Salam Hidup Penuh Berkah

Selasa, 10 November 2015

makalah: istishab

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Dalam menetapkan hukum yang tidak ada nasnya dalam al-qur’an dan as sunnah para ahli megerahkan segenap kemampuan nalarnya untuk menetapkan suatu hukum yang disebut ijtihad. Dalam berijtihad para mujtahid itu merumuskan cara atu metode dalam berijtihad. Ada ijtihad hasil rumusan mujtahid diantaranya istishan, maslahah murasalah, istishab, urf, saddu zara’i, mashab sahabat dan syar’u man qablana.
Dari sekian banyak metode atau cara ijtihad yang dikemukakan tidak semuanya disepakati penggunaannya oleh ulama. Dalam berijtihad sering kali hasil ijtihad mereka berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalm berijtihad.
Dengan metode-metode tersebut para ulama banyak mengemukakan kaedah-kaedah ushul untuk mempermudah menemukan hukum yang tidak ada nasnya dalam al-qur’an dan hadis.
B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian istishab?
2.      Bagaimana pembagian istishab?
3.      Bagaimana kedudukan istishab?


C.      Tujuan
Dari rumusan masalah dapat diketahui bahwa tujuan dari penulisan adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui pengertian istishab
2.      Mengetahuai bagian-bagian istishab
3.      Mengetahui kedudukan istishab
D.      Manfaat Penulisan
Makalah ini bermanfaat untuk memahami lebih lanjut tentang istishab, bagaimana contoh istishab dan bagaimana menerapakan istishab itu dalam kehidupan sehari-hari.







BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Istishab
Al-Istishab pada sudut bahasa ialah : bersahabat, bersama, tuntut persahabatan atau senan tiasa seiring. Sedangkan secara istilah adalah dalil yang menilai tetapnya suatu perkara selagi tidak ada sesuatu mengubahnya. Arti kata lain, ketetapan pada masa lalu berdasarkan hukum asal terus menerus berlaku untuk masa kini dan akan datang.
Istishab adalah penetapan hukum berdasarkan atas argumen ketiadaan dalil/ indikasi  yang menunjukkan tidak adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada berdasarkan suatu dalil atau indikasi. Demikian definisi yang dikemukakan oleh Syihabuddin al-Zanjani.
Istishab adalah penetapan hukum berdasarkan adanya sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian definisi yang dikemukakan oleh al-Asnawi.[1]
Ibnu Hazm mendefinisikan Istishab dengan tetap berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash sampai ada dalil baru yang merubahnya.
Misalnya telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan peremouang B, kemudian mereka berpisah dan berada ditempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu, maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini  berdasarkan istishab B belum dapat kawin dengan laki-laki C karena ia masih terikatat perkawinan dengan A.[2]


Contoh lain, apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih mempunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus dijadikan patokan.[3]
Istishab pada hakikatnya tidaklah menetapkan hukum baru, tetapi hanya melestarikan atau mempertahankan hukum yang sudah ada agar tetap berlaku sampai ada dalil yang merubahnya. Karen aitu istishab sesungguhnya bukanlah dalil atau sumber hukum islam, namun hanya merupakan indikator tetep berlakunya hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil syar’i. Karena itu, istishab hanya boleh digunakan dalam satu maslah tidak ditemukan dalil yang khusus.[4]

B.       Pembagian Istishab
Dari segi dasar pengambilannya Istishab dapat dikelompokkan kepada dua macam, yaitu:
1.        Istishab berdasarkan hukum akal dalam hal ibahah atau baraah asliyah. Ini terkait dengan prinsip bahwa segala sesuatu dimuka bumi ini pada dasarnya adalah halal, sampai ada dalil yang mengharamkannya atau melarangnya. Contoh ibahah misalnya, setiap makanan dan minuman yang tidak ditunjuk oleh dalil yag mengharamkannya adalah mubah. Sebab Allah menciptakan segala yang di bumi ini untuk manusia, berdasarkan penegasan Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 29  
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Contoh bara’ah ashliyah adalah jika dua orang melakukan perjanjian kerjasama satu pihak sebagai pemodal (shahib al-mal) dan pihak yang lain sebagai pekerja, (mudharib), jika mudharib mengklaim bahwa usahnya belum mendatangkan keuntungan, sementara shahib al- malnya mengklaim sebaliknya, maka berdasarkan bara’ah asliyah klaim mudharib yang dimenangkan, sampai ada bukti bahwa usahnya benar-benar untung.
2.        Istishab berdasarkan hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalilpun yang merubahnya. Misalnya jika seseorang sudah dalam keadaan suci, maka ia diperbolehakan melakukan shalat. Jika pada waktu berikutnya ia ragu apaka sudah batal ataukah masih suci, maka orang tersebut tetap dihukumi suci, sampai ada bukti bhwa yang bersangkutan sudah bartal wudhunya. Ini berdasarkan pada QS. Al Maidah: 6.[5]
C.      Kedudukan Istishab
Apakah istishab dapat dijadikan hujjah syariyyah dalam struktur hukum Islam? Pandangan para ulama mengenai kedudukan istishab ini terbelah dua kelompok: kubu penerima (pro) dan kubu penolak (kontra). Masing-masing mengetengahkan argumentasinya.
Kubu penerima (pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafiiyyah, antara lain al Muzani, al-Shairafi dan al-Gazali. Mereka berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah syariiyyah atau dalil bagi struktur hukum Islam.
Kubu penolak (kontara) yang dipelopori oleh mayoritas ulama hanafiyyah. Berpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadikan hujjah syariyyah. Akan tetapi, ada juga ulama dari kalangan kubu ini yang menolak istishab diposisikan sebagi hujjah syariyyah ketika melakukan tarjih.
Kubu peneriam (pro) mengajukan aurgumentasi sebagia berikut:
a.         Telah nyata terjadi ijma mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih mempunyai wudhu dan boleh shalat. Denagan demikian, keadaan awal (semula) harus dijadikan patokan, kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku, kalau belum wudhu, keadaan ini yang berlaku. Sekiranya tidak demikian cara menetapkan, tentu akan bertentangan dengan ijma tersebut. Cara menetapakn hukum sepertidemikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.        Aturan-aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah juga berlaku bagi kita yang hidup sesuadah masa beliau. Jadi, kita juga terkena aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku tetap diakuai ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat adanya keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak ditaqlifkan kepada kita karena ada kemungkinan aturan tersebut telah dinasakh. Padahal, kemungkinan adanya nasakh setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakun. Selain itu, hal tersebut termasuk tarjih dan murajjih.
c.         Keadaan ragu yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap perempuan itu ataukah tidak. Keadaan ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimpilikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap seorang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) itu ragu apakah telah mentalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (ketiadaan akad) sebelum timbul keraguan, sedangkan pada kasusu yang kedua terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (eksisnya akad) sebelum timbul keraguan, sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan keterusberlakuan, tentu hukum kedua kasus itu sama, seia sekata, yakni haram bersetubuh atau kebolehan bersetubuh, dan ini jelas tidak logis sama sekali.
Kubu penolak (kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut
a.         Telah ada ijma bahwa keterangan/bukti yang bersifat menetapakan harus diprioritaskan daripada keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya yang menjadi kaedah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan kaedah pokok tersebut harus lebih layak diprioritaskan.
b.        Eksisnya hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil dan penetapah hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesia-siaan. Oleh karena itu istishab bukanlah hujjah syariyyah.
c.         Dalam fiqh mazhab syafi’i, tindakan membayar kaffarah adalah dengan cara memerdekakan budak yang hilang tidaklah sah secara syar’i dan sekiranya yang menjadi kaedah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu, tentu tidaklah membayar kaffarah yang demikian itu sah hukumnya.[6]


BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.        Pengertian istishab yaitu: Al-Istishab pada sudut bahasa ialah : bersahabat, bersama, tuntut persahabatan atau senan tiasa seiring. Sedangkan secara istilah adalah dalil yang menilai tetapnya suatu perkara selagi tidak ada sesuatu mengubahnya. Arti kata lain, ketetapan pada masa lalu berdasarkan hukum asal terus menerus berlaku untuk masa kini dan akan datang.
2.        Pembagian istishab: Istishab berdasarkan hukum akal dalam hal ibahah atau baraah asliyah dan Istishab berdasarkan hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalilpun yang merubahnya
3.        Kedudukan istishab ada pro dan kontra.
Kubu penerima (pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafiiyyah, kubu penolak (kontara) yang dipelopori oleh mayoritas ulama hanafiyyah.
B.       Saran
Dengan terselesaikannya makalah ini kita dapat memahami istishab dan dengan pemahaman tersebut kita dapat mengerti lebih tentang islam.
Kita hidup dizaman modern ini tentu masih banyak hal yang terjadi disekitar kita yang kita tidak tahu tentang dasar hukumnya. Maka dari itu pelajarilah islam, karena dengan Islam kita tidak akan ketinggalan zaman dan insya Allah akan selamat dunia dan akhirat.

DAFTAR PUSTAKA
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqih. Cet. I; Jakarta: Amzah, 2011.
Suwarjin. Ushul Fiqih.  Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2012.





       [1] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2011) h. 152
       [2] Suwarjin, Ushul Fiqih,  (Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2012) h. 165 
       [3] Asmawi, Op. Cit, h. 153
       [4] Suwarjin, Op. Cit, h. 166
       [5] Ibid, h. 168
       [6] Op. Cit, h. 153-155 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar