Apabila ada pria
yang engkau ridhai agama dan akhlaknya datang kepadamu, maka nikahkanlah ia.
Karena kalau tidak,akan terjadi fitnah dan kerusakan yang dahsyat di muka bumi.
(hadits)
Kisah
yang ada di hadapan Anda bukan hanya masalah pribadi yang pernah aku alami,
tetapi merupakan pengalaman hidupku yang ingin aku bagi kepada orang lain agar
dapat diambil pelajaran dan hikmah di balik itu semua, terutama bagi para gadis
yang sudah memiliki cukup umur untuk menikah.
Aku
seorang istri yang berumur 28 tahun yang bekerja di sebuah lembaga asing. Aku
adalah lulusan sebuah universitas terkemuka dan memiliki posisi yang baik di
tempatku bekerja, di samaping sebagai pemerhati pemikiran Islam dan Barat. Di
samping itu, aku juga pernah menjuarai perlombaan atletik.
Pengalaman
yang aku alami ini bermula dari kedatangan seorang pria yang ingin melamarku
ketika masih duduk di bangku kuliah tingkat akhir. Ia adalah seorang pemudyang
berumur lebih tua beberapa tahun dariku, sehingga wajahnya tampak lebih dewasa.
Karena
aku tumbuh besar tanpa belaian seorang ibu, yang telah , meninggal dunia sejak
aku masih kecil, sehingga sebagai seorang laki-laki ayahku tidak cakap
menangani masalah-masalah rumah tangga, sementara saudara-saudaraku yang masih
muda tenggelam dlam lagu, film, fashion dan tren mobil terbaru.
Tentu
saja aku mersa kehilangan orang yang paling sering berbagi perasaan dan masalah
denganku, apalagi aku juga kehilangan saudari kandung yang menjadi korban
peristiwa menyedihkan, padahal ia adalah satu-satunya saudari dan tema terbaik
yang pernah aku miliki. Yarhamhallah!
Demikianlah,
sejak itu aku tidak mampu membuat keputusan final dan mersa sangsi menerima
pinangan pemuda tersebut kendati ia sosok pria yang sempurna, dan dalam
pandanganku ia tidak memliki kekurangan apapun selain masih kolot soal tren
mode, lagu terbaru, dan dunia otomotif dan lain sebagainya.
Perbedaan
umur yang begitu jauh antara aku dengannya juga amat mengkhawatirkanku,
keluarga dan teman-teman. Di samping itu, yang aku pahami cintanya hanya
sebagai upaya untuk menyembunyikan kekurangannya. Karena itulah aku berani
menolaknya. Wlaupun demikian, ia masih meminta untuk mempertimbangkannya lagi
dan aku pun mengabulkan permintaan itu.
Waktu
telah berjalan sekian lama, namun pria itu masih menggantungkan harapannya agar
aku menerima dan menikah dengannya. Tanpa putus asa ia berani maju untuk
meminangku, aku pun terkadang menolak dan terkadang menggantungkannya, bahkan
kelurgaku menyikapinya dengan dingin. Kondisi seperti ini berlangsung beberapa
tahun; dan dalam kurun waktu tersebut, aku mendapati teman-temaniku sudah
banyak yang menikah, tinggal aku sendiri yang belum menikah.
Lama-kelamaan
aku merasa gelisah dan khawatir juga terhadap masa depan, apalagi slam kurun
waktu tersebut ayahku jatuh sakit hingga meninggal dunia. Yarhamhullah!
Tidak
ada yang mendampingiku semenjak ayahku sakit kecuali pemuda tersebut, walaupun
aku tidak menyukainya. Kemudian ada pemuda lain yang datang meminangku, aku pun
pantas menerimanya tanpa memikirkan perubahan sikap pemuda pertama yang masih
mengharapkan sejak lama. Belum lama pinangan itu berlangsung, krikil
kecemburuan dari pemuda pertama menjadi masalah yang sangat besar, padahal ia
memprediksikan setelah pinangan tersebut selesai, aku bakal menerimanya kali
ini. Namun, untuk kedua kalinya, aku mengecewakannya, bahkan aku telah menerima
pinangan pria yang masih mempunyai hubungan saudara dneganku, yang kemudian
berjuang pada pernikahan. Namun, sayang pernikahan kami hanya berumur jagung.
Tidak
lama kemudian, aku menikah lagi dengan seorang teman yang sma-sama bergelut
dalam dunia olah raga. Ia memiliki obsesi, cita-cita dan perhatian yang tidak
jauh berbeda denganku, dan seperti itulah yang aku harapkan dari orang yang
akan menjadi teman hidupku. Akan tetapi, meski memiliki banyak kesamaan, kami
tetap tidak bisa menyelamatkan bahtera rumah tangga yang telah kami bangun
haingga harus berakhir dengan perceraian.
Setelah
itu, pikiranku menjadi kacau, aku kehilangan konsentrasi dalam bidang olah raga
yang aku tekuni. Aku juga kehilangan kesempatan memenangkan pemilihan dalam
jajaran pengurus di bidang yang aku tekuni. Kondisiku pun bertambah buruk.
Kemudian aku berfikir untuk menikah lagi, namun hanya karena mengiginkan
seorang pria yang dapat melindungiku walaupun ia tidak seperti yang aku
harapkan.
Dalam
kegalauan dan kesedihan karena hidup sebatang kara, sementara saudara-saudara
pun sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing, maka semakin buruk kehidupan
yang aku alami. Kemudian aku bertanya kepada diriku sendiri, siapa pria yang
mau mendampingku dalam kondisi seperti ini meraih tanganku dan mengembalikan
kepercayaan diriku?
Serta
merta terbayang wajah seorang pemuda amanah yang pernah datang meminang pertama
kali, namun saat itu aku menolak pinangannya lebih dari satu kali, naumun ia
tak kunjung menyerah. Berubah niat, membenci atau hilang keinginanya untuk
memiliki diriku. Kemudian aku
bertanya kepada diriku sendiri, apa yang kurang dari pria yang berpembawaan
tenang, bijak, tampan, berkepribadian menarik, berperasaan lembut dan baik
dengan keluarganya!
Aku
teringat dengan tulisan yang sering kubaca bahwa “kita tidak berarti dan bermilai
kecuali jika bersama orang yang mencintai, menginginkan, melakukan segala
sesuatu demi dan untuk menjaga kita.”
Aku
pun menyampaikan kesediaanku menerima ajakannya untuk menikah jika ia masih
menginginkanku dan tidak merasa ragu untuk maju kedua kalinya. Akhirnya, ia pun
maju meminang walaupun aku tidak mencintainya. Namun, pada sisi lain aku
berharap cinta di antara kita akan bersemi pada suatu hari nanti.
Pesiapan pernikahan segera di
rampungkan dalam waktu yang singkat, kemudian kami pun menikah. Dalam hati aku
berharap agar cinta bisa lahir dalam waktu yang tak lama. Akhirnya dengan
rahmat Allah, cinta itu pun menghampiriku hanya dalam hitungan minggu pertama
pernikahan kami. Aku betul-betul mendapatkan apa yang kuharapkan dari teman
hidupku; tata beragama, berinteraksi dengan baik, penuh kasih sayang dan
dukungan yang tiada henti-hentinya sehingga aku semakin mencintainya.
Hampir saja aku iri dengan perasaan
cinta yang aku dapatkan bersamanya. Saat itu jug aku menyesali tahun-tahun yang
telah kulewati dengan sia-sia sebelum menikah dengannya. Sekarang usia
pernikahan kami bahagia ini sudah mencapai 3 tahun. Hidup kami selalu penuh
dengan cinta dan ketenangan. Kami pun telah dikaruniai Allah swt 2 anak yang
tampan, dan kenikmatan iru semakin lengkap dengan kesuksesan kami dalam
pekerjaan sehingga aku dapat menunaikan ibadah umrah bersama suami. Kebahagiaanku
hanya bisa aku gambarkan dengan kata-kata, dialah suami, kekasihku, saudara,
ayah dan teman yang terbaik.
Aku benar-benar bersyukur kepada
Allah karena telah membimbingku pada keyakinan ini, setelah terombang-ambing
dalam keraguan yang aku yakin semua gadis yang akan menikah pernah
mengalaminya, hingga aku mendapatkan kebahagian bersama suami tercinta dan
setelah kesendirian yang aku rasakan sepeninggal ayah dan mengalami kegagalan
yang berulang-ulang.
Aku sekarang mersa sangat berdosa
kepda suami yang sejak awal dengan gigih menginginkanku, tetapi aku berpaling
karena ketidaktahuan dan kelalaianku. Aku ingi semua gadis mengingat hadits
Nabi saw yang berbunyi “Apabila ada pria yang engkau ridhai agama dan
akhlaknya datang kepadamu, maka nikahkanlah ia. Karena kalau tidak,akan terjadi
fitnah dan kerusakan yang dahsyat di muka bumi.”
Banyak
gadis tidak berfikir ketika ada seorang pria datang melamarnya kecuali sejauh
mana kecocokannya, kesetaraaan materi, jiwa, obsesi, penampilan, pakaian dan
faktor-faktor lainnya, tanpa pernah terlintas dalam pikiran mereka komitmen
pria dalam memahami dan mengajarkan Alquran, hadits, akhlak dan etikanya.
Konsekuensinya, seperti yang kita lihat sekarang ini, banyak terjadi
perceraian.
Saranku selanjutnya, aku ungkapkan
dengan meminjam perumpamaan yang tercantum dalam stau risalah Imam Ali Abi
Thalib yang maknya sebagai berikut:
Sesungguhnya
kehancuran seseorang terletak pada sikap enggannya terhadap orang yang
menginginkan dirinya.
Bukanlah sikap bijak
apabila kita menilai orang dari penampilan luarnya atau sejauh mana ia
mengikuti tren modern.
Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005.
Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar