Senin, 23 Juni 2014

MALAM PANJANG



Aku seorang pria berumur 25 tahun, tumbuh seperti layaknya orang normal dalam asuhan orang tua yang baik dan saudari yang berumur 2 tahun lebih muda dariku. Ayahku seorang pegawai negeri dan ibu adalah sososk wanita yang baik, yang hanya bekerja di rumah. Kami tinggal di rumah kontrakan lama di lantai dasar, sebuah rumah yang terdiri dari 3 ruangan dan berlokasi di perkampungan biasa.
Masa kecil kami tidak jauh berbeda dengan anak-anak lain; berangkat ke sekolah, lalu pulang, kemudian bermain di jalan bersama teman-teman dan berlarian pulang ke rumah saat melihat ayah kembali. Kami kemudian duduk mengelilingi meja makan sambil menikmati hidangan teh setelah makan siang. Setelah itu, mengerjakan tugas sekolah dengan bimbingan ibu, sementara ayah pergi tidur. Setelah bangun tidur, seperti biasanya, ayah duduk dikursi yang terletak di bawah jendela beranda sambil memperhatikan para pejalan kaki atau keluar ke kedai kopi. Hinga akhirnya kehidupan kami diguncangkan dengan meninggalnya ayah secara tiba-tiba tanpa didahului oleh suatu penyakit atau tanda-tanda lainnya. Saat itu, umurnya hampir mendekati 40 tahun, sedangkan aku baru berumur 10 tahun.
Hari-hari kami semakin suram, dirundung kesedihan dan kemurungan, karena kami telah kehilangan sosok ayah yang baik dan tempat berlindung, dengan penuh kekhawatiran ibu menghadapi hidup dan hanya paman yang membantunya memproses uang pensiun. Belakangan baru terungkap uang pensiun yang ibu peroleh sangat sedikit jumlahnya, karena masa kerja ayah tidak terlalu lama. Dalam waktu yang singkat, kami mengalami susahnya hidup dan kekurangan uang. Sejak itu, kami tidak lagi membeli pakaian baru dan sebagai gantinya kami mengenakan pakaian bekas milik sepupu kami.
Karena paman sendiri hanya bekerja sebagai pegawai dengan penghasilan yang pas-pasan, ia jarang membeli pakaian baru untuk anak-anaknya kecuali jika telah benar-benar usang. Oleh karena itu, ibu sering menambal dan mewarnai baju agar tetap layak dipakai oleh kami.
Meski demikian kondisi yang kami alami, kami tetap melewati hari-hari seperti biasanya. Kami merasa cukup dan puas dapat bertemu dengan ibu setiap hari. Kendati banyak halangan untuk bisa mendengar cerita tentang kenangannya bersama ayah;bagaimana ia mengenal ayah dan menikah dengannya. Ia berharap ia  berhasil dan memperoleh prestasi yang baik di sekolah, mendapat ijazah perguruan tinggi, bekerja disalah satu kantor yang bonafit. Kemudian menikah dan memiliki keluarga yang bahagia.
Setelah sekian lama mengalami hidup memprihatinkan tetapi tenang, tidak lama kemudian ibu mulai sakit-sakitan, paman mulai sibuk mondar-mandir ke klinik hingga akhirnya ibu harus dirawat di rumah sakit selama beberap minggu. Kemudian kami pindah ke rumah paman yang sempit dan penuh dengan anggota keluarganya, tidur di ruang tengah beralaskan lantai dan menemui kesulitan untuk dapat mengulangi pelajaran dengan tenang. Disamping itu, kami juga jarang mengunjungi ibu di rumah sakit.
Setelah beberapa bulan, hidup dalam kondisi sakit, ibu tercinta meninggal dunia menyusul ayah kami. Saat itu aku berumur 15 tahun kami menangis hingga air mata tak mampu lagi menetes setelah kepergian mereka, ayah dan ibu. Kami merasa hampa dan kehilangan orang yang melindungi kami dari segala cobaan hidup.
Setelah masa berkabung yang cukup panjang dan setelah mengetahui kendala hidup yang dihadapi keluarga paman, kami mengambil keputusan untuk kembali tinggal dirumah kami yang dulu, sedang paman akan terus mengunjungi kami untuk menghibur dan menenangkan hati kami. Saat kami akan pindah, paman menjelaskan kepada kami sambil mengusap air matanya seandainya kalau bukan rumahnya yang sempit dan putri-putrinya yang mulai besar dan seumuran denganku, ia tidak rela kami kembali kerumah. Kami pun menerima nasib kami dengan lapang dada dan berusaha untuk meringankan beban dan kesedihan yang di alami paman.
Di malam itu, kami meninggalkan rumah paman seorang diri setelah paaman mengisi dapur kami dengan kebutuhan rumah dan memeberikan uang belanja mingguan dan mengingatkan kami agar tidak membuka pintu bagi orang lain di malam hari dalam kondisi apapun. Ia terus mengulang kata-kata yang diucapkannya sepeninggal ibu, “kamu sekarang yang bertanggung jawab untuk menjaga adik. Kamu orang yang pantas memikul tanggung jawab ini.” Akupun mengiakan ucapannya. Tapi dalam hati, aku mengatakan “mengapa paman membebankan tanggung jawab ini kepadaku sedang aku masih berumur 15 tahun? Padahal, teman-teman seumuranku masih senang bermain di jalan dan menikmati perlindungan dan kasih sayang keluarga.” Tetapi aku tidak mengungkapkannya dan membantahnya, karena ia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
 Saudariku langsung menangis setelah paman keluar dan pintu ditutup, sambil bertanya-tanya, “Bagaimana kita bisa hidup? Apa yang bisa kita lakukan dalam keadaan seperti ini, dan siapa yang akan melindung kita?” Aku kemudian berusaha menenangkan kegundahan hatinya dan mengatakan,  “ Sesungguhnya Allah tidak akan meninggalkan atau membiarkan kita, karena kita tidak pernah melakukan dosa atau menyakiti orang lain. Selain itu, ayah juga sosok pria yang baik, selalu melaksanakan shalat dan puasa. Begitu pula ibu, kita juga suka melaksanakan shalat dan puasa sejak kecil.
Aku lalu bersumpah kepadanya bahwa aku akan melindunginya dari segala gangguan, mengabdikan seluruh hidup untuk menjaganya dan akan saling membahu menghadapi segala bentuk kesulitan, serta tidak akan menceritakan aib kepada orang lain dengan izin Allah.
Kami mengatur hidup kami sebaik mungkin, sessuai dengan uang belanja mingguan yang diberikan paman. Setelah kami pulang dari sekolah, kami saling menbantu menyiapkan makanan, membersihkan rumah dan mengulangi pelajaran. Kemudian, kami menghabiskan waktu sepanjang hari bersama-sama. Jika aku keluar membeli sesuatu, dia selalu menemaniku; dan jika hendak berkunjung ke rumah temannya, aku pun akan menemaninya hingga sampai di pintu rumah dan menentukan waktu untuk menjemputnya kembali ke rumah. Jika teman-temannya datang berkunjung, aku akan menyediakan ruangan ibu kami uutuk mereka pakai, sedang aku menghabiskan waktu duduk di sofa yang sering digunakan ayah semasa masih hidup hingga mereka kembali ke rumah masing-masing.
Kondisi yatim piatu, sebatang kara dan perasaan takut semakin mendekatkan hubungan kami satu sama lain. Kami tidak bisa berpisah kecuali di waktu sekolah. Paman setiap minggu mengunjungi kami, menenamgkan kami atas kondisi kami yang alami atau mengajak kami makan bersama-sama.
Tahun pelajaran pertama, sepeninggal ibu, kami lewati dengan susah payah. Ketika muslim panas tiba, aku keluar mencari pekerjaan untuk memenuhi beberapa kebutuhan tahun ajaran baru. Aku menawarkan diri kepada seorang pemilik laudrri terdekat agar dapat mempekerjakanku sebagai tukang seterika pakaian, karena aku pikir pekerjaan itu tidak memerlukan pengalaman kerja. Pemilik laudri itu pun memintaku bekerja sebagai pengumpul pakaian para pekerja.
Tanpa merasa gengsi, aku menerima pekerjaan itu. kemudian aku mulai berkeliling ke rumah-rumah. Pintu demi pintu aku masuki dan menawarkan jasa laundri. Jika aku memperoleh pakaian, aku membawanya ke tempatku kerja; dan sebagai imbalannya, aku mendapat upah dari pemiliknya,dan uang tips yang aku terima jumlahnya juga lumayan. Aku merasa bahagia dengan uang yang aku dapatkan. Kemudian aku memberikannya kepada adik agar digunakan membeli beberapa kebutuhannya.
Di akhir bulan, pemilik laundri membayar jerih payahku dengan memberikan gaji 4 juneih (mata uang mesir), padahal aku mengira tips yang aku dapatkan itulah upah dari jerih payahku.
Musim panas telah usai, kami memasuki tahun pelajarn baru. Aku pun berhenti bekerja, hingga uang yang aku tabung selama musim panas habis dengan cepat dan membuat hidup kami kembali dirundung kesulitan. Aku kemudian kembali ke tempat bekerja dlu dan meminta agar diberi pekerjaan selama 4 jam setiap sore untuk menyetrika pakaian. Karena melihat kondisiku, pemilik laundri pun menerima tawaranku. Hari-hari selanjutnya, setelah pulang sekolah,aku menyantap makan siang bersam adik, kemudian dengan tergesa-gesa menuju ke tempat kerja. Biasanya, aku pulang pukul 20.00 malam, lalu mengulang pelajaran sekolah dan duduk bersama adik hingga tertidur.
Setelah memperoleh ijazah SMU dengan prestasi yang memuaskan, paman menyarankanku agar tidak lagi melanjutkan sekolah dan mencari pekerjaan baru. Namun, darimana aku bisa mendapatkan pekerjaan baru seperti yang pernah aku geluti sewaktu masih duduk di bangku SMU? Aku kemudian melakukan shalat Istikharah dan memutuskan suntuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi bagaimanapun caranya.
Keputusanku itu mendapat dukungan dari adik, dan pemilik laundri tempatku bekerja pun siap membanru jika aku membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan mendesak, dengan cara uang yang diberikanakan dipotong dari gaji tiap bulan. Akhirnya, aku dapat melanjutkan studidi fakultas ekonomi jurusan akuntasi.
Selanjutnya aku dan asik mengalami hari-hari yang sangat sulit hingga terkadang membuat semangat kami kendur. Tetapi setiap kali smeangat itu melemah, aku dan adik saling menyemangati dan mengingatkan kembali harapan ayah dan ibu. Kondisi krisis itu terus memcekik kami selama duduk di bangku kuliah. Seandainya saja paman tidak menghentikan bantuan dana untuk sewa rumah perbulan dan rekening listrik sebelum menyerahkan segala urusannya kepada kami, tentu kami masih bisa menghadapi krisis tersebut.
Kami telah kehilangan tempat berlindung satu-satunya hingga hari-hari yang kami lewati menjadi suram dan gelap. Di samping itu, kami harus mengarungi hidup seorang diri, menyiasati bagaimana nisa membeli buku pelajaran atau meminjamnya, agar dapat membayar tagihan dan mengganti pakaian yang telah usang.
Dalam kondisi speerti ini, adik melanjutkan sekolah ke bangku kuliah hingga aku harus melakukan segala daya-upaya untuk memenuhi kebutuhannya. Aku tidak bisa memberikan uang lebih untuk membeli pakaiannya. Aku juga harus berusaha menahan diri untuk tidak makan demi biaya transportasi kuliahnya.
Aku sempat mengingatkan adik ketika akan masuk kuliah bahwa kita adalah anak yatim piatu. Tidak ada yang dapat diandalkan di dunia ini kecuali perbuatan dan akhlak kita sendiri, dan kita sendiri harus menjaga kehormatan dan harga diri kita. karena kalau kita lengah, orang-orang yang tidak senang dengan kita dapat memanfaatkan kesempatan. Ia kemudian menenangkanku dnegan mengatakan bahwa ia sangat menyadari kondisi yang ada.
Tahun-tahun kami lewati dengan sulit, dan pada tahun terakhir kuliah, salah seorang temanku datang menemuiku, mungkin karena ia melihat  kondisiku yang memprihatinkan dan prestasi yang aku raih dari mata kuliah akuntasi. Ia menawarkan pekerjaan paruh waktu di kantor akuntansi milik pamannya. Aku pun menerima tawaran itu dengan gaji pas-pasan, tidak lebih dari gaji aku terima saat bekerja di laundri. Namun demikian, aku menerima pekerjaan itu dnegan tujuan mencari pengalaman dan barangkali aku mendapat kesempatan kerja di bidang ini setelah lulus kuliah.
Di kantor, aku bertemu dengan seorang wanita yang profesi denganku, yang kemudian aku tahu bahwa ia adalah salah satu kerabat pemilik kantor. Sejak pertama aku bekerja, ia menampakkan sikap tidak bersahabat. Aku tidak tahu kenapa, walaupun aku sudah berusaha bersikap baik dengan semua orang. Dari waktu ke waktu, ia mulai mengusikku, meladeninya. Hingga suatu saat, temanku menengurku karena tidak mampu membalas wanita itu.
Mendadak aku dikejutkan dengan ucapan wanita itu dengan nada menyindir di hadapan rekan-rekan kerja, “kenapa wajahmu tampak bahagia tetapi tidak bisa memperhatikan penampilanmu, bukannya kamu mendapat gaji yang sama dengan kami?”
Wajahku langsung memerah. Rekan-rekan kerja yang mendengarnya langsung membantahnya, sementara aku hanya bisa menahan diri. Dengan menahan emosi, aku berkata, “memang aku memperoleh gaji yang sama dengannya, namun kondisiku sangat tidak mengizinkan. Kalau memang penampilanku ini mengusiknya sampai ia bersikap seperti itu, aku akan berusaha menyenangkan selamanya.”
Aku kemudian meninggalkan kantor dam kembali ke rumah, lalu menceritakan apa yang terjadi kepada adikku. Mendengar itu, ia menangis dan berharap agar aku tidak bersedih. Semoga Allah akan menggantinya dengan pekerjaan lain, insya Allah.
Selama 2 hari, aku menghabiskan waktu tanpa melakukan apa-apa kecuali belajar. Aku berfikir untuk kembali ke laundri, tempat aku bekerja dulu. Sebelum niat itu aku lakukan, tiba-tiba aku dikejutkan dengan teman yang pernah membelaku ketika terjadi percekcokan di kantor. Ia datang untuk mengajakku menghadap pemiik kantor.
Ketika menghadap pemilik kantor, aku dimaki habis-habisan atas tindakanku meninggalkan pekerjaan dan tidak pernah kembali. Hatiku pun menjadi lega setelah pemilik kantor menyatakan bahwa ia sangat senang dengan kinerjaku. Ia menjanjikan masa depan yang cerah kepadaku, serta ingin agar aku tetap bekerja dengannya setelah lulus kuliah nanti. Kemudian ia menyampaiakn bahwa gajiku telah dinaikan terhitung dari bulan ini dan memberikan 2 bulan gaji selama aku meninggalkan kantor untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian. Aku pun berterima kasih kepadanya dan mendoakannya agar panjang umur, selalu sehat dan selamat dunia akhirat. Aku lalu meminta diri untuk pulang dengan penuh suka cita.
Sejak itu, perlakuan wanita itu terhadapku berubah 180%. Ia kemudian memohon maaf atas sikap kasarnya dulu dan mengakui bahwa ia keliru mempersepsikan sikap aku yang diam, agak menjauh dan kurang bekerja sama dalam menjalankan tugas dengan rekan-rekan yang lain. Ia ingin menghilangkan semua ganjalan di antara kami dan berkata terus terang kepadaku bahwa ia berasal dari keluarga miskin dan masih mempunyai hubungan keluarga dengan pemilik kantor. Ia diizinkan bekerja di kantor itu demi membantu perekonomian keluarganya. Aku kemudian berkesimpulan, kondisinya tidak jauh berbeda denganku. Aku berterima kasih atas keterbukaannya dan mulai berinteraksi dengannya tanpa menyimpan rasa dendam. Tidak lama kemudian, kami menjadi sahabat karib.
Selang beberapa minggu, ia mengaku bahwa ia jatuh cinta kepadaku dan kangum dengan akhlak serta sikap istiqamahku. Dan begitu, pula denganku. Aku mengaku telah jatuh cinta dan sayang kepadanya dan berterus-terang bahwa aku sekarang dalam kondisi yang sulit. Akan tetapi, ia siap mendampingiku hingga ajal tiba. Aku lalu menceritakan hal itu terus-terang kepada adikku, dan ia meresponnya dengan baik, bahkan mendukungku untuk menikah dengannya. Ia kemudian menghiburku dan meminta agar kesulitan yang sedang kita hadapi jangan smapai menghalangi memperoleh kebahagian yang sangat kami dambakan.
Akhirnya, aku lulus dan mendapat pekerjaan di kantor yang selama ini aku bekerja, sementara kekasihku ditunjuk oleh saudaranya untuk bekerja di perusahaan model. Ia kemudian menanyakan rencanaku ke depan. Aku pun menjawab bahwaa saat ini aku belum berani mengikatnya dengan ikatan resmi, kecuali setelah adik perempuanku selesai kuliah agar aku tidak lagi merisaukan dirinya dan menunggu hingga kondisi kami membaik. Awalnya, aku menduga ia akan marah kepadaku dan menyudahi hubungan kami. Namun, alangkah terkejutnya aku ketika ia menegaskan bahwa ia siap menantiku hingga beberapa tahun.
Tidak lama kemudian, adikku selesai kuliah dengan prestasi yang sangat memuaskan dan bekerja guru kontrak di salah satu sekolah khusus hingga tiba waktu pengangkatan dirinya, dan kondisi kami pun sedikit membaik.
Hingga pada suatu hari, datanglah seorang pria mengetuk pintu rumah dan mengutarakan keinginannya untuk meminang adikku. Aku tidak langsung menjawabnya hingga menanyakan pendapat adikku. Tidak disangka, ia menyambutnya dengan hangat. Aku lalu bertanya kepada pria tersebut, apakah ia mengetahui kondisi kami dengan baik. Ia menjawab dengan anggunan bahwa ia telah mengetahui kondisi kami dan baginya tidak masalah. Proses selanjutnya, aku menyelidiki perihal pria tersebut, dan ternyata yang aku dapatkan sungguh menggembirakan, ia seorang pria baik-baik,paham masalah agama, berasal dari keluarga yang juga baik dan berprofesi sebagai guru.
Setelah itu, kami menentukan kapan saatnya meminang. Ketika waktu meminang yang telah ditentukan tiba, aku tidak sanggup menahan linangan air mata karena senang melihat adikku bahagia ssat itu. apalagi, aku sangat sayang dan kasihan kepdanya karena hidup tanpa ayah,ibu dan saudara di malam itu kecuali aku. Seandainya kalau bukan paman dan istrinya turut serta bersama kami, sudah pasti aku merasa hidup ini terasa hampa tanpa saudara yang menemani kami dalam acara tersebut.
Dalam waktu 2 tahun, adikku telah pibdah ke rumah suaminya setelah mukjizat Tuhan turun untuk membantu kami mempersiapkan segala barang bawaan seadanya sesuai dengan permintaan kami dan keluarga kami. Aku tidak keberatan walaupun harus membebani diri dengan mengambil kredit bulanan untuk membeli barang yang dibutuhkan adik. Di samping itu, ia juga turut membayar cicilan itu. hali ini aku lakukan karena merasa berkewajiban melakukan tugas dan janjiku terhadap dirinya untuk selalu melindunginya setelah mengarungi hidup sebatang kara sepeningal ibu.
Berkat rekomendasi pimpinan kantor, aku dipekerjakan sebagai bendahara di sebuah perusahaan besar, di samping aku masih terus bekerja di kantornya setelah zhuhur. Sedang 4 tahun kelulusan, bersamaa dengan berakhirnya masa kredit, aku merasa baru mampu memperhatikan hidupku. Aku mulai melanjutkan keinginanku untuk menemui keluarga kekasihku. Ketika aku menghadap keluarganya, ternyata segala yang dibutuhkan telah disiapkan dan diatur dengan rapi. Aku kemudian menyerahkan kepadanya kapan waktu yang menurutnya cocok, dengan mempertimbangkan kesiapanku. Dalam waktu beberapa bulan, segala sesuatu telah siap dan aku telah merenovasi rumah lama serta membeli perlengkapan  rumah baru.
 Di malam pernikahan, adikku tak kuasa menahan rasa bahagianya. Belakangan, aku mendapat informasi dari istriku bahwa adik sempat menemuinya kemarin malam, ketika teman-temannya berkumpul di rumah pengantin sambil bernyanyi, bertepuk tangan dan menari. Matanya kemudian berlinang air mata karena tidak mampu menahan rasa bahagianya, sambil terus-menerus bercerita tentang bagaimana aku menjadi sosok ayah, kakak dan ibu baginya; sebagai pria yang baik, rela berkorban untuk membahagiakannya, dipenuhi rasa cinta, tidak pernah iri dan benci kepada orang lain.
Dalam perayaan sederhana yang kami selenggarakan di rumah, duduk di sampingku pengantin wanita , sementara di hadapan kami ada keluarga, adik dan suaminya. Saat itu, pikiranku teringat kembali pada masa-masa lalu. Terlintas di pikiranku saat-saat ketika untuk pertama kalinya kami tinggal sendiri tanpa ayah-ibu setelah paman meminta diri untuk pulang. Saat itu, aku berumur 15 tahun sedangkan adikku berumur 13 tahun. Kami hanya menatap masa depan yang suram, tidak menentu, pesimis menghadapi kenyataan hidup dan perasaaan tidak terbayangkan kami dapat melewati segala kesulitan yang menghalangi jalan hidup kami dan suatu hari kelak dapat berlabuh dengan aman, membayangkan adik bisa berhasil menyelesaikan kuliah, bekerja dan menikah, dan begitu pula aku.
Kami mungkin tidak akan mampu menjalani hidup seperti itu hingga akhir jika seandainya kami hanya berdiam diri dan memandang jalan panjang yang semestinya kami lalui agar dapat keluar dari kesulitan. Sekarang, masing-masing kami telah menemukan hidup, bekerja serta menjalani hidup dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu wa Ta’ala tidak akan menelantarkan orang-orang lemah, miskin dan pegang teguh dengan agama dan akhlaknya.
Tujuanku menulis surat ini kepada Anda agar para pembaca tahu bahwa setiap ujian pasti mempunyai akhir dan hanya bisa dihadapi dengan bersabar, berjuang, yakin kepada Allah, berpegang teguh dengan agama dan akhlak. Alhamdulillah, kami telah mampu melalui ujian tnapa harus menjual harga diri,menyimpang atau kehilangan perasaan cinta terhadap hidup , manusia dan kebaikan, atau iri terhadap orang lain.
Aku berharap kisah ini dapat menjadi pesan moral bahwa seberat apapun cobaan hidup pasti akan berakhir, dan akhirnya kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Yang terpenting, tidak putus asa dari rahmat Allah dan tidak menjula harga diri dengan meninggalkan prinsip dan agamanya. Hal itu dapat terpancar dari kisah yang aku ceritakan ini, meskipun aku harus mengeluh.
Yang patut aku ungkapkan saat ini, satu-satunya problemku adalah kehilangan adikku setelah sekian lama hidup bersama, berbagi suka-duka dan khawatir dengan diriku, kendati hanya khawatir dengan udara dingin; perasaan takutnya kehilangan suami, ketidakmampuannya menanggung beban terlalu banyak dan tidak sanggup jika harus kehilangan orang-orang yang dicintainya suatu hari kelak, dan keinginannya seandainnya bisa menyelimutiku setiap malam agar tetap hangat.
Istriku sangat menyayangi dan memahami adikku dengan baik, dan aku baru menyadari bahwa ia adalah sumber kasih sayang. Dengan demikian, sekarang tanggung jawabku adalah bagaimana meyakinkan mereka bahwa segala sesuatu berjalan seperti apa yang diharapkan, dan Allah selamanya tidak akan menelantarkan kita.
Setiap ujian pasti berakhir dan hanya bisa di hasapi dengan bersabar, berjuang, yakin kepada Allah, berpegang teguh dengan agama dan akhlak.
Yang terpenting tidak berputus asa dari rahmat Allah dan tidak menjual harga diri dengan meninggalkan prinsip dan agamanya.

Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005. Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.



Tidak ada komentar: