Ini rahmat Allah yang dimunculkan dalam hati hambanya
Yang Dia kehendaki, dan Allah
akan memberikan rahmat-Nya
Kepada hamba yang menyayangi.
(hadis)
Aku seorang
wanita yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga tidak mampu dengan jumlah saudara
yang cukup banyak. Aku anak kedua adari 5 bersaudara. Aku mempunyai paras yang
tidak terlalu cantik dan kepribadian lebih tenang dibandingkan
saudari-saudariku yang lain, sedangkan adikku berparas cantik, manja dan selalu
diperlakukan dengan baik. Sebaliknya aku selalu mendapat cemohan dan pelaku
kasar. Jika adikku melakukan kesalahn, maka akulah yang menjadi sasaran
hukuman. Alasannya adalah, sepatutnya aku menjaga dan menjauhkannya dari
kesalahan-kesalahan.
Sebelum aku,
kakak perempuanku yang harus sering merasakannya, walaupun terkadang ayah
selalu berbeda pendapat dengannya. Jika ia tidak bisa menghindar dari perlakuan
kasar ayah, maka karena aku belum paham dengan apa yang terjadi aku harus
menghormati dan menuruti semua permintaan mereka. Jika sedikit saja aku
terlambat atau keliru, hukumannya adalah dikurung dalam kamar mandiatau dipukul
dengan ikat pinggang, atau diikat kaki dan tanganku kemudian dipukuli hingga
bababk belur.
Peelakuan
seperti ini bukan hanya berlaku kepadaku, tapi juga saudara-saudaraku yang
lain, walaupun akulah yang sering mendapat perlakuan ynag paling kasar di
antara yang lain. Ayahku dengan sikap tidak manusiawinya menghancurkan semua
makna harga diri,hingga perlakuan kasar itu sering meninggalkan bekas. Orang
yang melihat tidak percaya dan terheran-heran; terkadang mata kami tampak biru,
wajah kami bengkak atau terluka dan terkadang ada tanda memar di tangan.
Setiap har
ayah memilih salah seorang dari kami untuk jadikan korban. Ia lantas menghajar
dengan perabotanm rumah dan tidak akan berhenti kecuali darah telah menguncur
serta menginjak lehernya yang sedang terkapar di atas tanah seperti hendak
pingsan. Seakan-akan ia hendak mengatakan kepada kami “akulah tuhan kalian yang
paling tinggi”. Akibatnya, kami merasa takut kepadanya.
Saat itu,
ibuku hanya bersikap diam dan apatis dengan apa yang menimpa anaknya-anaknya.
Setelah salah seorang dari kami mengalami penyiksaan sedemikian rupa, ia datang
menemuinya di dalam kamar dan berkata dengan ekspresi gembira yang hingga sekarang
aku baru megetahui penyebabnya, “apakah kamu sekarang merasa lebih baik?”.
Selain itu, ia tidak mau memcuci pakaian atau membantuku menyisir rambut,
padahal saat itu aku masih kecil. Ia juga tidak senang melihatku tidur dengan
tenang, selalu saja ada pekerjaan yang harus aku lakukan.
Perlakuannya
tidak hanya sampai di situ saja, ia juga merobek-robek buku-buku yang aku beli
dari hasil tabungan, melarangku keluar walaupun untuk menemui dokter, karena
selalu saja ada pekerjaan yang harus aku lakukan sendiri sedangkan ia dan
saudara-saudaraku pergi meninggalkanaku sendiri menemani saudara yang sedang
menghadapi ujian agar bisa melayaninya atau menemani ayah selalu sibuk dengan
pekerjaanya agar aku dapat menjaganya serta lebih sering mendapatkan perlakuan kasar.
Ayah dan ibu
sebenarnya menyadari perlakuan mereka yang tidak manusiawi. Padahal, keduanya
adlah orang yang terpelajar. Ayah pernah memeganga beberapa jabatan sebelum
pensiun dari tugasnya dan kemudian berprofesi sebagai pedagang.
Tahun demi
tahun aku lalui dengan menanggung beban penderitaan seorang diri. Dengan segala
daya-upaya dan pikiran aku harus tetap konsen pada studi hingga akhirnya
membuahkan hasil, meskipun sering mendapat tekanan dari segala penjuru.
Kemudiaan aku lulus kuliah dengan peringkat sangat baik. Setelah itu, aku
memutuskan untuk mengenakan hijab tanpa persentujuan ibu yang selalu mengejek
dan menghina. Dalam studi informasi aku berhasil mendapat ijazah komputer.
Ketika
saudara-saudara telah tumbuh lebih dewasa mereka menberontak terhadap perlakuan
ayah yang kasar dan sikap ibu yang dingin. Kakak kemudian mulai berani
mengumpat jika ibu membuatnya emosi. Akibatnya, ibu menghindarinya karena takut
dengan makian kakak dan berusaha menyembunyikan hal itu dari ayah tujuan agar
ia semakin membangkang. Akibatnya, kakak bertambah menjadi sangat fanatik,
membangkang dan berani menghancurkan barnag-barang, serta berteriak histeris
hingga membuat para tetangga berdatangan.
Sedangkan adik
laki-laki lari dari rumah dan merusak nama baik ayah di mata orang lain.
Perilaku itu muncul karena sikap tidak mau menuruti keinginan ayah dan ibu. Ia
bersikeras untuk menikah gadis yang tidak disetujui orang tua karena status
sosialayang tidak setara. Di samping itu, ia sering menbebani ayah dengan
kebutuhan materinya untuk digunakan bersenang-senang bersama teman-temanya.
Demikianlah
semua anggota keluarga memberontak kepda orang tua hingga akhirnya ayah
terserang penyakit kecing manis, sedangkan ibu
terkena tekanan darah tinggi. Tahun demi tahun berlalu, kakak dan adik
telah menikah, tinggal aku yang belum. Mereka sibuk dan tenggelam dalam
kehidupan masing-masing setelah menggunakan segala cara untuk memaksa ayah
membiayai pernikahan yang sesuai dengan keinginan mereka.
Tinggal aku
yang melayani ayah dan ibu selama beberapa tahun. Yang terlontar dari mulutnya
hanya cerita kedurhakaan, sikap tidak peduli tidak berperasaan. Sampai-sampai
ayah dan ibu lupa bahwa aku juga butuh pakaian dan kebituhan dasar lainnya yang
tidak sempat dipenuhi oleh mereka. Akibatnya, penampilankua tampak sperti
pembantu. Hal itu dikarenakan kau tidak pernah memberontak dan berdiri di
hadapan mereka dengan membentak dan mengacam seperti yang dilakukan oleh
saudara-saudaraku yang lain.
Akhirnya Allah
mmeberikan jalan keluar bagiku. Aku dipertemukan dengan seorang pria berakhlak
baik, dan memegang teguh prinsip agama. Ia mencintaiku dengan tulus dan begitu
pula aku. Aku tidak terlalu mengandalkan pendapatnya yang pas-pasan dan
kemampuanya yang terbatas, tetapi aku berjanji untuk bekerja bersamanya
membantunya membina bahtera rumah tangga.
Untuk
menceritakan secara panjang lebar kepada Anda tentang perlakuan yang aku dapat
dari ayah dan ibu sebelum keduanya menerima pernikahanku dengan terpaksa,
mungkin tidak cukup lewat surat ini. Tetapi cukup aku katakan bahwa ibuku
pernah melotarkan kata-kata kepadaku saat hari pernikahan bahwa ia tidak setuju
dengan pernikahanku hanya karena ada pria yang lebih baik dari dia.
Hari ketika
kami membeli perabotan rumah tangga merupakan hari yang paling menyedihkan dan
mengiris hati, karena ibuku hanya membelikan perabotan seadanya walaupun ayah
manpu membeli barang yang lebih berkualitas. Hal itu membuat merasa tidak enak
dengan suami dan hanya bisa menggeleng-geleng kepala karena malu. Setelah itu,
kami meletakkan semua perabotan tersebut di rumah, sementara suami tidak
terlalu peduli dengan hal itu. bahkan, ia tampak bahagia dan bangga dengan
diriku.
Akhirnya, kami
pun menikah. Untuk pertama kalinya aku merasa damai dan tenang dalam hidup, aku
merasa menjadi orang yang mempunyai harga diri, menjadi manusia yang mulia dan
patut dihormati dan dicintai.
Setelah
seatahun usia pernikahan, aku melahirkan seorang ana. Hal ini serasa dipenuhi
dengan cinta dan kasih sayang saar pertama kali aku melihatnya. Karena itu,
merasa heran melihat sikap ibu atau ayah yang tega memperlakukan buah hatinya
dengan kasar. Padahal, kami merupakan belahan jiwa dan darah dagingnya.
Karena itu,
aku bernadzar kepada Allah ketika anakku lahir, aku tidak akan memukul atau
memperlakukannya dengan kasar, menjatuhkan harga dirinya atau membuatnya merasa
hina dan rendah. Aku akan berusaha membuatnya merasa tegar, mulia dan bahagia,
memperlakukannya sebagaimana manusia normal agar ia mencintai Allah, sesama
manusia, melakukan kebaikan an berperilaku manusiawi, serta menghindarkan
dirinya dari tekanan jiwa dan kenangan pahit.
Aku sendiri
merasa harus berkonsultsi dengan dokter jiwa untuk menyembuhkan gangguan
(penyakit) yang merasuk ke dalam alam bawah sadarku akibat perlakuan kasar
ayah. Sehingga sekarang aku masih sering menangis setiap kali membaca surta
konsultasi yang memceritakan perlakuan kasar orang tua terhadap anaknya.
Perlakukanlah
anak-anak kalian dengan mulia dan baguskanlah etika mereka.(hadist)
Perlakuan
kasar hanya akan membuahkan sikap memberontak, tidak mau diatur, durhaka dan
akan mengalami gangguan mental.
Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005.
Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar