Aku seorang
pria berumur 25 tahun, tumbuh seperti layaknya orang normal dalam asuhan orang
tua yang baik dan saudari yang berumur 2 tahun lebih muda dariku. Ayahku
seorang pegawai negeri dan ibu adalah sososk wanita yang baik, yang hanya bekerja
di rumah. Kami tinggal di rumah kontrakan lama di lantai dasar, sebuah rumah
yang terdiri dari 3 ruangan dan berlokasi di perkampungan biasa.
Masa kecil
kami tidak jauh berbeda dengan anak-anak lain; berangkat ke sekolah, lalu
pulang, kemudian bermain di jalan bersama teman-teman dan berlarian pulang ke
rumah saat melihat ayah kembali. Kami kemudian duduk mengelilingi meja makan
sambil menikmati hidangan teh setelah makan siang. Setelah itu, mengerjakan
tugas sekolah dengan bimbingan ibu, sementara ayah pergi tidur. Setelah bangun
tidur, seperti biasanya, ayah duduk dikursi yang terletak di bawah jendela
beranda sambil memperhatikan para pejalan kaki atau keluar ke kedai kopi. Hinga
akhirnya kehidupan kami diguncangkan dengan meninggalnya ayah secara tiba-tiba
tanpa didahului oleh suatu penyakit atau tanda-tanda lainnya. Saat itu, umurnya
hampir mendekati 40 tahun, sedangkan aku baru berumur 10 tahun.
Hari-hari kami
semakin suram, dirundung kesedihan dan kemurungan, karena kami telah kehilangan
sosok ayah yang baik dan tempat berlindung, dengan penuh kekhawatiran ibu
menghadapi hidup dan hanya paman yang membantunya memproses uang pensiun.
Belakangan baru terungkap uang pensiun yang ibu peroleh sangat sedikit
jumlahnya, karena masa kerja ayah tidak terlalu lama. Dalam waktu yang singkat,
kami mengalami susahnya hidup dan kekurangan uang. Sejak itu, kami tidak lagi
membeli pakaian baru dan sebagai gantinya kami mengenakan pakaian bekas milik
sepupu kami.
Karena paman
sendiri hanya bekerja sebagai pegawai dengan penghasilan yang pas-pasan, ia
jarang membeli pakaian baru untuk anak-anaknya kecuali jika telah benar-benar
usang. Oleh karena itu, ibu sering menambal dan mewarnai baju agar tetap layak
dipakai oleh kami.
Meski demikian
kondisi yang kami alami, kami tetap melewati hari-hari seperti biasanya. Kami
merasa cukup dan puas dapat bertemu dengan ibu setiap hari. Kendati banyak
halangan untuk bisa mendengar cerita tentang kenangannya bersama ayah;bagaimana
ia mengenal ayah dan menikah dengannya. Ia berharap ia berhasil dan memperoleh prestasi yang baik di
sekolah, mendapat ijazah perguruan tinggi, bekerja disalah satu kantor yang
bonafit. Kemudian menikah dan memiliki keluarga yang bahagia.
Setelah sekian
lama mengalami hidup memprihatinkan tetapi tenang, tidak lama kemudian ibu
mulai sakit-sakitan, paman mulai sibuk mondar-mandir ke klinik hingga akhirnya
ibu harus dirawat di rumah sakit selama beberap minggu. Kemudian kami pindah ke
rumah paman yang sempit dan penuh dengan anggota keluarganya, tidur di ruang
tengah beralaskan lantai dan menemui kesulitan untuk dapat mengulangi pelajaran
dengan tenang. Disamping itu, kami juga jarang mengunjungi ibu di rumah sakit.
Setelah
beberapa bulan, hidup dalam kondisi sakit, ibu tercinta meninggal dunia
menyusul ayah kami. Saat itu aku berumur 15 tahun kami menangis hingga air mata
tak mampu lagi menetes setelah kepergian mereka, ayah dan ibu. Kami merasa
hampa dan kehilangan orang yang melindungi kami dari segala cobaan hidup.
Setelah masa
berkabung yang cukup panjang dan setelah mengetahui kendala hidup yang dihadapi
keluarga paman, kami mengambil keputusan untuk kembali tinggal dirumah kami
yang dulu, sedang paman akan terus mengunjungi kami untuk menghibur dan
menenangkan hati kami. Saat kami akan pindah, paman menjelaskan kepada kami
sambil mengusap air matanya seandainya kalau bukan rumahnya yang sempit dan
putri-putrinya yang mulai besar dan seumuran denganku, ia tidak rela kami
kembali kerumah. Kami pun menerima nasib kami dengan lapang dada dan berusaha
untuk meringankan beban dan kesedihan yang di alami paman.
Di malam itu,
kami meninggalkan rumah paman seorang diri setelah paaman mengisi dapur kami
dengan kebutuhan rumah dan memeberikan uang belanja mingguan dan mengingatkan
kami agar tidak membuka pintu bagi orang lain di malam hari dalam kondisi
apapun. Ia terus mengulang kata-kata yang diucapkannya sepeninggal ibu, “kamu
sekarang yang bertanggung jawab untuk menjaga adik. Kamu orang yang pantas
memikul tanggung jawab ini.” Akupun mengiakan ucapannya. Tapi dalam hati, aku
mengatakan “mengapa paman membebankan tanggung jawab ini kepadaku sedang aku
masih berumur 15 tahun? Padahal, teman-teman seumuranku masih senang bermain di
jalan dan menikmati perlindungan dan kasih sayang keluarga.” Tetapi aku tidak
mengungkapkannya dan membantahnya, karena ia sendiri tidak bisa berbuat
apa-apa.
Saudariku langsung menangis setelah paman
keluar dan pintu ditutup, sambil bertanya-tanya, “Bagaimana kita bisa hidup?
Apa yang bisa kita lakukan dalam keadaan seperti ini, dan siapa yang akan
melindung kita?” Aku kemudian berusaha menenangkan kegundahan hatinya dan
mengatakan, “ Sesungguhnya Allah tidak
akan meninggalkan atau membiarkan kita, karena kita tidak pernah melakukan dosa
atau menyakiti orang lain. Selain itu, ayah juga sosok pria yang baik, selalu
melaksanakan shalat dan puasa. Begitu pula ibu, kita juga suka melaksanakan
shalat dan puasa sejak kecil.
Aku lalu
bersumpah kepadanya bahwa aku akan melindunginya dari segala gangguan,
mengabdikan seluruh hidup untuk menjaganya dan akan saling membahu menghadapi
segala bentuk kesulitan, serta tidak akan menceritakan aib kepada orang lain
dengan izin Allah.
Kami mengatur
hidup kami sebaik mungkin, sessuai dengan uang belanja mingguan yang diberikan
paman. Setelah kami pulang dari sekolah, kami saling menbantu menyiapkan
makanan, membersihkan rumah dan mengulangi pelajaran. Kemudian, kami
menghabiskan waktu sepanjang hari bersama-sama. Jika aku keluar membeli
sesuatu, dia selalu menemaniku; dan jika hendak berkunjung ke rumah temannya,
aku pun akan menemaninya hingga sampai di pintu rumah dan menentukan waktu
untuk menjemputnya kembali ke rumah. Jika teman-temannya datang berkunjung, aku
akan menyediakan ruangan ibu kami uutuk mereka pakai, sedang aku menghabiskan
waktu duduk di sofa yang sering digunakan ayah semasa masih hidup hingga mereka
kembali ke rumah masing-masing.
Kondisi yatim
piatu, sebatang kara dan perasaan takut semakin mendekatkan hubungan kami satu
sama lain. Kami tidak bisa berpisah kecuali di waktu sekolah. Paman setiap
minggu mengunjungi kami, menenamgkan kami atas kondisi kami yang alami atau
mengajak kami makan bersama-sama.
Tahun
pelajaran pertama, sepeninggal ibu, kami lewati dengan susah payah. Ketika
muslim panas tiba, aku keluar mencari pekerjaan untuk memenuhi beberapa
kebutuhan tahun ajaran baru. Aku menawarkan diri kepada seorang pemilik laudrri
terdekat agar dapat mempekerjakanku sebagai tukang seterika pakaian, karena aku
pikir pekerjaan itu tidak memerlukan pengalaman kerja. Pemilik laudri itu pun memintaku
bekerja sebagai pengumpul pakaian para pekerja.
Tanpa merasa
gengsi, aku menerima pekerjaan itu. kemudian aku mulai berkeliling ke
rumah-rumah. Pintu demi pintu aku masuki dan menawarkan jasa laundri. Jika aku
memperoleh pakaian, aku membawanya ke tempatku kerja; dan sebagai imbalannya,
aku mendapat upah dari pemiliknya,dan uang tips yang aku terima jumlahnya juga
lumayan. Aku merasa bahagia dengan uang yang aku dapatkan. Kemudian aku
memberikannya kepada adik agar digunakan membeli beberapa kebutuhannya.
Di akhir
bulan, pemilik laundri membayar jerih payahku dengan memberikan gaji 4 juneih
(mata uang mesir), padahal aku mengira tips yang aku dapatkan itulah upah dari
jerih payahku.
Musim panas
telah usai, kami memasuki tahun pelajarn baru. Aku pun berhenti bekerja, hingga
uang yang aku tabung selama musim panas habis dengan cepat dan membuat hidup
kami kembali dirundung kesulitan. Aku kemudian kembali ke tempat bekerja dlu
dan meminta agar diberi pekerjaan selama 4 jam setiap sore untuk menyetrika pakaian.
Karena melihat kondisiku, pemilik laundri pun menerima tawaranku. Hari-hari
selanjutnya, setelah pulang sekolah,aku menyantap makan siang bersam adik,
kemudian dengan tergesa-gesa menuju ke tempat kerja. Biasanya, aku pulang pukul
20.00 malam, lalu mengulang pelajaran sekolah dan duduk bersama adik hingga
tertidur.
Setelah
memperoleh ijazah SMU dengan prestasi yang memuaskan, paman menyarankanku agar
tidak lagi melanjutkan sekolah dan mencari pekerjaan baru. Namun, darimana aku
bisa mendapatkan pekerjaan baru seperti yang pernah aku geluti sewaktu masih
duduk di bangku SMU? Aku kemudian melakukan shalat Istikharah dan memutuskan
suntuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi bagaimanapun caranya.
Keputusanku
itu mendapat dukungan dari adik, dan pemilik laundri tempatku bekerja pun siap
membanru jika aku membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan mendesak, dengan
cara uang yang diberikanakan dipotong dari gaji tiap bulan. Akhirnya, aku dapat
melanjutkan studidi fakultas ekonomi jurusan akuntasi.
Selanjutnya
aku dan asik mengalami hari-hari yang sangat sulit hingga terkadang membuat
semangat kami kendur. Tetapi setiap kali smeangat itu melemah, aku dan adik
saling menyemangati dan mengingatkan kembali harapan ayah dan ibu. Kondisi
krisis itu terus memcekik kami selama duduk di bangku kuliah. Seandainya saja
paman tidak menghentikan bantuan dana untuk sewa rumah perbulan dan rekening
listrik sebelum menyerahkan segala urusannya kepada kami, tentu kami masih bisa
menghadapi krisis tersebut.
Kami telah
kehilangan tempat berlindung satu-satunya hingga hari-hari yang kami lewati
menjadi suram dan gelap. Di samping itu, kami harus mengarungi hidup seorang
diri, menyiasati bagaimana nisa membeli buku pelajaran atau meminjamnya, agar
dapat membayar tagihan dan mengganti pakaian yang telah usang.
Dalam kondisi
speerti ini, adik melanjutkan sekolah ke bangku kuliah hingga aku harus
melakukan segala daya-upaya untuk memenuhi kebutuhannya. Aku tidak bisa
memberikan uang lebih untuk membeli pakaiannya. Aku juga harus berusaha menahan
diri untuk tidak makan demi biaya transportasi kuliahnya.
Aku sempat
mengingatkan adik ketika akan masuk kuliah bahwa kita adalah anak yatim piatu.
Tidak ada yang dapat diandalkan di dunia ini kecuali perbuatan dan akhlak kita
sendiri, dan kita sendiri harus menjaga kehormatan dan harga diri kita. karena
kalau kita lengah, orang-orang yang tidak senang dengan kita dapat memanfaatkan
kesempatan. Ia kemudian menenangkanku dnegan mengatakan bahwa ia sangat
menyadari kondisi yang ada.
Tahun-tahun
kami lewati dengan sulit, dan pada tahun terakhir kuliah, salah seorang temanku
datang menemuiku, mungkin karena ia melihat
kondisiku yang memprihatinkan dan prestasi yang aku raih dari mata
kuliah akuntasi. Ia menawarkan pekerjaan paruh waktu di kantor akuntansi milik
pamannya. Aku pun menerima tawaran itu dengan gaji pas-pasan, tidak lebih dari
gaji aku terima saat bekerja di laundri. Namun demikian, aku menerima pekerjaan
itu dnegan tujuan mencari pengalaman dan barangkali aku mendapat kesempatan
kerja di bidang ini setelah lulus kuliah.
Di kantor, aku
bertemu dengan seorang wanita yang profesi denganku, yang kemudian aku tahu
bahwa ia adalah salah satu kerabat pemilik kantor. Sejak pertama aku bekerja,
ia menampakkan sikap tidak bersahabat. Aku tidak tahu kenapa, walaupun aku
sudah berusaha bersikap baik dengan semua orang. Dari waktu ke waktu, ia mulai
mengusikku, meladeninya. Hingga suatu saat, temanku menengurku karena tidak
mampu membalas wanita itu.
Mendadak aku
dikejutkan dengan ucapan wanita itu dengan nada menyindir di hadapan
rekan-rekan kerja, “kenapa wajahmu tampak bahagia tetapi tidak bisa
memperhatikan penampilanmu, bukannya kamu mendapat gaji yang sama dengan kami?”
Wajahku
langsung memerah. Rekan-rekan kerja yang mendengarnya langsung membantahnya,
sementara aku hanya bisa menahan diri. Dengan menahan emosi, aku berkata,
“memang aku memperoleh gaji yang sama dengannya, namun kondisiku sangat tidak
mengizinkan. Kalau memang penampilanku ini mengusiknya sampai ia bersikap
seperti itu, aku akan berusaha menyenangkan selamanya.”
Aku kemudian
meninggalkan kantor dam kembali ke rumah, lalu menceritakan apa yang terjadi
kepada adikku. Mendengar itu, ia menangis dan berharap agar aku tidak bersedih.
Semoga Allah akan menggantinya dengan pekerjaan lain, insya Allah.
Selama 2 hari,
aku menghabiskan waktu tanpa melakukan apa-apa kecuali belajar. Aku berfikir
untuk kembali ke laundri, tempat aku bekerja dulu. Sebelum niat itu aku
lakukan, tiba-tiba aku dikejutkan dengan teman yang pernah membelaku ketika
terjadi percekcokan di kantor. Ia datang untuk mengajakku menghadap pemiik
kantor.
Ketika
menghadap pemilik kantor, aku dimaki habis-habisan atas tindakanku meninggalkan
pekerjaan dan tidak pernah kembali. Hatiku pun menjadi lega setelah pemilik
kantor menyatakan bahwa ia sangat senang dengan kinerjaku. Ia menjanjikan masa
depan yang cerah kepadaku, serta ingin agar aku tetap bekerja dengannya setelah
lulus kuliah nanti. Kemudian ia menyampaiakn bahwa gajiku telah dinaikan
terhitung dari bulan ini dan memberikan 2 bulan gaji selama aku meninggalkan
kantor untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian. Aku pun berterima kasih
kepadanya dan mendoakannya agar panjang umur, selalu sehat dan selamat dunia
akhirat. Aku lalu meminta diri untuk pulang dengan penuh suka cita.
Sejak itu,
perlakuan wanita itu terhadapku berubah 180%. Ia kemudian memohon maaf atas
sikap kasarnya dulu dan mengakui bahwa ia keliru mempersepsikan sikap aku yang
diam, agak menjauh dan kurang bekerja sama dalam menjalankan tugas dengan
rekan-rekan yang lain. Ia ingin menghilangkan semua ganjalan di antara kami dan
berkata terus terang kepadaku bahwa ia berasal dari keluarga miskin dan masih
mempunyai hubungan keluarga dengan pemilik kantor. Ia diizinkan bekerja di
kantor itu demi membantu perekonomian keluarganya. Aku kemudian berkesimpulan,
kondisinya tidak jauh berbeda denganku. Aku berterima kasih atas keterbukaannya
dan mulai berinteraksi dengannya tanpa menyimpan rasa dendam. Tidak lama
kemudian, kami menjadi sahabat karib.
Selang beberapa
minggu, ia mengaku bahwa ia jatuh cinta kepadaku dan kangum dengan akhlak serta
sikap istiqamahku. Dan begitu, pula denganku. Aku mengaku telah jatuh cinta dan
sayang kepadanya dan berterus-terang bahwa aku sekarang dalam kondisi yang
sulit. Akan tetapi, ia siap mendampingiku hingga ajal tiba. Aku lalu
menceritakan hal itu terus-terang kepada adikku, dan ia meresponnya dengan
baik, bahkan mendukungku untuk menikah dengannya. Ia kemudian menghiburku dan
meminta agar kesulitan yang sedang kita hadapi jangan smapai menghalangi
memperoleh kebahagian yang sangat kami dambakan.
Akhirnya, aku
lulus dan mendapat pekerjaan di kantor yang selama ini aku bekerja, sementara
kekasihku ditunjuk oleh saudaranya untuk bekerja di perusahaan model. Ia
kemudian menanyakan rencanaku ke depan. Aku pun menjawab bahwaa saat ini aku
belum berani mengikatnya dengan ikatan resmi, kecuali setelah adik perempuanku
selesai kuliah agar aku tidak lagi merisaukan dirinya dan menunggu hingga
kondisi kami membaik. Awalnya, aku menduga ia akan marah kepadaku dan menyudahi
hubungan kami. Namun, alangkah terkejutnya aku ketika ia menegaskan bahwa ia
siap menantiku hingga beberapa tahun.
Tidak lama
kemudian, adikku selesai kuliah dengan prestasi yang sangat memuaskan dan
bekerja guru kontrak di salah satu sekolah khusus hingga tiba waktu
pengangkatan dirinya, dan kondisi kami pun sedikit membaik.
Hingga pada
suatu hari, datanglah seorang pria mengetuk pintu rumah dan mengutarakan
keinginannya untuk meminang adikku. Aku tidak langsung menjawabnya hingga
menanyakan pendapat adikku. Tidak disangka, ia menyambutnya dengan hangat. Aku
lalu bertanya kepada pria tersebut, apakah ia mengetahui kondisi kami dengan
baik. Ia menjawab dengan anggunan bahwa ia telah mengetahui kondisi kami dan
baginya tidak masalah. Proses selanjutnya, aku menyelidiki perihal pria
tersebut, dan ternyata yang aku dapatkan sungguh menggembirakan, ia seorang
pria baik-baik,paham masalah agama, berasal dari keluarga yang juga baik dan
berprofesi sebagai guru.
Setelah itu, kami
menentukan kapan saatnya meminang. Ketika waktu meminang yang telah ditentukan
tiba, aku tidak sanggup menahan linangan air mata karena senang melihat adikku
bahagia ssat itu. apalagi, aku sangat sayang dan kasihan kepdanya karena hidup
tanpa ayah,ibu dan saudara di malam itu kecuali aku. Seandainya kalau bukan
paman dan istrinya turut serta bersama kami, sudah pasti aku merasa hidup ini
terasa hampa tanpa saudara yang menemani kami dalam acara tersebut.
Dalam waktu 2
tahun, adikku telah pibdah ke rumah suaminya setelah mukjizat Tuhan turun untuk
membantu kami mempersiapkan segala barang bawaan seadanya sesuai dengan
permintaan kami dan keluarga kami. Aku tidak keberatan walaupun harus membebani
diri dengan mengambil kredit bulanan untuk membeli barang yang dibutuhkan adik.
Di samping itu, ia juga turut membayar cicilan itu. hali ini aku lakukan karena
merasa berkewajiban melakukan tugas dan janjiku terhadap dirinya untuk selalu
melindunginya setelah mengarungi hidup sebatang kara sepeningal ibu.
Berkat rekomendasi
pimpinan kantor, aku dipekerjakan sebagai bendahara di sebuah perusahaan besar,
di samping aku masih terus bekerja di kantornya setelah zhuhur. Sedang 4 tahun
kelulusan, bersamaa dengan berakhirnya masa kredit, aku merasa baru mampu
memperhatikan hidupku. Aku mulai melanjutkan keinginanku untuk menemui keluarga
kekasihku. Ketika aku menghadap keluarganya, ternyata segala yang dibutuhkan
telah disiapkan dan diatur dengan rapi. Aku kemudian menyerahkan kepadanya
kapan waktu yang menurutnya cocok, dengan mempertimbangkan kesiapanku. Dalam
waktu beberapa bulan, segala sesuatu telah siap dan aku telah merenovasi rumah
lama serta membeli perlengkapan rumah
baru.
Di malam pernikahan, adikku tak kuasa menahan
rasa bahagianya. Belakangan, aku mendapat informasi dari istriku bahwa adik
sempat menemuinya kemarin malam, ketika teman-temannya berkumpul di rumah
pengantin sambil bernyanyi, bertepuk tangan dan menari. Matanya kemudian
berlinang air mata karena tidak mampu menahan rasa bahagianya, sambil terus-menerus
bercerita tentang bagaimana aku menjadi sosok ayah, kakak dan ibu baginya;
sebagai pria yang baik, rela berkorban untuk membahagiakannya, dipenuhi rasa
cinta, tidak pernah iri dan benci kepada orang lain.
Dalam perayaan
sederhana yang kami selenggarakan di rumah, duduk di sampingku pengantin wanita
, sementara di hadapan kami ada keluarga, adik dan suaminya. Saat itu,
pikiranku teringat kembali pada masa-masa lalu. Terlintas di pikiranku
saat-saat ketika untuk pertama kalinya kami tinggal sendiri tanpa ayah-ibu
setelah paman meminta diri untuk pulang. Saat itu, aku berumur 15 tahun
sedangkan adikku berumur 13 tahun. Kami hanya menatap masa depan yang suram,
tidak menentu, pesimis menghadapi kenyataan hidup dan perasaaan tidak
terbayangkan kami dapat melewati segala kesulitan yang menghalangi jalan hidup
kami dan suatu hari kelak dapat berlabuh dengan aman, membayangkan adik bisa
berhasil menyelesaikan kuliah, bekerja dan menikah, dan begitu pula aku.
Kami mungkin
tidak akan mampu menjalani hidup seperti itu hingga akhir jika seandainya kami
hanya berdiam diri dan memandang jalan panjang yang semestinya kami lalui agar
dapat keluar dari kesulitan. Sekarang, masing-masing kami telah menemukan
hidup, bekerja serta menjalani hidup dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu
wa Ta’ala tidak akan menelantarkan orang-orang lemah, miskin dan pegang
teguh dengan agama dan akhlaknya.
Tujuanku
menulis surat ini kepada Anda agar para pembaca tahu bahwa setiap ujian pasti
mempunyai akhir dan hanya bisa dihadapi dengan bersabar, berjuang, yakin kepada
Allah, berpegang teguh dengan agama dan akhlak. Alhamdulillah, kami
telah mampu melalui ujian tnapa harus menjual harga diri,menyimpang atau
kehilangan perasaan cinta terhadap hidup , manusia dan kebaikan, atau iri
terhadap orang lain.
Aku berharap
kisah ini dapat menjadi pesan moral bahwa seberat apapun cobaan hidup pasti
akan berakhir, dan akhirnya kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Yang
terpenting, tidak putus asa dari rahmat Allah dan tidak menjula harga diri dengan
meninggalkan prinsip dan agamanya. Hal itu dapat terpancar dari kisah yang aku
ceritakan ini, meskipun aku harus mengeluh.
Yang patut aku
ungkapkan saat ini, satu-satunya problemku adalah kehilangan adikku setelah
sekian lama hidup bersama, berbagi suka-duka dan khawatir dengan diriku,
kendati hanya khawatir dengan udara dingin; perasaan takutnya kehilangan suami,
ketidakmampuannya menanggung beban terlalu banyak dan tidak sanggup jika harus
kehilangan orang-orang yang dicintainya suatu hari kelak, dan keinginannya
seandainnya bisa menyelimutiku setiap malam agar tetap hangat.
Istriku sangat
menyayangi dan memahami adikku dengan baik, dan aku baru menyadari bahwa ia
adalah sumber kasih sayang. Dengan demikian, sekarang tanggung jawabku adalah
bagaimana meyakinkan mereka bahwa segala sesuatu berjalan seperti apa yang
diharapkan, dan Allah selamanya tidak akan menelantarkan kita.
Setiap ujian
pasti berakhir dan hanya bisa di hasapi dengan bersabar, berjuang, yakin kepada
Allah, berpegang teguh dengan agama dan akhlak.
Yang
terpenting tidak berputus asa dari rahmat Allah dan tidak menjual harga diri
dengan meninggalkan prinsip dan agamanya.
Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005.
Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar