PEMBAHASAN
SEJARAH PEMBUKUAN
HADITS
A. Kodifikasi Hadis
Kendati
terbuka peluang untuk membukukan hadis, tetapi dalam fakta sejarah, di mana
sahabat belum ada kegiatan pembukuan hadis secara resmi, di prakarsai oleh
pemerintah. Umar bin khattab misalnya, pernah berfikir membukukan hadis. Ia
meminta pendapat para sahabat, dan disarankan untuk membukukannya. Tetapi,
setelah Umar beristikharah sebulan lamanya, ia membatalkan rencana itu dengan
katanya, “Saya tadinya ingin menulis sunnah-sunnah, kemudian saya teringat
kaum terdahulu yang menulis buku-buku, sibuk dengannya dan meninggalkan Kitab
Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukan Kitab Allah dengan apa pun.”
Kekuatan
hafalan bangsa Arab yang begitu kuat sungguh menunjang periwayatan hadis secara
lisan, apalagi Nabi mendorong untuk itu.
Memasuki
periode tabi’in sebenarnya kekhawatiran membukukan/kodifikasi hadis sebagai
yang dirasakan pada periode sahabat tidak perlu terjadi. Justru pada periode
tabi’in telah bertabur hadis-hadis palsu. Hadis palsu mulai bermunculan setelah
ummat islam terpecah menjadi golongan-golongan, yang mulanya berorientasi
politik, berubah menjadi paham keagamaan, seperti, Khawarij, Syi’ah, Murjiah,
dan lain-lain. Perpecahan itu terjadi sesaat setelah peristiwa takhim (antara pihak
Ali dengan pihak Muawiyah) yang merupakan rentetan peristiwa yang berasal dari
terbunuhnya Khalifah III, Usaman ra. Untuk mengukuhkan eksistensi masing-masing
golongan, mereka merasa perlu mencipta hadis palsu.
Agaknya,
munculnya hadis-hadis palsu merupakan alasan yang amat kuat untuk mengadakan
kodifikasi hadis. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan Al-Zuhri, “Sekiranya tidak
ada hadis yang datang dari arah timur yang
asing bagi saya, niscaya saya tidak menulis hadis, dan tidak pula mengizinkan
orang menulis.”
Kalau tidak
ssegera diambil tindakan dengan kodifikasi hadis, semakin banyaknya hadis
palsu bercampur hadis asli, semakin
sulit diketahui mana yang palsu dan mana yang asli di belakang hari. Maka,
kodifikasi hadis itu lebih maslahat dari pada membiarkannya terbengkalai.
Pada periode
tabi’in wilayah Islam sudah demikian luas, meliputi Jazirah Arab, Siria,
Palestina, Yordania, Libanon, seluruh kawasan Irak, Mesir, Persia, dan kawasan
Samarkand. Perluasan daerah itu diikuti dengan penyebaran ulama untuk
menyampaikan ajaran Islam di daerah-daerah, termasuk di dalamnya ulama hadis.
Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu
sendiri. Tidak tertutup kemungkinan, suatu hadis yang tersiar di suatu daerah
tidak tersiar di daerah lain. Ketidakmerataan hadis ke seluruh wilayah Islam
mengundang perbedaan keagamaan. Salah satu hal yang menyebabkan perbedaan
keputusan fikih antara ulama Hijaz dan Irak adalah karena hadis yang tidak
merata ini. Maka, kondisi ini sebagai alasan untuk kodifikasi hadis seperti
yang dikemukakan oleh Jamaluddin al-Qasimi, dapat dimengerti.
Umar bin Abd
al-Aziz ketika menyuruh kodifikasi hadis beralasan, khawatir semakin menipisnya
jumlah ulama seiring dengan membesarnya semangat masyarakat Islam Belajar ilmu
agama. Beliau menulis surat kepada Abu Bakar ibn Hazm, “Lihatlah hadis dari
Rasulullah saw, lalu tulislah, sungguh saya takut lenyapnya ilmu bersama
meninggalnya para ulama. Jangan engkau terima selain dari Rasulullah saw.
hendaknya engkau tebarkan ilmu dan adakan majlis-majlis supaya orang yang
tadinya tidak berilmu menjadi berilmu. ilmu itu tidak akan lenyap hingga
dijadikan sebagai barang rahasia.”
Menurut Muhammad al-Zafzaf, kodifikasi hadis ketika
itu dilakukan karena;
1. Para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri,
dikhawatirkan hadis akan menghilang bersama wafat mereka. Sementara,
generasi penerus diperkirakan tidak
menaruh perhatian memelihara hadis.
2. Banyak berita yang diada-adakan oleh kaum mubtadi’ (tukang
bid’ah) seperti, Khawarij, Rafidhah, Syi’ah, dan lain-lain.
Dimaksud
dengan kodifikasi hadis secara resmi ialah kodifikasi atas prakarsa penguasa
(Khalifah atau Gubernur). Kini hadis telah dikodifikasi. Masalahnya, sejak
kapan, dan atas prakarsa siapa?
Para sarjana
hadis seperti, ‘Ajjaj al-Khathib, Musthafa Husni al-Siba’i, Muhammad jamaluddin
al-Qasimi, Nu’man abd al-Mu’tal, Muhammad al-Zafzaf, dan laian-lain, menemukan dokumen
yang bersumber dari Imam malik bin Anas bahwa kodifikasi hadis yang dimaksud
adalah atas prakarsa khalifah Umar bin Abd al-Aziz (99-101). Ulama yang
disebut-sebut mendapat tugas untuk keperluan ini adalah Ibn Syihab al-Zuhri dan
Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazm. Bukan hanya kepada mereka berdua
khalifah menugasi, tetapi juga kepada ulama-ulama lain di berbagai penjuru
untuk kodifikasi semua hadis Nabi saw.
Rasyid Ridha
berpendapat, boleh jadi orang yang pertama menulis hadis dari kalangan tabi’in
abad pertama hijriyyah dalam bentuk koleksi adalah Khalid bin Mi’dan al-Himshi
(w. 103 atau 104 H). Konon, ia sempat bertemu kurang dari tujuh puluh orang
sahabat. Sungguh pun demikian, Ridha mengakui bahwa pendapat yang masyhur
adalah bahwa orang yang pertama membukukan hadis adalah Ibn Syihab al-Zuhri
atas perintah Umar bin Abd al-Aziz.
Ada yang
menyangkal pendapat umum di atas dengan alasan,
1. Masa pemerintahan Umar bin Abd al-Aziz amat pendek.
2. Tidak ada seorang perawi pun yang meriwayatkan kejadian itu.
3. Sekiranya benar bahwa kodifikasi telah dilakukan di masa itu,
niscaya tidak muncul isu bahwa hadis dibukukan pada pertengahan abad kedua. ini
pendapat sayyid Hasan al-Shadr (1272-1354 H), seorang terkemuka dari golongan
Syia’ah.
Juga dengan
menyebutkan “masa pemerintahan Ibn Abd al-Aziz itu amat singkat,” Ahmad Amin
mempertanyakan, apakah perintah khalifah tersebut sempat dilaksankan. Sebab,
tidak ada berita yang sampai kepadanya tentang kumpulan hadis yang dikerjakan
tersebut. Kelihatannya Ahmad Amin tidak menyangkal bahwa Ibn Abd al-Aziz telah
memprakarsai kodifikasi. Tetapi ia tidak yakin bahwa perintahnya telah
dilaksanakan seluruhnya. Amin juga mengutip pengadaian orientalis, andai kata
kodifikasi itu benar dilaksanakan, niscaya ia akan menjadi bahan rujukan untuk
pembukuan hadis-hadis masa berikutnya, dan tidak hilang begitu saja.
Menurut
al-Khathib, singkatnya masa pemerintahan Umar Ibn Abd al-Aziz tidaklah
menafikan kesediaan para ulama membukukan hadis sebagai tugas yang diberikan
oleh Khilafah. Adapun ungkapan bahwa tidak seorang pun meriwayatkan peristiwa
ini dipandang bertentangan dengan kenyataan. Karena, kata al-Khathib, banyak
orang yang meriwayatkan peristiwa ini, seperti suatu riwayat dari Ibn ‘Abdil
Barr menyebutkan, Ibn Syihab al-Zuhri telah menulis hadis di banyak buku,
kemudian Khalifah mengirimkannya ke berbagai daerah, masing-masing satu buku.
Riwayat ini dikutip dari Jami’ Bayan al-‘ilm wa fadhilih, karya Ibn
Abdil Barr.
Pada sisi
lain, sungguh pun al-Khatib sependapat dengan pendapat umum, tetapi ia masih
mencoba membuka kemungkinan lain. Ia mengemukakan riwayat tentang kodifikasi
resmi atas prakarsa Abd al-Aziz Ibn Marwan, Gubernur Mesir (65-85 H). Menurut
keterangan dari al-Laits bin Sa’ad, Abd al-Aziz bin Marwan menyuruh katsir bin
Murrah. Seorang tabi’in yang
sempat berjumpa dengan tujuh
puluhan “sahabat Badr” di Hims,untuk menulis hadis-hadis Nabi, kecuali hadis
riwayat Abu Hurairah, karena hadis ini sudah ada padanya.
Menurut
‘Ajjaj al-Khatib, apabila keterangan ini dapat dipertanggungjawabkan, maka
dapat disimpulkan bahwa kodifikasi hadis secara resmi dimulai pada masa Abd
al-Aziz bin Marwan menjabat Gubernur di Mesir, periode lebih awal dari masa
pemerintahan Umar bin Abd al-Aziz. Namum demikian, Dr. Syuhudi Ismail menulis
bahwa pendapat al-Khatib ini mengandung kelemahan karena,
1. Jabatan Abd al-Aziz bukan kelapa negara.
2. Surat permintaan penulisan hadis ditujukan kepada para ulama di
luar Mesir. Dengan demikian, permintaan itu bukan dalam hubungan kedinasan.
Sehingga ada kesan, surat permintaan itu lebih bersifat pribadi. Kendati
demikian, diakui juga bahwa besar kemungkinan upaya Abdul Aziz bin Marwan telah
memberi inspirasi kepada Umar ibn Abd al-Aziz bin Marwan telah memberi
inspirasi kepada Umar ibn Abd al-Aziz selaku kepala negara memerintahakan
ulamanya menulis dan membukukan hadis secara resmi.
Menurut
al-Siba’i, Abu Bakr Ibn Hazm, Gubernur Mesir masa Umar ibn Abdul Aziz, menulis
hadis hanya yang berasal dari Amrah dan Al-Qasim. Adapun yang “ menyelamatkan
hadis-hadis lain adalah al-Zuhri. Ada tujuh puluhan hadis yang diriwayatkan
Zuhri tetapi tidak oleh ulama lain. Begitu besarnya jasa al-Zuhri sehingga
ulama yang semasa mengatakan, “seandainya tidak ada al-Zuhri niscaya hadis itu
akan sirna.
Munculnya
kitab-kitab al-mushannaf, yang keterangannya akan kita ikuti nanti,
menggambarkan bahwa gerakan pembukukan hadis mendapat sambutan hangat dari para
ulama. Di antara sekian banyak kitab hadis yang di tulis, hanya kitab al-Muwattha’
karya Imam Malik
yang sampai kepada kita sekarang. Pada umumnya
kitab hadis itu ditulis pada awal abad ke-2 H. Sementara, Muwatttha’ ditulis
oleh Imam Malik pada pertengahan abad kedua. Karena kitab tertua yang sampai
kepada kita itu produk abad ke-2, maka tidak mengherankan kalau timbul kesan
bahwa kitab hadis dibukukan pada abad ke-2. Bagi orientalis, angka abad
tersebut besar sekali artinya. Dengan mengabaikan kegiatan kodifikasi hadis di
masa Umar ibn Abdul Aziz dan catatan hadis, baik yang dilakukan oleh para
sahabat maupun para ulama generasi berikutnya, mereka mengatakan, ada tenggang
waktu yang amat panjang antara masa keluarnya hadis (masa hadis) dengan masa
pembukuannya (al-Muwattha’). Dengan teori sejarah mereka, otentisitas hadis dalam
kitab al-Muwattha’ dan dalam kitab-kitab sesudahnya mereka ragukan.
B. Corak Penyusunan Kitab-kitab Hadis dan Kronologinya
Perintah Umar
ibn Abdul Aziz kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar Muhammad ibn’Amr ibn Hazm
untuk membukukan hadis, yang pelaksanaannya, ditangani oleh Ibn Syihab
al-Zuhri, rupanya telah berhasil membangkitkan minat para ulama untuk semakin
meningkatkan usaha tersebut. Dengan dukungan para penguasa, gerakan ini semakin
meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas, terutama di abad kedua
Hijriyah, dan mencapai masa suburnya pada abad ketiga, ditandai dengan
munculnya kitab-kitab induk, yang kemudian dikenal dengan kutub al-Sittah.
Pada awal
penyusunan hadis dalam kitab, hadis-hadis Nabi tidak dipisahkan dari fatwa para
Sahabat dan tabi’in, tidak pula diadakan pemilihan bab-bab tertentu.
Selanjutnya penyusunan hadis sebagai yang akan kita lihat nanti, dilakukan
dengan sistem dan teknik yang lebih canggih, belum pernah dilakukan sebelumnya.
a. Al-Mushannaf (abad ke-2 H)
Jauh sebelum al-Bukhari menluncurkan
kitabnya untuk mengisi khazanah intelektual muslim, para ulama telah menyusun
kitab-kitab hadis dengan memuat bab-bab tertentu. Lazimya, kitab semacam ini
disebut al-Mushannaf,al-Jami’, atau al-Majmu’. Penulisan kitab semacam ini
merupakan pengalaman pertama bagi umat islam. Kegiatan ini juga merupakan
kebanggaan tersendiri dalam rangka melestarikan ajaran Islam secara
keseluruhan. Mereka sadar bahwa kitab ini juga tidak boleh bercampur dengan
Al-Quran. Dalam hal ini, yang mereka pentingkan adalah bagaimana merekam ajaran
islam yang tidak dimuat di dalam Al-Quran sudah barang tentu bahwa wujud ajaran
islam bukan hanya yang diajarkan oleh Nabi saja. Interpretasi terhadap ajaran
beliau pun masuk di dalamnya, bahkan, hasil ijtihad para sahabat beliau. Karena
itu, fatwa-fatwa sahabat banyak masuk di dalamnya. Dengan kata lain, kitab ini
merupakan
catatan hadis, fikih aqidah dan lain-lain. Pada periode
berikutnya kelak, ulama Islam memisahkan mana yang hadis dan mana yang bukan.
Maka tidak mengherankan kalau kitab karya Imam Malik disebut kitab Fiqh yang
bermuatan hadis, atau kitab hadis yang bermuatan fiqh. Kitab al-Mushannaf terdapat
di seluruh kota besar Islam waktu itu.
b. Al-Musnad (abad ke-2 – 3 H)
Pada perkembangan selanjutnya, agaknya
telah muncul persoalan baru yang berkaitan dengan perbedaan nilai hadis Nabi
dari fatwa para Sahabat dan Tabi’in. Periode ini ditandai dengan adanya
pemilahan antara riwayat-riwayat yang bersambung pada nabi dari fatwa Sahabat
dan Tabi’an. Dengan mencabut fatwa Sahabat dan Tabi’in, tersusunlah kitab-kitab
yang berisi kumpulan hadis nabi yang diriwayatkan para Sahabat saja. Kitab
jenis ini kemudian dikenal dengan kitab al-Musnad. Ciri utama kitab
jenis ini adalah bahwa penyusunannya didasarkan atas nama Sahabat yang
meriwayatkannya. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dikelompokkan
menjadi satu, kemudian hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dan
seterusnya.
Gerakan ini muncul pada akhir abad kedua
atau awal abad ketiga, dipelopori oleh Abu Daud Sulaiman ibn al-Jarad
al-Thayalisi (133-204 H), bukan Abu Daud al-Sijistani. Tokoh inilah yang
disebut-sebut sebagai orang pertama menyusun al-Musanad. Sebagaimana
halnya dengan al-Mushannaf, begitu dirintis jalannya, gerakan ini segera
tumbuh dengan suburnya serta disambut baik oleh para ulama pada masa itu.
Karena itu muncullah kitab-kitab al-Musnad yang disusun antara lain
oleh;
?
Asas ibn Musa al-Amawi (w.
212 H).
?
Ubaidullah ibn Musa
al-Abbasi (w. 213 H).
?
Musaddad al-Bashri (w. 224
H).
?
Yahya ibn Abdul Hamid
al-Hamani al-Kufi.
?
al-Syafi’i (150-240 H).
?
Ahmad ibn Hambal (164-241
H).
?
Ishaq ibn Rahawaih (151-238
H).
?
Usman ibn Abi Syaibah
(156-239 H).
Musnad Ahmad ibn Hambal dinilai oleh
ulama hadis sebagai kitab Musnad yang paling komprehensif.
c. Kitab-kitab Shahih dam al-jami’ (abad 3-4 H)
Kendati teknik isnad telah diterapkan
dalam kitab-kitab hadis sebagai disebut di muka, namun target pemilahan antara
hadis yang shahih dari yang dhaif belum tercapai, sehingga orang yang bermaksud
berhujjah dengan hadis-hadis shahih mengalami kesulitan. Padahal dengan semakin
luasnya wilayah kekuasaan Islam dan semakin banyaknya persoalan baru yang
muncul seiring dengan perkembangan
zaman, kebutuhan terhadap hadis shahih sebagai hujjah terasa semakin meningkat
pula. Untuk membedakan hadis yang shahih dari yang dhaif dibutuhkan kriteria
tertentu. Di kalangan ulama hadis disepakati bahwa hadis shahih itu harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut. Bersambung sanadnya, periwayatnya adil
dan dhabith, hadis itu tidak syadz , dan tidak mu’alal. Karenanya,
kemudian muncul upaya pembukuan hadis khusus yang shahih saja.
Ulama yang disebut-sebut sebagai pelopor
menyusun kitab hadis dengan metode ideal, yang menyatakan bahwa hanya hadis
shahih saja yang dimuat di dalam kitabnya adalah Imam Muhammad ibn Ismail
al-Bukhari (194-256 H). Metode penyusunan ini kemudian diikuti oleh muridnya,
Imam Muslim (204-261 H). Kitab lain yang disusun berdasarkan persyaratan shahih
al-Bukhari maupun Muslim antara lain, Shahih Abu ‘Awanah, Shahih Ibn Khuzaimah
(w. 311
H), Shahih ibn Hibban (w. 254). Baik karya Ibn Khuzaimah maupun
Ibn Hibban, keduanya dinilai lebih baik dibanding kitab al-Mustadrak yang
disusun oleh Imam Al-Hakim.
Dalam pada itu berfikir pula oleh para
ulama hadis dalam menyusun kitab agar di dalamnya dicakup berbagai topik.
Kemampuan mencakup inilah yang disebut al-Jami’. Maka, kitab Shahih
al-Bukhari itu diberi nama “al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar..”
Kitab al-Jami’ memuat tidak kurang dari 8 topik; al-Aqidah, al-Ahkam,
al-Raqaq, adab al-Tha’am wa al- syarab, al-Tafsir, al- Tarikh wa al-Siyar,
al-Qiyam wa al-Qu’ud, al-fitan, al-Manaqib wa al-Mathalib.
d. Kitab-kitab Sunan (abad ke-3 – 4 H)
Tampaknya era penyusunan kitab-kitab
Shahih merupakan puncak penyusunan kitab hadis dari segi akurasi periwayatan.
Sesudah itu, muncul gerakan penulisan hadis kitab Sunan, yang di
dalamnya tidak hanya memuat hadis-hadis shahih, tetapi masuk juga di dalamnya,
hadis-hadis dha’if. Bahkan, kendati hadis itu dicamtumkan di dalam kitab Sunan,
tetapi juga diberi komentar bahwa hadis ini dha’if. Ada empat ulama yang
terkenal di kalangan ulama hadis menulis kitab sunan yaitu;
?
Abu Daud, Sulaiman ibn
al-Asy’ats ibn Ishaq al-Azdi al-Sijistani (202-275 H).
?
al-Tirmidzi, Abu ‘Isa
Muhammad ibn ‘Isa ibn Surah (209-279 H). Kalau tadinya hadis itu dibagi menjadi
Shahih dan Dha’if, maka, Imam inilah yang menegaskan pembagian hadis menjadi
tiga, Shahih, Hasan, Dha’if.
?
An-Nasai, Abu Abdirrahman Ahmad
ibn Syu’aib ibn ‘Ali al-khurasani (215-303 H).
?
Ibn Majah, Abu ‘Abdillah,
Muhammad ibn Yazid al-Qazwaini (209-273 H).
Kitab yang disusun oleh empat orang ulama ini disebut
juga dengan al-jami’.
e. Kitab al-Mustadrak (abad ke-4 H)
Al-mustadrak adalah jenis kitab hadis
yang menghimpun hadis-hadis shahih yang tidak diriwayatkan dalam kitab-kitab
hadis shahih lain, dan hadis-hadis shahih yang ditinggalkan oleh al-Bukhari dan
Muslim. Dalam memasukkan hadis ke dalam kitab tersebut, penulisnya menerapkan
persyaratan keshahihan yang digunakan oleh al-Bukhari atau Muslim. Menurut
bahasa, al-Mustadrak mengandung arti berkenaan dengan temuan. Agaknya, ia
disebut al-mustadrak karena penulisnya
menemukan hadis yang “amat berharga” karena keshahihannya, tetapi tidak
sempat diliput oleh al-Bukhari dan Muslim. Kitab yang terkenal jenis ini
adalah;
?
al-Mustadrak karya
al-Imam al-Hakim al-Naisaburi.
?
al-Mustadrak karya
Abu Dzar al-Harawi.
?
al-Ilzamat karya
al-Daruquthni.
f.
Kitab al-Mustakhraj
(abad ke-4 H)
Al-Mustakhraj adalah jenis kitab yang
disusun dengan mengambil hadis-hadis dari kitab tertentu, tetapi, jalur sanad
yang diambil oleh penyusunnya berbeda dari jalur sanad yang ditempuh oleh kitab
hadis tersebut. Penyusun al-Mustakhraj menempuh sanad lewat gurunya, dan
ternyata, guru tadi memiliki sanad yang sama dengan sanad guru penyusun kitab
yang ditakhrij; atau kedua guru tersebut bertemu sanad pada periwayat di
atasnya. Dengan demikian, ditemukanlah sanad baru pada lapisan periwayat
tertentu untuk sebuah hadis yang sama. Yang termasuk kitab jenis al-mustakhraj
antara lain;
?
Al-Mustakhraj al-Ismail
‘Alal al-Bukhari.
?
Al-Mustakhraj Abu ‘Awanah
‘Ala Muslim.
?
Al-Mustakhraj Abu ‘Ali
al-Tusi ‘Ala al-Tirmidzi.
?
Al-Mustakhraj Muhammad ibn
Malik ibn al-Iman ‘Ala Sunan Abu Dawud.
Kitab-kitab tersebut ditulis pada kurun
waktu setelah masuk abad ke-4 H. Dengan ditemukannya sanad jalur lain semacam
ini maka menjadi semakin kuatlah kedudukan hadis yang ditakhrij tadi. Dengan
cara seperti ini, kemungkinan besar sebuah hadis yang semula tidak shahih, bisa
naik derajatnya menjadi hadis shahih.
Kitab-kitab yang terkenal Produk abad
ke-4 – 5 H. Antara lain;
?
al-Mu’jam al-Kabir,
al-Mu’jam al-Ausath dan al-Mu’jam al-Shaghir, semuanya karya al-Thabrani.
?
al-Mustadrak karya
al-Hakim.
?
al-Shahih karya Ibn
Khuzaimah.
?
al-Sunan karya
al-Daruquthni.
?
al-Taqsim wa al-Anwa’ karya
Ibn Hibban.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
orang yang pertama
membukukan hadis adalah Ibn Syihab al-Zuhri atas perintah Umar bin Abd al-Aziz
yang di prakarsai oleh penguasa (Khalifah atau Gubernur).
2.
Kitab-kitab yang sudah
dikodifikasi sejak abad ke-2 - 4;
a. Al-Mushannaf (abad ke-2 H).
b. Al-Musnad (abad ke-2 – 3 H).
c. Kitab-kitab Shahih dam al-jami’ (abad 3-4 H).
d. Kitab-kitab Sunan (abad ke-3 – 4 H).
e. Kitab al-Mustadrak (abad ke-4 H).
f.
Kitab al-Mustakhraj (abad
ke-4 H).
B. Saran
Dengan makalah ini dapat membantu dalam proses belajar
mengajar mata kuliah ulumul hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Itr Nurdin. 1995. Ulumul Al-Hadits 1. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Zuhri Muh. 2003. Hadis Nabi:
Telaah History dan Metodologis. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar