat sulit untuk
membedakan keduanya. Bahkan, meskipun sudah berhati-hati, ada kala niat dalam
hati berubah ketika kita melakukannya. Sehingga, bagi yang khawatir adalah
lebih baik untuk menahan diri dari menyebarkan berita.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“Seseorang selayaknya memikirkan apa yang hendak diucapkannya. Dan hendaklah
dia membayangkan akibatnya. Jika tampak baginya bahwa ucapannya akan
benar-benar mendatangkan kebaikan tanpa menimbulkan unsur kerusakan serta tidak
menjerumuskan ke dalam larangan, maka dia boleh mengucapkannya. Jika
sebaliknya, maka lebih baik dia diam.”
F.
Ghibah Yang Dilarang dan Yang Diperbolehkan
1.
Ghibah yang dilarang
Hukum asal gibah adalah haram. Gibah
yang haram adalah ketika anda membicarakan aib seseorang yang dirahasiakan.
Baik aib itu terkait dengan bentuk fisik atau perilaku, terkait dengan agama
atau duniawi. Hukum haram ini tersurat secara tegas dalam Al-quran, sebagaimana
disebutkan oleh Al-Qurtubi yang menjadi perselisihan ulama hanyalah apakah ghibah
termasuk dosa besar atau kecil. Mayoritas
ulama menganggapnya sebagai dosa besar, menurut ibnu Hajar Al-Haitami
ghibah dan namimah termasuk dosa besar.
Imam Namawi dalam kitab Al-Adzkar
berkata: Ghibah itu haram tidak hanya bagi pembawa gosip tapi juga bagi
pendengar yang mendengar orang memulai berghibah untuk berusaha menghentikannya
apabila ia tidak kuatir pada potensi ancaman. Apabila takut ia wajib mengingkari
dengan hatinya dan keluar dari majelis pertemuan kalau memungkinkan. Apabila
mampu mengingkari dengan lisan atau dengan mengalihkan pembicaraan maka hal itu
wajib dilakukan.Apabila tidak
dilakukan maka ia berdosa.
Adapun dalil tentang keharaman
ghibah yaitu:
QS. Al-Hujurat:
12
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ
اَحَدُكُمْ اَنْ يَا كُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِ هْتُمُوْهُ وَا تَّقُوْا
اللهَ إِنَّ تَوَّا بٌ رَحِيْمٌ.
Artinya: “dan janganlah kamu menggunjing satu
sama lain. Adakah seseorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang”.
2.
Ghibah yang
diperbolehkan
Sebagaimana dalam al-quran An-Nisa: 184:
لَا يُحِبُّ اللهُ اْلجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنْ
اْلقَوْلِ إِلَا مَنْ ظَلِمَ وَكَانَ اللهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا.
Artinya: “Allah
tidak menyukai ucapan buruk (yang Diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh
orang yang dianiaya. Allah adalah maaha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Adapun dalam hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Hibban dan Baihaqi:
“ceritakan
tentang pendosa apa adanya supaya orang lain menjadi takut”. Sedangkan hadits
yang diriwayatkan oleh muslim: “Setiap umatku akan dimaafkan kecuali para
mujahir”. Kaum mujahir adalah orang-orang yang menampakkan perilaku dosanya
untuk diketahui umum. Menurut Baihaqi dalam hadits yang diriwayatkannya:
“Barangsiapa yang tidak punya rasa malu untuk berbuat dosa, maka tidak ada
ghibah yang dilarang baginya.
Adapun ghibah yang diperbolehkan sebagaimana: imam nawawi dalam Riyadus
Shalihin 2/182 membagi gosip atau ghibah yang dibolehkan menjadi enam sebagai
berikut: pertama, At-Tazhallum. Orang yang terzalimi boleh menyebutkan kezaliman
seseorang terhadap dirinya. Tentunya hanya bersifat pengaduan kepada orang yang
memiliki qudrah (kapasitas) untuk melenyapkan kezaliman. Kedua,
Isti’anah (meminta pertolongan) untuk merubah atau menghilangkan kemungkaran.
Seperti mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu menghilangkan
kemungkaran: “Fulan telah berbuat begini (perbuatan buruk). Cegahlah dia”. Ketiga,
Al-Istifa’ atau meminta fatwa dan nasehat seperti perkataan peminta nasihat
kepada mufti (pemberi fatwa): “saya dizalimi oleh ayah atau saudara, atau
suami”. KeempT, At-Tahdzir lil Muslimin (memperingatkan orang-orang
islam) dari perbuatan buruk dan memberi nasihat pada mereka. Kelima,
orang yang menampakkan kefasikan dan perilaku maksiatnya. Seperti menampakkan
diri saat minum miras, narkoba, berpacaran di depan umum dll. Keenam,
memberi julukan tertentu pada seseorang apabila seseorang itu dikenal dengan
julukan.
BAB III
PENUTUP
1.
Simpulan
1.
Namimah adalah Menyampaikan
perkataan seseorang atau menceritakan keadaan seseorang atau mengabarkan
pekerjaan seseorang kepada orang lain dengan maksud mengadu domba antara
keduanya atau merusakkan hubungan baik antara mereka. Sedangkan Gibah berasal
dari bahasa Arab yang artinya mengumpat, maksudnya yaitu membicarakan orang
lain tentang sesuatu yang ada padanya
dan orang itu tidak menyukainya bila dibicarakannya, sementara orang yang
dibicarakan itu tidak ada dihadapannya.
2.
Hukum namimah
haram sedangkan ghibah di bagi menjadi 3 yaitu , haram, wajib dan mubah
(boleh).
3.
Sikap terhadap
perilaku namimah:
1.
Tidak
membenarkan perkataannya.
2.
Mencegah, menasehati dan mencela perbuatannya.
3.
Membencinya
karena Allah
4.
Tidak
berprasangka buruk kepada saudaranya
5.
Tidak
memata-matai atau mencari-cari aib saudaranya dikarenakan namimah yang
didengarnya.
6.
Tidak
membiarkan dirinya ikut melakukan namimah tersebut, sedangkan dirinya
sendiri melarangnya.
4.
Berusaha dan
bersungguh-sungguhlah untuk menjaga lisan dan menahannya dari perkataan yang
tidak berguna, apalagi dari perkataan yang karenanya saudara kita tersakiti dan
terdzalimi. Bukankah mulut seorang mukmin tidak
akan berkata kecuali yang baik.
5.
Bukan termasuk namimah
seseorang yang mengabari orang lain tentang apa yang dikatakan tentang
dirinya apabila ada unsur maslahat di dalamnya.
6.
Hukumnya bisa
sunnat atau bahkan wajib bergantung pada situasi dan kondisi.
7.
Ghibah yang dilarang
dan diperbolehkan:
a.
Ghibah dilarang
Hukum asal gibah adalah haram. Gibah
yang haram adalah ketika anda membicarakan aib seseorang yang dirahasiakan.
Baik aib itu terkait dengan bentuk fisik atau perilaku, terkait dengan agama
atau duniawi.
b.
Ghibah yang
diperbolehkan;
1.
At-Tazhallum
2.
Isti’anah
3.
Al-Istifa’
4.
At-Tahdzir lil
Muslimin
5.
orang yang
menampakkan kefasikan dan perilaku maksiatnya.
6.
memberi julukan
tertentu pada seseorang apabila seseorang itu dikenal dengan julukan.
2.
Saran
Setelah mempelajari mata kuliah akidah akhlak khususnya pembahasan tentang
sifat tercela terkhusus sifat namiamah dan ghibah dapat kita jadikan sebagai
pedoman hidup untuk tidak melakukan perbuatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
http://muslimah.or.id/105-namimah-adu-domba.html
http://www.alkhoirot.net/2013/12/hukum-gosip-ghibah-dalam-islam.html
Komari Rasyid. Pendidikan Agama Islam; Citra Pustaka.
Umary Barmawie
Drs. Materi Akhlak. Cet. XI; Yogyakarta:
Ramadhani, 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar