Salam Hidup Penuh Berkah

Selasa, 10 November 2015

makalah: cara menaati Rasulullah saw

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Bahwa akhlak ialah sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanandalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik disebut akhlak mulia, atau perbuatan buruk, disebut akhlak yang tercelah sesuai dengan pembinaannya.
Jadi akhlak pada hakikatnya khulk ( budi pekerti ) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara sopan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran.
Disamping akhlak kepada Allah SWT, sebagai muslim kita juga harus berakhlak kepada Rasulullah SAW, meskipun beliau sudah wafat dan kita tidak berjumpa dengannya, namun keimanan kita kepadanya membuat kita harus berakhlak baik kepadanya, sebagaimana keimanan kita kepada Allah SWT membuat kita harus berakhlak baik kepada-Nya. Meskipun demikian, akhlak baik kepada Rasul pada masa sekarang tidak bisa kita wujudkan dalam bentuk lahiriyah atau jasmaniyah secara langsung sebagaimana para sahabat telah melakukannya.
Pada dasarnya, utusan Tuhan (Rasulullah SAW) adalah manusia biasa yang tidak berbeda dengan manusia lain. Namun demikian, terkait dengan status “rasul” yang disandangkan Tuhan ke atas dirinya, terdapat ketentuan khusus dalam bersikap terhadap utusan yang tidak bisa disamakan dengan sikap kita terhadap orang lain pada umumnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah Rasulullah SAW?
2.      Bagaimana cara menaati Rasulullah SAW?
C.    Tujuan Penelitian
1.      Mahasiswa harus mengetahui sejarah Rasulullah SAW.
2.      Mahasiswa harus mengetahui cara menaati Rasulullah SAW.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Nabi Muhammdah SAW
Nabi Muhammad SAW, adalah Nabi dan Rasul yang terakhir, suka dukanya sangat banyak. Sejak kecil beliau sudah yatim piatu.[1] Sejak itu Nabi SAW, diasuh sendiri oleh kakeknya dari ayahnya, dan kakeknya yang bernama Abdul Muthalib itu sangat sayang kepada Nabi Mauhammad SAW. Dimana ketika Nabi dilahirkan, bukan main senang dan gembiranya Abdul Muthalib itu, sehingga ia sendiri memberinya nama “Muhammad” yang artinya “orang yang terpuji”.
Satu nama yang diberikan kakeknya itu sesuai dengan nama yang diberikan Allah yaitu “Ahmad” yang artinya “orang yang lebih terpuji”. Nama Nabi Muhammad SAW ada dua yaitu Muhammad nama pemberian kakeknya dan Ahmad nama yang diberikan oleh Allah SWT. Abdul Muthalib kakek Nabi SAW itu seorang pembesar yang berwibawa, ia sangat disenangi dan dihormati oleh kaum Quraisy. Maka dihamparkan orang permadani kebesaran untuk tempat duduknya, ketika hendak duduk bersama-sama kaumnya. Pada suatu ketika Abdul Muthalib hendak duduk-duduk dipermadani yang telah dihamparkan orang, tiba-tiba Nabi SAW yang masih bocah itu ikut serta bersama kakeknya duduk dipermadani itu.
Orang-orang melihat kejadian itu, merekapun melarangnya karena tidak sopanlah bocah kecil itu jika ikut duduk dipermadani kehormatan. Maka Abdul Muthalib mencagah mereka agar tidak mengusik Muhammad SAW, yang duduk bersamanya. Demikianlah Abdul Muthalib yang sangat sayang kepada cucunya itu, dengan harapan cucunya bisa terhibur, sehingga dapat terlupakan kesedihan atas kematian ayah dan ibunya.
Kira-kira dua tahun Abdul Muthalib mengasuh Mahammad SAW, kemudian dia meninggal dunia. Meninggalnya Abdul Muthalib itu, bukan saja merupakan kesedihan yang amat sangat bagi Muhammad SAW, bahkan semua penduduk mekkahpun seperti itu juga kesedihannya. Karena kematian Abdul Muthalaib semua penduduk makkah kehilangan seorang pemimpin yang cerdas, bijaksana, berani dan kesatriya. Sehingga mereka sukar untuk mencari penggantinya. Disaat itulah Nabi Muhammad SAW diasuh oleh pamannya yaitu Abu Thalib, merupakan wasiat dari Abdul Muthalib kepada anaknya Abu Thalib.
Abu Thalib yang mengasuh Nabi SAW adalah seorang yang kurang mampun dalam perekonomian, lagi pula banyak anaknya. Namun demikian setelah Muhammad SAW hidup bersamanya, Abu Thalib dapat kerasakan keanehan, jika ia makan bersama Nabi SAW maka makan yang sedikit itu bisa berkah, cukup dan merasa kenyang, tetapi jika makan tidak bersama Nabi SAW makanan itu menjadi kurang-kurang saja dirasakan. Sebab itulah Abu Thalib sekeluarga selalu makan bersama Nabi Muhammad SAW.
Kesayangan Abu Thalib kepada Muhammd SAW, melebihi dari kesayangan terhadap anaknya sendiri. Karena dari sangat sayangnya, kemana saja Muhammad  SAW, berjalan sering diikuti Abu Thalib. Pernah pada satu saat Abu Thalib pergi berdagang ke Negri syam Nabi Muhammad SAW dibawa serta. Ketika itu usianya baru 12 tahun. Di tengah perjalan rombongannya itu bertemu dengan seorang pendeta Nasrani yang bernama “Bahari” dan kebetulan pendeta itu mencari-cari siapakah Rasul yang penghabisan yang disebut dalam kitab Taurat dan Injil itu.? Setelah pendeta itu melihat Muhammad SAW, tahulah ia dengan tanda-tanda ke Nabian yang ada pada Muhammad SAW, maka dia menasehati Abu Thalib agar Muhammad SAW, dibawa kembali ke mekkah, sebab sangat menghawatirkan kalau ditemukan oleh orang Yahudi pasti dianiayanya.
Atas keteranga pendeta itu diterimah baik oleh Abu Thalib, sehingga iapun kembali ke Mekkah bersama Muhammad SAW. Sejak itulah Muhammad SAW, bekerja dirumah saja mengembala kambing-kambing keluarga dan kambing-kambing orang lain yang dipercayakan kepada beliau. Setelah beliau menganjak dewasa, mulailah berusaha sendiri dalam perdagangan.[2]
Sebagai seorang muslim yang akan menjadi pemimping umat, Muhammad SAW, mempunyai bakat kemampuan jiwa yang besar, kecerdasan akal, kekuatan ingatan dan kehalusan perasaan. Semua suka dan duka dalam hidupnya sebagai guru yang menggembleng dan menjadikan kebesaran jiwanya, sehingga beliau mengetahui sejara tentang Negrinya, keadilan masyarakat dan keturunan agama bangsanya.
Oleh karena itu, mka beliau mempersiapkan diri untuk mendapatkan pemutusan jiwa yang lebih sempurna, maka beliau menjauhkan diri dari manusia pergi kesebuah gua kecil yang bernama “Hira” disebuah bukit Jabar Nur yang letaknya tiga mil disebelah utara kota Mekkah. Meskipun beliau dengan daya pikiran yang jernih itu berusaha merenungkan siapa sebenarnya pencipta alam raya ini, namun sebelum hancurnya dunia ini.
Setelah beliau berumur 40 tahun, belia digua Hira sedang memikirkan jalan keluar untuk memperbaiki kaumnya yang bodoh itu, saat itu tepat pada malam ketujuh belas bulan Ramadhan atau tanggal 6 Agustus tahun 610 Masehi, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang dikenal memeluknya dengan erat seraya berkata sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Alaq ayat 1-5.[3]


Artinya: Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan tuhanmu teramat mulai. Yang mengajarkan dengan pena. Yang mengajarkan apa-apa yang belum diketahui oleh manusia.[4]
B.     Menaati Rasulullah SAW
Menaati Rasulullah SAW dala segala hal, baik yang sesuai dengan selera maupun tidak melaksanakan apa yang beliau perintahkan sesuai dengan kemampuan dan menjauhi segala hal yang beliau larang dalam QS. An-Nisa ayat 80.
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ وَمَن تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظاً ﴿ألنّسا ٨٠﴾
Artinya: Barang siapa menaati Rasulullah ( Muhammad ), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan batang siapa berpaling  ( dari ketaatan itu ), maka ( ketahuilah ). Kami tidak mengutusmu ( Muhammad ) untuk menjadi pemelihara mereka.[5]
Rasulullah bersabda


Artinya: Barang siapa menaatiku, maka sungguh dia telah taat kepada Allah dan barang siapa mengingkariku, maka sungguh dia telah ingkar kepada Allah. ( HR.Muslim ).
Betapa banyak kaum muslimin melakukan ibadah sebagai wujud ittiba ( mengikuti ) kepada hadis-hadis palsu atau lemah atau yang masih diperbincangkan keasbahannya oleh ulam hadis, sementara meraka meninggalkan begitu banayk amalan yang telah jelas bersandar pada hadis-hadis shahi.
Lalu itu mereka mengklim diri mereka adalah orang-orang yang paling cinta kepada Rasulullah SAW, dan menganggap setiap orang telah melakukan seperti yang mereka sebagai orang yang tidak cinta kepada Rasulullah SAW. Mereka inilah yang perlu mendapat nasehat dan koreksi atas pemahamannya yang keliru. Bukanlah melakukan ibadah dengan menyandarkannya pada hadis palsu atau lemah, berarti kita menganggap bahwa yang kita lakukan tersebut adalah sunnah.
Hadis


Artinya: Barang siapa sengaja berbohong atas namaku, maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di dalam neraka. ( HR. Bukhari, Muslim, Ibnuh majah, dan ahmad ).[6]
Akhlak beliau dipuji oleh semua orang, termasuk orang-orang kafir Quraisy. Beliau dijuluki sebagai Al-Amin, yaitu orang yang jujur dan terpercaya.
Nabi Muhammad SAW, adalah penyebar kasih sayang kepada seluruh umat manusia. Beliau sangat pemaaf meskipun kepada orang yang telah menyakitinya. Bahkan, beliau menengok orang yang setiap hari meludahinya. Beliau pun orang yang tegas kepada orang kafir. Beliau menolak melakukan penghianatan kepada Allah SWT, meskipun diberi harta yang berlimpah.
Beliau adalah seorang suami yang adil kepada istri-istrinya, dan sering meminta maaf kepada istri-istrinya jika keadilannya hanya sebatas kemampuannya. Perjuangan Nabi Muhammad SAW. Didukung sepenuhnya oleh para sahabat, hartanya habis untuk berjihat, dan ketika belai wafat, warisan yang ditinggalkan hanyalah kitab suci Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau berpesan kepada Fatimah agar tetap mendirikan shalat karena amal yang pertama akan dihisab pada hari kiamat adalah shalat.
Akhlak Nabi Muhammad SAW, sebagia ayah dari anak-anaknya, suami dari istri-istrinya, komandang perang, mubaligh, imam, hakim, pedagang, petani, pengembala, dan sebagianya merupakan akhlak yang pantas diteladani.
Dalam 100 tokoh terkemuka di dunia, Nabi Muhammad SAW. Menduduki peringkat pertama, sebagia orang yang paling berpengaruh di dunia. Beliau peletak dasar Negara Modern di Madinah yang merumuskan perjanjian yang adik dan demokratis di tengah-tengah masyarakat sukuistik dan pemeluk Yahudi dan Nasrani. Sebagai politisi, beliau sangat dikagumi oleh para raja dan penguasa yang kafir. Beliau adalah pembela kaum fakir dan miskin yang memilih hidup dalam kefakiran dan kemiskinan.[7]
Firman Allah dalam QS. Al-Hadid ayat 25




Artinya: Sungguh, kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan bukti-bukti yang nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan keadilan agar manusia dapat berlaku adil. Dan kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan banyak manfaat bagi manusia, dan agar Allah sengetahui agar Allah mengetahui siapa yang menolong ( agamanya ) dan rasul-rasulnya walaupun Allah tidak dilihatnya. Sungguh, Allah Maha kuat, Maha perkasa.[8]




BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Nabi Muhammad SAW, adalah Nabi dan Rasul yang terakhir, suka dukanya sangat banyak. Sejak kecil beliau sudah yatim piatu. Sejak itu Nabi SAW, diasuh sendiri oleh kakeknya dari ayahnya, dan kakeknya yang bernama Abdul Muthalib itu sangat sayang kepada Nabi Mauhammad SAW. Dimana ketika Nabi dilahirkan, bukan main senang dan gembiranya Abdul Muthalib itu, sehingga ia sendiri memberinya nama “Muhammad” yang artinya “orang yang terpuji”.
2.      Menaati Rasulullah SAW dala segala hal, baik yang sesuai dengan selera maupun tidak melaksanakan apa yang beliau perintahkan sesuai dengan kemampuan dan menjauhi segala hal yang beliau larang. Akhlak Nabi Muhammad SAW, sebagia ayah dari anak-anaknya, suami dari istri-istrinya, komandang perang, mubaligh, imam, hakim, pedagang, petani, pengembala, dan sebagianya merupakan akhlak yang pantas diteladani.
B.     Saran
Perlu anda ketahui bahwa kunci kebahagiaan itu adalah mengikuti jejak sunnah Rasulullah SAW. Dalam segala aspek kehidupannya. Baik secara gerak-gerik dan diamnya, bahkan cara makan, berdiri, tidur dan berbicara.




DAFTAR PUSTAKA
Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Akhlak, Bandung; Puataka Setia, 2012.
Syamsuri, Baidlowi. Riwayat Ringkas 25 Rasul, Surabaya; Apollo.
Quran Syanil. Al-qur;an dan Terjemahan. Bandung; Yasmina, 2013.
Hudzaifah, Abu. Materi Khutbah Pilihan. Jogjakarta; Pustaka Persada, 2005.







[1] Beni Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, ( Cet, II; Bandung, Pustaka Setia, 2012 ) h. 270
[2] Baidlowi Syamsuri, Riwayat Ringkas 25 Rasul, ( Cet, I; Surabaya, Apollo ) h. 247-249
[3] Baidlowi Syamsuri, op cit, h. 251-252
[4] Syamil Quran,  Al-Qur’an dan terjemahannya, ( Cet, I; Bandung: Yasmina, 2013) h. 479
[5] Syamil Quran, of cit, hal 91
[6] Abu Hudzaifah bin Abbas, Materi Khutbah Pilihan, ( Cet, VIII; Jogjakarta, Pustaka Persada, 2005 ) h. 84-85
[7] Beni Ahmad Saebani, ibid, h. 270-271
[8] Syamil Quran, of cit, h. 541

Tidak ada komentar:

Posting Komentar