Senin, 12 Oktober 2015

makalah proses perubahan dan perbaikan kurikulum

PROSES PERUBAHAN DAN PERBAIKAN KURIKULUM




Makalah ini Diajukan Sebagai  tugas makalah  Pada Mata Kuliah Pengantar Kurikulum Jurusan Tarbiyah Prodi Pendidikan Agama Islam(PAI)Kelompok 1
Oleh

SUKMAWATI                      (02131015)
FITRIANI                             (02131022)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2015

I.     PEMBAHASAN
A.    Proses Terjadinya Perubahan Kurikulum
Menurut para ahli sosiologi, perubahan terjadi dalam tiga fase, yakni fase inisiasi, yaitu taraf permulaan ide perubahan itu dilancarkan, dengan menjelaskan sifatnya, tujuan, dan luas perubahan yang ingin dicapai; fase legitimasi, saatnya orang menerima ide, itu dan fase kongruesi, saat orang mengadopsinya, menyamakan pendapat sehingga selaras dengan pikiran para pencetus, sehingga tidak terdapat perbedaan nilai lagi antara penerima dan pencetus perubahan.
Untuk mencapai kesamaan pendapat, berbagai cara yang dapat digunakan, misalnya motivasi intrinsik dengan janji kenaikan gaji atau pangkat, memperoleh kredit, dapat juga, paksaan keras atau halus, dengan menggunakan otoritas atau indoktrinasi. Dapat juga dengan membangkitkan motivasi intrinsik dengan menjalankan sikap ramah, akrab, penuh kesabaran dan pengertian, mengajak turut berpartisipasi, mengemukakan perubahan sebagai masalah yang dipecahkan bersama. Perubahan akan lebih berhasil, bila dari pihak guru dirasakan kekurangan dalam keadaan, sehingga timbul hasrat untuk memperbaikinya demi kepentingan bersama. Perubahan yang terjadi atas paksaan dari pihak atasan, biasanya tidak dapat bertahan lama, segera luntur dan hanya diikuti secara formal dan lahiriah. Meskipun perubahan sebagai masalah, melibatkan semua yang terlibat dalam perubahan masalah, pengumpulan data, menguji alternatif, dan selanjutnya mengambil kesimpulan, berdasarkan percobaan, dianggap akan lebih mantap  dan meresap dalam hati guru. Akan tetapi karena prosedur ini makan waktu dan tenaga yang banyak, dan selain itu diinginkan perubahan yang uniform di semua sekolah, maka sering dijalankan cara otoriter, indoktrinatif, tanpa mengakui kemampuan guru untuk berfikir sendiri dan hanya diharuskan menerima saja. Cara ini efisien, namun dalam jangka panjang tidak efektif. Dan bila ada perubahan atau perbaikan baru, yang lama ditinggalkan saja tanpa bekas[1].


Disamping hal tersebut diatas, sebenarnya perubahan kurikulum dapat terjadi karena berkenaan banyak faktor, diantaranya; apakah perubahan itu berawal dari guru, dari admistrator, dari masyarakat yang mendapatkan pelayanan pendidikan? Namun mungkin juga disebabkan oleh kondisi dan situasi sekolah yang bersangkutan.
Secara konseptual agaknya sulit untuk mendefinisikan tentang pengertian perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum adalah suatu usaha yang disengaja. Perubahan kurikulum terjadi karena adanya perbedaan dalam satu komponen kurikulum atau lebih dalam dua periode waktu tertentu. Sebagai contoh, bila sampai tahun 1975 kurikulum Sekolah Dasar masih menggunakan sistem mata pelajaran, mulai tahun 1975 kurikulum tersebut telah menggunakan sistem bidang studi. Ini berarti, bahwa telah terjadi perubahan dalam organisasi kurikulum Sekolah Dasar. Jadi, perubahan kurikulum adalah suatu kegiatan atau usaha yang disengaja untuk menghasilkan kurikulum baru secara lebih baik, yang didasarkan atas perbedaan satu atau lebih komponen kurikulum dalam dua periode waktu yang berdekatan.
Dari definisi tersebut di atas dapat diketahui bahwa perubahan kurikulum dapat bersifat sebagian, tetapi juga dapat terjadi atau bersifat menyeluruh. Perubahan dikatakan bersifat sebagian jika perubahan kurikulum tersebut hanya terjadi pada komponen kurikulum tertentu. Misalnya, perubahan metode mengajar saja, isi kurikulum saja, atau sistem, penilaiannya saja. Perubahan yang bersifat sebagian ini, tidak akan (banyak) berpengaruh pada komponen kurikulum lainnya. Sedangkan, perubahan kurikulum secara menyeluruh terjadi, jika dalam kegiatan kurikulum itu terjadi perubahan terhadap keseluruhan komponen (bahkan sistem) kurikulum, misalnya perubahan itu mencakup: komponen tujuan, isi, metode, media, organisasi, strategi pelaksanaannya. Di indonesia, contoh terjadinya perubahan kurikulum yang bersifat menyeluruh yaitu terjadinya perubahan kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975.
Perubahan kurikulummenyangkutpautkan banyak pihak. Oleh karena itu, di dalam mengubah kurikulum perlu dipertimbangkan faktor-faktor manusia (human


factors), yaitu: guru, peserta didik, orang tua peserta didik, staf administrasi sekolah, pemakai lulusan, serta pihak lain yang mungkin terlibat dalam sistem pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung[2].
Di bawah ini diberi sejumlah saran-saran singkat tentang langkah-langkah dalm proses mengubah kurikulum:
1.      Pupuklah suasana dan kondisi kerja yang serasi.
Suasana kerja harus memberi kesempatan bagi peserta untuk mengeluarkan buah pikirannya secara bebas. Saran-saran mereka harus diperhatikan. Mereka harus diikutsertakan dalam merumuskan dan memecahkan masalah yang dihadapi bersama.
Keberhasilan perubahan bergantung pada kualitas dan kuantitas para peserta. Ada kalanya diperlukan bantuan dari orang lain, misalnya dari Kanwil atau Perguruan Tinggi perlu disediakan sumber dan bahan yang diperlukan. Hendaknya dijauhi hal-hal yang dapat mengganggu.
2.      Berikan waktu yang cukup, jangan terlampau cepat, jangan pula terlampau lambat. Mendesak agar cepat bekerja akan cepat menghasilkan pekerjaan yang tergesa-gesa dan tidak cermat. Pelaksanaan perubahan memerlukan waktu. Adakalanya untuk program, misalnya perbaikan pengajaran bahasa, diperlukan waktu 3-4 tahun.
3.      Tentukan kegiatan yang sesuai, misalnya ada yang lebih serasi bila dilakukan oleh panitia, kelompok studi, workshop, konperensi, seminar, dapat pula mengadakan wawancara, observasi, demonstrasi, atau menggunakan alat-alat seperti tape-recorder, TV, dan lain-lain.
4.      Tentukan prosedur penilaian dalam tiap usaha perubahan. Evaluasi dimaksud untuk memperoleh gambaran tentang taraf tercapainya tujuan. Setelah dirumuskan tujuan perubahan, harus segera ditentukan cara


menilai hingga mana tercapainya tujuan itu. Baru kemudian ditentukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan itu[3].
B.     Proses Perbaikan Kurikulum
Seperti telah dikemukakan,kurikulum bermacam-macam tafsirannya. Pada satu pihak, kurikulum dipandang sebagai buku pedoman dan wewenang untuk mengembangkannya ialah pusat, kementerian Depdikbud. Yang dihasilkan ialah suatu kurikulum nasional yang menentukan garis-garis besar apa yang harus diajarkan kepada murid-murid. Di pihak lain, kurikulum dapat ditafsirkan sebagai segala sesuatu yang terjadi dalam kelas dan sekolah yang mempengaruhi perubahan kelakuan para siswa dengan berpedoman pada kurikulum yang ditentukan oleh Pemerintah. Dalam arti terakhir ini, perbaikan kurikulum terutama tergantung pada guru. Dialah menentukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam kelasnya. Dalam posisi itu boleh dikatakan ialah pengembangan kurikulum, dan ada tidaknya perbaikan pengajaran dalam kelasnya bergantung pada ada tidaknya usaha guru.
Tak semua guru sadar akan peranannya sebagai pengembang kurikulum, karena ia memandang dirinya sekedar sebagai pelaksana kurikulum, yang berusaha jangan menyimpang sedikit pun dari ketentuan dari atasan. Apa yang ditentukan oleh atasan sebenarnya masih jauh dari lengkap. Yang diberikan terutama garis-garis besarnya , dan kalaupun dirincikan, mustahil meliputi kegiatan guru-siswa sampai hal yang sekecil-kecilnya. Kurikulum sekolah kita, menentukan hanya sampai tujuan instruksional umum. TIU. Yang merumuskan TIK-nya ialah guru. Bahan pelajaran juga dilengkapi guru. Demikian pula, metode yang dianjurkan sangat terbatas dan tidak spesifik. Banyak lagi kesempatan bagi guru untuk secara kreatif memilih dari sejumlah besar metode, strategi, atau model mengajar yang tersedia. Penilaian formatif dan sumatif untuk pelajaran yang diajarkan guru, sepenuhnya dalam tangan guru. Ia tidak terikat pada test tertulis, akan tetapi dapat menjalankan penilaian yang lebih komprehensif yang meliputi aspek emosional, moral, sosial, sikap dan aspek afektif lainnya. Ia dapat menilai kemampuan kognitif pada tingkat mental yang jauh


lebih tinggi daripada yang dapat diukur dengan Ebtanas. Dialah yang dapat menilai aspek-aspek kepribadian anak. Ialah yang berada dalam posisi strategis untuk mengenal perkembangan anak, fisik, mental, etis, estetis, sosial, dan lain-lain.
Antara kurikulum nasional yang dijadikan pedoman sampai perubahan kelakuan anak, masih terdapat jarak yang cukup luas, yang memerlukan pemikiran, kreativitas, dan kegiatan guru. Dalam hal ini inilah ia sadar akan fungsinya sebagai pengembang kurikulum. Fungsi ini tentu harus lebih disadari kepala sekolah yang bertanggung jawab atas pendidikan di seluruh sekolahnya dan seyogianya berusaha sedapat mungkin mengadakan perbaikan kurikulum sekolahnya tiap sekolah berbeda dengan sekolah-sekolah, walaupun berada di kota yang sama, apalagi sekolah di daerah lain, yang berbeda sifat geografis dan sosial-ekonominya. Dan tiap guru berbeda pribadinya dengan guru lain. Juga muridnya menunjukkan ciri-ciri khas yang mungkin bertukar dari tahun ke tahun .
Pada umumnya guru kita masih belum menyadari peranannya sebagai pengembang kurikulum. Kurikulum kita uniform di samping usaha untuk sedapat mungkin mengatur apa yang harus dilakukan oleh guru sampai yang sekecil-kecilnya. Meningkatkan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan. Pertama, menyusun paket pelajaran sedemikian rupa, sehingga guru hanya berperan untuk mengatur distribusi bahan itu menurut kecepatan anak. Pelajaran itu dapat berupa modul atau pelajaran berprograma. Pendekatan kedua ialah meningkatkan mutu guru sehingga mampu menjalankan bahkan memperbaikinya bila ada kelemahannya. Pendekatan pertama sangat mahal selain banyak kekurangannya. Pendekatan kedua memerlukan guru yang profesional, berkompetensi tinggi, guru yang berjiwa dinamis dan terbuka bagi pmbaharuan. Pendekatan ini pun tak mudah dijalankan karena menuntut kualitas guru yang tinggi yang masih belum terpenuhi pada saat ini.
Kurikulum yang uniform dapat menjadi alasan bagi guru untuk menjauhi inisiatif perbaikan dan hanya menunggu instruksi dari pihak atasan. Sebaliknya atasan yang tidak merangsang gur untuk bersifat dinamis dan memberi kesempatan


serta dorongan untuk mencobakan perbaikan atas pemikiran sendiri dan tidak turut serta dalam usaha perbaikan dan penyesuaian dengan keadaan setempat, cenderung mematikan kreativitas guru.
Kurikulum tak kunjung sempurna dan senantiasa dapat diperbaiki. Bahan segera usang karena kemajuan zaman, pelajaran harus memperhatikan perbedaan individu dan mencari relevansi dengan kebutuhan setempat, dan sebagainya. Bila kita ingin memperbaiki kurikulum sekolah, kita harus memperhatikan sejumlah dasar-dasar pertimbangan, agar usaha itu berhasil baik, antara lain:
1.      Mengetahui tujuan perbaikan
2.      Mengenal situasi sekolah
3.      Mengetahui kebutuhan siswa dan guru
4.      Mengenal kompetensi guru
5.      Mengetahui gejala sosial
6.      Mengetahui perkembangan dan aliran dalam kurikulum.
Mengetahui Tujuan Perbaikan.
Langkah pertama ialah mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya ingin dicapai, bagaimana cara mencapainya, bagaimana melaksanakannya, apakah perlu dicari proses belajar mengajar baru, sumber belajar apa yang diperlukan, bagaimana mengorganisasi bahan itu, bagaimana menilainya, bagaimana memanfaatkan balikannya. Ada kemungkinan, tujuannya harus diperjelas atau diubah, demikian pula desain perbaikan atau implementasinya dan metode penilaiannya. Jadi perbaikan kurikulum tak kunjung berakhir dan bergerak terus. Kurikulum bukan benda mati akan tetapi sesuatu yang hidup mengikuti perkembangan zaman.
Mengenal Keadaaan Sekolah
Sering guru-guru tidak mengenal betul situasi sekolah yang sebenarnya, misalnya kurang mengenal potensi guru, sumber belajar yang tersedia di sekolah atau lingkungan, kurang mengenal keadaan masyarakat lingkungan, tidak mengenal sejarah perkembangan sekolah atau memahami kurikulum sekolah sebagai


keseluruhan serta hubungannya dengan instansi lain, atau bantuan yang dapat diperoleh, misalnya dari staf perguruan tinggi, termasuk IKIP.
Mempelajari Kebutuhan Murid Dan Guru
Agar ada dorongan memperbaiki kurikulum harus disadari adanya kesenjangan antara keadaan yang nyata dengan apa yang diharapkan oleh kurikulum resmi atau apa yang diinginkan siswa dan guru. Mengetahui kebutuhan itu merupakan titik tolak bagi usaha perbaikan. Tujuan pendidikan seperti diharapkan pemerintah dapat memberi dorongan untuk mengadakan perubahan dalam keadaan sekarang yang dirasa tidak memuaskan. Untuk melaksanakan perbaikan itu perlu diadakan studi yang lebih luas guna memperoleh data lain yang dirasa perlu. Data tentang siswa; keadaan siswa secara keseluruhan, macam-macam golongan etnis, jumlah penerimaan, lulusan dan putus sekolah, hasil belajar, perkembangan fisik, sosial, moral intelektual, keadaan rumah tangga, kebudayaan masyarakat anak, nilai-nilai dan harapan masa depan, cara murid belajar, konsep-diri anak, bahan pelajaran, proses belajar-mengajar, relevansi kurikulum, dan sebagainya. Dalam semua hal itu mungkin terdapat kekurangan-kekurangan yang perlu mendapat perhatian.
Untuk memperoleh data dapat digunakan test tertutup dan terbuka, wawacara, angket, sosiometri, analisis pekerjaan murid, observasi, dan lain-lain. Juga dapat diadakan brainstorming dengan guru, orangtua atau murid untuk mengetahui kelemahan-kelemahan dalam pendidikan di sekolah. Untuk mengetahui kebutuhan mana yang dirasa paling penting untuk diatasi, dapat diminta guru mengadakan ranking untuk kemudian didiskusikan selanjutnya dan memilih yang dirasa paling urgen. Suatu masalah ialah, apakah guru-guru memang ingin mengadakan perbaikan yang dianjurkan, bagaimana menyisipkan perbaikan itu ke dalam kurikulum resmi, apakah perbaikan itu sungguh-sungguh mengenai inti persoalan ataukah hanya menyinggung gejalanya.
Mengenal Masalah Yang Dihadapi Sekolah
Sebaliknya yang dijadikan fokus perbaikan ialah masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pekerjaannya sehari-hari, yang sering berkenan dnegan metode


mengajar, memperhatikan, perbedaan individual, memilih bahan pelajaran yang lebih serasi, organisasi kelas, fasilitas yang membantu proses belajar-mengajar, cara meningkatkan motivsi siswa belajar, dan lain-lain. Masalah juga dapat berasal dari murid, orangtua, masyarakat atau pemerintah.
Masalah yang dipilih hendaknya jangan terlampau luas sehingga sukar dikendalikan. Sebaliknya jangan pula terlampau sempit sehingga tak bermakna. Masalah yang diajurkan oleh pihak luar, mungkin tidak revan, tidak praktis oleh guru dan tidak akan mendapat dukungan.
Jika telah ditentukan dan disetuji masalah perbaikan yang akan dikerjakan, masalah itu dapat diperlukan sebagai cara pemecahan masalah pada umumnya, yakni merumuskan msalahnya, menentukan hipotesis, mengumpulkan data, mencobakannya apakah benar hipotesis itu, mengambil kesimpulan, mengimplementasikannya, menilai untuk memperoleh balikan, mengadakan oerubahan, dan seterusnya sampai tercapai hasil yang memuaskan.
Mengenal Kompetensi Guru
Untuk memperbaiki kurikulum perlu diketahui kompetensi guru sebagai partisipan dalam pengembangannya, pengetahuan mereka, tentang seluk-beluk kurikulum, bahan pelajaran, proses mengajar-belajar, psikologi anak, sosiologi, dan sebagainnya. Selain kompetensi umum, seperti kemampuan membuat perencanaan, kemampuan untuk mencetuskan ide-ide baru, kemampuan mempertemukan pandangan yang bertentangan, serta memupuk suasana yang menyenangkan, kemampuan bekerja-sama, untuk menghasilkan pekerjaan yang bermutu, kemampuan untuk mengarahkan dan mengkoordinasi, kemampuan menganalisis situasi dan menafsirkan perbuatan, kemampuan memilih dari sejumlah alternatif, kemampuan mengadakan eksperimen dan penelitian, kemampuan untuk menanyakan pertanyaan yang relevan, kemampuan menyatakan pikiran secara lisan dan tulisan, serta menggunakan alat, seperti komputer.



Mengenal Gejala Sosial
Perbaikan kurikulum dapat berasal dari desakan dari dalam dunia pendidikan, maupun dari luarnya. Dari dalam pendidikan dorongan ke arah perbaikan dapat bersumber dari guru, kepala sekolah, murid, dapat juga daripemilik sekolah atau dari kementerian. Tiap guru mengalami hal-hal yang tidak memuaskan yang perlu diperbaikinya. Murid-murid pun mempunyai sejumlah keluhan tentang kekurangan yang dirasakannya tentang sekolah. Kepala sekolah sudah sewajarnya mencita-citakan sekolah yang baik. Pemilik sekolah dalam kunjunganya tentu akan memberi sejumlah saran ke arah perbaikan kurikulum.
Juga dari pihak luar datang usul-usul perbaikan sekolah, karena tiap orangtua mengharapkan pendidikan yang sebaik-baiknya bagi anaknya. Orangtua pada umumnya belum menyadari sepenuhnya peran mereka dalam perbaikan sekolah. Namun suara masyarakat tentang pendidikan sering dicetuskan melalui koran dan masa media lainnya. Perguruan tinggi juga dapat menunjukkan keluhannya tentang mutu lulusan SMA dan konsumer para lulusan lembaga pendidikan merasakan kekurangan dalam tenanga kerja.
Tak semua keluhan itu dapat dipenuhi. Lagi pula keluhan itu perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh oleh sebab tidak tiap keluhan mempunyai dasar yang kuat yang didukung oleh fakta. Namun adanya keluhan itu seharusnya mendorong para pendidik untuk menilai diri sendiri dan berusaha memperbaikinya. Hingga kini, pada umumnya para pendidik, khususnya guru-guru belum berani mengambil inisiatif mengadakan perbaikan sendiri, lalu membiarkan keadaan berlangsung, sampai pada suatu saat lahir kurikulum baru, yang belum tentu memberi perbaikan. Kurikulum yang baru sama sekali cenderung melenyapkan segala kebaikan kurikulum yang lampau. Bila kurikulum diperbaiki secara kontinu, tak perlu diambil risiko besar untuk mengadakan pembaruan total yang dapat menimbulkan goncangan besar di kalangan guru-guru. Kurikulum yang baik tidak diperoleh sekaligus dengan adanya kurikulum yang baru sama sekali. Kurikulum harus dibangun terus-menerus, sedikit demi sedikit yang lazim disebut sebagai


“broken front”. Tak dapat kurikulum serentak diperbaiki dalam segala “front”. Misalnya, guru suatu bidang studi yang dinamis dapat memperbaiki pengajaran bidang studiny, yang mungkin tidak dilakukan guru bidang studi lainnya. Demikian juga suatu sekolah yang “favorit” karena mutunya, dapat lebih meningkatka lagi, tanpa menunggu kemajuan sekolah lain yang ketinggalan. Masing-masing sekolah dapat berusaha mencapai “excellence”, keunggulan dan tiap guru dapat mengusahakan tercapainya mutu yang senantiasa meningkat. Perlombaan sehat antara sekolah dalam peningkatan mutu hendaknya jangan dihalangi. Sekolah yang ketinggalan dalam hal tertentu dapat belajar dari sekolah yang telah maju. Kurikulum  yang uniform mengenal standard minimal tidak menghambat mencapai mutu yang setingi-tingginya[4].
C.    Tingkat Perubahan
Perubahan kurikulum dapat kecil dan sangat terbatas. Dapat pula luas dan mendasar. Perubahan itu dapat berupa: 1. Substitusi, 2. Alterasi, 3. Variasi, 4. Restrukturisasi, dan 5. Orientasi baru.
Substitusi dapat berupa mengganti buku pelajaran, misalnya IPS dengan buku karangan orang lain yang dianggap lebih baik. Jadi disini perubahan itu sangat kecil hanya mengganti atau menukar buku pelajaran. Alterasi juga berarti perubahan, dalam hal ini misalnya menambah atau mengurangi jam pelajaran bidang studi tertentu, yang dapat, mempengaruhi jam pelajaran bidang studi lain. Perubahan ini lebihh sulit diadakan dibanding dengan substitusi, karena perlu diyakini apa sebab perlu jam pelajaran ditambah, sedangkan dipihak lain dikurangi waktunya. Dengan variasi dimaksud menerima metode yang berhasil di sekolah lain untuk dijalankan disekolah sendiri, dengan meniadakan yang sama. Perubahan serupa ini memerlukan perubahan pada guru yang harus mempelajari dan menguasai cara baru itu. Perubahan ini lebih sulit lagi dibandingkan dengan perubahan sebelumnya. Lebih banyak risikonya ialah restrukturisasi, misalnya menjalankan team teaching , yang memberi peranan baru kepada guru dan memerlukan tenaga dan fasilitas baru. Dan akhirnya, perubahan yang paling besar risikonya ialah bila dituntut orientasi nilai-nilai baru, misalnya peralihan dari kurikulum yang “subject-centered” menjadi “unit approach”, atau kurikulum yang berpusat pada pengetahuan akademis menjadi kurikulum yang berpusat pada anak atau macam-macam pendekatan lain dalam kurikulum.
II.      PENUTUP
A.    simpulan
a.       Menurut para ahli sosiologi, perubahan terjadi dalam tiga fase, yakni fase inisiasi, fase legitimasi, fase kongruesi.
b.      Bila kita ingin memperbaiki kurikulum sekolah, kita harus memperhatikan sejumlah dasar-dasar pertimbangan, agar usaha itu berhasil baik, antara lain:
1.      Mengetahui tujuan perbaikan
2.      Mengenal situasi sekolah
3.      Mengetahui kebutuhan siswa dan guru
4.      Mengenal kompetensi guru
5.      Mengetahui gejala sosial
6.      Mengetahui perkembangan dan aliran dalam kurikulum.
c.       Tingkat perubahan kurikulum; 1. Substitusi, 2. Alterasi, 3. Variasi, 4. Restrukturisasi, dan 5. Orientasi baru.
B.     Saran
Dengan makalah ini dapat menjadi tambahan wawasan kita semua tentang kurikulum itu sendiri yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.







Daftar Pustaka
Nasution S. Asas-asas Kurikulum. Cet. VI; Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2005.
Subandijah. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo. 1996.
Pertanyataan:
1.      Hasnidar: Hambatan apa saja yang terjadi dalam proses perubahan kurikulum?
Jawaban:
Dalam penyususunan kurikulum ada pro dan kontra dalam merealisasikannya
Dan mengaplikasikannya.
2.      Ainun: Mengapa KTSP diubah menjadi kurikulum 2013?
Jawaban:
salah satu alasannya di KTSP mata pelajaran sedikit waktunya sedangkan kurikulum 2013 sedikit mata pelajarannya tapi banyak waktunya.
3.      Agus Syam: Strategi apa saja yang terjadi pada perubahan kurikulum?
Jawaban:
a.       Pupuklah suasana dan kondisi kerja yang serasi.
b.      Berikan waktu yang cukup, jangan terlampau cepat, jangan pula terlampau lambat.
c.       Tentukan kegiatan yang sesuai, misalnya ada yang lebih serasi bila dilakukan oleh panitia, kelompok studi, workshop, konperensi, seminar, dapat pula mengadakan wawancara, observasi, demonstrasi, atau menggunakan alat-alat seperti tape-recorder, TV, dan lain-lain.
d.      Tentukan prosedur penilaian dalam tiap usaha perubahan.




[1] Ibid. h. 123-14
[2] Ibid. h. 79
[3] Op.cit. h. 131
[4] Op.cit. h. 131-137.

Tidak ada komentar: