BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Golongan mu’tazilah sering kita dengar sebagai
golongan Islam rasionalis dimana ia cenderung mengedepankan akal dalam
berijtihad. Golongan inilah sebagai “leluhur” Islam liberal dan golongan Islam
rasionalis yang sekarang berkembang pesat sebagai golongan Islam kiri.
Mu’tazilah dalam pandangan politiknya, cenderung bersikap netral terhadap
politik praktis yang berkembang pada saat itu. Ia tidak memihak terhadap
perseteruan antara Ali dan Muawiyah. Ia cenderung memisahkan diri dari barisan
antara aliran yang bertentangan dan lebih suka dalam urusan mereka, yakni mengaji
Al-Quran dan hal-hal keagamaan lainnya, daripada harus berurusan dengan
kepentingan politik antara pihak-pihak yang berseberangan pendapat secara
politis.
Sehingga Dalam makalah ini, akan diulas secara jelas
bagaimana sejarah lahirnya Mu’tazilah, perjalanan, doktrin teologis, hingga
politik yang dijalankan Mu’tazilah, dan berbagai ulasan lain bagaimana peran
Mu’tazilah dalam dunia politik Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
proses munculnya aliran mu’tazilah ?
2. Ajaran
apa saja yang terkandung di dalam aliran Mu’tazilah ?
C. Tujuan
pada era dewasa ini pemikiran Mu’tazilah dengan nama-nama
yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka
menamainya dengan “Aqlaniyah”, Modernisasi pemikiran. “Westernasi” dan
“Sekulerisme” serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan
mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha
mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis Kristen dan Yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji kelompok ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis Kristen dan Yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji kelompok ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya.
Dengan semangat itulah, penulis mencoba menguraikan beberapa
hal yang berkaitan tentang Mu’tazilah dalam makalah ini, yang pada intinya
penulis ingin sedikit berbagi informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana kaum
Mu’tazilah itu?.
D.
Manfaat
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat
Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian
aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah
(teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman
lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya
aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang
kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis,
bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Banyak yang mengidentikkan Mu’tazilah dengan nyeleneh,
sesat, cenderug merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar dari
ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang menganggap Mu’tazilah sebagai main
icon kebangkitan umat Islam di masa keemasannya, sehingga berfikiran bahwa
umat Islam mesti menghidupkan kembali ide-ide aliran ini untuk kembali bangkit.
Itu adalah sebagian dari sekian banyak fakta lapangan yang menunjukkan bahwa
kelompok ini memang tergolong kontroversial.
Dalam hal ini, diharapkan agar generasi selanjutnya tidak
terjerumus tehadap aliran-aliran yang jelas-jelas ajarannya sangat bertentangan
dengan agama islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Lahirnya Mu’tazila
mu’tazilah
merupakan ism fa’il yang berakar dari kata ‘azala-i’tazala, yang
berarti memisahkan-menyingkir atau memisahkan diri. Maka secara bahasa
Mu’tazilah berarti orang yang memisahkan diri. Sedangkan untuk memahami
Mu’tazilah dari sudut pandang terminologi, dalam hal ini Mu’tazilah sebagai
sebuah kelompok atau aliran, perlu kiranya ditelusuri kapan, untuk siapa
pertama kali istilah ini digunakan dan mengapa?.Dari literatur yang penulis
dapatkan, terdapat dua versi tentang awal penggunaan term ini:
Pertama, Mu’tazilah adalah istilah yang digunakan bagi kelompok pengikut Washil bin ‘Atha’ (80 H-131 H) yang memisahkan diri dari halaqah ta’lim al-Hasan al-Bashri (21 H-110 H). Hal ini dapat ditemukan dalam al-Milal wa al-Nihal, al-Syahrastani berkata :
Pertama, Mu’tazilah adalah istilah yang digunakan bagi kelompok pengikut Washil bin ‘Atha’ (80 H-131 H) yang memisahkan diri dari halaqah ta’lim al-Hasan al-Bashri (21 H-110 H). Hal ini dapat ditemukan dalam al-Milal wa al-Nihal, al-Syahrastani berkata :
“…seseorang
mendatangi halaqah ta’lim al-Hasan al-Bashri, lalu bertanya: “Wahai
Imamuddin (guru besar agama), di zaman kita ini telah muncul suatu jemaah yang
mengkafirkan pelaku dosa besar, karena menurut mereka dosa besar itu kufur,
mengeluarkan mereka dari agama, mereka itulah golongan Khawarij. Dan ada juga
golongan lain yang menangguhkan hukum pelaku dosa besar, dan dosa besar itu
sendiri menurut mereka tidaklah merusak keimanan, karena mereka menganggap amal
tidak termasuk bagian dari iman, dan perbuatan maksiat tidak akan merusak iman,
sebagaimana ketaatan tidak berguna bagi kekufuran, mereka itulah golongan
Murji’ah. Maka bagaimanakah Anda memberikan keputusan kepada kami tentang
masalah ini dari sisi akidah?”. Lalu al-Hasan berfikir menimbang-nimbang,
sebelum sempat beliau menjawab, Washil bin ‘Atha’ berkata: “Saya tidak
mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mukmin sepenuhnya (mutlak) dan juga
tidak kafir sepenuhnya (mutlak), melainkan dia berada di suatu tempat antara
dua tempat (manzilah baina al-manzilatain), tidak mukmin dan tidak juga
kafir”, kemudian dia berdiri meninggalkan majelis, pindah ke sisi masjid
lainnya, untuk mengajarkan pahamnya kepada segolongan murid (pengikut)
al-Hasan, kemudian al-Hasan berkata: “Washil telah memisahkan diri dari kita ( اعتزل عنا واصل )”, maka dinamakanlah dia dan para
pengikutnya dengan Mu’tazilah”.
Dari teks
tersebut jelas bahwa tindakan Washil yang memisahkan diri dari majelis al-Hasan
al-Bashri merupakan sebab penamaan mereka dengan Mu’tazilah, dan yang
mengungkapkan istilah itu adalah Imam al-Hasan al-Bashri. Ini adalah versi yang
paling banyak dipakai.
Aliran ini
muncul di zaman Bani Umayyah. Penulis belum menemukan literatur yang secara
pasti menyebutkan tahun berapa terjadinya peristiwa yang disebutkan
al-Syahrastani di atas, namun dengan memperhatikan usia tokoh-tokoh yang
terlibat dalam kemunculannya, maka bisa diperkirakan bahwa aliran ini muncul di
sekitar tahun 100 H-110 H, dan ini sesuai dengan pendapat al-Maqrizi yang
mengatakan bahwa mereka muncul setelah abad I Hijriyah.
Kedua , Mu’tazilah adalah kelompok yang
tidak ingin terlibat dalam sengketa panjang antara golongan Ali dan Mu’awiyah,
khususnya lagi ketika Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyerahkan kekuasaan kepada
Mu’awiyah . Mereka lebih memilih untuk meniggalkan urusan-urusan politik dan
menghabiskan waktu untuk beribadah dan memperkuat akidah dengan metode
pemahaman Ulama Salaf. Maka bisa dikatakan bahwa politik adalah penyebab
munculnya kelompok ini.
Penggunaan
istilah Mu’tazilah untuk mereka dapat dilihat dalam perkataan beberapa penulis
sejarah klasik, seperti yang dikutip Ali Mushthafa al-Gharabi dari ungkapan
Abul Fida’ dalam bukunya al-Akhbar: “…dan mereka menamai kelompok
tersebut (yang memisahkan diri dari golongan Ali dan Mu’awiyah) dengan
Mu’tazilah karena mereka tidak ikut membai’at Ali”. Beliau juga mengutip dari
kitab al-Aghani: “..dan ayah Sya’ir, Ayman bin Khuzaim, adalah salah
seorang yang memisahkan diri atau tidak ikut terlibat (اعتزل) dalam perang Jamal dan Shiffin, dan dia juga tidak ikut dalam
peristiwa-peristiwa setelah kedua perang tersebut”. Demikian juga yang beliau
dapatkan dari Tarikh al-Thabari, bahwa Qais bin Sa’ad menulis surat
kepada Ali: “Saya menghadapi orang-orang mu’tazilah/yang mengasingkan diri (rijalan
mu’tazilin), mereka meminta saya agar membiarkan mereka samapi kondisi umat
stabil”.
Mu’tazilah
versi ini diperkirakan muncul sekitar tahun 35 H atau 36 H, karena Ali
Mushthafa al-Gharabi mengutip perkataan Abul Fida’ tentang peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada tahun 35 H, dan mengutip dari Tarikh al-Thabari
tentang peristiwa tahun 36 H.
Dari dua
versi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.
Mu’tazilah versi pertama dan kedua berbeda dari sisi latar
belakang munculnya. Versi pertama muncul dilatarbelakangi oleh masalah akidah
(teologi), yaitu tentang nasib pelaku dosa besar, sedangkan versi kedua muncul
dilatarbelakangi oleh masalah politik, yaitu konflik politik antara golongan
Ali dan Mu’awiyah yang berujung pada penyerahan kekuasaan oleh Hasan bin Ali
kepada Mu’awiyah.
2.
Mu’tazilah versi kedua lebih dahulu muncul dari Mu’tazilah
versi pertama.
3.
Yang menjadi objek pembahasan makalah ini tentunya versi
yang berkaitan dengan teologi, yaitu Mu’tazilah versi pertama yang memang
Mu’tazilah inilah yang dimaksudkan oleh orang-orang yang membicarakan term
Mu’tazilah di sepanjang zaman sejak munculnya.
Meskipun
kedua versi ini berbeda, namun C.A. Nallino, seorang orientalis Italia,
berpendapat bahwa golongan Mu’tazilah yang muncul belakangan mempunyai hubungan
yang erat dengan golongan Mu’tazilah yang muncul pertama kali, dan Mu’tazilah
kedua adalah lanjutan dari golongan Mu’tazilah pertama. Pendapat ini
berdasarkan kepada pendapat al-Mas’udi yang lebih cenderung mengatakan bahwa
Mu’tazilah adalah golongan yang berdiri netral di antara Khawarij, yang
memandang Utsman, Ali, dan Mu’awiyah dan pelaku dosa besar lainnya kafir, dan
Murji’ah, yang memandang mereka tetap mukmin. Barangkali Nallino melihat ada
titik temu antara kedua kelompok ini dari sisi politik, bahwa Mu’tazilah
pertama murni terbentuk karena faktor politis, sedangkan yang kedua walaupun
pada dasarnya terbentuk karena faktor teologis, namun faktor teologis itupun
berakar pada faktor politis yang tidak jauh beda dengan faktor politis yang
membentuk Mu’tazilah versi pertama. Namun meskipun ada pertalian antara
keduanya, kita agak sedikit kesulitan menganalisa sisi lain yang cukup berbeda
dari kedua kelompok ini, bahwa Mu’tazilah pertama cenderung meninggalkan
masalah politik dan berkosentrasi pada urusan ibadah serta berakidah seperti
paham Ulama Salaf yang tidak merasionalkan masalah-masalah keimanan dan hal-hal
ghaib secara mendalam, sementara Mu’tazilah generasi kedua justru dengan
pembahasan masalah dosa besar itu, mereka secara tidak langsung terlibat dalam
masalah politik, dan mulai lari dari paham akidah Ulama Salaf. Maka, penulis
melihat pendapat Nallino tersebut tidak bisa diterima secara utuh, dan juga
tidak bisa ditolak secara utuh, karena sesuatu yang tidak bisa diterima secara
utuh, juga tidak bisa ditolak secara utuh (ma la yuqbalu kulluh la yutraku
kulluh), artinya masih bisa diperdebatkan secara bebas (qabil lin niqasy).
Dengan
memperhatikan penjelasan diatas, maka istilah Mu’tazilah yang penulis maksud
dalam makalah ini adalah: aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti
cara pandang Washil bin ‘Atha’ dan temannya ‘ Amru bin Ubaid dalam
masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan
dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan temannya ‘ Amru bin Ubaid.
Walaupun
Mu’tazilah yang dibangun Washil bin ‘Atha’ baru muncul pada akhir abad I H atau
awal abad II H, akan tetapi di dalam literatur mereka, Mu’tazilah justru
mengatakan bahwa mazhab mereka sudah ada, jauh sebelum perinstiwa antara Washil
dan al-Hasan al-Bashri. Mereka memasukkan banyak Ahlul Bait ke dalam barisan
mereka, demikian juga dengan al-Hasan al-Bashri, karena ia memiliki ide yang
tidak jauh beda dengan mereka dalam masalah takdir dan pelaku dosa besar.
Bahkan Ibnu al- Murtadha dalam kitab al-Munyah wa al-Amal menyebutkan
ranji silsilah mazhab mereka sampai kepada Rasulullah SAW Penulis sendiri melihat bahwa aliran
ini sebagai sebuah ide (fikrah dan madrasah) sudah ada sebelum
keberadaan Washil bin ‘Atha’, sedangkan yang terjadi pada masa Washil adalah
munculnya aliran ini sebagai sebuah kelompok (firqah). Sama seperti
ideologi-ideologi lain yang ada di dunia, penulis juga meyakini bahwa
Mu’tazilah sebagai sebuah ideologi tidak bisa dikikis habis dari muka bumi,
paling kurang semangatnya akan terus ada.
Para pakar
memiliki beragam alasan tentang penamaan aliran ini dengan Mu’tazilah, namun
semua pada intinya semua alasan berkisar sekitar arti kata-kata í’tazala
(memisahkan diri, menjauhkan diri, atau menyalahi pendapat orang lain).
Diantara alasan-alasan tersebut sebagai berikut :
1.
Disebut Mu’tazilah, karena Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amru bin
‘Ubaid menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian al-Hasan al-Basri di
mesjid Basrah, kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan
pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak mukmin secara mutlak,
juga tidak kafir secara mutlak, melainkan berada di suatu tempat di antara dua
tempat (tingkatan) tersebut. Karena sikap ini, maka mereka disebut “orang Mu’tazilah”
(orang yang menjahakn diri/memisahkan diri).
2.
Menurut riwayat lain, disebut Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan (menyalahi) semua pendapat yang telah ada tentang orang yang
mengerjakan dosa besar. Golongan Murji’ah mengatakan bahwa pelaku dosa besar masih
termasuk orang mukmin. Menurut golongan Khawarij Azariqah, ia menjadi kafir.
Datanglah Washil bin ‘Atha’ untuk mengatakan bahwa pelaku dosa besar bukan
mukmin, bukan pula kafir, melainkan menjadi fasik. Menurut riwayat ini, sebab
penamaan ini lebih bersifat ma’nawiyah, yaitu menyalahi pendapat orang
lain, sedangkan sebab penamaan yang pertama bersifat lahiriyah, yaitu
pemisahan secara fisik (menjauhkan diri dari tempat duduk orang lain).
3.
Disebut Mu’tazilah karena pendapat mereka yang mengatakan
bahwa pelaku dosa besar berarti menjauhkan diri dari golongan orang-orang
mukmin dan juga golongan orang-orang kafir. Perbedaan riwayat ini dengan yang
sebelumnya (kedua) adalah: menurut riwayat kedua, kemu’tazilahan (i’tizal)
menjadi nama (sifat) golongan itu sendiri karena mereka mencetuskan pendapat
baru yang menyalahi orang-orang sebelumnya, sedang menurut riwayat ketiga,
kemu’tazilahan (i’tizal) pada awalnya menjadi sifat si pelaku dosa besar
itu sendiri, kemudian menjadi sifat/nama golongan yang berpendapat demikian
(yaitu pelaku dosa besar memisahkan diri dari orang-orang mukmin dan
orang-orang kafir).
Dari
penjelasan di atas, tentang penamaan aliran ini dengan Mu’tazilah, jelas bahwa
penamaan ini bukanlah berasal dari kalangan Mu’tazilah sendiri, namun dari pihak
lain, dalam hal ini secara kongkritnya adalah al-Hasan al-Bashri yang
mengungkapkan: “Washil telah mengasingkan diri dari kita” (اعتزل عنا واصل). Kalangan Mu’tazilah sendiri pada awalnya
tidak senang dengan sebutan ini, sebab sebutan ini bisa disalahartikan oleh
lawan-lawannya dengan konotasi negatif untuk menyudutkan mereka. Karena tidak
ada jalan untuk menghindarinya, sehingga merekapun mengemukakan alasan kebaikan
penggunaan nama Mu’tazilah bagi mereka, seperti yang dilakukan Ibnu al-Murtadha
dalam kitab al-Munyah wa al-Amal, dia mengatakan bahwa mereka sendiri
yang memberikan nama itu atas diri mereka, bukan kelompok lain, dan mereka
tidak menyalahi Ijmak, akan tetapi sebaliknya justru mereka menggunakan Ijmak
yang ada di masa-masa awal Islam. Bahkan Ibnu al-Murtadha juga menggunakan
al-Qur’an dan Hadits untuk mendukung penamaan ini, seperti:
1.QS.Al-Muzammil:10“..dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”
Menjauhi mereka adalah dengan i’tizal (memisahkan diri) dari mereka.
2.Hadits:
1.QS.Al-Muzammil:10“..dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”
Menjauhi mereka adalah dengan i’tizal (memisahkan diri) dari mereka.
2.Hadits:
من اعتزل الشر سقط في الخير
“Siapa yang menjauhi keburukan, akan jatuh dalam kebaikan”
Sesungghnya yang dilakukan Ibnu
al-Murtadha ini hanyalah usaha untuk menutupi kelemahan dan membantah
tudingan-tudingan negatif dari lawan-lawan mereka.
Disamping Mu’tazilah, banyak nama lain yang mereka sandang, seperti Ahlu al-’Adli wa al-Tauhid, Ahlu al-Haq, al-Qadariyah, al-Jahmiyah, al-Khawarij, al-Wa’idiyah, dan al-Mu’aththilah. Namun mereka lebih menyukai istilah Ahlu al-’Adli wa al-Tauhid (golongan keadilan dan tauhid) sebagai nama bagi golongan mereka. Istilah ini diambil dari dua prinsip dari lima prinsip yang menjadi dasar seluruh ajaran mereka (al-ushul al-khamsah).
Meskipun banyak kalangan yang mengkonotasikan nama Mu’tazilah dengan makna negatif, tapi pada dasarnya istilah ini adalah istilah biasa yang netral, tidak berkonotasi positif ataupun negatif, hanya saja pada masa-masa berikutnya dalam perkembangan aliran ini, mereka mulai memunculkan paham-paham yang dianggap aneh dan berbahaya oleh jumhur, sehingga lambat laun istilah ini menjadi berkonotasi negatif.
Disamping Mu’tazilah, banyak nama lain yang mereka sandang, seperti Ahlu al-’Adli wa al-Tauhid, Ahlu al-Haq, al-Qadariyah, al-Jahmiyah, al-Khawarij, al-Wa’idiyah, dan al-Mu’aththilah. Namun mereka lebih menyukai istilah Ahlu al-’Adli wa al-Tauhid (golongan keadilan dan tauhid) sebagai nama bagi golongan mereka. Istilah ini diambil dari dua prinsip dari lima prinsip yang menjadi dasar seluruh ajaran mereka (al-ushul al-khamsah).
Meskipun banyak kalangan yang mengkonotasikan nama Mu’tazilah dengan makna negatif, tapi pada dasarnya istilah ini adalah istilah biasa yang netral, tidak berkonotasi positif ataupun negatif, hanya saja pada masa-masa berikutnya dalam perkembangan aliran ini, mereka mulai memunculkan paham-paham yang dianggap aneh dan berbahaya oleh jumhur, sehingga lambat laun istilah ini menjadi berkonotasi negatif.
B. Pandangan-Pandangan Pokok Aliran Mu’tazilah
Ø Menurut aliran muktazilah mereka
tidak mengakui sifat-sifat
allah, al-quran mereka
anggap sebagai makhluk allah
swt kelak diakhirat
tidak di lihat oleh mata kepada manusia.
Ø Menurut aliran muktazilah metakkan
pertanggung jawaban manusia
atas segala perbuatannya.
Ø Janji
dan ancaman allah swt tidak akan diingkari oleh allah swt.
Ø Menurut aliran
muktazilah seorang muslim
melakukan dosa besar ia
tergolong bukan mukmin tapi
tergolong kafir ,mereka terkategori
fasik dan tempatnya adalah ‘’ALMANSILATUL MANSILA TAIN
‘’,atau posisi di antara dua posisi.
A.
Ajaran Dasar Mu’tasilah
Lima ajaran dasar teologi Mu’tazilah yaitu :
1.
Tauhid (pengEsaan Tuhan)
Tauhid adalah dasar agama islam
yang pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan monopoli aliran Mu’tazilah
saja, tetapi ia menjadi milik setiap orang islam. Hanya sajaaliran
Mu’tazilah mempunyai tafsir yang khusus,
sedemikian rumah dan mereka mempertahankannya, sehingga mereka menekan diri
mereka sebagai Ahlul Adil Wat tauhid. Tauhid yang mereka pakai itu merupakan
perinsip utama dalam aliran Mu’tazilah.. sampai-sampai mereka menolak
konsep-konsep sebagai berikut :
a)
Tuhan memiliki sifat, yaitu hal yang mereka percayai
bahwa sifat adalah sesuatu yang melekat, sedangkan Tuhan dalam hal ini ialah
Dzat yang terdahulu.
b)
Pengembangan fisik, yaitu mereka berlandaskan atas
firman Allah yaitu :
Artinya
:” tak ada satupun yang menyamainya” (asy-syura : 9 )
Tuhan
dapat di lihat dengan mata Karena Tuhan merupakan immateri (tidak tersusun dari
unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan juga tidak berbentuk)
Jadi
dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa sangat tampak betapa aliran Mu’tazilah
itu menyusun jalan pemikirannya secara filosofi yang jilimed, dan kadang bertentangan dengan apa
yang sudah di tanamkan dalam keyakinan kita sebagai seorang muslim.
2.
Tuhan Maha Adil
Allah itu selalu adil dalam
tiap-tiap janjinya. Oleh karena itu, aliran Mu’tazilah percaya akan adanya
surga dan neraka yang merupakan salah-satu balasan dan janji Tuhan mereka, di
dalam ajaran dasar yang ke dua ini, di percayai akan adanya keyakinan pembuatan
manusia, manusia melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari
kehendak dan kekuasaan Tuhan,secara langsung ataupun tiadak ,dan yang
terpenting ialah Tuhan itu hanya menyuruh kepada hal yang baik.di sini Tuhan
itu memiliki kewajiban unuk berbuat baik, bahkan yang terbaik bagi manusia.
Mengutus Rasul merupakan kewajiban Tuhan, karena alasan-alasan sebagai berikut
:
a)
Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan untuk
mewujudkannya maka Tuhan mengutus Rasul kepada mereka.
b)
Tuhan memberi belas kasih kepada msnusia, cara
terbaik ialah dengan mengutus Rasul.
c)
Tujuan di ciptakan manusia ialah beribadah
kepadanya. Jalan untuk berhasil mencapai tujuan tersebut ialah mengutus Rasul.
3.
Janji dan ancaman
Tuhan berjanji akan memberi
pahala dan mengancam akan menjatuhkan siksaan, pasti di laksanakan karena Tuha
sudah berjanji demikian. Siapa yang berbuat baik, maka di balas dengan kebaikan
dan sebaliknya, mereka yang berbuat kejahatan akan di balas dengan kejahatan.
Sebagaiman yang mereka (aliran Mu’tazilah) katakan
وغلا بعضهم فيالتعبير فقا ل يحب
علي الله ان ال ربطا حثما ثم ربطواالثواب والعقاب ب لاعمفصاحب الكبيرة
إزا
ما ت ولم يثب لا يخو ز أن يعفو الله عنه
لآنه ,يثبت المطيع ويعاقب مر تكب الكثيرة ولآن الطل عا ت والآمربها ,فلولم يعاقب لزمالخلف في وعيده
بالعقاب علي الكبابربه اوعد (ةلز ت ع م ل ا موق ل ي أ ل از ت ع ال ا لوق اده )
والمعا صيى والنهي عنها
Yang
artinya : “kemudian mereka menghubungkan dengan ikatan yang kuat antara pahala
dan siksaan itu dengan amal perbuatan. Sebagian Mu’tazilah keterlaluan
pendiriannya, mengatakan : wajib bagi
allah memberi pahala bagi orang yang taat
dan menyiksa orang berdosa besar.orang yang berdosa besar apabila
meninggal dan tidak bertaubat Allah tidak boleh mengampuninya, bahwa Allah
telah mengancam siksaan atas orang yang berdosa besar. Kalau seandainya tak
menyiksanya, berarti Allha mengingkari ancamannya. Taat kepadanya adalah
perintah dan maksiat adalah larangannya. (perkatatn iktizal atau kaum
Mu’tazilah)”.
Jadi,
jika kita berlaku baik dan tidak melanggar apa yang telah Tuhan berikan, maka
Tuhan akan memberikan semua janji-janjinya yakni Surga. Berlaku begitu juga
sebaliknya siapa yang melanggar maka neraka selalu menanti.
Kata-kata
توبةنصوح (taubat yang sebenar-benarnya) itu berlaku
dalam aliran Mu’tazilah. Ini bertujuan mendorong manusia agar berbuat baik dan
tidak berbuat dosa.
4.
Tempat di antara dua tempat
Washil Bin Atho’ mengatakan bahwa
seorang muslim yang melakukan dosa besar selain musyrik dan belum sempat
bertaubat, maka ia yidak di katakan mukmin dan tidak juga kafir. Tetapi ia di
angga[ fasik, yang mana fasik itu terletak antara iman dan kafir. Sebagai mana
yang telah di ucapkan oleh aliran Iktizal (kaum Mu’tazilah) ialah:
تبة فى شبته الله بظقه او جوره فى
حكمه أوك ااناللكبا بر بعضها يصل من كبر ه إلى حد الكفر والفسق منز لة بين وهز ه
الكبائرة
Yang
artinya:”sesungnguhnya dosa besar sebagianya sampai ke batas kufur. Barang
siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluknya atau memperbolehkan sesuatu
yang di haramkan atau memdustakan
firmannya dia benar-benar kufur, ini adalah dosa besar, paling sedikit berada
pada suatu tempat. Dosa-dosa besar ini pelakunya di namakan fasiq. Fasiq itu
berada pada suatu tempat di antara dua tempat, tidak kufur dan tidak pula
beriman. Orang yang fasiq bukan mukmin bukan pula kafir,tetapi dia berada pada suatu
di antara dua tempat (perkataan kaum Mu’tazilah).
Maka
dari perkataan di atas bahwa yang di maksud bukan mukmin mutlak karena keimanan
menuntut adanya kepatuhan kepada tuhan. Bukan pula kafir mutlak karena ia masih
percaya kepada tuhan, rasulnya dan masih mengerjakan pekerjaan yang baik. Jika sebelum meninggal
belum bertaubat, maka ia akan kekal di dalam neraka selamanya.
Fasiq
juga akan di siksa dengan di masukkan ke dalam neraka. Namun, siksanya lebih
ringan dari pada kafir. Inilah yang mendorong agar manusia tidak menyepelekan
perbuatan dosa, terutama dosa besar.
5.
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Prinsip ini lebih banyak behubungan
dengan taklif dan lapangan fiqih daripada lapangan tauhid. Tapi sejarah
menunjukkan betapa gigihnya kaum Mu’tazilah itu mempertahankan islam,
memberantas kesesatan,untuk melaksanakan suatu ‘amar ma’ruf nahi mungkar’.
Sebagaimana yang telah di firmankan oleh Allah SWT:
أولئك هم المقلحو ن ولتكن منكم أمة يد
Dari
ayat di atas terdapat syarat-syarat yang harus mukmin penuhi dalam melaksanakan
amal ma’ruf nahi mungkar ini yaitu :
a. Mengetahui
bahwa yang di suruh ialah ma’ruf (benar) dan yang di larang ialah mungkar
(kejelekan).
b. Mengetahui
kemungkaran telah nyata di lakukan orang.
c. Mengetahui
perbuatan amal ma’ruf nahi mungkar tidak membawa mudarat yang lebih besar.
d. Mengetahui\menduga
bahwa tindakan tidak membahayakan dirinya ataupun hartanya.
Yang perluh di garis
bawahi bahwasannya dari aliran Mu’tazilah ialah dalam setiap melaksanakan
ajarannya termasuk dalam hal ‘amar ma’ruf nahi mungkar, mereka tidak
segan-segan menggunakan kekerasan, meskipun terhadap sesama golongan islam,
karena mereka berpegang teguh pendapat mereka, meskipun bertentangan dengan apa
yang di firmankan oleh Allah. Dengan kata lain jika memang di perlukan
kekerasan maka mereka akan menempuhnya.
Sampai sejarah telah
memberikan ciri-ciri khusus daripada kaum Mu’tazilah, yaitu : suka berdebat,
terutama di hadapan umum. Mereka yakin akan kekuatan akal fikiran yang mereka miliki,
karena itulah mereka suka berdebat dengan siapa saja yang berbeda pendapat
dengannya.
B. Tokoh-tokoh dalam Aliran Mu’tazilah
1.
Pergerakan
Mu’tazilah yang berada di bashrah, pada abad ke II H, di pimpin oleh:
a.
Washil Bin Athan
(m. 131 H).
b.
Amr Bin Ubaid
(m. 144 H).
2.
Pergerakan
Mu’tazilah yang berada di Bashrah,pada permulaan abad ke III H, di pimpin oleh:
a.
Abu al-Hudzail
Al-Allaf (m. 235 H).
b.
Ibrahim bin
Sayyar An Naddham (m. 221 H).
c.
Abu Basyar Al
Marisi (m. 218 H).
d.
Ibnu Al Mu’ammar
(m. 210 H).
e.
Abu Ali Al
Juba’i (m. 313 H).
3.
Pergerakan
Mu’tazilah berada di Baghdad, dipimpin oleh:
a.
Basyar bin Al
Mu’tamar
b.
Abu Musa Al
Murda
c.
Ahmad bin Abi
Dawud (m. 240 H).
d.
Ja’far bin
Mubasysyar (m. 234 H).
e.
Ja’far bin Harib
Al Hamdani (m. 235 H).
Adapun
ulama-ulama yang terkenal dan berpengaruh dalam aliran Mu’tazilah, yaitu:
a.
Utsman Al Jahiz
(m. 255 H), mengarang kitab Al Hiwan.
b.
Syarif Radli (m.
406 H), mengarang kitab Majazul Qur’an.
c.
Abdul Jabbar bin
Ahmad, mengarang kitab Syarah Ushulil Khamsah.
d.
Zamakhsyari (m.
528 H)mengarang kitab tafsir Al kasysyaf.
e.
Ibnu Abi Haddad
(m. 655 H), mengarang kitab Syarah Najhul Balaghah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah oleh para
kelompok pemuja dan aliran Mu’tazilah tersebut muncul di kota bashrah (iraq)
pada abad ke II H tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah
Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah
seorang penduduk bashrah mantan murid Al Hasan Al-Bashri yang bernama Wasil bin
Atha’ Al-Makhzumi Al-gozzal,kemunculan ini adalah karena Washil bin atha’
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang
berarti ia fasik.Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin bedosa besar masih
berstatus mukmin.Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan
tersebut antar murid dan guru,dan akhirnya
golongan mu’tazilah pun di nisbahkan kepadanya.
Aliran yang berpandangan bahwa pelaku dosa besar
masih tetap mukmin,menjelaskan bahwa andai kata pelaku dosa besar di masukkan
ke dalam neraka,ia tak akan kekal di dalamnya. Sebaliknya aliran yang
berpendapat bahwa pelaku dosa besarbukan lagi mukmin , berpendapat bahwa di
akhirat ia akan di masukkan di neraka dan kekal di dalamnya. Ini di wakili oleh
Khawarij dan Mu’tazilah, meskipun di antaranya terdapat perbedaan yang tegas.
Bahwa Khawarij memandang pelaku dosa besar adalah
kafir bahkan dikatakan musyrik, dan akan di masukkan di dalam neraka untuk
selamanya sebagaimana hukuman yang serupa untuk orang-orang kafir, sementara
Mu’tazilah memandang pelaku dosa besar sebagai fasiq yaitu di antara mukmin dan
kafir dan akan di masukkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya namun
hukumannya tak seberat, tak sepedih yang di alami oleh orang-orang kafir.
Pebedaan pendangan mengenai pelaku dosa besar, jika
di tinjau dari sudut pandang wa’d wa’id, dapat di klasifikasikan menjadi dua
kubu utama, yaitu kubu radikal dan kubu moderat. Kubu radikal diwakili oleh
Khawarij dan Mu’tazilah, sementara sisanya merupakan kubu moderat.
B. Saran
Harapan saya kepada para pembaca agar mengamalkan
setiap ilmu yang di peroleh agar ilmu tersebut tidak sia-sia, dan kepada para
pembaca khususnya bagi guru pembibing agar kiranya memperbaiki setiap kesalahan
baik di sengaja maupun tidak di sengaja. Dalam uraian isi makalah ini
khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad ameen, dluha islam, jus lll,cet.VII Nahdatul
Misyriah, Cairo,tt.
Amin, Ahmad, Zu’ama al-Ishlah fi al-Ashr al-Haditsat, Maktabat al-Nahdhat
al-Mishriyat, al-Qariyat, 1979
Iqbal,
Muhammad, Fiqih Siyasah, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran -Aliran Sejarah Analis Perbandingan,
Jakarta: UI Press, 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar