BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mengingat bahwa urf
adalah adat kebiasaan mengenai apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat
dan dijalankan terus-menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan, diharapka
agar masyarakat mampu menyaring ajaran-ajaran yang dapat bermanfaat dan meninggalakan
yang dapat menimbulkan efek buruk.
Hukum-hukum yang berdasarkan ‘urf
itu sendiri dapat berubah menurut perubahan ‘urf pada suatu masa atau perubahan
lingkungan. Oleh para fuqaha’ mengatakan mengenai perbedaan-perbedaan yang
timbul dalam masalah fiqh, merupakan perbedaan yang terjadi disebabkan
perbedaan ‘urf, bukannya perbedaan hujjah atau dalil yang lainnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Urf?
2.
Apa Pembagian Urf?
3.
Bagaimana Kedudukan atau Kehujjahan
Urf?
4.
Apa Syarat-Syarat urf?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian urf.
2.
Untuk mengetahui pembagian urf.
3.
Untuk mengetahui kedudukan dan
kehujjahan urf.
4.
Untuk mengetahui syarat-syarat urf.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Urf
Secara etimologi Kata ‘Urf berarti
“sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara
terminologi seperti yang dikemukkan oleh Abdul-Karim Zaidan,istilahn ‘urf
berarti:
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat
karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa
perbuatan maupun perkataan”
Istilah ‘Urf dalam pengertian
tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah(adad istiadat).
Para ulama ushul fiqih membedakan
antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu
dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefenisikan dengan:
“sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tampa
adanya hubungan rasional”
Defenisi ini menujukkan bahwa
apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulan-ulang menurut hukun akal,
tidak dinamakan adat. Defenisi ini juga menujukkan bahwa adat itu mencakup
persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti
kebiasaan seseorang dalam tidur, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu
atau permasalahan yang menyangkut banyak orang yaitu sesuatu yang berkaitan dengan
hasil pemikiran yang baik dan yang buruk.
Adapun ‘urf menurut ulama ushul
fiqih adalah:
“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau
perbuatan”
Berdasarkan defenisi ini, Mushthafa
Ahmad al-Zarqa’ (guru besar Fiqih Islam Unifersitas’ ‘Amman ,Jordania)
mengatakan bahwa ‘urf merupakan baigian dari adat, karena adat lebih umum dari
‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku kepada kebanyakan orang didaerah
tertentu bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan
alami sebagai mana yang berlaku dalam kebanyakan adat tapi muncul dari sesuatu
pemikiran dan pengalaman.
Jadi urf atau adat kebiasaan adalah
apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus-menerus baik
berupa perkataan maupun perbuatan.
B. Pembagian ‘Urf
Dilihat
dari segi obyeknya, urf dibagi dua, yaitu urf lafzhi dan urf amali.
1.
Urf lafzhil
qauli ialah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafaz tertentu dalam
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dipikiran masyarakat. Seperti kebiasaan masayarakat Arab menggunakan
kata “walad” untuk anak laki-laki. Padahal, menurut makna aslinya kata itu
berarti anak laki-laki dan anak perempuan. Demikian juga kebiasaan mereka
menggunakan kata “lahm” untuk daging binatang darat, padahal al-Qur’an
menggunakan kata itu untuk semua jenis daging, termasuk daging ikan,
menggunakan kata “dabbah” untuk binatang berkaki empat, padahal kata ini
menurut aslinya mencakup semua binatang yang melata.
2.
Urf amalai ialah
kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah
keperdataan. Seperti kebiasaan masyarakat melakukan jual beli dengan tanpa
akad, kebiasaan sewa kamar mandi tanpa dibatasi waktu dan jumlah air yang
digunakan, kebiasaan sewa menyewa prabot rumah, penyajian hidangan bagi tamu
untuk dimakan, mengunjungi tempat-tempat rekreasi pada hari libur, kebiasaan
masyarakat memebri kado pada acara ulang tahun, dll.
Dari
cakupannya urf dibagi dua, yaitu urf amm dan urf khash
1.
Urf amm adalah
kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan seluruh
daerah. Contoh urf amm yang berbentuk perbuatan misalnya dalam jual beli mobil,
seluruh alat yang diperlukan dalam memperbaiki mobil, seperti kunci, tang,
dongkrak dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad tresendiri dan
biaya tambahan. Yang berupa ucapan misalnya pemakaian atau pemaknaan kata
“thalaq” untuk lepasnya ikatan perkawinan dll.
2.
Urf khas ialah
kebiasaan yang berlaku di daerah dn masyarakat tertentu, seperti kebiasaan
masyarakat Jawa merayakan lebaran ketupat, sekatenan, atau kebiasaan masyarakat
Bengkulu merayakan tabot pada ulan Muharram. Demikian juga kebiasaan yang
berlaku dibidang pekerjaan dan profesi tertentu, seperti kebiasaan
dikalanganpengacara hukum bahwa jasa pembelaan hukum yang dilakukannya harus
dibayar dahulu sebagian oleh kliennya dan kebiasaan mencicip buah tertentu bagi
calon pembeli untuk mengetahui rasanya. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa seperti
dikutip Haroen, bahwa urf khas ini tidak tehitung jumlahnya dan senantiasa
berkembang sesuai situasi dan kondisi masyarakat.
Dilihat
dari segi diterima atau ditolaknya urf dibagi dua yaitu:
1.
‘Urf shahih
adalah sesuatu yang telah saling dikenal manusia dantidak bertentangan dengan
dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang
wajib. Seperti tentang sesuatu yang telah diberikan seorang pelamar (calon
suami) kepada calon istri, berupa perhiasan, pakaian, atau apa saja, dianggap
sebagai hadiah dan bukan merupakan sebagian dari mahar.
2.
Urf fasid yaitu
sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara’,
atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. Seperti mengadaka
sesajian. Atau seperti kebiasaan para pedagang mengurangi timbangan.
Hukum urf yang shahih harus dipelihara dan dilestarikan
sebagai bagian dari hukum Islam. Sedangkan urf fasid harus ditinggalkan karena
bertentangan dengan dalil dan semangat hukum Islam dalam membina masyarakat.
C. Kedudukan atau Kehujjahannya
Sebagaimana yang telah dinyatakan
bahwa ‘urf yang dapat dijadikan sumber hukum atau dalil dalam Islam adalah ‘urf
yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Adapun kehujjahan ‘urf
sebagai dalil didasarkan atas alasan-alasan berikut ini:
Firman Allah dalam surat Al-A’raf (7): 199
Artinya: Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang
bodoh.
Dalam ayat di atas Allah SWT
memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Ma’ruf itu sendiri
ialah yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan
berulang-ulang dan yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Ucapan sahabat Rasulullah saw., Abdullah bin Mas’ud
berkata:
فَمَا رَآهُ
المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ
حَسَنٌ وَ مَا رَآه المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا
فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيْءٌ
“Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum
muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang dinilai buruk oleh kaum
muslimin adalah buruk di sisi Allah.”
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di
atas, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasan baik yang berlaku di dalam
masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam, merupakan
sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu, kebiasaan semacam itu
patut untuk dijaga dan dipelihara.
Dengan demikian, ulama merumuskan
kaidah hukum yang berkaitan dengan ‘urf antara lain sebagai berikut :
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat menjadi
hukum.”
الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ ثَابِتٌ
بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ
“Yang berlaku berdasarkan ‘urf,
(seperti) berlaku berdasarkan dalil syara.”
كُلُّ مَا
وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلاَ ضَابِطَ
لَهُ فِيْهِ وَلاَ فِى اللُّغَةِ يَرْجِعُ فِيْهِ
إِلَى العُرْفِ
“Semua ketentuan syara’ yang bersifat mutlak dan tidak
ada pembatasan di dalamnya dan tidak juga terdapat batasan di segi bahasanya,
maka dirujuk kepada ‘urf.”
Oleh ulama Hanafiyyah, ‘urf
itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs yang tidak ditemukannya ‘illah
secara jelas) dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti ‘urf
itu men-takhshîs nash yang umum. Ulama Malikiyyah juga demikian, menjadikan
‘urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam
menetapkan hukum.Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal
yang tidak menemukan ketentuan batasan dalamsyara` maupun dalam penggunaan
bahasa. Berikut ini beberapa contoh penerapan ‘urf dalam hukum Islam:
Pendapat ulama hanafiyyah yang
menyatakan bahwa sesorang yang bersumpah tidak akan makan daging, kemudian dia
makan ikan maka tidaklah dianggap sesorang itu melanggar sumpahnya. Karena
berdasarkan kebiasaan ‘urf, kata daging (لَحْمٌ) tidak diartikan dengan kata ikan (سَمَكٌ).
Adapun contoh lainnya dalam
penggunaan ‘urf yaitu tentang usia seseorang itu dikatakan baligh, tentang
ukuran sedikit banyaknya najis yang dima’afkan, atau tentang ukuran timbangan
yang belum dikenal pada masa Rasulullah saw. dan masih banyak contoh yang
lainnya berkenaan masalah ‘urf.
D. Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama Ushul menyatakan bahwa sutau ‘urf
baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’
apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:
1.
‘Urf itu harus berlaku secara
umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh
mayoritas masyarakat tersebut, baik itu ‘urf dalam bentuk praktek,
perkataan, umum dan khusus.
2.
‘Urf itu memang telah
memasyarakat sebelumnya.
3.
‘Urf tidak bertentangan
dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Seperti apabila
dalam suatu transaksi dikatakan secara jelas bahwa si pembeli akan membayar
uang kirim barang, sementara ‘urf yang berlaku adalah si penjuallah yang
menanggung ongkos kirim, maka dalam kasus seperti ‘urf tidak berlaku.
4.
‘Urf tidak bertentang dengan
nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash tersebut tidak bisa
diterapkan. ‘Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena
kehujjahan ‘urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang
mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.
Beberapa Kaidah-Kaidah Fiqih
Tentang ‘Urf
Ada beberapa kaidah Fikhiyyah yang
menurut kami berhubungan dengan ‘urf. di antaranya adalah:
1.
Adat itu adalah hukum (محكمة )العادة
2.
Apa yang ditetapkan oleh syara’
secara umum tidak ada ketentuan yang rinci di dalamnya dan juga tidak ada dalam
bahasa maka ia dikembalikan kepada ‘urf
( ما ورد به الشرع
مطلقا و لا ضابط له
فيه و لا فى اللغة
يرجع فيه إلى العرف).
Abdul Hamid Hakim mendasarkan dua
kaidah atas ayat:
و أمر
بالعرف و اعرض عن الجاهلين (الأعراف 199)
Suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah dari orang bodoh.
3.
Tidak dingkari bahwa perubahan hukum
disebabkan oleh perubahan zaman dan tempat (لا ينكر تغير الأحكام
بتغير الأزمنة و الأمكنة)
4.
Yang baik itu jadi ‘urf
seperti yang disyaratkan jadi syarat (المعروف عرفا كالمشروط شرطا)
5.
Yang ditetapkan melalui ‘urf
seperti yang ditetapkan melalui nash
(الثابت بالعرف كالثابت بالناص)
Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah
seperti hukum yang dietapkan melalui Alquran dan Sunnah akan tetapi hukum yang
ditetapkan melalui ‘urf itu sendiri
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Urf atau
adat kebiasaan adalah apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan
dijalankan terus-menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan.
2. Dilihat
dari segi obyeknya, urf dibagi dua, yaitu urf lafzhi dan urf amali. Dari
cakupannya urf dibagi dua, yaitu urf amm dan urf khash. Dilihat dari segi diterima
atau ditolaknya urf dibagi dua yaitu urf shahih dan urf fasid.
3. Urf yang
dapat dijadikan sumber hukum atau dalil dalam Islam adalah ‘urf yang tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
4.
Para ulama Ushul menyatakan bahwa
sutau ‘urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum Syara’ apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:
a. ‘Urf
itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan
keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
b.
‘Urf itu memang telah
memasyarakat sebelumnya.
c. ‘Urf
tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi.
d. ‘Urf
tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash
tersebut tidak bisa diterapkan.
B. Saran
Dengan terselesainya
makalah ini diharapkan masyarakat mampu membedakan mana adat atau kebiasaan
yang perlu dipertahankan dan mana yang perlu ditinggalkan, diharapkan pula agar
masyarakat mengetahui nilai-nilai pendidikan yang dapat diambil dari makalah
ini. Serta diharapkan pula partisipasi yang baik dari masyarakat demi
terciptanya lingkungan yang beradat dan harmonis.
DAFTAR
PUSTAKA
Suwarjin.
Ushul Fiqih; Yogyakarta: Teras, 2012.
Syafe’i,
Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih; Bandung:
Redaksi Pustaka Setia, 2010.
Yahya,
Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami; Yogyakarta: Al- Ma’rif,
1986.
http://suhendarsyahalfian.blogspot.com/2013/04/urf-sebagai-sumber-dan-dalil-hukum-islam_23.html.
(Senin, 27 Oktober).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar