memberikan cinta
dan kasih sayang sebagai ungkapan cinta atau kasih terhadap pasangannya yang
berarti berhubungan dengan pengorbanan waktu terhadap kualitas dari hubungan
itu sendiri. atau memberikan keamanan secara materi atau finansial yang
berdampak kepada pengurangan waktu terhadap hubungan itu. ada kisah yang
menarik :
kisah 1
katakanlah amir
dan lina sudah menikah selama 5 tahun, hubungan yang mereka bina dalam
pernikahan mereka bisa dikatakan harmonis, amir memberikan banyak perhatian dan
cintanya untuk keluarganya. hingga suatu saat, dengan terus meningkatnya
kebutuhan hidup, sementara amir sendiri tidak ada peningkatan yang signifikan
dari segi pendapatan, dan lina sendiri tidak bekerja. akibat dari itu mulai
timbulah riak-riak dalah kehidupan mereka, dimulai dari uang yang tidak pernah
cukup untuk biaya sebulan, sehingga gali lobang dan tutup lobang adalah hal
yang biasa. pertengkaran sehari-haripun cenderung di dominasi oleh masalah
keuangan, hingga linapun sampai ke titik kesabarannya dan terlontar ucapan "Emang
bisa makan cinta?". Ending cerita silahkan diteruskan :)
kisah
2
amir dan lina
adalah pasangan yang mapan, amir seorang profesional muda di bidang IT,
kariernya sangat menonjol, proyek di nusantara maupun di luar negeri banyak
mampir ke perusahaannya, dan tentunya mengharuskan amir banyak menghabiskan
waktu dengan pekerjaannya dibandingkan dengan lina atau keluarganya. uang dan
materi sepertinya tidak menjadi masalah, amir mampu memberikan yang terbaik
untuk lina dalam hal ini, tetapi ada sesuatu yang dituntut lina, yaitu
perhatian dan waktu selayaknya mereka berhubungan dahulu. pertengkaran mereka
juga sekarang di dominasi oleh hal tersebut, tuntutan akan waktu dan perhatian
dari amir. hingga suatu saat kesabaran lina habis, dan terucaplah "Saya
tidak butuh uangmu, saya lebih butuh kehadiran dan cinta kamu"
Dari
ilustrasi di atas semoga bisa menggambarkan begitu peliknya pilihan yang
dipunyai seorang pria dalam kehidupannya, memilih antara materi atau cinta
dengan konsekuensi-konsekuensi tidak ringan di belakang itu.
Ada type pria yang lebih memilih
cinta, ada type pria yang lebih memilih materi atau finansial, dan keduanya
saya yakin mempunyai tujuan yang sama untuk berusaha membahagiakan pasangan dan
keluarganya.
Lalu sebenarnya apa yang saya
harapkan dari tulisan ini? Pasangan dari pria yang tidak lain adalah perempuan
seharusnya ikut terlibat dalam pilihan tersebut, ketika memang mereka memilih
waktu dan cinta, efek dari hal tersebut seharusnya juga sudah dipikirkan secara
matang, jadi jangan sampai ada pikiran "Emang cinta bisa
dimakan?" atau "Emang sekolah anak bisa bayar
pakai cinta?", pilihan-pilihan seperti inilah yang sedini
mungkin sudah di sadari baik oleh pria ataupun perempuan.
Saya percaya uang bukanlah
sumber kebahagiaan, tetapi harus saya akui juga uang dapat memberikan
pilihan-pilihan untuk mendapatkan kebahagiaan. Cinta adalah sesuatu yang
abstrak, tidak perlu penampakan waktu dan repetisi pernyataan, cinta yang besar
adalah cinta yang bisa memberikan kelonggaran dan kebahagiaan untuk individunya
:).
Back to topic tentang sisi
finansial, saya temukan satu tulisan menarik dari link ini http://kosmo.vivanews.com/news/read/12768-pilih_mana__materi_atau_cinta_
, intinya sih mengenai hal-hal yang perlu dikalkulasikan mengenai pria ketika
ingin dijadikan pasangan hidup.
Saya kutip beberapa poin yang
menarik yah.
Menurut E. Philip Rice dalam
bukunya berjudul Intimate Relationships, Marriages & Family, dalam
menentukan pasangan hidup perlu pertimbangan dan perhitungan matang. Kalkulasi
ini bisa menjadi ‘investasi' pernikahan Anda. Dengan kata lain, keputusan Anda
sekarang yang menentukan masa depan Anda.antas, apa yang perlu dikalkulasikan?
- Bila rasa aman secara
finansial adalah faktor utama dalam memilih calon suami, tentunya pria mapan
menjadi target Anda. Mengingat kebutuhan semakin menggunung, wajar saja seorang
wanita lebih memilih pasangan berkantong tebal. Mereka ini bukan lagi disebut
wanita matre', melainkan wanita realistis.
- Anda perlu mengenali
pribadinya dengan lebih dalam. Misalnya, apakah dia memiliki tuntutan tertentu
setelah menikah? Atau, apakah dia tipe yang mau diajak turun ke dapur atau
membersihkan rumah? Anda akan mengetahui apakah Anda bisa menolerir
tuntutannya, atau apakah dia bisa diajak berbagi peran di rumah atau tidak..
- Apakah sia dia terbuka soal
keuangan. Satu hal yang harus menjadi 'budaya' dalam masalah keuangan, baik
kekayaan maupun utang, Anda berdua harus saling jujur soal ini. Tidak baik
untuk memberikan kejutan-kejutan dalam hal keuangan. Apalagi hal yang buruk.
Nah, bicarakan saja secara terbuka agar Anda dan pasangan sependapat tentang
model pengelolaan keuangan.
- Buang pula jauh-jauh
kebiasaan berasumsi sendiri dalam hal cara pandang pasangan soal keuangan.
Misalnya, saat pacaran, si dia cukup 'dermawan', tidak segan-segan memenuhi
keinginan Anda. Asumsi Anda, dia pasti tidak akan pelit setelah menikah.
Padahal kan, belum tentu. Namanya pacaran, biasanya pria rela menghabiskan uang
banyak, demi Anda. Tapi, setelah menikah, ketika kebutuhan makin banyak,
kebiasaan ini pun bisa berubah.
- Aset yang harus Anda teliti
dengan baik adalah sifat dan kepribadian pasangan. Pria-pria yang berhasil,
biasanya memiliki sifat penuh perjuangan, karena dia pekerja keras dan ulet
dalam berusaha. Mereka juga umumnya sudah memililiki rencana di masa depan, dan
sudah menetapkan langkah-langkah untuk mencapai impian.
Sekarang pilihan di tangan anda
:), bantu pasangan anda untuk menentukan apa yand dia cari, cintakah? atau
materi? jika anda sudah mempunyai jawaban kisah amir dan lina tentunya tidak
akan terjadi di kehidupan anda
IR yang banyak tak dapat
memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang
memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina
(Kidung Agung 8: 7).
Agungnya cinta dalam Kidung Agung, sangat terasa dan tampak nyata.
Cinta tepat berada di posisinya, terhormat dan tak terbeli. Sudah selayaknya
cinta mendapat tempat terhormat, karena cinta adalah ekspresi diri, harga diri,
yang sudah pasti tak ternilai. Tanpa cinta manusia bukan lagi manusia.
Kehilangan cinta, manusia kehilangan jati dirinya, kehilangan rasa
kemanusiaannya, dan juga kehilangan potensi relasinya dengan sesama. Mencintai
dan dicintai menjadikan hidup manusia utuh, mampu mengaktualisasi diri dan
menikmati nilai hidup yang tinggi. Tuhan telah menaruh benih cinta dalam hati
setiap anak manusia, baik cinta terhadap sesama, maupun cinta dalam relasi
khusus pria dan wanita.
Ketika seseorang berjuang, terperangkap di medan tempur, di antara
desingan peluru, tak ada yang berada di sana tanpa cinta. Entah cinta pada
bangsa dan negara, cinta pada keluarga, atau bahkan cinta pada diri untuk
menjadi berarti. Dalam keliaran yang tak terkendali, cinta itu, juga bisa jadi
cinta pada perang itu sendiri. Cinta yang kehilangan orientasi bisa jadi liar.
Tapi yang pasti, cinta dalam jalur yang benar atau salah, selalu membuahkan
hasil yang mencengangkan. Di kehangatan cinta anak remaja, ungkapan cinta buta
membahana. Bukan saja keberanian membohongi orang tua demi “cinta buta”, atau
bolos dari sekolah, bahkan tak sedikit yang berakhir pada racun yang mematikan
demi mempertahankan apa yang diyakininya sebagai cinta. Cinta memang
membutakan, menghanguskan sekaligus menggairahkan. Tapi yang pasti, dari
berbagai sudut mata memandang tampak nyata keberanian berkorban demi cinta,
bukan sebaliknya transaksi menjual cinta.
Cinta tak bisa diperjualbelikan, kecuali orang yang menjualnya sudah
tak lagi memilikinya. Lukisan Kidung Agung tentang bara cinta sangat hebat: air
banyak tak akan pernah mampu memadamkannya. Api yang membara boleh mati, tapi
api cinta tak akan pernah berhenti. Tak ada pemadam cinta, yang ada pengkhianat
cinta. Kerasnya arus sungai pun tak mampu menghanyutkan cinta. Bahkan
sebaliknya, cintalah yang menghanyutkannya. Dan, uang yang punya daya tarik
tinggi, uang yang menggoda hati, tak bisa membeli cinta sejati, kecuali cinta
imitasi yang memang tak bernilai. Cinta imitasi, mungkin ungkapan yang tak pas,
karena memang cinta seharusnya tak ada yang imitasi. Cinta hanya ada atau tidak
ada. Namun biarlah ungkapan ini terpakai dalam tulisan ini untuk membedah nilai
cinta.
Dalam realita kekuasaan uang, hawa materialistis semakin terasa. Para materialis berbaris, menjual atau membeli apa saja,
termasuk cinta imitasi. Penjaja cinta imitasi yang menjual diri semakin hari
semakin menjamur. Aneka alasan dikumandangkan untuk pembenaran pilihan diri.
Mereka seakan korban, yang terpaksa “mengorbankan diri” dalam transaksi.
Padahal di sisi lain mereka piawai menentukan harga, bahkan menggaet pembeli
cinta imitasi. Memang ada yang jadi korban pemaksaan, namun mereka tak pernah
mampu menikmati uang. Bahkan uang yang diterima pun adalah pemaksaan. Hidup mereka
sangat mengenaskan, karena cinta sejati dirampas dari hidupnya. Mereka tak
pernah rela. Mereka hanya merindukan kebebasan untuk kembali pada cinta sejati,
cinta yang tidak mungkin terganti. Jeritan hati mereka sangat menyayat. Beda
dengan penjaja cinta imitasi, yang mampu menikmati keuntungan transaksi yang
diterima.
Penjaja cinta imitasi juga kreatif mencipta kreasi untuk
meningkatkan harga beli bagi pemburu cinta imitasi. Transaksi yang lebih halus
bahkan berujung di pelaminan. Wow, pelaminan? Bukankah itu tempat sakral di
mana janji sehidup-semati dikrarkan? Seharusnya begitu. Tapi rupanya para
pemburu cinta imitasi bisa saling memangsa. Yang satu butuh tumpukan uang yang
tak berbatas. Yang lainnya, juga butuh penampilan muda energik dengan daya tarik
seksual yang wah.
Nah, transaksi tak terhindar, pernikahan pun ternoda. Pernikahan
bisa jadi penuh balutan imitasi yang hanya asli dalam selembar surat yang
bernama akta pernikahan. Bagaimana mungkin cinta direkatkan dengan lem uang?
Cinta adalah rasa, hati, batin dua anak manusia, bukan materi, bahkan dalam
tumpukan setinggi apa pun. Tapi materi memang luar biasa, dan yang
materialistis pun semakin menggila. Pindah agama, ganti kewarganegaraan, putus
ikatan keluarga, bahkan cacian sekalipun, tetap saja dilakoni demi materi.
Cinta imitasi memang sarat transaksi. Semua ungkapan murni cinta, saling
mencintai, tak memperhatikan ini-itu, tak lebih dari bumbu-bumbu yang juga
imitasi. Pembelaan diri yang tak berlangsung lama.
Memang cinta bisa jadi tidak memandang ini dan itu, namun tetap
dalam kewajaran yang terukur, dan pembuktian yang tak lekang oleh waktu.
Hari-hari kini memang didominasi warna-warni cinta imitasi. Alasan pernikahan
karena cinta sejati semakin menipis. Kenyataan tuntutan gaya hidup yang semakin
materialistis, semakin mempersubur transaksi cinta imitasi, mulai dari yang
halus hingga yang vulgar. Cinta sejati, mendapat lawan berat, seperti masa
depan, karier, dinasti, bahkan gengsi. Tak heran jika pernikahan tak hanya
melahirkan akta nikah, tetapi juga pemisahan harta tanpa alasan yang jelas,
kecuali ya harus terpisah. Ini bahkan sudah menjadi gaya. Belum lagi “kerelaan
berbagi cinta” yang menyuburkan poligami. Apakah cinta sejati bisa terbagi?
Apakah cinta jika terbagi? Bukankah cinta itu mempersatukan yang dua menjadi
satu, menjadi satu pikiran, satu perasaan, sepenanggungan, sehingga saling
menguatkan.
Bagaimana mungkin cinta terbagi, kecuali cinta adalah materi. Materi
memang bisa dibagi jujur, dibagi rata, dibagi adil, dibagi sesuai hukum, atau
apa pun namanya. Tapi cinta sejati bukan materi, cinta adalah rasa, hati, batin
yang tak terbagi. Haruskah cinta dijaja? Haruskah cinta dibeli? Haruskan cinta
dibagi? Haruskah cinta yang mempersatukan pria dan wanita ternoda? Pertanyaan
yang menggugat semua anak manusia. Cinta terhadap sesama, memang harus dibagi
pada semua anak manusia. Tapi cinta yang mengikat pria dan wanita tak sama.
Semoga manusia masih mengingatnya, mengapa Tuhan menciptakan cinta (Kejadian 2:
23-25). Jangan lagi pernah menjual atau membeli cinta, jika engkau tak ingin
dihina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar