Salam Hidup Penuh Berkah

Senin, 24 Oktober 2016

madrasah diniyah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan meupakan kunci sekaligus pembuka bagi perkembangan suatu bangsa, pendidikan yang maju dan kuat akan mempercepat terjadinya perubahan social.  Namun jika sebaliknya pendidikan suatu bangsa mengalami kemunduran maka sudah dipastikan akan kontra produktif terhadap jalannya proses perubahan social suatu bangsa dan justru akan menimbulkan ketidak harmonisan tatanan social.
Dampak globalisasi sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang mau tak mau telah memberi pengaruh dan merubah peradaban dunia. Demikian pula keterbukaan terhadap arus informasi yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan telah memberikan dampak terhadap lingkungan, begitu mudahnya terakses dan dikomsumsi oleh masyarakat kita. Kecenderungan seperti itu harus diantisipasi oleh dunia pendidikan terutama madrasah diniayah, jika ingin menempatkan pendidikan pada visi sebagai agen pembangunan dan perkembangan yang tidak ketingalan zaman.
Dalam konteks ini pendidikan seperti yang dinyatakan oleh Amir Faisal, pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang tidak sekedar menerima arus informasi global, tetapi harus memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengolah, menyesuaikan, dan mengembangkan apa yang ditrima melalui arus informasi itu, yaitu manusia yang kreatif dan produktif. Manusia yang kreatif dan produktif inilah yang menurut Mochtar Buchori yang harus dijadikan visi pendidikan termasuk pendidikan Islam karena manusia yang demikianlah yang didambakan kehadiranya baik secara individual, social maupun nasional. Dan disinilah madrasah diniyah harus mampu mencetak manusia-manusia yang kretaif dan produktif yang mampu memberikan warna dalam masyarakatnya, serta tidak ikut terbawa oleh arus global tapi mampu mengambil kemanfatan untuk dirinya dan orang lain.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah madrasah?
2.      apa pengertian madrasah diniyah?
3.      Bagaimana sejarah perkembangan madrasah diniyah di Indonesia?
4.      Bagaimana tingkatan dalam madrasah diniyah?
5.      Bagaimana potensi dan kelebihan madrasah diniyah?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui sejarah madrasah.
2.      Untuk mengetahui pengertian madrasah diniyah.
3.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan madrasah diniyah di Indonesia.
4.      Untuk mengetahui tingkatan dalam madrasah diniyah.
5.      Untuk mengetahui potensi dan kelebihan madrasah diniyah.
D.    Manfaaat Penulisan
Dapat menambah wawasan kita dalam bidang ilmu pemikiran pendidikan islam khususnya dalam hal madrasah diniyah.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Madrasah
Madrasah sebagai lembaga pendidikan dalam bentuk pendidikan formal sudah dikenal sejak awal abad ke-11 atau 12 M, atau abad ke 5-6 H, yaitu sejak dikenal adanya Madrasah Nidzamiyah yang didirikan di Baghdad oleh Nizam Al-Mulk, seorang wazir dari Dinasti Saljuk. Pendirian Madarasah ini telah memperkaya khasanah lembaga pendidikan dilingkungan masyarakat Islam, karena pada masa sebelumnya masyarakat Islam hanya mengenal pendidikan tradisional yang diselenggarakan di masjid-masjid dan dar al-khuttab. Di Timur Tengah institusi madrasah berkembang untuk menyelenggarakan pendidikan keislaman tingkat lanjut (advance/tinggi), yaitu melayani mereka yang masih haus ilmu sesudah sekian lama menimbanya dengan belajar di masjid-masjid dan/atau dar al-khuttab. Dengan demikian, pertumbuhan madrasah sepenuhnya merupakan perkembangan lanjut dan alamiah dari dinamika internal yang tumbuh dari dalam masyarakat Islam sendiri.
di Indonesia, keadaan tidak demikian. Madrasah merupakan fenomena modern yang muncul pada awal abad ke-20. Berbeda dengan di timur Tengah di mana madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pelajaran ilmu agama tingkat lanjut, sebutan madrasah di Indonesia mengacu kepada lembaga pendidikan yang memberikan pelajaran agama Islam tingkat rendah dan menengah. perkembangannya diperkirakan lebih merupakan reaksi terhadap faktor-faktor yang berkembang dari luar lembaga pendidikan yang secara tradisional sudah ada, terutama munculnya pendidikan modern Barat. Dengan perkataan lain, tumbuhnya madrasah di Indonesia adalah hasil tarik menarik antara pesantren sebagai lembaga pendidikan asli (indegenus culture/tradisional) yang sudah ada di satu sisi, dengan pendidikan Barat (modern) di sisi lain.
Apabila ditelusuri sejarah masuknya agama Islam di Indonesia, maka agama Islam datang ke Indonesia dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat, disiarkan secara damai tanpa paksaan, kekerasan atau perang. Dalam penyiaran Islam pada tahun-tahun permulaan dilakukan oleh pemuka masyarakat yang dikenal dengan sebutan para wali. Para wali inilah yang berjasa mengembangkan agama Islam, terutama di Pulau Jawa, yang dikenal dengan sebutan wali songo.
Para wali menyiarkan Islam dengan cara bijaksana, kebiasaan yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat tidak sepenuhnya dihilangkan, bahkan adat istiadat dan kebiasaan itu dilindungi dan dikembangkan, disesuaikan dan diisi dengan agama Islam. Karena itu maka tidak heran apabila sampai sekarang kita masih melihat adanya adat istiadat nenek moyang yang masih melekat pada umat Islam.
Orang-orang yang kemudian masuk Islam ingin mempelajari dan mengetahui lebih lanjut tentang ajaran Islam, orang ingin bisa mengerjakan sembahyang, bisa berdoa, bisa membaca Al-Qur’an. Dari sinilah mulai tumbuh pendidikan agama Islam, pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah, di langgar, di mesjid dan kemudian berkembang menjadi Pondok Pesantren.
dalam perkembangan selanjutnya lembaga pesantren ini mendapatkan perhatian para sultan, sesuai dengan kedudukan tinggi para wali di mata sultan, tidak sedikit pesantren yang mendapatkan perhatian dan bantuan dari sultan. Contohnya nama Tegalsari yang merupakan hadiah sultan kepada kyai atas jasa-jasanya. Pondok Pesantren Tegalsari sampai abad ke-19 merupakan pondok terkemuka di Jawa, bahkan santrinya banyak yang berasal dari Sumatera, Kalimantan dan lain-lain.
sebagai pembuktian sejarah dapat disebutkan di sini bahwa pada waktu serombongan kapal laut yang berbendera Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman mendarat di Pulau Jawa pada tahun 1596, mereka melihat kenyataan bahwa di Pulau ini terdapat perguruan rakyat yang telah dipengaruhi oleh paham agama, yaitu Hindu dan Islam. Perguruan semacam itu tetap bertahan dan dalam perkembangan sejarah yang panjang, kemudian dikenal denga sebutan Pesantren atau Pondok Pesantren.
Zainuddin Labay dapat disebut sebagai tokoh pertama yang pada tanggal 10 Oktober 1915 mendirikan lembaga pendidikan Islam (Madrasah) di Padang Panjang. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa pada tahun itu pula berdirilah madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang pertama di Jawa Tengah yang bernama Madrasah Muawanatul Muslimin Kenepan (M3K) di Kudus yang didirikan tanggal 7 Juli 1915, lama pelajarannya 8 tahun terdidri dari kelas 9. kelas 1 A, kelas 1 B, kemudian kelas 2 sampai kelas 6. mata pelajarannya terdiri dari pelajaran agama dan pengetahuan umum.






B.     Pengertian Madrasah Diniyah
Madrash Diniyah adalah satu lembaga pendidikan keagamaan pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara terus menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan melalui system klasikal serta menerapkan jenjang pendidikan.
Madrasah Diniyah adalah madrasah-madrasah yang seluruh mata pelajaranya bermaterikan ilmu-ilmu agama, yaitu fiqih, tafsir, tauhid dan ilmu-ilmu agama lainya. Dengan materi agama yang demikian padat dan lengkap, maka memungkinkan para santri yang belajar didalamnya lebih baik penguasaanya terhadap ilmu-ilmu agama.
Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal dalam pengetahuan agama Islam kepada pelajar bersama-sama sedikitnya berjumlah 10 orang atau lebih, diantaranya anak-anak yang berusia 7 (tujuh) sampai 18 (delapan belas) tahun.
Madrasah Diniyah merupakan bagaian dari sitem pendidikan formal pesantren. Madrasah Diniyah ini menjadi pendukung dan melengkapi kekurangan yang ada dalam system pendidikan formal pesantren, sehingga antara pendidikan pesantren dan pendidikan diniyah saling terkait.
Posisi Madrasah Diniyah adalah sebagai penambah dan pelengkap dari sekolah pendidikan formal yang dirasa pendidikan agama yang diberikan disekolah formal hanya sekitar 2 jam dirasa belum cukup untuk menyiapkan keberagaman anaknya sampai ketingkat yang memadai untuk mengarungi kehidupanya kelak.
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Madrasah Diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan pada jalur non formal, dan merupakan jalur formal di pendidikan pesantren yang mengunakan metode klasikal dengan seluruh mata pelajaran yang bermaterikan agama yang sedemikian padat dan lengkap sehingga memungkinkan para santri yang belajar didalamnya lebih baik penguasaanya terhadap ilmu-ilmu agama.


















C.    Sejarah Perkembangan Madrasah Diniyah
Sejarah Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab, dengan metode yang dikenalkan (terutama di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah. Tempat belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang masjid atau tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut: surau, dayah, meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.
Perubahan kelembagaan paling penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang didirikannya di berbagai wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem klasikal seperti rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya, terutama yang mayoritas penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah formal yang berada pada jalur sekolah sekarang. Meskipun sulit untuk memastikan kapan madrasah didirikan dan madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) mengakui bahwa setelah Indonesia merdeka sebagian besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang berkembang menjadi mad-rasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). Dengan perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah pembinaan Departemen Agama.
Meskipun demikian tercatat masih banyak pula madrasah diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang semula, meskipun dengan status sebagai pendidikan keagamaan luar sekolah. Pada masa yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1964, tumbuh pula madrasah-madrasah diniyah tipe baru, sebagai pendidikan tambahan berjenjang bagi murid-murid sekolah umum. Madrasah diniyah itu diatur mengikuti tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah umum, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah untuk murid Sekolah Dasar, Wustha untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan ‘Ulya untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Madrasah diniyah dalam hal itu dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan klasikal jalur luar sekolah bagi murid-murid sekolah umum. Data EMIS (yang harus diperlakukan sebagai data sementara karena ketepatan-nya dapat dipersoalkan) mencatat jumlah madrasah diniyah di Indonesia pada tahun ajaran 2005/2006 seluruhnya 15.579 buah dengan jumlah murid 1.750.010 orang.
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.
Keberadaan peraturan perundangan tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.
Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini merupakan kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan yang diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal di pagi hari. Keempat, pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.



D.    Tingkatan dalam Madrasah Diniyah
1.      Madrasah Diniyah Awaliyah.
Yaitu satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarkan pendidikan agama Islan tingkat dasar ,dengan masa belajar 4 tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu.
2.      Madrasah Diniyah Wustha.
Yaitu satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarkan pendidikan agama Islam tingkat menengah pertama sebagai pengembangan yang diperoleh pada madrasah diniyah awaliyah  dengan masa belajar 2 tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu.
3.      Madrasah Diniyah Ulya.
Yaitu satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarkan pendidikan agama Islam tingkat menengah atas  sebagai pengembangan yang diperoleh pada madrasah diniyah wustha  dengan masa belajar 2 tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu








E.     Potensi dan Kelemahan Madrasah Diniyah
1.      Potensi Madrasah Diniyah.
Pada dasarnya, potensi yang ada pada Madrasah Diniyah tidak jauh berbeda dengan potensi pondok pesantren, karena kedua bentuk satuan pendidikan ini sama-sama lembaga pendidikan yang lahir, tumbuh, dan berkembang ditengah-itengah masyarakat, dan dilatar belakangi oleh kebutuhan masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan murni diselenggarakan oleh swasta.
Kekuatan utama Madrasah Diniyah adalah kekennyalannya menghadapi permasalahan yang timbul. Meskipun dengan kondisi yang serba kekurangan, madrasah diniyah ini terus berkembang. Kekuatan lain yang dimiliki Madrasah Diniyah adalah keabsahannya memilih pola, pendekatan, bahkan sistem pembelajaran yang dipergunakan, tanpa terikat dengan model-model tertentu.
Eksistensi madrasah semakin dibutuhkan tatkala ‘jebolan’ pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal ternyata kurang mampu dalam penguasaan ilmu agama. Dengan kenyataan itu maka keberadaan Madrasah Diniyah, sebagai penopang dan pendukung pendidikan formal yang ada. Selain itu diharapkan dapat mendukung pengembangan madrasah diniyah dimasa-masa mendatang. .Hal ini tampak dari semakin semaraknya kehidupan beragama, seperti terekam dalam beberapa media masa, baik media cetak maupun media elektronika.

2.      Kelemahan- Kelemahan Madrasah Diniyah
Sebagai lembaga pendidikan baik itu formal maupun non formal, pasti mempunyai kelemahan-kelemahan. Meskipun Madrasah Diniyah dan siswanya semakin meningkat dari tahun-ketahun sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang berbasis pada mayarakat ini tidak berkembang dengan optimal. Sebagian besar diniyah adalah lembaga pendidikan yang melayani lapisan masyarakat yang lemah atau mereka yang membutuhkan nilai lebih dari agama. Hal ini disatu sisi menempatkan diniyah sebagai penyelamat bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya terhadap pendidikan agama,  tapi di sisi lain berkembang dengan manajemen dan sumber daya pendidikan (SDM, sarana prasarana, pembiayaan,) yang lemah dan pada akhirnya berdampak pada rendahnya kualitas hasil pendidikan dan jaminan kelangsungan hidupnya. Banyak Madrasah Diniyah yang saat didirikan cukup baik perkembangannya, namun karena keterbatasan sumber daya pendidikan akhirnya mengalami penurunan.
Permasalahan pokok lain, walaupun diniyah merupakan lembaga pendidikan secara historis merupakan bagian penting dalam usaha pencerdasan rakyat, dirasakan perhatian negara dan pemerintah masih rendah. Hal ini tidak saja tampak dalam ketidak jelasan kedudukan dan pengakuan lulusan Madrasah Diniyah dalam sistem perundang-undangan tentang pendidikan nasional, tetapi juga tampak dalam substansi pelayanan/pembinaan.
Kelemahan lain yang ada pada madrasah diniyah adalah sistem pendidikan yang dimiliki lebih banyak terkesan ‘ala kadarnya’. Ada banyak langkah yang bisa ditempuh untuk mewujudkan model pendidikan yang ideal, antara lain: 
a.       Integralisasi sistem pendidikan Madrasah Diniyah ke dalam sistem pendidikan formal pesantren.
b.      Penerapan menejemen pendidikan secara benar dalam Madrasah Diniyah
c.       Sistem pembelajaran yang dilaksanakan harus mengacu kepada pola pembelajaran yang terpola dan berpedoman kepada ‘kurikulum’. 
d.      Melengkapi Madrasah Diniyah dengan media pendidikan yang sesuai.















BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Zainuddin Labay dapat disebut sebagai tokoh pertama yang pada tanggal 10 Oktober 1915 mendirikan lembaga pendidikan Islam (Madrasah) di Padang Panjang.
2.      Madrasah diniyah adalah madrasah yang diselenggarakan di luar bangku pendidikan formal.
3.      Perkembangan madrasah Diniyah di Indonesia mengalami peningkatan.
4.      Tingkatan madrasah Diniyah antara lain, awaliyah, wusta dan ulya.
5.      Potesi dan Kelemahan Madrasah diniyah di berbagai segi isi pendidikan maupun saran dan prasana pendidikan yang kurang memadai.
B.     Saran
Demikianlah makalah ini kami buat kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan untuk itu kami mengharap masukan dan sarannya untuk menjadikan makalah ini seperti yang kami dan teman-teman harapkan sehingga dapat diambil manfaatnya bagi kita semua amin.







DAFTAR PUSTAKA
digilib.uinsby.ac.id/10841/5/bab%202.pdf.  2013.
http://didingnurarifin.blogspot.co.id/2015/03/pengertian-madrasah-diniyah.html
http://kuliyyatul.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-madrasah-diniyah.html
http://pai-5d.blogspot.co.id/2010/10/potensi-madrasah-diniyyah-di-era-modern.html
http://sangit26.blogspot.co.id/2011/07/pemahaman-dan-permasalahan-madrasah.html
Shaleh Rachman Abdul. Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa. Ed. 1; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar