BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sikap
istimewa kaum sufi adalah dalam memberikan makna terhadap institusi-institusi
Islam. Ajaran Islam mereka pandang dari dua aspek, aspek lahiriyah-seremonial
dan aspek batainiyah-spiritual, atau aspek luar dan aspek dalam. Pendalaman dan
pengalaman aspek dalamnya yang paling utama tanpa mengabaikan aspek luarnya
yang dimotivasi untuk membersihkan jiwa. Tanggapan peenungan mereka lebih
berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa,
lebih mementingkan pengaruh Tuhan dan bebas dari egoisme.
Kultur
spiritual itulah yang disebut dengan tasawuf yang ditempuh oleh kaum sufi
sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dan mengontrol diri, kesetiaan
dan realisasi kehadiran Tuhan yang tetap dalam segala perilaku dan perasaan
seseorang.
Dunia
dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial
yang pelik. Banyak yang mengatakan bahwa dalam menghadapi materialisme yang
melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Di sini sufi
melalui jalan tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat
memainkan peran penting. Tetapi yang perlu ditekankan thariqat dalam diri para
pengikutnya adalah penyucian diri dengan
pembentukan akhlak mulia di samping kerohanian dengan tidak mengabaikan
kehidupan keduniaan.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana perhatian kaum sufi terhadap akhlak?
2. Bagaimana adab-adab kaum sufi dalam peribadatan?
3. Bagaimana akhlak-akhlak kaum sufi?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui perhatian kaum sufi terhadap akhlak.
2. Untuk mengetahui adab-adab kaum sufi dalam
peribadatan.
3. Untuk mengetahui akhlak-akhlak kaum sufi.
D.
Manfaat Penulisan
1. Berguna kepada mahasiswa sebagai referensi dalam
perkuliahan
2. Berguna kepada kaum muslimin agar mengetahui cara-cara
seorang sufi mendekatkan diri kepada Allah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perhatian
Kaum Sufi terhadap Akhlak
Bisyr ibn
al-Haris mengatakan: “Sufi adalah orang yang hatinya tulus terhadap Allah”.
Yang lain mengatakan: “Sufi adalah orang tulus terhadap Allah dan mendapat
rahmat tulus pula daripada-Nya[1].
Nama
Shufi berlaku kepada pria atau wanita yang telah menyucikan hatinya dengan
mengingat Allah (dzikrullah),
menempuh jalan kembali pada Allah, dan sampai pada pengetahuan hakiki (ma’rifah). Ada banyak pencari hikmah dan
kebenaran, akan tetapi hanya oorang-orang sadar yang mencari Allah semata yang
pantas disebut shufi. Sebaliknya orang yang pantas disebut dengan nama itu
justru tak pernah memandang dirinya berhak beroleh kehormatan demikian. Karena
dia telah sampai pada tingkatan tinggi dalam pengetahuan tentang Allah, maka
dia tahu dengan yakin dan pasti bahwa “hamba tetaplah hamba dan Tuhan tetaplah
Tuhan”[2].
Kaum sufi
menaruh perhatian besar terhadap perilaku mulia sebab mereka sangat antusias
untuk meneladani Rasulullah SAW. yang diutus
oleh Tuhannya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Kaum sufi merupakan
golongan manusia yang paling besar bagiannya dalam meneladani Rasulullah SAW.
dan paling berkewajiban melestarikan sunnah-sunnahnya serta berakhlak
sebagaimana akhlak Rasulullah SAW. anakku, jika kau mampu arungi pagi dan
petang tanpa berbuat kecurangan dalam hatimu terhadap siapapun maka lakukanlah.
Ia kemudian berkata:”Anakku, itu termasuk sunnahku. Barangsiapa melestarikan
sunnah atau tradisiku berarti ia mencintaiku dan barangsiapa yang mencintaiku maka
ia akan
bersamaku di surga[3].
B. Adab-adab Kaum Sufi dalam Peribadatan
Segenap
orang sufi berkeyakinan bahwa berbagai macam aktivitas peribadatan dengan
segala tata cara yang bersumber pada ajaran al-Qur’an dan al-Hadits meliputi
shalat, puasa, dan zakat merupakan aktivitas yang hanya dikhususkan buat
kalangan orang-orang awam saja (selain kalangan orang-orang sufi). Sedangkan
aktivitas peribadatan untuk kalangan orang-orang sufi sifatnya spesifik[4].
1. Adab Shalat Kaum Sufi
Dalam
masalah shalat, kaum sufi pertama-tama memperhatikan proses belajar atau
pencarian pengetahuan mengenai hukum-hukum yang
berkaitan shalat, dengan
mendatangi ulama dan bertanya pada mereka mengenai hukum-hukum shalat yang
belum mereka ketahui.
Ath-Thusi mengatakan: “Adapun adab mereka
dalam shalat, pertama-tama adalah belajar ilmu shalat, memepelajari
shalat-shalat fardu, shalat-shalat sunnah beserta keutamaannya, dan
shalata-shalat nafilah”.
Selanjutnya,
mereka sangat antusias menjalankan shalat di awal waktu affgar memperoleh
keutamaan. Oleh karena itu, mereka sudah bersiap-siap menjalankan shalat
sebelum masuk waktunya, dan mereka pun menjalankan dengan kehadiran hati mereka
bersama Allah SWT.
Kemudian
selama menjalankan shalat, mereka berusaha dengan segenap kemampuan untuk
mengosongkan hati mereka dari segala sesuatu selain Allah SWT. agar mereka bisa
merenungi kitab Allah yang mereka baca dan benar-benar
khusyuk menghadap Allah, Tuhan sekalian alam.
Selama
shalat, kaum sufi berusaha merasakan kebesaran Allah SWT. dalam bacaan
al-Qur’an, bacaan tasbih, dan dalam setiap rukun yang mereka jalankan,
mensucikan-Nya dengan hati mereka dengan hati mereka sebagaimana ucapan lisan
mereka[5].
2. Adab Zakat Kaum Sufi
Dalam menunaikan
zakat, kaum sufi bertata krama dengan berusaha mengumpulkan harta yang halal
tanpa berorientasi menumpuk-numpuk kekayaan maupun membanggakan kekayaan, dan
tanpa mengiringi sedekah mereka dengan perilaku mengungkit-ungkit pemberian
atau menyakiti hati penerima sedekah.
Ath-Thusi
mengatkan:”Barangsiapa terkena kewajiban zakat maka ia membutuhkan empat hal:
pertama, memperoleh harta dengan cara halal. Kedua, orientasi pengumpulan harta
bukan untuk membangga-banggakan diri dan kekayaan maupun menumpuk-numpuk harta.
Ketiga, memulai dengan keluhuran budi pekerti dan sikap dermawan terhadap
keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Keempat, menjauhi perilaku
mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti hati orang yang diberi zakat”[6].
3. Adab Puasa Kaum Sufi
Dalam
berpuasa, kaum sufi tidak hanya menahan diri dari lapar, minum, dan berhubungan
seks sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, akan tetapi mereka juga
menahan seluruh anggota badan mereka dari melakukan segala hal yang bisa mengandung
murka Allah. Kaum sufi berpandangan bahwa tata karma orang puasa adalah menjaga
anggota badan, membersihkn hati, senantiasa berzikir, menjauhkan diri dari
segala bentuk syahwat, antusias mencari rezeki yang halal, percaya sepenuhnya
dengan rezeki yang dijamin Allah untuk semua Allah, dan merasa takut
kepada Allah SWT[7].
Secara
umum, dalam berpuasa kaum sufi menyadari sepenuhnya bahwa puasa merupakan perisai bagi mereka dari neraka,
sekaligus dari menuruti hawa nafsu dan setan[8].
Kaum sufi
mengklasifikasikan puasa itu kepada tiga kategori yaitu[9]:
a. Puasa umum, ialah sekedar mengkarantinakan
kerongkongan dan mengunci seksual, puasa yang dilakukan sesuai dengan syarat
rukun formalnya saja.
b.Puasa istimewa, ialah di samping melaksankan puasa
umum tadi, juga segala panca indra dan seluruh anggota tubuh dijaga ketat agar
tidak berhubungan dengan apa saja yang dipandang tidak baik. Dengan kata lain,
puasa tipe ini adalah puasa seluruh anggota badan dari hal-hal yang dilarang
agama.
c. Puasa yang sangat istimewa atau puasa paripurna, yaitu
segenap anggota jasmani dan rohani ikut berpuasa. Jika raga berpuasa dengan
melupakan masalah duniawi, yang diingat hanya Allah. Sopan santun berpuasa
seperti kategori ketiga inilah yang mereka anggap sebagai puasa yang benar.
Sebab menurut sufi, tujuan puasa bukanlah sekedar usaha preventif organ tubuh,
tetapi untuk mendidik kalbu-rohani, untuk mencetak manusia berpribadi luhur dan
berkarakter mulia.
4.
Adab Haji Kaum Sufi
Dalam melaksanakan ibadah haji, kaum sufi
tidak hanya mencukupkan diri dengan mensucikan jazad lahiriyah dengan mandi
saja akan tetapi mereka juga memasukkan ke dalamnya proses pensucian batiniyah
hati mereka dengan taubat.
Saat melepas pakaian mereka untuk ihram,
mereka juga melepas setiap kecenderungan mengikuti hawa nafsu dari hati mereka
dan berusaha menjauhkan diri mereka dari setiap perbuatan nista, sambil
bertekad kuat untuk terus melanjutkan
langkah di jalan ketaatan dan hidayah yang telah mereka ikrarkan[10].
C. Akhlak-akhlak Kaum Sufi
Semua
kaum sufi sependapat, bahwa satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan
seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Oleh karena itu jiwa
manusia merupakan refleksi atau pancaran dari zat Allah yang suci, maka segala
sesuatu itu harus sempurna (perfection)
suci, sekalipun tingkat dan kesucian dan kesempurnaan itu beervariasi menurut
dekat dan jauhnya dari sumber aslinya[11].
Dalam
pandangan kaum sufi, ternyata manusia cenderung kepada hawa nafsunya. Manusia
dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan manusia yang
mengendalikan hawa nafsunya[12].
1. Tawadhu
Salah
satu akhlak mulia yang menjadi fokus perhatian kaum sufi adalah tawadhu. Mereka
antusias untuk menerapkannya pada diri mereka sebagai bentuk peneladanan
Rasulullah SAW. yang merupakan model utama kaum mukmin dalam masalah tawadhu. Dalam
menjalani perilaku tawadhu kaum sufi menerapkan adab-adab al-Qur’an dan
mengimplementasikan tafsir mereka atas tawadhu yang terkandung dalam ayat:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu
orang-orang yang beriman”[13]. (QS. Asy-Syuara/26: 215)
Rasulullah
SAW. telah memberi arahan agar bersifat moderat dalam bertawadhu, yaitu tidak
berlebih-lebihan dalam merendahkan diri yang bisa membuat pelakunya direndahkan
atau dilecehkan. Beliau bersabda: ”Berbahagialah orang yang merendahkan diri
tanpa membuatnya terlecehkan dan orang
yang menghinakan diri tanpa membuatnya sengsara[14].
2.
Al-Mudarah (lemah lembut)
Al-mudarah berarti mengendalikan diri ketika
berinteraksi dengan orang lain dan ketika disakiti oleh mereka. Dalam hal ini,
kaum sufi meneladani Rasulullah SAW. yang diriwayatkan tidak pernah menyakiti
seorang pun.
Kaum sufi
menerapkan perilaku lemah lembut dalam lkehidupan pribadi dan publik mereka, atau dalam hubungan mereka dengan
keluarga dan masyarakat.
Dengan
interaksi santun terhadap manusia, mereka berarti cenderung terlibat dalam
masyarakat dan tidak mengucilkan diri dari pergaulan sosial, meskipun harus
bersinggungan dengan sebagian orang yang buruk perangainya[15].
3.
Pemaaf
Kaum sufi
juga menghiasi diri dengan sikap pemaaf, yaitu memaafkan orang yang berbuat
jahat terhadap mereka. Dalam hal ini, mereka terinspirasi oleh Rasulullah SAW.
yang mewartakan bahwa sikap pemaaf termasuk akhlak yang mulia.
Sikap
pemaaf juga mereka aktualisasikan dengan membalas kejahatan orang dengan
berbuat baik kepadanya sebab itulah budi dalam arti yang sesungguhnya,
sedangkan jika tanpa itu maka ia merupakan bentuk interaksi yang mirip dengan
praktik dagang (almutaajarah)[16].
4.
Tobat
Tobat
adalah meminta ampun yang tidak membawa kembali kepada dosa lagi. Langkah
pertama adalah tobat dari dosa kecil dan dosa besar. Tobat yang sebenarnya
dalam dunia tasawuf adalah lupa kepada segala hal kecuali
kepada Allah[17].
5. Zuhud
Zuhud adalah menjauhkan diri dari segala
sesuatu yang berkaitan dengan
dunia. Ini merupakan pendekatan penting dalam tahap
awal perjalanan spiritual[18].
Untuk
memantapkan tobat calon sufi memasuki station zuhud. Zuhud merupakan langkah
awal dalam perjalanan untuk menuju kehidupan seorang sufi.
6. Wara
Wara
yaitu meninggalkan segala sesuatu yang di dalamnya terdapat subhat
(keragu-raguan) tentang halalnya sesuatu. Dalam dunia tasawuf, kalau seseorang
telah mencapai wara, maka tangannya tak bisa diulurkan untuk mengambil yang di
dalamnya terdapat subhat.
7. Kefakir
Kefakiran dalam istilah sufi adalah
tidak meminta lebih daripada apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta
rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban, bahkan tidak meminta
kendatipun tak ada pada diri kita
8. Sabar
Sabar
dalam menjalankan perintah-perintah, dalam menjauhi larangan-larangan dan
menerima musibah, percobaan dan ujian yang ditimpakan-Nya
seraya menunggu datangnya pertolongan Allah.
9. Tawakal
Tawakal
yaitu berserah diri pada Allah. Sikap tawakal kaum sufi ialah menerima
pemberian dengan rasa syukur, kalau tidak dapat apa-apa bersikap sabar dan
menyerah kepada kada dan kadar Allah.
10. Kerelaan
Ridha
atau kerelaan yaitu tidak menentang terhadap kada dan kadar Allah, melainkan
menerima dengan senang hati. Karena itu seorang sufi akan merasa senang baik
ketika menerima nikmat maupun ketika menerima malapetaka.
11. Mahabbah (cinta)
Yang
dimaksud di sini adalah cinta kepada Allah yang ditampilkan dalam
bentuk kepatuhan tanpa reserve, penyerahan diri secara total, dan pengosongan hati dari
segala sesuatu kecuali yang dikasihi, yaitu Allah. Hati yang mahabbah dipenuhi
dengan cinta sehingga tidak ada tempat untuk benci kepada apa dan siapapun. Ia
mencintai Tuhan dan segenap makhluk-Nya.
Al-Asqalani menjelaskan bahwa mahbbah
(cinta kepada Allah) itu dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu[19]:
a. Mahabbah fardhu, yaitu mahabbah
yang mendorong untuk melakukan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya.
b. Mahabbah sunnah, yaitu mahabbah
yang mendorong untuk membiasakan ibadah-ibadah sunnah dan menjauhi
perkara-perkara yang shubhat.
12. Makrifah
Makrifah
berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
Di station ini telah dekat sekali dengan Tuhan, tetapi ia belum puas dengan
berhadapan, ingin lebih dekat lagi dan bersatu
Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan menurut kaum sufi ada tiga macam,
yaitu:
a. Pengetahuan
awam, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan syahadat.
b. Pengetahuan ulama, yaitu Tuhan satu dengan
perantaraan akal.
c. Pengetahuan
sufi, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.
Ciri-ciri
pengetahuan ma’rifat yang diperoleh seorang sufi antara lain[20]:
a. Ilmu itu datang lewat cahaya Ilahi yang mengejawantah
dalam diri manusia, sehingga terbukalah segala hijab yang selama ini menutup,
yang nampak adalah kebenaran Ilahi;
b. Ilmu ini tidak terjangkau oleh rasio, karena ilmu ini
selain tidak rasional juga rasio tidak mampu mengkajinya;
c. Ilmu itu hanya datang pada hati yang telah bersih (qalbun salim), yang hanya diberikan
Tuhan kepada hamba-Nya yang terpilih;
d. Tidak seperti pengetahuan spekulatif yang melahirkan
kata-kata, ilmu ma’rifat bersifat pasti dan haqq
al-yaqin; dan
e. Memiliki kemiripan dengan ilmu pengetahuan Tuhan
karena ia mampu menyingkap rahasia Tuhan.
Melalui
ilmu ini para sufi memperoleh hakikat kesempurnaan ilmu tentang dirinya,
diri-Nya, dan hakikat alam semesta (hakikat makrokosmos dan mikrokosmos), dan
inilah citra sang insan kamil (manusia sempurna) yang diidealkan banyak orang.
13. Al-Fana wal Baqa
Sebelum
seorang sufi bersatu dengan Tuhan, terlebih dahulu ia harus menghancurkan
dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih
sadar akan dirinya, ia tidak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran itu
disebut fana. Penghancuran dalam
istilah sufi selalu diiringi dengan baqa.
Fana yang dicari kaum sufi adalah penghancuran diri, yaitu hancurnya
perasaan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Kalau sufi telah
mencapai fana an nafs, yaitu kalau
wujud jasmaninya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang akan
tinggal adalah wujud rohaninya dan ketika itu ia dapatlah bersama dengan Tuhan.
14. Al-ittihad
Dengan hancurnya kesadaran diri seorang sufi,
tinggallah kesadaran tentang Tuhan, ia pun sampai ke tingkat ittihad, yaitu
satu tingkat tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan
Tuhan. Suatu tingkatan di mana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka memanggil yang lainnya dengan kata-kata: wahai
aku.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Kaum sufi menaruh perhatian besar terhadap perilaku mulia sebab mereka
sangat antusias untuk meneladani
Rasulullah SAW. yang diutus oleh Tuhannya untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia.
2.
Adab-adab kaum sufi dalam peribadatan, di antaranya: shalat, zakat,
puasa, dan haji.
3.
Akhlak-akhlak kaum sufi, di antaranya: tawadhu, al-mudarah (lemah
lembut), pemaaf, tobat, zuhud, wara, kefakir, sabar, tawakal, kerelaan,
mahabbah (cinta), makrifah, al fana wal baqa, dan al-ittihad.
B. Saran
Sufi
adalah orang yang hatinya tulus terhadap Allah. Untuk itu, sudah sepantasnya
kita semua menjadi orang yang memiliki akhlak-akhlak seperti kaum sufi agar
dapat merasakan kehadiran Allah serta merasakan kebahagiaan dunia dan
kebahagiaan akhirat setelah kembali
kepada-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jawi, Syaikh
Muhammad Nawawi Ibnu Umar. Terjemah
Nasha-Ihul ‘Ibad. Surabaya: Gitamedia Press, 2008.
Amstrong,
Amatullah. Khazanah Istilah Sufi: Kunci
Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung: Mizan, 2001.
As, Asmaran. Pengantar Studi
Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Surabaya: Mahkota, 2002.
Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf
Islam dan Akhlak. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013.
Khaliq,
Abdurrahman Abdul dan Ihsan Illahi Zhahir. Pemikiran
Sufisme di Bawah Bayang-bayang Fatamorgana. Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2000.
Said, Usman. Pengantar Ilmu
Tasawuf. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam
Negeri Sumatera Utara: 1983.
Sholikhin, Muhammad. Tasawuf
Aktual Menuju Insan Kamil. Semarang: Pustaka, 2004.
Suryana,
A. Toto dkk. Pendidikan Agama Islam untuk
Perguruan Tinggi. Bandung: Tiga Mutiara, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar