Salam Hidup Penuh Berkah

Selasa, 10 November 2015

makalah: akhlak-akhlak kaum sufi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
        Sikap istimewa kaum sufi adalah dalam memberikan makna terhadap institusi-institusi Islam. Ajaran Islam mereka pandang dari dua aspek, aspek lahiriyah-seremonial dan aspek batainiyah-spiritual, atau aspek luar dan aspek dalam. Pendalaman dan pengalaman aspek dalamnya yang paling utama tanpa mengabaikan aspek luarnya yang dimotivasi untuk membersihkan jiwa. Tanggapan peenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mementingkan pengaruh Tuhan dan bebas dari egoisme.
       Kultur spiritual itulah yang disebut dengan tasawuf yang ditempuh oleh kaum sufi sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dan mengontrol diri, kesetiaan dan realisasi kehadiran Tuhan yang tetap dalam segala perilaku dan perasaan seseorang.
       Dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak yang mengatakan bahwa dalam menghadapi materialisme yang melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Di sini sufi melalui jalan tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peran penting. Tetapi yang perlu ditekankan thariqat dalam diri para pengikutnya adalah penyucian diri dengan  pembentukan akhlak mulia di samping kerohanian dengan tidak mengabaikan kehidupan keduniaan.
B.     Rumusan Masalah
1. Bagaimana perhatian kaum sufi terhadap akhlak?
2. Bagaimana adab-adab kaum sufi dalam peribadatan?
3. Bagaimana akhlak-akhlak kaum sufi?
C.    Tujuan Penulisan
1.  Untuk mengetahui perhatian kaum sufi terhadap akhlak.
2. Untuk mengetahui adab-adab kaum sufi dalam peribadatan.
3. Untuk mengetahui akhlak-akhlak kaum sufi.
D.    Manfaat Penulisan
1.   Berguna kepada mahasiswa sebagai referensi dalam perkuliahan
2.   Berguna kepada kaum muslimin agar mengetahui cara-cara seorang sufi mendekatkan diri kepada Allah.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Perhatian Kaum Sufi terhadap Akhlak
       Bisyr ibn al-Haris mengatakan: “Sufi adalah orang yang hatinya tulus terhadap Allah”. Yang lain mengatakan: “Sufi adalah orang tulus terhadap Allah dan mendapat rahmat tulus pula daripada-Nya[1]
       Nama Shufi berlaku kepada pria atau wanita yang telah menyucikan hatinya dengan mengingat Allah (dzikrullah), menempuh jalan kembali pada Allah, dan sampai pada pengetahuan hakiki (ma’rifah). Ada banyak pencari hikmah dan kebenaran, akan tetapi hanya oorang-orang sadar yang mencari Allah semata yang pantas disebut shufi. Sebaliknya orang yang pantas disebut dengan nama itu justru tak pernah memandang dirinya berhak beroleh kehormatan demikian. Karena dia telah sampai pada tingkatan tinggi dalam pengetahuan tentang Allah, maka dia tahu dengan yakin dan pasti bahwa “hamba tetaplah hamba dan Tuhan tetaplah Tuhan”[2].
       Kaum sufi menaruh perhatian besar terhadap perilaku mulia sebab mereka sangat antusias untuk meneladani  Rasulullah SAW. yang diutus oleh Tuhannya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Kaum sufi merupakan golongan manusia yang paling besar bagiannya dalam meneladani Rasulullah SAW. dan paling berkewajiban melestarikan sunnah-sunnahnya serta berakhlak sebagaimana akhlak Rasulullah SAW. anakku, jika kau mampu arungi pagi dan petang tanpa berbuat kecurangan dalam hatimu terhadap siapapun maka lakukanlah. Ia kemudian berkata:”Anakku, itu termasuk sunnahku. Barangsiapa melestarikan sunnah atau tradisiku berarti ia mencintaiku dan barangsiapa yang mencintaiku maka ia akan
bersamaku di surga[3].
B.  Adab-adab Kaum Sufi dalam Peribadatan
       Segenap orang sufi berkeyakinan bahwa berbagai macam aktivitas peribadatan dengan segala tata cara yang bersumber pada ajaran al-Qur’an dan al-Hadits meliputi shalat, puasa, dan zakat merupakan aktivitas yang hanya dikhususkan buat kalangan orang-orang awam saja (selain kalangan orang-orang sufi). Sedangkan aktivitas peribadatan untuk kalangan orang-orang sufi sifatnya spesifik[4].
1.      Adab Shalat Kaum Sufi
       Dalam masalah shalat, kaum sufi pertama-tama memperhatikan proses belajar atau pencarian pengetahuan mengenai hukum-hukum yang  berkaitan  shalat, dengan mendatangi ulama dan bertanya pada mereka mengenai hukum-hukum shalat yang belum mereka ketahui.
       Ath-Thusi mengatakan: “Adapun adab mereka dalam shalat, pertama-tama adalah belajar ilmu shalat, memepelajari shalat-shalat fardu, shalat-shalat sunnah beserta keutamaannya, dan shalata-shalat nafilah”.
       Selanjutnya, mereka sangat antusias menjalankan shalat di awal waktu affgar memperoleh keutamaan. Oleh karena itu, mereka sudah bersiap-siap menjalankan shalat sebelum masuk waktunya, dan mereka pun menjalankan dengan kehadiran hati mereka bersama Allah SWT.
       Kemudian selama menjalankan shalat, mereka berusaha dengan segenap kemampuan untuk mengosongkan hati mereka dari segala sesuatu selain Allah SWT. agar mereka bisa merenungi kitab Allah yang mereka baca dan benar-benar
khusyuk menghadap Allah, Tuhan sekalian alam.
       Selama shalat, kaum sufi berusaha merasakan kebesaran Allah SWT. dalam bacaan al-Qur’an, bacaan tasbih, dan dalam setiap rukun yang mereka jalankan, mensucikan-Nya dengan hati mereka dengan hati mereka sebagaimana ucapan lisan mereka[5].
2.      Adab Zakat Kaum Sufi
       Dalam menunaikan zakat, kaum sufi bertata krama dengan berusaha mengumpulkan harta yang halal tanpa berorientasi menumpuk-numpuk kekayaan maupun membanggakan kekayaan, dan tanpa mengiringi sedekah mereka dengan perilaku mengungkit-ungkit pemberian atau menyakiti hati penerima sedekah.
       Ath-Thusi mengatkan:”Barangsiapa terkena kewajiban zakat maka ia membutuhkan empat hal: pertama, memperoleh harta dengan cara halal. Kedua, orientasi pengumpulan harta bukan untuk membangga-banggakan diri dan kekayaan maupun menumpuk-numpuk harta. Ketiga, memulai dengan keluhuran budi pekerti dan sikap dermawan terhadap keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Keempat, menjauhi perilaku mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti hati orang yang diberi zakat”[6].
3.      Adab Puasa Kaum Sufi
       Dalam berpuasa, kaum sufi tidak hanya menahan diri dari lapar, minum, dan berhubungan seks sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, akan tetapi mereka juga menahan seluruh anggota badan mereka dari melakukan segala hal yang bisa mengandung murka Allah. Kaum sufi berpandangan bahwa tata karma orang puasa adalah menjaga anggota badan, membersihkn hati, senantiasa berzikir, menjauhkan diri dari segala bentuk syahwat, antusias mencari rezeki yang halal, percaya sepenuhnya dengan rezeki yang dijamin Allah untuk semua Allah, dan merasa takut
kepada Allah SWT[7].
       Secara umum, dalam berpuasa kaum sufi menyadari sepenuhnya bahwa puasa  merupakan perisai bagi mereka dari neraka, sekaligus dari menuruti hawa nafsu dan setan[8].
       Kaum sufi mengklasifikasikan puasa itu kepada tiga kategori yaitu[9]:
a. Puasa umum, ialah sekedar mengkarantinakan kerongkongan dan mengunci seksual, puasa yang dilakukan sesuai dengan syarat rukun formalnya saja.
b.Puasa istimewa, ialah di samping melaksankan puasa umum tadi, juga segala panca indra dan seluruh anggota tubuh dijaga ketat agar tidak berhubungan dengan apa saja yang dipandang tidak baik. Dengan kata lain, puasa tipe ini adalah puasa seluruh anggota badan dari hal-hal yang dilarang agama.
c. Puasa yang sangat istimewa atau puasa paripurna, yaitu segenap anggota jasmani dan rohani ikut berpuasa. Jika raga berpuasa dengan melupakan masalah duniawi, yang diingat hanya Allah. Sopan santun berpuasa seperti kategori ketiga inilah yang mereka anggap sebagai puasa yang benar. Sebab menurut sufi, tujuan puasa bukanlah sekedar usaha preventif organ tubuh, tetapi untuk mendidik kalbu-rohani, untuk mencetak manusia berpribadi luhur dan berkarakter mulia.
4.      Adab Haji Kaum Sufi
       Dalam melaksanakan ibadah haji, kaum sufi tidak hanya mencukupkan diri dengan mensucikan jazad lahiriyah dengan mandi saja akan tetapi mereka juga memasukkan ke dalamnya proses pensucian batiniyah hati mereka dengan taubat.
      Saat melepas pakaian mereka untuk ihram, mereka juga melepas setiap kecenderungan mengikuti hawa nafsu dari hati mereka dan berusaha menjauhkan diri mereka dari setiap perbuatan nista, sambil bertekad kuat untuk terus  melanjutkan langkah di jalan ketaatan dan hidayah yang telah mereka ikrarkan[10].

C.  Akhlak-akhlak Kaum Sufi
       Semua kaum sufi sependapat, bahwa satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Oleh karena itu jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari zat Allah yang suci, maka segala sesuatu itu harus sempurna (perfection) suci, sekalipun tingkat dan kesucian dan kesempurnaan itu beervariasi menurut dekat dan jauhnya dari sumber aslinya[11].
       Dalam pandangan kaum sufi, ternyata manusia cenderung kepada hawa nafsunya. Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan manusia yang mengendalikan hawa nafsunya[12].
1. Tawadhu
       Salah satu akhlak mulia yang menjadi fokus perhatian kaum sufi adalah tawadhu. Mereka antusias untuk menerapkannya pada diri mereka sebagai bentuk peneladanan Rasulullah SAW. yang merupakan model utama kaum mukmin dalam masalah tawadhu. Dalam menjalani perilaku tawadhu kaum sufi menerapkan adab-adab al-Qur’an dan mengimplementasikan tafsir mereka atas tawadhu yang terkandung dalam ayat:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”[13]. (QS. Asy-Syuara/26: 215)
       Rasulullah SAW. telah memberi arahan agar bersifat moderat dalam bertawadhu, yaitu tidak berlebih-lebihan dalam merendahkan diri yang bisa membuat pelakunya direndahkan atau dilecehkan. Beliau bersabda: ”Berbahagialah orang yang merendahkan diri tanpa membuatnya  terlecehkan dan orang yang menghinakan diri tanpa membuatnya sengsara[14].
2.      Al-Mudarah (lemah lembut)
        Al-mudarah berarti mengendalikan diri ketika berinteraksi dengan orang lain dan ketika disakiti oleh mereka. Dalam hal ini, kaum sufi meneladani Rasulullah SAW. yang diriwayatkan tidak pernah menyakiti seorang pun.
       Kaum sufi menerapkan perilaku lemah lembut dalam lkehidupan pribadi dan publik  mereka, atau dalam hubungan mereka dengan keluarga dan masyarakat.
       Dengan interaksi santun terhadap manusia, mereka berarti cenderung terlibat dalam masyarakat dan tidak mengucilkan diri dari pergaulan sosial, meskipun harus bersinggungan dengan sebagian orang yang buruk perangainya[15].
3.      Pemaaf
       Kaum sufi juga menghiasi diri dengan sikap pemaaf, yaitu memaafkan orang yang berbuat jahat terhadap mereka. Dalam hal ini, mereka terinspirasi oleh Rasulullah SAW. yang mewartakan bahwa sikap pemaaf termasuk akhlak yang mulia.
       Sikap pemaaf juga mereka aktualisasikan dengan membalas kejahatan orang dengan berbuat baik kepadanya sebab itulah budi dalam arti yang sesungguhnya, sedangkan jika tanpa itu maka ia merupakan bentuk interaksi yang mirip dengan
praktik dagang (almutaajarah)[16].
4.      Tobat
       Tobat adalah meminta ampun yang tidak membawa kembali kepada dosa lagi. Langkah pertama adalah tobat dari dosa kecil dan dosa besar. Tobat yang sebenarnya dalam dunia tasawuf adalah lupa kepada segala hal kecuali
kepada Allah[17].
5.      Zuhud
       Zuhud adalah menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan
dunia. Ini merupakan pendekatan penting dalam tahap awal perjalanan spiritual[18].
Untuk memantapkan tobat calon sufi memasuki station zuhud. Zuhud merupakan langkah awal dalam perjalanan untuk menuju kehidupan seorang sufi.
6.      Wara
       Wara yaitu meninggalkan segala sesuatu yang di dalamnya terdapat subhat (keragu-raguan) tentang halalnya sesuatu. Dalam dunia tasawuf, kalau seseorang telah mencapai wara, maka tangannya tak bisa diulurkan untuk mengambil yang di dalamnya terdapat subhat.
7.      Kefakir
         Kefakiran dalam istilah sufi adalah tidak meminta lebih daripada apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban, bahkan tidak meminta kendatipun tak ada pada diri kita
8.      Sabar
       Sabar dalam menjalankan perintah-perintah, dalam menjauhi larangan-larangan dan menerima musibah, percobaan dan ujian yang ditimpakan-Nya
seraya menunggu datangnya pertolongan Allah.
9.      Tawakal
       Tawakal yaitu berserah diri pada Allah. Sikap tawakal kaum sufi ialah menerima pemberian dengan rasa syukur, kalau tidak dapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada kada dan kadar Allah.
10.  Kerelaan
       Ridha atau kerelaan yaitu tidak menentang terhadap kada dan kadar Allah, melainkan menerima dengan senang hati. Karena itu seorang sufi akan merasa senang baik ketika menerima nikmat maupun ketika menerima malapetaka.
11.  Mahabbah (cinta)
       Yang dimaksud di sini adalah cinta kepada Allah yang ditampilkan dalam
bentuk kepatuhan tanpa reserve, penyerahan diri secara total, dan pengosongan hati dari segala sesuatu kecuali yang dikasihi, yaitu Allah. Hati yang mahabbah dipenuhi dengan cinta sehingga tidak ada tempat untuk benci kepada apa dan siapapun. Ia mencintai Tuhan dan segenap makhluk-Nya.
       Al-Asqalani menjelaskan bahwa mahbbah (cinta kepada Allah) itu  dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu[19]:
a.    Mahabbah fardhu, yaitu mahabbah yang mendorong untuk melakukan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
b.   Mahabbah sunnah, yaitu mahabbah yang mendorong untuk membiasakan ibadah-ibadah sunnah dan menjauhi perkara-perkara yang shubhat.
12.  Makrifah
       Makrifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Di station ini telah dekat sekali dengan Tuhan, tetapi ia belum puas dengan berhadapan, ingin lebih dekat lagi dan bersatu  Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan menurut kaum sufi ada tiga macam, yaitu:
a.  Pengetahuan awam, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan syahadat.
b. Pengetahuan ulama, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan akal.
c.  Pengetahuan sufi, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.
       Ciri-ciri pengetahuan ma’rifat yang diperoleh seorang sufi antara lain[20]:
a.    Ilmu itu datang lewat cahaya Ilahi yang mengejawantah dalam diri manusia, sehingga terbukalah segala hijab yang selama ini menutup, yang nampak adalah kebenaran Ilahi;
b.   Ilmu ini tidak terjangkau oleh rasio, karena ilmu ini selain tidak rasional juga rasio tidak mampu mengkajinya;
c.    Ilmu itu hanya datang pada hati yang telah bersih (qalbun salim), yang hanya diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang terpilih;
d.   Tidak seperti pengetahuan spekulatif yang melahirkan kata-kata, ilmu ma’rifat bersifat pasti dan haqq al-yaqin; dan
e.    Memiliki kemiripan dengan ilmu pengetahuan Tuhan karena ia mampu menyingkap rahasia Tuhan.
       Melalui ilmu ini para sufi memperoleh hakikat kesempurnaan ilmu tentang dirinya, diri-Nya, dan hakikat alam semesta (hakikat makrokosmos dan mikrokosmos), dan inilah citra sang insan kamil (manusia sempurna) yang diidealkan banyak orang.
13.  Al-Fana wal Baqa
       Sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuhan, terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran itu disebut fana. Penghancuran dalam istilah sufi selalu diiringi dengan baqa.
       Fana yang dicari kaum sufi adalah penghancuran diri, yaitu hancurnya perasaan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Kalau sufi telah mencapai fana an nafs, yaitu kalau wujud jasmaninya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal adalah wujud rohaninya dan ketika itu ia dapatlah bersama dengan Tuhan.
14.  Al-ittihad
Dengan hancurnya kesadaran diri seorang sufi, tinggallah kesadaran tentang Tuhan, ia pun sampai ke tingkat ittihad, yaitu satu tingkat tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Suatu tingkatan di mana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka memanggil yang lainnya dengan kata-kata: wahai aku.















BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Kaum sufi menaruh perhatian besar terhadap perilaku mulia sebab mereka sangat antusias untuk meneladani  Rasulullah SAW. yang diutus oleh Tuhannya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
2.      Adab-adab kaum sufi dalam peribadatan, di antaranya: shalat, zakat, puasa, dan haji.
3.      Akhlak-akhlak kaum sufi, di antaranya: tawadhu, al-mudarah (lemah lembut), pemaaf, tobat, zuhud, wara, kefakir, sabar, tawakal, kerelaan, mahabbah (cinta), makrifah, al fana wal baqa, dan al-ittihad.
B.     Saran
       Sufi adalah orang yang hatinya tulus terhadap Allah. Untuk itu, sudah sepantasnya kita semua menjadi orang yang memiliki akhlak-akhlak seperti kaum sufi agar dapat merasakan kehadiran Allah serta merasakan kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat setelah  kembali kepada-Nya.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Jawi, Syaikh Muhammad Nawawi Ibnu Umar. Terjemah Nasha-Ihul ‘Ibad. Surabaya: Gitamedia Press, 2008.

Amstrong, Amatullah. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung: Mizan, 2001.

As, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Mahkota, 2002.

Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013.

Khaliq, Abdurrahman Abdul dan Ihsan Illahi Zhahir. Pemikiran Sufisme di Bawah Bayang-bayang Fatamorgana. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000.

Said, Usman. Pengantar Ilmu Tasawuf. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara:  1983.

Sholikhin, Muhammad. Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil. Semarang: Pustaka, 2004.

Suryana, A. Toto dkk. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Tiga Mutiara, 1997.




       [1] Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf,  (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 43
       [2] Amatullah Amstrong, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, (Cet. IV; Bandung: Mizan,  2001), h. 262-263
       [3] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Cet. II;  Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013), h. 313
       [4] Abdurrahman Abdul Khaliq dan Ihsan Illahi Zhahir, Pemikiran Sufisme di Bawah Bayang-bayang Fatamorgana, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000), h. 33
       [5] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 320-321
       [6] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 323
       [7] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h.  325
       [8] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 326
       [9] Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, (t.cet; Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 1983), h. 116-117
       [10] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 326
       [11] Usman Said, op. cit., h. 96
       [12] Usman Said, op. cit., h. 98
      [13] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (T. cet. Surabaya: Mahkota, 2002), h. 529
       [14] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 332
       [15] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 332
       [16] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 336
       [17] A. Toto Suryana dkk., Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (t. cet.; Bandung: Tiga Mutiara, 1997), h. 82
       [18] Amatullah Amstrong, op. cit., h. 332
       [19] Syaikh Muhammad Nawawi Ibnu Umar al-Jawi, Terjemah Nasha-Ihul ‘Ibad, (Cet. I; Surabaya: Gitamedia Press, 2008), h. 84
       [20] Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil, (Cet. I; Semarang: Pustaka, 2004), h. 332

Tidak ada komentar:

Posting Komentar