KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan
rahmat dan ridho-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Ushul Fiqh yang berjudul “Istihsan”.
Shalawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi
besar Muhammad SAW. Yang mana beliau telah memberikan kita petunjuk
kepada jalan yang benar.
Tak
lupa, kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu selaku Dosen kami dalam pembelajaran mata
kuliah Ushul Fiqh, juga kepada semua teman-teman yang telah memberikan dukungan
kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari jika
dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
dengan hati yang terbuka kritik serta saran yang konstruktif guna kesempurnaan makalah ini.
Demikian
makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan banyak
terdapat kekurangan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan hanya kepada Allah-lah kita
berlindung dan mengharapkan taufiq serta hidayahnya. Amin
Ya Rabbal Almin....
Wallahul
Muwafieq
ilaa Aqwamith Thorieq
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Watampone, 17 Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN
SAMPUL
KATA
PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
D. Manfaat Penulisan 2
BAB II
PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Istihsan 3
B. Pembagian Istihsan 6
C. Pro Kontra di Sekitar Kehujjahan Istihsan 14
BAB III
PENUTUP 19
A. Simpulan 19
B. Saran 20
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ushul fiqh
menduduki posisi sentral dalam studi keislaman. Lebih dari itu, juga merupakan
metodologi terpenting yang ditemukan oleh dunia pemikiran Islam, dan belum
terbukti dimiliki umat lain. Sebenarnya ilmu ini tidak hanya menjadi metodologi
baku bagi hukum Islam saja, tetapi juga bagi seluruh intelektual Islam. Namun,
sejarah pemikiran Islam telah mempersempit wilayah kerjanya hanya dalam wilayah
pemikiran hukum saja.
Ushul fiqh
pada dasarnya merupakan bidang ilmu yang berlandaskan pada nalar bayani,
yang menjadikan teks sebagai sumber memperoleh pengetahuan (otoritas teks); dan
teks dimaksud, utamanya ialah Al-quran dan hadis. Oleh karena itu, secara
epistemologi, yang dikaji dalam ilmufiqh ialah petunjuk (dalalah) yang ada
dalam teks wahyu, baik petunjuk secara tekstual (dalalat al-nass) yang membahas
relasi antara lafal dan makna, maupun petunjuk yang ada dibalik teks (dalalat
ma’qulal-nass)yang membahas relasi al-asl (teks) dan al-far’
(yang tidak tertulis dalam teks), yang didasarkan adanya kesamaan ma’qul
al-nass (“illah).
Para ahli Ushul fiqh membicarakan
berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan
merumuskan hukum syari’at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya,
kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum;
kadang-kdang untuk menetapkan hukum dengan
mempergunakan dengan perbuatan
mukallaf, dirumuskan berbentuk “Hukum Fiqh” supaya dapat diamalkan dengan
mudah.
Di samping
empat dalil syara’ yang disepakati di kalangan jumhur ulama, terdapat pula
dalil-dalil lain yang penggunaannya sebagai dalil tidak disepakati seluruh
ulama ushul fiqh, antara lain: Istihsan, mashlahah al-mursalah, urf,
istishhab, syar’u man qablana, qaul ash-shahabi, dan sadd adz-dzari’ah.
Namun demikian, sesuai dengan latar belakang masalah diatas, maka kami hanya
terfokus membahas Istihsan; pengertian istihsan, pembagian istihsan, dan
pro kontrak di sekitar kehujjahan istihsan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Istihsan?
2.
Ada berapa pembagian
Istihsan?
3.
Bagaimana pro kontra di
sekitar kehujjahan Istihsan?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian
Istihsan.
2.
Untuk mengetahui pembagian
Istihsan.
3.
Untuk mengetahui pro kontra
di sekitar kehujjahan Istihsan.
D. Manfaat Penulisan
Dengan makalah
ini wawasan kita tentang Istihsan bertambah serta dapat dijadikan sebagai bahan
ajar tambahan dalam proses perkuliahan ushul fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan
Dari segi
etimologi, istihsan berarti menilai sesuatu sebagai baik. Ia juga
berarti sesuatu yang digemari dan disenagi manusia, walaupun dipandang buruk
orang lain. Secara terminologis istihsan adalah berpalingnya sang
mujtahid dari tuntutan qiya jaliy kepada qiyas khafiy
berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional atau berpalingnya sang
mujtahid dari tuntutan hukm kully kepada tuntutan hukum juz’iy
berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional. Yang dimaksud dengan qiyas
jaliy ialah qiyas yang jelas ‘illatnya, tetapi pengaruhnya dalam
mencapai tujuan syariat lemah; ia sering diungkapkan dengan nama qiyas.
Sedangkan qiyas khafiy adalah qiyas yang samar ‘illatnya, tetapi
pengaruhnya dalam mencapai tujuan syariat kuat. Adapaun hukm kulliy
adalah kaidah hukum yang bersifat universal dan berdaya laku umum, sedang hukm
juz’iy adalah kaidah hukum yang bersifat partikular dan berdaya laku
spesifik.
Sedangkan
menurut istilah ushul fiqh, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para
ulama:
a.
Menurut al-Bazdawi:
اَلْعُدُوْلُ عَنْ
مُوْجِبِ قِيَاسٍ إِلَى قِيَاسٍ أَقْوَى مِنْهُ أَوْ هُوَ تَخْصِيْصُ قِيَاسٍ
بِدَلِيْلِ أَقْوَى مِنْهُ.
Beralih dari
konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas yang
pertama.
b.
Menurut al-Karakhi, sebagaimana
dikutip oleh al-Bukhari:
أَنْ يَعْدِلَ
الإِنْسَانُ عَنْ أَنْ يَحْكُمْ فِيْ اْلمَسْأَلَةِ بِمِثْلِ مَا حَكَمَ بِهِ فِيْ
نَظَاءِرِهَا إِلَي خِلَافِهِ لِوَجْهِ أَقْوَى يَقْتَضِي اْلعُدُوْلَ عَنْ
اْلأَوَّلِ.
Seorang mujtahid
beralih dari hukum suatu masalah yang sama hukumnya berdasarkan metode qiyas,
kepada hukum lain yang berbeda, karena ada faktor yang lebih kuat yang menuntut
adanya pengalihan tersebut dari hukum yang pertama.
c.
Menurut Imam Malik:
اَلْعَمَلُ بِأَقْوَى
الدَّلِيْلَيْنِ، أَوِ اْلأَخْذُ بِمِصْلَحَةِ جُزْ نِيَّةٍ فِيْ مُقَا بِلَةِ
دَلِيْلٍ كُلَّيِّ.
Menerapkan
yang terkuat di antara dua dalil, atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang
bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat
umum.
d.
Wahbah as-Zuhaili
merumuskan dua definisi yaitu,
Pertama,
تَرْجِيْحُ قِيَاسٍ
خَفِيِّ عَلَى قِيَاسٍ جَلِيِّ بِنَاءَ عَلَى دَلِيْلٍ.
Lebih
menggunggulkan qiyas khafi daripada qiyas jali berdsarkan alasan tertentu.
Kedua:
إِسْتِثْنَاءُ
مَسْأَلَةِ جُزْ نِيَّةٍ مِنْ أَصْلٍ كُلِّيِّ أَوْ قَضِيَّةِ عَامِّةٍ بِنَاءَ
عَلَى دَلِيْلٍ خَا صِّ يَقْتَضِي ذَلِكَ.
Mengecualikan
hukum kasus tertentu dari prinsip hukum atau premis yang bersifat umum,
berdasarkan alasan tertentu yang menuntut berlakunya pengecualian tersebut.
e.
Menurut Abdul Wahab
Khallaf, istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas
jali kepada tuntutan qiyas khafi, atau dari hukum kully kepada
hukum istitsnai berdasarkan dalil.
f.
Menurut Imam Malik
mendefenisikan istihsan dengan beramal dengan salah satu dari dua yang
paling kuat atau mengambil maslahah juz’iyah dalam berhadapan dengan
dalil kulli.
B. Pembagian Istihsan
Berdasarkan proses
perpindahannya, istihsan dibagi dua, yaitu:
a.
Istihsan Qiyasi
Istihsan
qiyasi adalah mendahulukan qiyas khafi dari qiyas jali karena
ada alasan yang dibenarkan syara’. Atau Istihsan qiyasi ialah, suatu
bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas
jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena
adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat
yang dimaksudkan di sini adalah kemaslahatan. Tiga contoh di bawah ini akan
dapat lebih mendekatkan pemahaman kita kepada pengertian istihsan qiyasi.
Contoh
pertama: apabila sesorang mewakafkan sebidang tanah pertanian untuk
kepentingan umum, maka berdasarkan istihsan, yang diwakafkan itu
termasuk hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu, dan
bentuk-bentuk lainnya yang berkaitan dengan tanah tersebut.
Apabilah
ketentuan wakaf ditetapkan berdasarkan qiyas jali kepada transaksi jual
beli, maka hak-hak tersebut tidak ikut beralih kepada penerima wakaf. Sebab
dalam jual beli, yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada
pembeli. Akan tetapi, karena alasan kemaslahatan, maka hak-hak tersebut ikut
berpindah kepada penerima wakaf, yaitu dengan cara meng-qiyas-kan wakaf
itu kepada transaksi sewa-menyewa.
Dalam
transaksi sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat
dari pemilik hak kepada penyewa. ‘illah yang sama ditemukan dalam hal
wakaf, meskipun bentuk ‘illah tersebut bersifat khafi (tersembunyi). Yang prnting pada
wakaf ialah agar barang yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan. Tanah pertanian
baru dapat dimanfaatkan secara baik jika di dalamnya terdapat pengairan yang
baik. Hak manfaat yang menjadi tujuan wakaf tidak tercapai, jika transaksi
wakaf tanah pertanian tersebut di-qiyas-kan kepada jual beli, melalui qiyas
jali. Sebab, pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik, bukan hak
manfaat. Karena itulah transaksi wakaf di-qiyas-kan kepada transaksi
sewa-menyewa. Di mana tujuannya sama dengan wakaf, yaitu hak manfaat.
Pengalihan hukum dari yang berdasarkan qiyas jali tersebut karena ada
alasan yang kuat yaitu tujuan kemaslahatan wakaf untuk memanfaatkan tanah
pertanian.
Contoh
kedua: jika penjual dan pembeli berselisih tentang harga sebelum serah
terima barang dilakukan, berdasarkan istihsan mereka berdua dapat
disumpah, padahal menurut qiyas, penjual tidak disumpah, tetapi menghadirkan
bukti.
Contoh
ketiga: berdasarkan istihsan qiyasi, yang dilandasi oleh qiyas
khafi, air sisa minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum,
seperti: sisa minuman burung gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas
jali, sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah
najis
dan
haram diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya,
yaitu dengan meng-qiyas-kan kepada dagingnya.
Sebagaimana
diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk
ke tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut
binatang buas yang tidak langsung bertemu dengan dagingnya. Mulut binatang buas
terdiri atas daging yang haram dimakan, sedang paruh burung buas merupakan
tulang atau zat tanduk. Sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika
burung buas minum, daging dan air liurnya tidak secara langsung bertemu dengan
air, karena dipisahkan oleh paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk itu.
Oleh karena itu, air sisa minuman burung buas tidak najis dan halal diminum.
Perbedaan
hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa minuman binatang bias
ni ditetapkan berdasarkan istihsan qiyasi, yaitu mengalihkan ketentuan
hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan haram), kepada
hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya
alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.
b.
Istihsan Istitsna’i
Istihsan
istitsna’i ialah, qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan
hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu
yang bersifat khusus. Atau mengecualikan hukum juz’i dari hukum kully
dengan dalil. Misalnya, menurut hukum kully, jual beli barang
yang ma’dum
itu dilarang, karena mengandung gharar, tetapi berdasarkan istihsan diperbolehkan
melalui akad salam.
Berdasarkan sandarannya, istihsan
dibagi menjadi enam, yaitu:
a.
Istihsan bi an-
Nashsh
Istihsan
bi an-nashsh ialah, pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada
ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nashsh yang
mengecualikannya, baik nashsh tersebut Alquran maupun sunnah. Atau
adanya ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus berbeda dengan ketentuan
kaidah umum.
Contoh
istihsan istitsnai berdasarkan nashsh Al-quran ialah, berlakunya
ketentuan wasiat setelah sesorang wafat, padahal menurut ketentuan umum, ketika
orang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap hartanya, karena telah beralih
kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh
Al-quran, antara lain surah an-Nisa: 12:
مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوْصِيْنَ بِهَآ أَوْدَيْنٍ.
Sesudah
dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar utangnya.
Contoh
istihsan istitsnai yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya puasa
orang yang makan atau minum karena lupa, padahal menurut ketentuan umum, makan
dan minum membatalkan puasa. Nyatanya ketentuan umum tersebut dikecualikan
berdasarkan hadis:
عَنْ أَبِي هَرَيْرَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ مَنْ
نَسِيَوَهُوَ صَاءِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا
أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ.
Dari Abu
Hurairah ra, katanya, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang lupa sedang ia
berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan
puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya”.
b.
Istihsan bi
al-Ijma’
Istihsan
bi al-ijma ialah meninggalkan qiyas dalam suatu masalah berdasarkan ijma’
yang menetapkan hukum berbeda dengan hukum yang ditunjuk oleh qiyas. Atau istihsan
bi al-ijma’ ialah, pengalihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan
lain dalam bentuk pengecualian, karena ada ketentuan ijma’ yang
mengecualikannya. Sebagai contoh, boleh melakukan transaksi istitsna (seseorang
bertransaksi dengan pengarajin untuk dibuatkan barang dengan harga tertentu),
padahal menurut ketentuan umum jual beli, dilarang melakukan transaksi terhadap
barang yang belum ada. Rasulullah saw bersabda:
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ.
Jangan jual
belikan sesuatu yang belum ada padamu.
Berdasarkan
hadits di atas, seharusnya transaksi tersebut batal, karena ketika transaksi
berlangsung, objek transaksinya belum ada. Akan tetapi, trasanksi istitsna’ tersebut
boleh dilakukan, karena sejak dahulu praktik tersebut terus berlangsung, tanpa
ada larangan dari seorang ulama pun. Sikap
ulama tersebut
dipandang sebagai ijma’ demi memelihara kebutuhan masyarakat, dan
menghindarkan kesulitan yang akan timbul jika transaksi tersebut dilarang.
c.
Istihsan bi
al-‘Urf
Istihsan
bi al-‘urf ialah istihsan berdasarkan kebiasan yang berlaku umum.
Atau pengecualian hukum dari prinsip syariah yang umum, berdasarkan kebiasaan
yang berlaku.
Contoh
istihsan bi al-‘urf ialah, menurut kententuan umum, menetapkan ongkos
kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan jauh
atau dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab transaksi upah mengupah
harus berdasarkan kejelasan pada objek upah yang dibayar. Akan tetapi, melalui istihsan,
transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi menjaga
jangan timbul kesulitan masyarakat, dan terpeliharanya kebutuhan mereka
terhadap transaksi tersebut. Contoh lainnya, sewa permandian dengan harga
tertentu dengan tanpa pembatasan air yang digunakan serta lamanya waktu yang
dihabiskan. Menurut qiyas hal ini tidak dibolehkan, sebab menurut qiyas obyek
akad ijarah itu harus jelas sehingga tidak menimbulkan perselisihan.
Namun menurut istihsan hal itu dibolehkan lantaran kebiasaan yang
berlaku di dalam masyarakat tidak menuntur jumlah air yang digunakandan waktu
yang digunakan.
d.
Istihsan bi
ad-Dharurah
Istihsan
bi ad-dharurah ialah, ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seorang
mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Atau Istihsan bi ad-
dharurah ialah suatu keadaan darurat yang mendorong mujtahid untuk
mengecualikan ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan lain
yang memenuhi kebutuhan mengatasi keadaan darurat. Sebagai contoh, menghukumkan
sucinya air sumur atau kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras
airnya. Menurut ketentuan umum, tidak mungkin mensucikan air sumur atau kolam
hanya dengan mengurasnya. Sebab, ketika air sedang dikuras, mata air akan terus
mengeluarkan air kemudian akan bercampur dengan air yang bernajis. Demikian
juga dengan alat pengurasnya (timba atau mesin pompa air); ketika bekerja, air
yang bernajis akan mengotori alat tersebut, sehingga air akan tetap bernajis.
Akan tetapi, demi kebutuhan menghadapi keadaan darurat, berdasarkan istihsan,
air sumur atau kolam dipandang suci setelah dikuras.
e.
Istihsan bi
al-Mashlahah al-Mursalah
Istihsan
bi al-mushlahah al-mursalah ialah, mengecualikan ketentuan hukum yang
berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang
memenuhi prinsip kemaslahatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat yang
ditujukan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berada di bawah pengampuan
baik karena ia kurang akal maupun karena berperilaku boros. Menurut ketentuan
umum,
tindakan hukum
terhadap harta dari orang yang dibawah pengampuan tidak sah, karena akan
mengabaikan kepentingannya terhadap hartanya,di mana tujuan pengampuan itu
sendiri adalah untuk memelihara hartanya. Akan tetapi, demi kemaslahatan,
wasiat orang tersebut dipandang sah. Sebab, dengan memberlakukan hukum sah
wasiatnya yang ditujukan untuk kebaikan, maka hartanya akan tetap terpelihara.
Apalagi mengingat bahwa hukum berlakunya wasiat adalah setelah ia wafat; tentu
hal itu tidak mengganggu kepentingan orang yang berwasiat tersebut. Oleh karena
itu, ketentuan umum yang berlaku dalam tasharruf orang yang di bawah
pengampuan dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat.
f.
Istihsan berdasarkan qiyas
khafi
Misalnya
menurut Hanafiyah jika penjual dan pembeli berselisih tentang harga barang
sebelum searah terima barang dilakukan, menurut qiyas penjual harus
mendatangkan bukti dan pembeli disumpah. Namun, menurut istihsan keduanya dapat
disumpah.
C. Pro Kontra di Sekitar Kehujjahan Istihsan
Pendapat ulama
terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan istihsan. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa istihsan
merupakan dalil syara’. Mereka ini adalah mazhab Hanafi, Malik, dan mazhab
Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua yang menolak penggunaan istihsan
sebagai dalil syara’ adalah asy-Syafi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan
Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa menggunakan istihsan sebenarnya
dikendalikan oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan cara menggunakan nalar
murni untuk hukum yang ditetapkan dalil syara’. Di antara mereka adalah Imam
asy-Syafi’i. Bahkan diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahannya sebagai
dalil syara’, Imam asy-Syafi’i berkata: “barangsiapa yang menggunakan istihsan
berarti ia telah menetapkan hukum syara’ sendiri”.
Para ulama
yang menggunakan istihsan sebagai dalil syara’ mengemukakan banyak
argumen, di antaranya adalah sebagai berikut.
a.
Menggunakan istihsan berarti
mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit, sesuai dengan firman Allah swt
pada surah al- Baqarah: 185:
يَرِيْدُ اللهُ
بِكُمُ اْليُسْرَ وَالَا يُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ.
Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
b.
Firman Allah swt pada Surah
az-Zumar: 55:
وَاتَّبِعُواْ
أَحْسَنَ مَآ أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ مِّنْ قَبْلِ أَنْ يَأْ
تِيَكُمُ اْلعُذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُوْنَ {55}
Dan ikutilah
sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab
kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.
c.
Ucapan Abdullah bin Mas’ud
ra:
فَمَارَآهُ
اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدِ اللهِ حَسَنٌ.
Sesuatu yang
dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah swt.
Sementara itu,
kelompok ulama yang menolak kehujjahan istihsan menggunakan dalil,
antara lain, sebagai berikut.
a.
Firman alla swt pasa Surah
al-Maidah: 49:
وَأَنِ احْكُمْ
بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ.
Dan hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mareka menurut yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
b.
Firman Allah swt pada surah
an-Nahl: 44:
بِالبَيِّنَتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيكَ الذّكْرَ لِتُبَيِّنَ الِنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَرُوْنَ.
Dan kami
turunkan kepadamu Al-quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Ayat
di atas menjelaskan bahwa Allah swt menurunkan Al-quran, dan di samping itu ada
hadis Rasulullah saw yang berperan memerinci hukum-hukum yang terkandung di
dalam Al-quran. Dengan demikian istihsan tidak diperlukan untuk
menetapkan hukum syara’.
c.
Rasulullah saw tidak pernah
menetapkan hukum berdasarkan istihsan yang dasarnya aalah nalar murni,
melainkan menunggu turunnya wahyu. Sebab beliau tidak pernah berbicara berdasarkan
hawa nafsu belaka.
d.
Istihsan itu
landasannya adalah akal, di mana kedudukan orang yang terpelajar dan tidak
adalah sama. Jika menggunakan istihsan dibenarkan, tentu setiap orang
boleh menetapkan hukum baru untuk kepentingan dirinya.
Bahkan al-Imam
as-Syafi’i menyusun argumentasi secara detil untuk menolak eksistensi istihsan:
a.
Syariat itu ditetapkan
dengan nash dan qiyas. Istihsan bukan nash dan bukan pula
qiyas. Jika begitu menggunakan istihsan berarti mengakui adanya
hukum-hukum yang belum ditetapkan oleh nash dan qiyas dan ini
bertentangan dengan surat al-Qiyamah ayat 36 yang artinya: “Apakah manusia
mengira, bahwa ia akan dibiarkan saja (tanpa pertanggung jawaban).
b.
Banyak ayat Al-Quran yang
menyuruh mentaati Allah dan Rasulnya dan jika terjadi perselisihan hendaknya
dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Sedangkan istihsan tidak termasuk
kitab dan sunnah dan juga tidak menunjuk kepada Al-Quran dan Sunnah.
c.
Nabi saw. Tidak pernah
berfatwa berdasarkan istihsan. Ketika ditanya berbagai kasus beliau
tidak memberikan jawaban berdasarkan istihsan melainkan menunggu wahyu.
Jika istihsan diperkenankan tentu Nabi tidak akan menunggu wahyu dan
cukup menggunakan pendapatnya sendiri.
d.
Nabi menolak fatwa sebagian
sahabat berdasarkan istihsan ketika berada jauh dari Nabi. Jika istihsan
diperbolehkan tentu beliau tidak akan menolaknya.
e.
Istihsan itu tidak
menjadi kriteria dan tolak ukur untuk membedakan yang hak dan yang batil
sebagaimana qiyas. Jika setiap hakim atau mufti atau mujtahid boleh memutuskan
hukum yang berbeda-beda dalam satu kasus karena perbedaan pandangan
masing-masing hakim, mufti atau mujtahid.
f.
Jika istihsan
diperbolehkan, padahal ia bukan nash dan juga tidak merujuk kepada nash,
berarti ia menetapkan hukum berdasarkan akal semata. Dan hal ini tidak
dibenarkan.
Dari argumen
yang digunakan kedua kelompok ulama di atas, dapat dikatakan, pada hakikatnya
perbedaan kedua kelompok tersebut tidak menyentuh hal-hal yang mendasar. Dengan
kata lain, pada kenyataannya, perbedaan pendapat di antara mereka hanya dari
segi penggunaan istilah (al-khulf lafzi). Sebab, kritik yang dikemukakan
asy-Syafi’i terhadap istihsan adalah istihsan yang semata-semata
didasarkan kepada pertimbangan akal murni, tanpa didasarkan kepada dalil
syara’. Padahal, sebagaimana terlihat pada uraian istihsan sebelumnya,
semua bentuk istihsan menggunakan sandaran, baik dalam bentuk nash
Al-quran atau sunnah, atau ijma’, atau mashlahah mursalah yang
juga sejalan dengan prinsip-prinsip syara’. Tambahan lagi, sebagaimana disebut
al-Bazdawi, bahwa Imam Abu Hanifah sebagai orang yang banyak mengusung dalil istihsan,
adalah orang yang sangat wara’ dan sangat jauh dari pemikiran melahirkan hukum
tanpa dalil syara’.
Pada
hakikatnya, istihsan, dengan segala bentuknya, adalah mengalihkan
ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada hukum
lain yang didasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini
yang menjadi subtansi istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang
ulamapun yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara’.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
a.
Dari segi etimologi, istihsan
berarti menilai sesuatu sebagai baik. Ia juga berarti sesuatu yang digemari dan
disenagi manusia, walaupun dipandang buruk orang lain. Secara terminologis istihsan
adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan qiya jaliy kepada qiyas
khafiy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional atau berpalingnya
sang mujtahid dari tuntutan hukm kully kepada tuntutan hukum juz’iy
berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional.
b.
Berdasarkan proses
perpindahannya, istihsan dibagi dua, yaitu:
1. Istihsan Qiyasi.
2. Istihsan Istitsna’i.
Berdasarkan
sandarannya, istihsan dibagi menjadi enam, yaitu:
1. Istihsan bi an- Nashsh.
2. Istihsan bi al-Ijma’.
3. Istihsan bi al-‘Urf
4. Istihsan bi ad-Dharurah.
5. Istihsan bi al-Mashlahah al-Mursalah.
6. Istihsan berdasarkan qiyas khafi.
c.
Pada hakikatnya, istihsan,
dengan segala bentuknya, adalah mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari
yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada
d.
hukum lain yang didasarkan
kepada dalil syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini yang menjadi subtansi istihsan,
maka pada hakikatnya, tidak ada seorang ulamapun yang menolak keberadaan istihsan
sebagai dalil syara’.
B. Saran
Semoga dengan makalah ini dapat
dijadikan sebagai rujukan tambahan ilmu ushul fiqh tentang istihsan dan dalam
isi makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga kami menerima kritikan dan
saran yang sifatnya kondusif.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi. Perbandingan Ushul
Fiqh. Cet. I. Jakarta: Amzah. 2011.
Dahlan Rahman abd. Ushul Fiqh.
Cet. I. Jakarta: Azmah. 2010.
Suwarjin. Ushul Fiqh. Cet.
I. Yogyakarta: Teras. 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar