Keyakinan
yang salah terhadap bulan muharram
"Bismillahirrahmanirrahimi.
Wa shallallahu ‘ala Muhammadin wa’ala alihi wa shahbihi wa sallam. Allahumma
Antal abadiyyul qadimul awwalu wa ‘ala fadhlikal ‘azhimi wa judikal mu’awwali,
wa hadza ‘amun jadidun qad aqbala nas-alukal ‘ishmata fihi minasy syaithani wa
awliya-ihi wajunudihi wal ‘auna ‘ala hadzihil ammarati bis su-i wal istighali
bima yuqarribuni ilayka zulfa ya dzal jalali wal ikrami, wa shallallahu ‘ala
Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallama. “Dengan Nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada
Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Ya Allah, Engkau adalah Dzat Yang
Kekal, Dahulu dan Awal. Hanya dengan kemurahan-Mu yang agung, telah datang
tahun baru. Di tahun baru Hijriah ini, kami memohon pemeliharaan-Mu dari setan,
kekasihnya dan tentaranya, dan kami memohon pertolongan-Mu atas hawa nafsu yang
mengajak kepada kejelekan, kami memohon kesibukan dengan perbuatan yang dapat
mendekatkan diri kami pada-Mu. Wahai Dzat yang memiliki keagungan dan karunia.
Shalawat dan salam Allah semoga tetap dilimpahkan atas Nabi Muhammad, keluarga
dan sahabatnya.” Aamiin YRA...
Keyakinan yang salah terhadap Bulan
Muharram
1.
Anggapan Sial. Dalam pandangan
masyarakat Jawa, Muharram (Suro) merupakan bulan keramat. Sehingga sebagian
dari mereka tidak berani untuk menyelenggarkan suatu acara terutama hajatan dan
pernikahan. Bila tidak di-indah-kan akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan
bagi mempelai berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan. Hal ini diakui oleh
seorang tokoh keraton Solo. Bahkan katanya, “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro (Muharram),
dan ternyata tertimpa musibah!”. Maka kita lihat, bulan ini sepi dari acara
pernikahan dan hajatan.
2.
Nuansa Kesyirikan Yang Aneh. Selain itu, untuk memperoleh keselamatan,
diadakan berbagai kegiatan “aneh”. Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan
pada malam 1 Suro , entah di tiap desa, atau tempat lain seperti puncak gunung,
dst. Sebagiannya lagi mengadakan sadranan,
berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu di
larung (dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau dengan
keyakinan supaya sang ratu pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan
tidak mengganggu. Peristiwa seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai
selatan seperti Tulungagung, Cilacap dan lainnya.
Di Solo, acara
kondang yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab kerbau bule yang terkenal dengan nama
Kyai Slamet di keraton Kasunanan Solo. Peristiwa ini sangat dinantikan oleh
warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela bersusah-payah
mendatanginya dengan jalan kaki, dst. Apa tujuannya ? Tiada lain, untuk ngalap
berkah dari sang kerbau, supaya rejekinya lancar, dagangan laris, dan
sebagainya. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, dalam pandangan banyak orang,
kerbau merupakan simbol kebodohan, sehingga muncul peribahasa Jawa untuk
menggambarkannya, “bodo ela-elo koyo kebo”. Acara lainnya adalah jamasan pusaka
dan kirab (diarak) keliling keraton.
Pembaca yang budiman,
itulah sekelumit gambaran kepercayaan masyarakat khususnya Jawa terhadap bulan
Muharram (Suro). Tahayul semacam ini, diwarisi dari zaman sebelumnya mulai
animisme, dinamisme, hindu dan budha. Ketika Islam datang keyakinan-keyakinan
tersebut masih kental menyertai perkembangannya. Bahkan terjadi sinkretisasi
(pencampuran). Ini bisa dicermati pada sejarah kerajaan-kerajaan Islam di awal
pertumbuhan dan perkembangan selanjutya, hingga dewasa ini ternyata masih
menyisakan pengaruh tersebut. Lalu, apakah budaya seperti ini patut kita
lestarikan ?
KOREKSI TERHADAP KEPERCAYAAN MASYARAKAT SEPUTAR
MUHARRAM (SURO)
1.
Keyakinan bahwa bulan Muharram adalah bulan sial. Seperti yang dianut orang Jawa sebagaimana kami
paparkan di atas, dalam pembahasan ilmu agama Islam biasa disebut dengan
Tathayyur ( تَطَيُّرْ ) atau Thiyarah ( طِيَرَةٌ ) yakni suatu anggapan bahwa suatu
keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau
tempat tertentu. Orang-orang
jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau
menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan
kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan
kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah Ta’ala
dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya. Allah Ta’ala
berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan
dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al
A’raf: 131). Maka, seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan
acara pernikahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa
kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan
kepada Allah Ta’ala. Rasulullah mengkabarkan hal tersebut dalam sabdanya
,
الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ
Artinya: “Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Parapembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, yaitu:
a). Seseorang yang
ber-thiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah Ta’ala. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis
ibadah yang Allah Ta’ala perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang
ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya.
Keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah
Ta’ala.
Allah Ta’ala
berfirman, “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan
Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya
(menguasai sepenuhnya).” (QS. Hud: 56)
b). Seseorang yang
bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak
ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika
seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram
atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu
tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah
satu-satunya tempat bergantung. Allah Ta’ala berfirman, “Allah adalah
satu-satunya tempat bergantung.” (QS. Al Ikhlash: 2)
Orang
yang ber-tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan,
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia
niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas
perasaan was-was dan khawatir.
Tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
Tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
2.
Kemudian, keyakinan yang terkait dengan Kerbau Kiai Slamet, Jamasan,
pusaka-pusaka tertentu dan sebaginya, ini merupakan keyakinan yang dapat mengeluarkan
pelakunya dari agama Islam. Hal ini karena pelaku ngalap berkah yang seperti
itu, mempunyai keyakinan bahwa ada dzat lain yang mampu mendatangkan keselamatan/berkah
serta menolak bahaya selain Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala
menerangkan,
“Dan sungguh jika
kamu bertanya kepada mereka:”Siapakah yang menciptakan langit dan bumi”,
niscaya mereka menjawab: “Allah”.Katakanlah:”Maka terangkanlah kepadaku tentang
apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan
kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu,
atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan
rahmat-Nya. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nyalah bertawakkal
orang-orang yang berserah diri’.’ (QS. Az-Zumar: 38)
Pembaca, ibadah apa
pun bentuknya adalah haram diperuntukkan kepada selain Allah Ta’ala. Dan
tawakkal, istighatsah (minta keselamatan), isti’anah (minta pertolongan), takut
dan mengharap adalah ibadah, dan yang lain sebagainya dari macam-macam ibadah
semuanya hanya untuk Allah Ta’ala. Inilah prinsip tauhid, yaitu memurnikan
ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata, yang menjadi landasan paling mendasar
di dalam Islam. Barangsiapa yang melanggarnya maka ia jatuh ke dalam
kesyirikan. Kecil atau besar-nya kesyirikan tersebut tergantung jenis
pelanggarannya.
Dan sudah merupakan
prinsip agama ini bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang berhak
di-ibadahi. Setiap peribadahan kepada selain Allah Ta’ala adalah ibadah yang
batil dan pelakunya terancam kekal di neraka jahannam apabila tidak bertaubat
dari perbuatannya. Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا
يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ
الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang
demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. Al Hajj: 62)
Barangsiapa yang
menyelewengkan ibadah tersebut untuk selain Allah, maka ia adalah musyrik dan
kafir. Firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa menyembah sesembahan yang lain
di samping (menyembah) Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang
itu, maka benar-benar balasannya ada pada Tuhannya. Sungguh tiada beruntung
orang-orang kafir itu.” (QS. Al-Mu’minun: 117).
Dan Allah Ta’ala
menjelaskan bahwa pelaku kesyirikan kekal di neraka jahannam pada
ayat-Nya,“Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (QS. Al Maidah: 72)
Maka, apakah patut
kita samakan kekuasaan Allah Ta’ala Yang Maha Esa dengan makhluk yang lemah?
Apalagi dengan hewan, keris, akik, dan batu, yang merupakan benda mati?
Kesimpulannya, bahwa bulan Muharram atau dikenal dengan
Suro merupakan bulan yang mulia. Maka tidak sepantasnya apabila kaum
muslimin mempunyai anggapan miring terhadapnya, dengan menjadikan sebagai bulan
keramat. Sehingga menyeret mereka jatuh ke lembah kesyirikan, dengan melakukan
acara-acara yang merupakan cerminan dari keyakinan mereka yang keliru.
Akibatnya dosa yang disandang semakin banyak karena dilakukan pada bulan yang
mulia.
MUHARRAM
DALAM PANDANGAN ISLAM
1.
Muharram Adalah Bulan Yang Mulia. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu”(QS.
At-Taubah : 36)
Imam Ath-Thabari
berkata, “Bulan itu ada dua belas, 4 diantaranya merupakan bulan haram (mulia),
dimana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka
mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang
bertemu dengan orang yang membunuh ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya.
Bulan yang empat itu adalah Rajab Mudhor, dan tiga bulan berurutan, yaitu
Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dengan ini nyatalah khabar-khabar yang
disabdakan oleh Rasulullah ”. Kemudian At-Thabari meriwayatkan beberapa hadits,
diantaranya hadits dari sahabat Abu Bakrah , yang diriwayatkan Imam Bukhari
(no. 4662), Rasulullah bersabda,
“Wahai manusia,
sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan
langit dan bumi, dan sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas
bulan, diantaranya terdapat empat bulan haram, pertamanya adalah Rajab Mudhor,
terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban, kemudian Dzulqo’dah, Dzulhijjah
dan Muharram” (Jami’ul Bayan
10/124-125)
Qotadah berkata, “Amalan
shalih pada bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan dhzalim di
dalamnya merupakan kedhzaliman yang besar pula dibanding pada bulan selainnya,
walaupun yang namanya kedhzaliman itu kapanpun merupakan dosa yang besar”
(Ma’alimut Tanzil 4/44-45)
Pada bulan Muharram
ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar dan
pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, dimana
Allah Ta’ala telah menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis sallam dan kaumnya serta
menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hari tersebut mempunyai keutamaan yang
agung dan kemuliaan yang abadi sejak dulu. Dia adalah hari kesepuluh yang
dinamakan Asyura. (Durusun ‘Aamun, Abdul Malik Al-Qasim, hal.10)
2.
Disyariatkan Puasa Asyura.
Berdasarkan hadits-hadist berikut ini. “Dahulu Rasulullah
memerintahkan untuk berpuasa Asyura, tatkala puasa Ramadhan diwajibkan,
maka bagi siapa yang ingin berpuasa puasalah, dan siapa yang tidak ingin, tidak
usah berpuasa” (HR. Bukhari no. 2001)
Tatkala Nabi
hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
itu, lalu beliau bertanya kepada mereka, “Kenapa kalian berpuasa?” Mereka
menjawab, “Sesungguhnya pada hari ini Allah Ta’ala telah menyelamatkan Musa dan
kaumnya dan membinasakan Fir’aun beserta kaumnya. Dan Musa berpuasa pada
harinya, maka kamipun berpuasa.” Kemudian beliau berkata, “Kami
lebih berhak atas Musa daripada kalian.” (HR Bukhari no. 2004, Muslim
no. 1130). Maka Nabi berpuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk
melakukan puasanya.
3. Keutamaan
Puasa Asyura. Ibnu Abbas d ditanya
tentang puasa Asyura, jawabnya, “Saya tidak mengetahui bahwa Rasulullah
puasa pada hari yang paling dicari keutamaannya selain hari ini (Asyura) dan
bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 1902, Muslim no. 1132)
Puasa Asyura
menghapus dosa setahun yang lalu, berdasarkan hadits berikut, “Rasulullah
ditanya tentang puasa Asyura, jawab beliau , “Puasa Asyura
menghapus dosa setahun yang lalu”(HR. Muslim no. 1162, Tirmidzi no. 752)
4.
Asyura Adalah Hari Ke-10. dari
Ibnu Abbas , tatkala Rasulullah berpuasa Asyura dan memerintahkan untuk
berpuasa, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah hari yang
diagungkan oleh Yahudi dan Nashara”, Maka beliau bersabda, “Tahun depan insya Allah kita
akan berpuasa hari ke-9”. Ibnu Abbas berkata, “Tahun
berikutnya belum datang Rasulullah keburu meninggal” (HR. Muslim
no. 1134)
Imam Nawawi berkata,
“Jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa hari Asyura adalah hari ke-10.
Yang berpendapat demikian diantaranya adalah Sa’id bin Musayyib, Al-Hasan
Al-Bashri, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih dan banyak
lagi. Pendapat ini sesuai dengan (dzahir) teks hadits dan tuntutan lafadznya”.
(Syarah Shahih Muslim 9/205)
Hanya
saja Rasulullah berniat untuk berpuasa hari ke-9 sebagai penyelisihan
terhadap ahlul kitab, setelah dikhabarkan
kepada beliau bahwa hari tersebut diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan
Nashara. Oleh karena itu Imam Nawawi berkata, “ Imam Syafi’i dan para
sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya berpendapat ; Disunnahkan untuk berpuasa hari ke-9 dan ke-10 karena Nabi
berpuasa hari ke-10 serta berniat untuk puasa hari ke-9. Sebagian
Ulama berkata, “Barangkali sebab puasa hari ke-9 bersama hari ke-10 adalah agar
tidak menyerupai orang-orang Yahudi jika hanya berpuasa hari kesepuluh saja.
Dan dalam hadits tersebut memang terdapat indikasi ka arah itu” (Syarah Shahih
Muslim 9/205)
Selain ada yang
berpendapat seperti diatas, sebagian ulama berpendapat hendaknya berpuasa satu
hari sebelum dan sesudahnya berdasarkan hadits. Rasulullah
bersabda, “Berpuasalah hari Asyura dan berbedalah dengan orang
Yahudi, (dengan) berpuasalah 1 hari sebelumnya dan sesudahnya” (HR.
Ahmad no. 2155).
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas, sudah sepatutnya bagi seorang muslim yang baik
untuk mengisi bulan Muharram ini dengan amal shalih, dan menjalankan ibadah
puasa Asyura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar