KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan
rahmat dan ridho-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Ushul Fiqh yang berjudul “Asal Usul dan Pengertian Tasawuf”.
Shalawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi
besar Muhammad SAW. Yang mana beliau telah memberikan kita petunjuk
kepada jalan yang benar.
Tak
lupa, kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu selaku Dosen kami dalam pembelajaran mata kuliah
Akhlak Tasawuf, juga kepada semua teman-teman yang telah memberikan dukungan
kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari jika
dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
dengan hati yang terbuka kritik serta saran yang konstruktif guna kesempurnaan makalah ini.
Demikian
makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan banyak
terdapat kekurangan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan hanya kepada Allah-lah kita
berlindung dan mengharapkan taufiq serta hidayahnya. Amin
Ya Rabbal Almin....
Wallahul
Muwafieq
ilaa Aqwamith Thorieq
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Watampone, 21 Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN
SAMPUL
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 2
D. Manfaat Penulisan 2
BAB II
PEMBAHASAN 3
A. Asal Usul Tasawuf 3
B. Pengertian Tasawuf 7
BAB III
PENUTUP 12
A. Simpulan 12
B. Saran 13
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tidak
diragukan lagi bahwa setiap langkah mendapatkan ilmu pengetahuan, pasti melalui
sesuatu cara tertentu. Cara tertentu dalam dunia ilmu disebut metode. Metode
menurut Senn merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang
mempunyai langkah-langkah sistematis. Dari hal lahirlah ilmu membicarakan
tentang metode yang disebut metodologi. Yakni suatu pengkajian dalam
mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Metodologi ini secara
filsafati termasuk di dalamnya apa yang dinamakan epistemologi.
Tasawuf sebagai
aspek esoterik Islam, secara epistemologik dalam memperoleh kebenaran dan ilmu
memakai intuisi, atau dalam istilah teknisnya memakai dzauq dan wujdan.
Apabila intuisi dari pertimbangan tanpa mengambil jalan berfikir logis
berdasarkan fakta yang timbul dari sumber yang tidak dikenal atau belum
diselidiki, maka dalam tasawuf perolehan intuisi itu tidak terjadi serta merta,
tetapi melalui proses panjang dengan apa yang disebut dengan mujahadah
dan riyadlah serta tafakur dan tadabbur. Yakni suatu upaya
yang pencerahan hati nurani agar bisa menangkap cahaya kebenaran.
Namun dengan
demikian, kita terlebih dahulu membahas asal usul tasawuf itu serta
perngertiannya, agar kita lebih bisa lebih mengerti hakikat tasawuf tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana asal usul
tasawuf?
2.
Apa pengertian tasawuf?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui asal usul
tasawuf.
2.
Untuk mengetahui pengertian
tasawuf.
D. Manfaat Penulisan
Dengan pembahasan tentang tasawuf
baik dari segi asal usulnya maupun pengertiannya kita dapat memahami hakikat
tasawuf tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Tasawuf
Tasawwuf
berasal dari kata Tasawwufa, Yatasawwufu, Tasawwufan, yang artinya “Ilmu
Rohani”, Yang Tersembunyi, yang didalam Al-quran disimpulkan oleh Allah dengan
kata “Shuhufan”, Artinya Kumpulan (Keseluruhan) Shuhuf[1].
Sebagian
kalangan berpendapat bahwa tasawuf berasal dari akar kata ash-shafa,
atau ash-shaff al-awwal, atau dari shuffah masjid Nabawi, namun
semua ini dikritik karena tidak didukung oleh kaidah-kaidah bahasa.
Kelompok kedua
menyatakan bahwa tasawuf berasal dari akar kata Yunani, sophia. Pendapat
ini ditantang karena memberikan peluang bagi kalangan kontrak tasawuf untuk
menyatakan bahwa tasawuf islam terpengaruh oleh kebudayaan asing hingga soal
penamaan sekalipun.
Kelompok
ketiga menunjuk kata ash- shuf (baju wol) sebagai akar kata tasawuf, namun
pendapat ini di tantang karena kaum sufi tidak identik dengan busana ini, dan
pendapat tersebut juga mengurangi nilai kaum sufi di mata kalangan lain karena
terkesan hanya memperhatikan penampilan luar minus batin.
Berikut ini
kami paparkan sikap sejumlah sejarawan tasawuf islam terhadap kedua masalah ini
agar kita dapat mengilah dan memilih pendapat yang tertua dan tershahih
diantara pendapat-pendapat tersebut.
Al-Kalabadzi
(w.380 H.) menangani masalah ini dengan pendekatan baru, yakni dengan meminjam
analisis linguistik (kebahasaan) yang digunakan oleh para ahli bahasa. Ia
mengatakan: “Jika kata sufi diambil dari kata as-shafa (murni) dan ash-shafwah
(terpilih) maka nisbatnya adalah shafawi. Jikaa disandarkan pada kata
ash-shaff (barisan pertama) atau shuffah(serambi masjid) maka
nisbatnya adalah shaffi atau shuffi.boleh-boleh saja terjadi
pertukaran posisi wawu dengan fa pada kata ash-shafawi menjadi
shufi atau penambahan wawu pada kata shaffi atau shuffi
menjadi shufi karena faktor popularitas kata tersebut di tengah
masyarakat. Adapun yang paling tepat dari segi bahasa adalah jika merujukkannya
pada akar kata ash-shuf (bulu domba).semua pengertian ini berarti
penyingkiran diri dari keduniaan, keberpalingan diri darinya, kepergian dari
tanah air, dan pengembaraan.
Dari paparan
al-kalabadzi ini dapat diambil benang merah bahwa kemungkinan penambahan huruf
atau pemindahan posisi huruf pada kata shufi jika dinisbatkan pada salah
satu akar kata di atas karena faktor kepopuleran suatu kata bisa diterima,
sebab hal ini sudah ma’ruf di kalangan ahli sharf dan mereka sebut
sebagai al-qalb al-makani (pertukaran posisi).
Al-Biruni
tampil berbeda dari para pendahulunya dengan menyatakan bahwa kata shufi diambil
dari bahsa Yunani “sophia” yang berarti kebijaksanaan. Ia mengatakan : “Di
antara filsuf yunani kuno ada yang berpendapat bahwa wujud hakiki berasal dari
satu prima kausa karena dia tidak membutuhkan siapa-siapa sementara yang lain
membutuhkan, dan apa yang membutuhkan yang lain dalam wujud maka wujudnya
seperti imaginasi yang tidak nyata sehingga wujud sejati
hanya satu. Inilah pendapat kaum
sophia, ahli hikmah (kebijaksanaan) sehingga yang mencintai kebijaksanaan
disebut failasuf (filosof).
Imam al-Qusyairi ingin menghentikan perdebatan mengenai akar kata
tasawuf dengan mengatakan bahwa kata shufi tidak perlu dicari derivasi
katanya sebab ia sudah menjadi seperti ‘alam (nama diri) bagi kelompok ini
mengatakan bahwa “Istilah ini sudah melekat pada kelompok ini sehingga
individunya disebut shufi, sementara kelompoknya disebut shufiyyah,
sementara orang yang berusaha mencapai kesana disebut mutashawwif dan kelompoknya disebut mutashawwifah.
Tidak ada qiyas atau isytiqaq yang mendukung penamaan ini dari segi
bahasa, dan yang paling tepat adalah istilah ini sudah menjadi laqab (julukan).
Adapun pendapat sebagian kalangan bahwa ia berasal dari kata ash-shuf (baju
dari bulu domba), dimana orang memakai baju berbahan bulu domba disebut tashawwafa,
sebagaimana halnya orang yang memakai baju gamis (qamish) disebut
sebagai taqammasha, pendapat ini tertolak karena kaum shufi tidak
diiedentik dengan pemakaian baju yang berbahan bulu domba. Jika dinisbatkan
pada shuffah masjid rasulullah SAW maka nisbat kata ini seharusnya bukan
shufi tetapi shuffi. Orang yang menyatakan tasawuf berasal dari
kata ash-shafa (kesucian) juga jauh dari aspek bahasa. Terkait pendapat
sebagian kalangan yang mengembalikannya pada akar kata ash-shaff al-awwal (shaf pertama) seolah-olah mereka berada di
shaf pertama dengan hati mereka, maknanya memang
benar, namun
keliru dari segi bahasa. Pendek kata golongan ini (kaum sufi) jauh lebih
terkenal daripada upaya pendefinisian mereka dengan qiyas maupun derivasi kata[2].
Ada yang mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata safa,
artinya suci, bersih atau murni. Memang, jika dilihat dari segi niat maupun
tujuan dari setiap tindakan dan ibadah kaum sufi maka jelas bahwa semua itu
dilakukan dengan niat suci untuk memberaihkan jiwa dalam mengabdi kepada Allah
swt. ada lagi yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata saff,
artinya shaf atau baris. Mereka dinamakan sebagai para sufi, demikian menurut
pendapat ini, karena berda pada baris (shaff) pertama didepan Allah
karena besarnya keinginan mereka akan dia, kecenderungan hati mereka
terhadapnya dan tinggalnya bagian-bagian
rahasia dalam diri mereka di hadapannya. Akan tetapi istilah sufi
mengacuh pada kata shaff, maka bentuk seharusnya menjadi saffi, bukan
sufi[3].
Demikian sikap para sejarawan tasawuf dalam masalah ini yang bisa disimpulkan
bahwa sebagian besar bahwa mereka cenderung merujukan kata tasawuf pada akar
kata ash-shuf (bulu domba) sehingga nisbat kata shuffi juga berasal
dari sana. Pendapat mereka ini benar dan sesuai dengan kaidah bahasa[4].
B. Pengertian Tasawuf
Pada masa Nabi
saw dan khulafaur rasyidin ra., sebutan atau istilah tasawuf tidak
pernah dikenal. Para pengikut Nabi Saw, diberi panggilan sahabat, dan
pada masa berikutnya, yaitu pada masa sahabat, orang-orang muslim yang tidak
berjumpa dengan beliau, disebut tabi’in dan seterusnya disebut tabi’it
tabi’in. Istilah tasawuf baru dipakai pada pertengahan abad II Hijriyah,
dan pertam kali oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan ash-shufi
di belakang namanya, meskipun sebelum itu telah ada ahli yang mendahuluinya
dalam zuhud, wara’, tawakkal, dan dalam mahabbah.
Secara
etimologis, para ahli berselisih tentang asal kata tasawuf. Sebagian menyatakan
berasal dari “ shuffah” artinya emper masjid Nabawi yang didiami oleh
sebagian sahabat Anshar. Ada pula yang mengatakan berasal dari “shaff”,
artinya barisan. Seterusnya ada yang mengatakan berasal dari “shafa”,
artinya bersih/jernih, dan masih ada lagi yang mengatakan berasal dari kata “Shufanah”,
sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh dipadang pasir, terakhir ada yang
mengatakan berasal dari bahasa Yunani “theosofi”, artinya ilmu
ketuhanan. Namun yang terakhir ini tidak disetujui oleh H.A.R. Gibb. Dia
cenderung kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba), dan orang yang
berpakaian bulu domba disebut “mutashawwaif”, perilakunya disebut tasawuf.
Hal tersebut ada latar belakang tersendiri, yakni pakaian tersebut
dipengaruhi oleh kristen, katanya, ‘asal mula pakaian ini bukannya seragam,
akan tetapi suatu tanda penebus dosa perseorangan, sebagaimana dilambangkan
pada pakaian Isa.
Berikut ini
dasar-dasar dan alasan-alasan yang memperkuat beberapa pendapat tersebut. Dasar
tasawuf berasal dari “shuf” adalah adanya beberapa riwayat di antaranya:
“Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan hamba sahaya,
naik Himar dan memakai pakaian bulu domba”.
Sebagai dasar
tasawuf berasal dari kata “Shaf” ialah karena ahli tasawuf itu berada pada
barisan (shaf) pertama di sisi Allah Swt. Hal tersebut telah menjadi
cita-cita yang tinggi dan kesungguhan mereka dalam mengharap Allah dnegan
sepenuh hati. Sebagai dasar tasawuf berasal dari “shuffah” adalah hadits
Mauqu dari Abu Hurairah yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya aku
telah melihat Ahl Shuffah sama menjalankan shalat dengan memakai satu pakaian
yang sempit, sebagian ada yang tidak mencapai dua lututnya, maka apabila dia
rukuk, sahabat yang lain memeganginya, karena takut auratnya terlihat”[5].
Ada pula yang
mengambil istilah tasawuf dari perkataan: shaffatul Masjidi artinya
serambi Mesjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di Mesjid Nabi yang
didiami oleh sekelompok para sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai
tempat tinggal yang dikenal dengan Ahli Suffah. Mereka adalah orang yang menyediakan
seluruh waktunya untuk berjihad dan berda’wah serta meninggalkan usaha-usaha
yang bersifat duniawi[6].
Secara
terminologis pun,tasawuf diartikan secara variatif oleh para sarjana. DR.
Ibrahim Basyuni mengklasifikasikan menjadi
tiga, yakni definisi yang menitik
beratkan pada al-Bidayah (tasawuf
dalam tataran elementer), al-Mujahadah (tasawuf dalam tataran intermediate),
dan al-Madzaqat ( tasawuf dalam tataran advance).
Definisi dari
sudut al-Bidayah, antara lain dikemukakan oleh Ma’ruf al-Karkhy (w. 200
H), bahwa tasawuf adalah: “Mencari yang hakikat, dan putus asa terhadap apa
yang ada di tangan makhluk. Barang siapa yang belum bersungguh-sungguh dengan
kefakiran, maka berarti belum sesungguh-sungguh dalam bertasawuf”.
Dari sisi al-Mujahadah,
tasawuf berkisar pada perhiasan diri dengan apa yang baik menurut
lingkungan (al-ma’ruf), maupun menurut agama yang bersifat normatif (al-Khair).
Oleh sebab itu Abu Muhammad al-Jariri mengartikan tasawuf dengan: “Masuk
ke dalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina”.
Pengertian
tasawuf pada sisi al-madzaqat, tasawuf diartikanndan dititkberatkan pada
rasa serta kesatuan dengan yang Mutlak, sebagaimana dikatakan oleh Ruwaim bahwa
tasawuf itu ialah: “Menjelaskan jiwa terhadap kehendak Allah SWT”[7].
Secara umum
kata Dr. Ibrahim Hilal : tasawuf itu adalah memilih jalan hidup secara zuhud,
menjauhkan diri dari perhiasaan hidup dalam segala bentuknya. Tasawuf itu
adalah bermacam-macam ibadat, wirid dan lapar, berjaga diwaktu malam dengan
membanyakkan sholat dan wirid, sehingga lemahlah unsur jasmaniah dalam diri
seorang dan semakin kuatlah unsur rohaniahnya. Tasawuf itu adalah menundukkan
jasmani dan rohani dengan jalan yang disebutkan sebagai usaha
mencapai hakikat kesempurnaan
rohani dan mengenai dzat Tuhan dengan segala kesempurnaanya. Inilah yang mereka
gambarkan dengan mengenal hakikat[8].
Dengan
pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan, bahwa tasawuf adalah bagian
ajaran islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga
diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar
tercapai kebahagian dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, siapa pun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang
berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh
oleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya. Yang pada
pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Hal inilah
yang dikehendaki dalam tasawuf yang sebenarnya[9].
Dari
perspektif lingistik (ilmu kebahasaan) tasawuf berasal dari kata shuf. Kalangan
orientalis barat mempersepsi tasawuf sebagai mistisisme, dan dalam islam
populer juga disebut dengan sufisme.
Walaupun
secara subtansial istilah-istilah itu tidak mempunyai hubungan yang sama,
tetapi secara metodologis, istilah mistisisme tersebut mengandung ajaran yang
menyatakan bahwa “kenyataan” yang sesungguhnya adalah spirit (roh) dan lebih
menekankan bahwa ada kontak langsung katanya menjadi pertikaian ahli loghat
atau bahasa, yaitu: pertama,
shafa yang berarti suci bersih, ibarat kaca. Kedua, dari kata shuf yang berarti bulu binatang, karena orang
yang memasuki tasawuf memakai pakaian yang berasal dari bulu binatang, dan
mereka tidak menyukai pakaian yang indah-indah. Ketiga, bersal dari kata
shuffah, yang diasosiasikan kepada segolongan sahabat nabi yang menyisihkan
dirinya di salah satu tempat terpencil di samping masjid nabi. Keempat, berasal dari kata shufarah, yaitu
sebangsa kayu mersik tumbuh di padang pasir Arab. Kelima, dari theosofie,
yang berarti ilmu ketuhanan yang kemudian diucapkan dengan lidah orang arab
sehingga berubah menjadi zaman akhir ini dan oleh para ahli yang menganggap
sufi bukan berasal dari bahasa arab, tetapi dari bahasa Yunani yang di Arabkan[10].
Tasawuf
merupakan salah satu dimensi spritual dari ajarab Islam. Kaum orintalis
menyebutnya sufisme atau mistisme; suatu istilah yang sebenarnya tidak tepat, karena
istilah itu tidak menggambarkan hakekat tasawuf yang sebenarnya.
Tasawuf berasal dari kata suf artinya kain yang dibuat
dari wool. Karena para penganut tasawuf pada masa dulu hanya mau menggunakan
pakaian dari bulu binatang, atau kain wol yang kasar. Bukan wol halus seperti
sekarang. Kain kasar itu menggambarkan kesederhanaan dan kemiskinan. Kaum sufi
sebagai golongan yang hidup sederhana dan miskin, tetapi berhati suci dan mulia[11].
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Tasawwuf berasal dari kata Tasawwufa, Yatasawwufu, Tasawwufan,
yang artinya “Ilmu Rohani”, Yang Tersembunyi, yang didalam Al-quran disimpulkan
oleh Allah dengan kata “Shuhufan”, Artinya Kumpulan (Keseluruhan)
Shuhuf. Sebagian kalangan berpendapat bahwa tasawuf berasal dari akar kata ash-shafa,
atau ash-shaff al-awwal, atau dari shuffah masjid Nabawi, namun
semua ini dikritik karena tidak didukung oleh kaidah-kaidah bahasa. Kelompok
kedua menyatakan bahwa tasawuf berasal dari akar kata Yunani, sophia.
Pendapat ini ditantang karena memberikan peluang bagi kalangan kontrak tasawuf
untuk menyatakan bahwa tasawuf islam terpengaruh oleh kebudayaan asing hingga
soal penamaan sekalipun. Kelompok ketiga menunjuk kata ash- shuf (baju
wol) sebagai akar kata tasawuf, namun pendapat ini di tantang karena kaum sufi
tidak identik dengan busana ini, dan pendapat tersebut juga mengurangi nilai
kaum sufi di mata kalangan lain karena terkesan hanya memperhatikan penampilan
luar minus batin.
2. para ahli berselisih tentang asal kata tasawuf. Sebagian
menyatakan berasal dari “ shuffah” artinya emper masjid Nabawi yang
didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Ada pula yang mengatakan berasal dari “shaff”,
artinya barisan. Seterusnya ada yang mengatakan berasal dari “shafa”,
artinya
bersih/jernih, dan masih ada lagi yang mengatakan
berasal dari kata “Shufanah”, sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh
dipadang pasir.
B. Saran
Deengan makalah ini wawasan kita
tentang tasawuf bertambah lebih luas serta kita amalkan ilmu yang kita dapat
kepada manusia yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Af Suryana Toto, Alba Cecep, dkk. Pendidikan
Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Cet. II; Bandung: Tiga Mutiara. 1997.
As Asmara. Pengantar Studi Tasawuf. Cet. II;
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persanda. 1996.
Benduara Andi. Al-Hikmah: Wasiat Sepanjang Zaman.
Watampone: Fastabiqul Ma’erifat. 2010.
Hajjaj Fauqi
Muhammad. Tasawuf Islam dan Akhlak. Cet. II; Jakarta: Amzah, 2013.
Masyharuddin, Syukur Amin. Intelektualisme
Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali. Cet. II; Semarang:
Lembkota. 2012.
Sanusi Ihsan, Selamat Kasmuri. Akhlak Tasawuf;
Upaya Meraih Kehalusan Budi dan Kedekatan Ilahi. Cet. I; Jakarta: Kalam
Mulia. 2012.
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut
Agama Islam Negeri Sumatera Utara 1981/1982. Pengantar Ilmu Tasawuf. 1983.
[1]
Andi Bedduara, Al-Hikmah; Wasiat Sepanjang Zaman ( Watampone: Fastabiqul
Ma’erifat, 2010), h. 3
[2]Muhammad
Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak ( Cet. II; Jakarta: Amzah, 2013),
h. 12-17
[3]Asmara
As, Pengantar Studi Tasawuf ( Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1996), h. 42-44
[4]Ibid.
[5]
Amin Syukur, Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf;Studi Intelektualisme
Tasawuf Al-Ghazali (Cet. II; Semarang: Lembkota, 2012), h. 11-13
[6]
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera
Utara 1981/1982. Pengantar Ilmu Tasawuf (1983), h. 9-10
[7]
Ibid., 14-16
[8]
Ibid., h. 11
[9]
Ibid., h. 16-17
[10]
Ihsan Sanusi, Kasmuri Selamat, Akhlak Tasawuf; Upaya Meraih Kehalusan Budi
dan Kedekatan Ilahi (Cet. I; Jakarta: Kalam Mulia, 2012), h. 79-80
[11]Af
Suryana Toto A., Alba Cecep, dkk, Pendidikan Agama Islam; untuk Perguruan
Tinggi (Cet. II; Bandung: Tiga Mutiara, 2012), h. 77-78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar