PROSES PERUBAHAN
DAN PERBAIKAN KURIKULUM
Makalah ini Diajukan Sebagai tugas
makalah Pada Mata Kuliah Pengantar
Kurikulum Jurusan Tarbiyah Prodi Pendidikan Agama Islam(PAI)Kelompok 1
Oleh
SUKMAWATI (02131015)
FITRIANI (02131022)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2015
I. PEMBAHASAN
A. Proses Terjadinya Perubahan Kurikulum
Menurut para
ahli sosiologi, perubahan terjadi dalam tiga fase, yakni fase inisiasi, yaitu
taraf permulaan ide perubahan itu dilancarkan, dengan menjelaskan sifatnya,
tujuan, dan luas perubahan yang ingin dicapai; fase legitimasi, saatnya orang
menerima ide, itu dan fase kongruesi, saat orang mengadopsinya, menyamakan
pendapat sehingga selaras dengan pikiran para pencetus, sehingga tidak terdapat
perbedaan nilai lagi antara penerima dan pencetus perubahan.
Untuk mencapai
kesamaan pendapat, berbagai cara yang dapat digunakan, misalnya motivasi
intrinsik dengan janji kenaikan gaji atau pangkat, memperoleh kredit, dapat juga,
paksaan keras atau halus, dengan menggunakan otoritas atau indoktrinasi. Dapat
juga dengan membangkitkan motivasi intrinsik dengan menjalankan sikap ramah,
akrab, penuh kesabaran dan pengertian, mengajak turut berpartisipasi,
mengemukakan perubahan sebagai masalah yang dipecahkan bersama. Perubahan akan
lebih berhasil, bila dari pihak guru dirasakan kekurangan dalam keadaan,
sehingga timbul hasrat untuk memperbaikinya demi kepentingan bersama. Perubahan
yang terjadi atas paksaan dari pihak atasan, biasanya tidak dapat bertahan
lama, segera luntur dan hanya diikuti secara formal dan lahiriah. Meskipun
perubahan sebagai masalah, melibatkan semua yang terlibat dalam perubahan
masalah, pengumpulan data, menguji alternatif, dan selanjutnya mengambil kesimpulan,
berdasarkan percobaan, dianggap akan lebih mantap dan meresap dalam hati guru. Akan tetapi
karena prosedur ini makan waktu dan tenaga yang banyak, dan selain itu
diinginkan perubahan yang uniform di semua sekolah, maka sering dijalankan cara
otoriter, indoktrinatif, tanpa mengakui kemampuan guru untuk berfikir sendiri
dan hanya diharuskan menerima saja. Cara ini efisien, namun dalam jangka
panjang tidak efektif. Dan bila ada perubahan atau perbaikan baru, yang lama
ditinggalkan saja tanpa bekas[1].
Disamping hal
tersebut diatas, sebenarnya perubahan kurikulum dapat terjadi karena berkenaan
banyak faktor, diantaranya; apakah perubahan itu berawal dari guru, dari
admistrator, dari masyarakat yang mendapatkan pelayanan pendidikan? Namun
mungkin juga disebabkan oleh kondisi dan situasi sekolah yang bersangkutan.
Secara
konseptual agaknya sulit untuk mendefinisikan tentang pengertian perubahan
kurikulum. Perubahan kurikulum adalah suatu usaha yang disengaja. Perubahan
kurikulum terjadi karena adanya perbedaan dalam satu komponen kurikulum atau
lebih dalam dua periode waktu tertentu. Sebagai contoh, bila sampai tahun 1975
kurikulum Sekolah Dasar masih menggunakan sistem mata pelajaran, mulai tahun
1975 kurikulum tersebut telah menggunakan sistem bidang studi. Ini berarti,
bahwa telah terjadi perubahan dalam organisasi kurikulum Sekolah Dasar. Jadi,
perubahan kurikulum adalah suatu kegiatan atau usaha yang disengaja untuk
menghasilkan kurikulum baru secara lebih baik, yang didasarkan atas perbedaan
satu atau lebih komponen kurikulum dalam dua periode waktu yang berdekatan.
Dari definisi
tersebut di atas dapat diketahui bahwa perubahan kurikulum dapat bersifat
sebagian, tetapi juga dapat terjadi atau bersifat menyeluruh. Perubahan
dikatakan bersifat sebagian jika perubahan kurikulum tersebut hanya terjadi
pada komponen kurikulum tertentu. Misalnya, perubahan metode mengajar saja, isi
kurikulum saja, atau sistem, penilaiannya saja. Perubahan yang bersifat
sebagian ini, tidak akan (banyak) berpengaruh pada komponen kurikulum lainnya.
Sedangkan, perubahan kurikulum secara menyeluruh terjadi, jika dalam kegiatan
kurikulum itu terjadi perubahan terhadap keseluruhan komponen (bahkan sistem)
kurikulum, misalnya perubahan itu mencakup: komponen tujuan, isi, metode,
media, organisasi, strategi pelaksanaannya. Di indonesia, contoh terjadinya
perubahan kurikulum yang bersifat menyeluruh yaitu terjadinya perubahan
kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975.
Perubahan
kurikulummenyangkutpautkan banyak pihak. Oleh karena itu, di dalam mengubah
kurikulum perlu dipertimbangkan faktor-faktor manusia (human
factors), yaitu: guru,
peserta didik, orang tua peserta didik, staf administrasi sekolah, pemakai
lulusan, serta pihak lain yang mungkin terlibat dalam sistem pendidikan, baik
secara langsung maupun tidak langsung[2].
Di bawah ini
diberi sejumlah saran-saran singkat tentang langkah-langkah dalm proses
mengubah kurikulum:
1. Pupuklah suasana dan kondisi kerja yang serasi.
Suasana kerja harus memberi kesempatan bagi peserta
untuk mengeluarkan buah pikirannya secara bebas. Saran-saran mereka harus
diperhatikan. Mereka harus diikutsertakan dalam merumuskan dan memecahkan masalah
yang dihadapi bersama.
Keberhasilan perubahan bergantung pada kualitas dan
kuantitas para peserta. Ada kalanya diperlukan bantuan dari orang lain,
misalnya dari Kanwil atau Perguruan Tinggi perlu disediakan sumber dan bahan
yang diperlukan. Hendaknya dijauhi hal-hal yang dapat mengganggu.
2. Berikan waktu yang cukup, jangan terlampau cepat, jangan pula
terlampau lambat. Mendesak agar cepat bekerja akan cepat menghasilkan pekerjaan
yang tergesa-gesa dan tidak cermat. Pelaksanaan perubahan memerlukan waktu.
Adakalanya untuk program, misalnya perbaikan pengajaran bahasa, diperlukan
waktu 3-4 tahun.
3. Tentukan kegiatan yang sesuai, misalnya ada yang lebih serasi
bila dilakukan oleh panitia, kelompok studi, workshop, konperensi, seminar,
dapat pula mengadakan wawancara, observasi, demonstrasi, atau menggunakan
alat-alat seperti tape-recorder, TV, dan lain-lain.
4. Tentukan prosedur penilaian dalam tiap usaha perubahan. Evaluasi
dimaksud untuk memperoleh gambaran tentang taraf tercapainya tujuan. Setelah
dirumuskan tujuan perubahan, harus segera ditentukan cara
menilai hingga mana tercapainya tujuan itu. Baru kemudian
ditentukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan itu[3].
B. Proses Perbaikan Kurikulum
Seperti telah
dikemukakan,kurikulum bermacam-macam tafsirannya. Pada satu pihak, kurikulum
dipandang sebagai buku pedoman dan wewenang untuk mengembangkannya ialah pusat,
kementerian Depdikbud. Yang dihasilkan ialah suatu kurikulum nasional yang menentukan
garis-garis besar apa yang harus diajarkan kepada murid-murid. Di pihak lain,
kurikulum dapat ditafsirkan sebagai segala sesuatu yang terjadi dalam kelas dan
sekolah yang mempengaruhi perubahan kelakuan para siswa dengan berpedoman pada
kurikulum yang ditentukan oleh Pemerintah. Dalam arti terakhir ini, perbaikan
kurikulum terutama tergantung pada guru. Dialah menentukan apa yang
sesungguhnya terjadi dalam kelasnya. Dalam posisi itu boleh dikatakan ialah
pengembangan kurikulum, dan ada tidaknya perbaikan pengajaran dalam kelasnya
bergantung pada ada tidaknya usaha guru.
Tak semua guru
sadar akan peranannya sebagai pengembang kurikulum, karena ia memandang dirinya
sekedar sebagai pelaksana kurikulum, yang berusaha jangan menyimpang sedikit
pun dari ketentuan dari atasan. Apa yang ditentukan oleh atasan sebenarnya
masih jauh dari lengkap. Yang diberikan terutama garis-garis besarnya , dan
kalaupun dirincikan, mustahil meliputi kegiatan guru-siswa sampai hal yang
sekecil-kecilnya. Kurikulum sekolah kita, menentukan hanya sampai tujuan
instruksional umum. TIU. Yang merumuskan TIK-nya ialah guru. Bahan pelajaran
juga dilengkapi guru. Demikian pula, metode yang dianjurkan sangat terbatas dan
tidak spesifik. Banyak lagi kesempatan bagi guru untuk secara kreatif memilih
dari sejumlah besar metode, strategi, atau model mengajar yang tersedia.
Penilaian formatif dan sumatif untuk pelajaran yang diajarkan guru, sepenuhnya
dalam tangan guru. Ia tidak terikat pada test tertulis, akan tetapi dapat
menjalankan penilaian yang lebih komprehensif yang meliputi aspek emosional,
moral, sosial, sikap dan aspek afektif lainnya. Ia dapat menilai kemampuan
kognitif pada tingkat mental yang jauh
lebih tinggi daripada yang dapat
diukur dengan Ebtanas. Dialah yang dapat menilai aspek-aspek kepribadian anak.
Ialah yang berada dalam posisi strategis untuk mengenal perkembangan anak,
fisik, mental, etis, estetis, sosial, dan lain-lain.
Antara kurikulum
nasional yang dijadikan pedoman sampai perubahan kelakuan anak, masih terdapat
jarak yang cukup luas, yang memerlukan pemikiran, kreativitas, dan kegiatan
guru. Dalam hal ini inilah ia sadar akan fungsinya sebagai pengembang kurikulum.
Fungsi ini tentu harus lebih disadari kepala sekolah yang bertanggung jawab
atas pendidikan di seluruh sekolahnya dan seyogianya berusaha sedapat mungkin
mengadakan perbaikan kurikulum sekolahnya tiap sekolah berbeda dengan
sekolah-sekolah, walaupun berada di kota yang sama, apalagi sekolah di daerah
lain, yang berbeda sifat geografis dan sosial-ekonominya. Dan tiap guru berbeda
pribadinya dengan guru lain. Juga muridnya menunjukkan ciri-ciri khas yang
mungkin bertukar dari tahun ke tahun .
Pada umumnya
guru kita masih belum menyadari peranannya sebagai pengembang kurikulum.
Kurikulum kita uniform di samping usaha untuk sedapat mungkin mengatur apa yang
harus dilakukan oleh guru sampai yang sekecil-kecilnya. Meningkatkan mutu
pendidikan dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan. Pertama,
menyusun paket pelajaran sedemikian rupa, sehingga guru hanya berperan untuk
mengatur distribusi bahan itu menurut kecepatan anak. Pelajaran itu dapat
berupa modul atau pelajaran berprograma. Pendekatan kedua ialah meningkatkan
mutu guru sehingga mampu menjalankan bahkan memperbaikinya bila ada
kelemahannya. Pendekatan pertama sangat mahal selain banyak kekurangannya.
Pendekatan kedua memerlukan guru yang profesional, berkompetensi tinggi, guru
yang berjiwa dinamis dan terbuka bagi pmbaharuan. Pendekatan ini pun tak mudah
dijalankan karena menuntut kualitas guru yang tinggi yang masih belum terpenuhi
pada saat ini.
Kurikulum yang
uniform dapat menjadi alasan bagi guru untuk menjauhi inisiatif perbaikan dan
hanya menunggu instruksi dari pihak atasan. Sebaliknya atasan yang tidak
merangsang gur untuk bersifat dinamis dan memberi kesempatan
serta dorongan untuk mencobakan
perbaikan atas pemikiran sendiri dan tidak turut serta dalam usaha perbaikan
dan penyesuaian dengan keadaan setempat, cenderung mematikan kreativitas guru.
Kurikulum tak
kunjung sempurna dan senantiasa dapat diperbaiki. Bahan segera usang karena
kemajuan zaman, pelajaran harus memperhatikan perbedaan individu dan mencari
relevansi dengan kebutuhan setempat, dan sebagainya. Bila kita ingin
memperbaiki kurikulum sekolah, kita harus memperhatikan sejumlah dasar-dasar
pertimbangan, agar usaha itu berhasil baik, antara lain:
1. Mengetahui tujuan perbaikan
2. Mengenal situasi sekolah
3. Mengetahui kebutuhan siswa dan guru
4. Mengenal kompetensi guru
5. Mengetahui gejala sosial
6. Mengetahui perkembangan dan aliran dalam kurikulum.
Mengetahui Tujuan Perbaikan.
Langkah pertama
ialah mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya ingin dicapai, bagaimana cara
mencapainya, bagaimana melaksanakannya, apakah perlu dicari proses belajar
mengajar baru, sumber belajar apa yang diperlukan, bagaimana mengorganisasi
bahan itu, bagaimana menilainya, bagaimana memanfaatkan balikannya. Ada
kemungkinan, tujuannya harus diperjelas atau diubah, demikian pula desain
perbaikan atau implementasinya dan metode penilaiannya. Jadi perbaikan
kurikulum tak kunjung berakhir dan bergerak terus. Kurikulum bukan benda mati
akan tetapi sesuatu yang hidup mengikuti perkembangan zaman.
Mengenal Keadaaan Sekolah
Sering guru-guru
tidak mengenal betul situasi sekolah yang sebenarnya, misalnya kurang mengenal
potensi guru, sumber belajar yang tersedia di sekolah atau lingkungan, kurang
mengenal keadaan masyarakat lingkungan, tidak mengenal sejarah perkembangan
sekolah atau memahami kurikulum sekolah sebagai
keseluruhan serta hubungannya
dengan instansi lain, atau bantuan yang dapat diperoleh, misalnya dari staf
perguruan tinggi, termasuk IKIP.
Mempelajari Kebutuhan Murid Dan
Guru
Agar ada
dorongan memperbaiki kurikulum harus disadari adanya kesenjangan antara keadaan
yang nyata dengan apa yang diharapkan oleh kurikulum resmi atau apa yang
diinginkan siswa dan guru. Mengetahui kebutuhan itu merupakan titik tolak bagi
usaha perbaikan. Tujuan pendidikan seperti diharapkan pemerintah dapat memberi
dorongan untuk mengadakan perubahan dalam keadaan sekarang yang dirasa tidak
memuaskan. Untuk melaksanakan perbaikan itu perlu diadakan studi yang lebih
luas guna memperoleh data lain yang dirasa perlu. Data tentang siswa; keadaan
siswa secara keseluruhan, macam-macam golongan etnis, jumlah penerimaan,
lulusan dan putus sekolah, hasil belajar, perkembangan fisik, sosial, moral intelektual,
keadaan rumah tangga, kebudayaan masyarakat anak, nilai-nilai dan harapan masa
depan, cara murid belajar, konsep-diri anak, bahan pelajaran, proses
belajar-mengajar, relevansi kurikulum, dan sebagainya. Dalam semua hal itu
mungkin terdapat kekurangan-kekurangan yang perlu mendapat perhatian.
Untuk memperoleh
data dapat digunakan test tertutup dan terbuka, wawacara, angket, sosiometri,
analisis pekerjaan murid, observasi, dan lain-lain. Juga dapat diadakan
brainstorming dengan guru, orangtua atau murid untuk mengetahui
kelemahan-kelemahan dalam pendidikan di sekolah. Untuk mengetahui kebutuhan
mana yang dirasa paling penting untuk diatasi, dapat diminta guru mengadakan
ranking untuk kemudian didiskusikan selanjutnya dan memilih yang dirasa paling
urgen. Suatu masalah ialah, apakah guru-guru memang ingin mengadakan perbaikan
yang dianjurkan, bagaimana menyisipkan perbaikan itu ke dalam kurikulum resmi,
apakah perbaikan itu sungguh-sungguh mengenai inti persoalan ataukah hanya
menyinggung gejalanya.
Mengenal Masalah Yang Dihadapi
Sekolah
Sebaliknya yang
dijadikan fokus perbaikan ialah masalah-masalah yang dihadapi guru dalam
pekerjaannya sehari-hari, yang sering berkenan dnegan metode
mengajar, memperhatikan, perbedaan
individual, memilih bahan pelajaran yang lebih serasi, organisasi kelas,
fasilitas yang membantu proses belajar-mengajar, cara meningkatkan motivsi
siswa belajar, dan lain-lain. Masalah juga dapat berasal dari murid, orangtua,
masyarakat atau pemerintah.
Masalah yang
dipilih hendaknya jangan terlampau luas sehingga sukar dikendalikan. Sebaliknya
jangan pula terlampau sempit sehingga tak bermakna. Masalah yang diajurkan oleh
pihak luar, mungkin tidak revan, tidak praktis oleh guru dan tidak akan
mendapat dukungan.
Jika telah
ditentukan dan disetuji masalah perbaikan yang akan dikerjakan, masalah itu
dapat diperlukan sebagai cara pemecahan masalah pada umumnya, yakni merumuskan
msalahnya, menentukan hipotesis, mengumpulkan data, mencobakannya apakah benar
hipotesis itu, mengambil kesimpulan, mengimplementasikannya, menilai untuk
memperoleh balikan, mengadakan oerubahan, dan seterusnya sampai tercapai hasil
yang memuaskan.
Mengenal Kompetensi Guru
Untuk
memperbaiki kurikulum perlu diketahui kompetensi guru sebagai partisipan dalam
pengembangannya, pengetahuan mereka, tentang seluk-beluk kurikulum, bahan
pelajaran, proses mengajar-belajar, psikologi anak, sosiologi, dan sebagainnya.
Selain kompetensi umum, seperti kemampuan membuat perencanaan, kemampuan untuk
mencetuskan ide-ide baru, kemampuan mempertemukan pandangan yang bertentangan,
serta memupuk suasana yang menyenangkan, kemampuan bekerja-sama, untuk
menghasilkan pekerjaan yang bermutu, kemampuan untuk mengarahkan dan
mengkoordinasi, kemampuan menganalisis situasi dan menafsirkan perbuatan,
kemampuan memilih dari sejumlah alternatif, kemampuan mengadakan eksperimen dan
penelitian, kemampuan untuk menanyakan pertanyaan yang relevan, kemampuan menyatakan
pikiran secara lisan dan tulisan, serta menggunakan alat, seperti komputer.
Mengenal Gejala Sosial
Perbaikan
kurikulum dapat berasal dari desakan dari dalam dunia pendidikan, maupun dari
luarnya. Dari dalam pendidikan dorongan ke arah perbaikan dapat bersumber dari
guru, kepala sekolah, murid, dapat juga daripemilik sekolah atau dari
kementerian. Tiap guru mengalami hal-hal yang tidak memuaskan yang perlu
diperbaikinya. Murid-murid pun mempunyai sejumlah keluhan tentang kekurangan
yang dirasakannya tentang sekolah. Kepala sekolah sudah sewajarnya
mencita-citakan sekolah yang baik. Pemilik sekolah dalam kunjunganya tentu akan
memberi sejumlah saran ke arah perbaikan kurikulum.
Juga dari pihak
luar datang usul-usul perbaikan sekolah, karena tiap orangtua mengharapkan
pendidikan yang sebaik-baiknya bagi anaknya. Orangtua pada umumnya belum
menyadari sepenuhnya peran mereka dalam perbaikan sekolah. Namun suara
masyarakat tentang pendidikan sering dicetuskan melalui koran dan masa media
lainnya. Perguruan tinggi juga dapat menunjukkan keluhannya tentang mutu
lulusan SMA dan konsumer para lulusan lembaga pendidikan merasakan kekurangan
dalam tenanga kerja.
Tak semua
keluhan itu dapat dipenuhi. Lagi pula keluhan itu perlu dipertimbangkan dengan
sungguh-sungguh oleh sebab tidak tiap keluhan mempunyai dasar yang kuat yang
didukung oleh fakta. Namun adanya keluhan itu seharusnya mendorong para
pendidik untuk menilai diri sendiri dan berusaha memperbaikinya. Hingga kini,
pada umumnya para pendidik, khususnya guru-guru belum berani mengambil
inisiatif mengadakan perbaikan sendiri, lalu membiarkan keadaan berlangsung,
sampai pada suatu saat lahir kurikulum baru, yang belum tentu memberi
perbaikan. Kurikulum yang baru sama sekali cenderung melenyapkan segala
kebaikan kurikulum yang lampau. Bila kurikulum diperbaiki secara kontinu, tak
perlu diambil risiko besar untuk mengadakan pembaruan total yang dapat
menimbulkan goncangan besar di kalangan guru-guru. Kurikulum yang baik tidak
diperoleh sekaligus dengan adanya kurikulum yang baru sama sekali. Kurikulum
harus dibangun terus-menerus, sedikit demi sedikit yang lazim disebut sebagai
“broken front”. Tak dapat kurikulum
serentak diperbaiki dalam segala “front”. Misalnya, guru suatu bidang studi
yang dinamis dapat memperbaiki pengajaran bidang studiny, yang mungkin tidak
dilakukan guru bidang studi lainnya. Demikian juga suatu sekolah yang “favorit”
karena mutunya, dapat lebih meningkatka lagi, tanpa menunggu kemajuan sekolah
lain yang ketinggalan. Masing-masing sekolah dapat berusaha mencapai
“excellence”, keunggulan dan tiap guru dapat mengusahakan tercapainya mutu yang
senantiasa meningkat. Perlombaan sehat antara sekolah dalam peningkatan mutu
hendaknya jangan dihalangi. Sekolah yang ketinggalan dalam hal tertentu dapat
belajar dari sekolah yang telah maju. Kurikulum
yang uniform mengenal standard minimal tidak menghambat mencapai mutu
yang setingi-tingginya[4].
C. Tingkat Perubahan
Perubahan
kurikulum dapat kecil dan sangat terbatas. Dapat pula luas dan mendasar.
Perubahan itu dapat berupa: 1. Substitusi, 2. Alterasi, 3. Variasi, 4.
Restrukturisasi, dan 5. Orientasi baru.
Substitusi dapat
berupa mengganti buku pelajaran, misalnya IPS dengan buku karangan orang lain
yang dianggap lebih baik. Jadi disini perubahan itu sangat kecil hanya
mengganti atau menukar buku pelajaran. Alterasi juga berarti perubahan, dalam
hal ini misalnya menambah atau mengurangi jam pelajaran bidang studi tertentu,
yang dapat, mempengaruhi jam pelajaran bidang studi lain. Perubahan ini lebihh
sulit diadakan dibanding dengan substitusi, karena perlu diyakini apa sebab
perlu jam pelajaran ditambah, sedangkan dipihak lain dikurangi waktunya. Dengan
variasi dimaksud menerima metode yang berhasil di sekolah lain untuk dijalankan
disekolah sendiri, dengan meniadakan yang sama. Perubahan serupa ini memerlukan
perubahan pada guru yang harus mempelajari dan menguasai cara baru itu.
Perubahan ini lebih sulit lagi dibandingkan dengan perubahan sebelumnya. Lebih
banyak risikonya ialah restrukturisasi, misalnya menjalankan team teaching ,
yang memberi peranan baru kepada guru dan memerlukan tenaga dan fasilitas baru.
Dan akhirnya, perubahan yang paling besar risikonya ialah bila dituntut
orientasi nilai-nilai baru, misalnya peralihan dari kurikulum yang
“subject-centered” menjadi “unit approach”, atau kurikulum yang berpusat pada
pengetahuan akademis menjadi kurikulum yang berpusat pada anak atau macam-macam
pendekatan lain dalam kurikulum.
II. PENUTUP
A. simpulan
a. Menurut para ahli sosiologi, perubahan terjadi dalam tiga fase,
yakni fase inisiasi, fase legitimasi, fase kongruesi.
b. Bila kita ingin memperbaiki kurikulum sekolah, kita harus
memperhatikan sejumlah dasar-dasar pertimbangan, agar usaha itu berhasil baik,
antara lain:
1. Mengetahui tujuan perbaikan
2. Mengenal situasi sekolah
3. Mengetahui kebutuhan siswa dan guru
4. Mengenal kompetensi guru
5. Mengetahui gejala sosial
6. Mengetahui perkembangan dan aliran dalam kurikulum.
c. Tingkat perubahan kurikulum; 1. Substitusi, 2. Alterasi, 3.
Variasi, 4. Restrukturisasi, dan 5. Orientasi baru.
B. Saran
Dengan makalah
ini dapat menjadi tambahan wawasan kita semua tentang kurikulum itu sendiri
yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Daftar
Pustaka
Nasution S. Asas-asas Kurikulum.
Cet. VI; Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2005.
Subandijah. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Cet. II; Jakarta:
PT. RajaGrafindo. 1996.
Pertanyataan:
1.
Hasnidar: Hambatan apa saja
yang terjadi dalam proses perubahan kurikulum?
Jawaban:
Dalam penyususunan
kurikulum ada pro dan kontra dalam merealisasikannya
Dan
mengaplikasikannya.
2.
Ainun: Mengapa KTSP diubah
menjadi kurikulum 2013?
Jawaban:
salah satu
alasannya di KTSP mata pelajaran sedikit waktunya sedangkan kurikulum 2013
sedikit mata pelajarannya tapi banyak waktunya.
3.
Agus Syam: Strategi apa
saja yang terjadi pada perubahan kurikulum?
Jawaban:
a. Pupuklah suasana dan kondisi kerja yang serasi.
b. Berikan waktu yang cukup, jangan terlampau cepat, jangan pula
terlampau lambat.
c. Tentukan kegiatan yang sesuai, misalnya ada yang lebih serasi
bila dilakukan oleh panitia, kelompok studi, workshop, konperensi, seminar,
dapat pula mengadakan wawancara, observasi, demonstrasi, atau menggunakan
alat-alat seperti tape-recorder, TV, dan lain-lain.
d. Tentukan prosedur penilaian dalam tiap usaha perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar