Salam Hidup Penuh Berkah

Selasa, 03 November 2015

Sejarah Perkembangan Islam di Kerajaan Bone
Oleh:

Para pelaut pedagang Bugis dan Makassar sudah berhubungan dengan agama islam jauh sebelum islam masuk ke Sulawesi selatan. Mereka berhubungan dengan Masyarakat dagang yang kebanyakan Islam di daerah pantai utara dan barat jawa serta sepanjang Selat Malaka, dan dengan Ternate DI Maluku (yang mengadakan perjanjian persahabatan Kerajaan Gowa). Suatu masyarakat Melayu Islam telah bermukim di Kota Makassar sejak pertengahan abad keenam belas, dan Raja Goa menyambut kehadiran mereka dengan membangun sebuah masjid untuk mereka. Tetapi, daerah itu diislamkan setelah Raja Gowa sendiri beserta para penasihat terdekatnya memeluk agama Islam pada tahun 1605.

Penyebaran islam berawal ketika tiga orang ulama tiba di Makassar pada akhir abad keenambelas. Mereka adalah orang Minangkabau dari Kota Tengah, Sumatera Barat, tempat kelahiran sejumlah orang Islam Makassar, dan anggota dari Perhimpunan Chalawatijah di Indonesia yang beraliran sufi ortodoks. Para ulama ini berjasa dalam menyiarkan agama islam kepada Raja Gowa beserta paman dan penasihatnya dan raja dari Kerajaan Tallo. Sejak saat itu perkembangan Islam berjalan sangat pesat.

Setelah menganut agama islam, Raja Gowa mengeluarkan seruan kepada para penguasa kerajaan lain agar menerima agama Islam. Seruan itu dikatakan telah didasarkan atas persetujuan terdahulu, bahwa setiap penguasa yang menemukan suatu jalan baru, dan lebih baik, berkewajiban memberi tahu para penguasa lainnya mengenai penemuannya tersebut. Tetapi hanya kerajaan-kerajaan kecil yang memberi tanggapan positif. Dan Gowa, yang khawatir akan diperbaharuinya persekutuan Bone, Wajo, dan Soppeng terhadapnya, menyatakan perang suci terhadap lawan-lawan lamanya. Kerajaan-kerajaan yang keras itu ditaklukkan, Soppeng pada tahun 1609, Wajo tahun 1610 dan Bone tahun 1611 dan dinyatakan masuk Islam. Hanyalah daerah-daerah pegunungan yang terpencil khususnya daerah Toraja di daerah pedalaman tengah dan daerah Bawakaraeng dan Lompobattang tetap di luar lingkup Islam.

Ketika kerajaan Gowa mengajak para penguasa di tanah Bugis untuk menerima Islam menjadi agamanya seperti yang terjadi di kerajaan Gowa. Di mata orang Bone hal itu dilihat sebagai upaya untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaan kerajaan Gowa. Pandangan seperti itu dalam banyak hal mewarnai tingkah laku kerajaan-kerajaan besar di wilayah ini.

Di bawah pemerintah Raja Bone XII, kerajaan Bone dikenal sebagai kerajaan paling besar di antara kerajaan-kerajaan lainnya dalam wilayah suku Bugis. Raja Gowa yang lebih dahulu masuk Islam dikenal sangat bersemangat dalam memperjuangkan Islam, begitu pula dengan rakyatnya. Sehingga beliau berniat untuk menyampaikan dakwah pada kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya, termasuk Raja Bone. Kemudian raja Gowa menyampaikan pesan kepada Raja Bone bahwa dia hanya akan dipandang dan dihormati sebagai raja yang setaraf, apabila Raja Bone menganut ajaran agama Islam dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

Setelah kerajaan Sidenreng, Soppeng dan Wajo menerima Islam, Raja Bone X digantikan oleh La Tenriruwa sebagai raja Bone XI. Mengetahui ada pergantian raja di Kerajaan Bone maka Sultan Alauddin (Raja Gowa) bersama pasukannya bergerak menuju Bone untuk bertemu dengan raja Bone yang baru. Kunjungan ini bertujuan untuk mengajak Raja La Tenriruwa dan rakyatnya untuk memeluk Islam. Ajakan Sultan Gowa ini nampaknya secara pribadi dapat diterima dengan baik namun mendapat tantangan oleh para Ade pitu.

Menurut pendapat A. Zainal Abidin, penolakan atas Islam sebagai agama kerajaan pada waktu itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

1.Mereka sukar meninggalkan kegemarannya makan babi, minum tuak, sabung ayam dan judi, beristri banyak, dan lain-lain.

2.Mereka khawatir akan dijajah kembali oleh Gowa. Mereka masih teringat akan perang yang dilancarkan oleh Raja-raja Gowa dahulu seperti I Manrigau Daeng Banto Tunipallangga Ulaweng dan I Tajibarani Daeng Marompa Tunibatta pada abad XVI.

Pada tahun 1910 Bone secara resmi masuk Islam, pada masa pemerintahan Raja Bone XIII yaitu La Madderemueng (1631-1644) mulailah Kerajaan Bone berbenah diri dengan melaksanakan hukum Islam ke dalam lembaga tradisi Bone. Selain itu juga mencanangkan pembaharuan keagamaan, serta memerintahkan kawulanya untuk mematuhi ajaran hukum Islam secara total dan menyeluruh.

Setelah itu, pada saat Islam masuk ke dalam struktur pemerintahan sebagai satu bagian yang menangani syariat Islam (Parewa Sara). Tugas raja dalam pengembangan agama Islam beralih kepada para pejabat sara atau Parewa Sara.

Dengan diterimanya Islam dan dijadikannya syariat Islam sebagai bagian dari pangngadereng, maka pranata-pranata sosial masyarakat Bone mendapatkan warna baru. Ketaatan mereka terhadap pangngadereng sama dengan ketaatannya terhadap syariat Islam.

Hal ini dikarenakan oleh penerimaan mereka terhadap Islam tidak banyak merubah nilai-nilai, kaidah kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah ada. Apa yang dibawa oleh Islam hanyalah urusan ubudiyah (ibadah) tanpa mengubah lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat yang ada (pangngadereng).
Islam mengisi sesuatu dari aspek kultural dan sendi-sendi kehidupan mereka. Nilai-nilai kesusilaan yang bertujuan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia diselaraskan dengan konsep siri yang begitu dijunjung tinggi oleh orang Bugis. Dengan jalan itu proses sosialisasi dan enkulturasi Islam masuk dalam kebudayaan orang Bone.

Daerah Sulawesi yang berpenduduk sekitar enam juta orang terdiri dari empat suku bagi penduduk asli ditambah dengan sejumlah pendatang dari luar. Keempat suku yang menjadi penduduk asli Sulawesi Selatan adalah Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.

Memahami pola tingkah laku serta budaya Bugis-Makassar hanya mungkin memahami dengan baik konsep tentang Pangngaderreng dan siri’. Pangngaderreng merupakan suatu ikatan utuh sistem nilai yang memberikan kerangka acuan bagi hidup bermasyarakat orang-orang Bugis Makassar. Sedangkan Siri’ merupakan sikap hidup yang sangat mementingkan diri.

Pangngadereng dibangun ole unsur-unsur:

Ade’, yaitu sistem norma atau seperangkat adat yang menentukan dan mengatur batas-batas, bentuk-bentuk dan kaidah-kaidah. Misalnya, Ade’ yang khusus mengatur norma-norma perkawinan dan hal-hal yang berhubungan dengan etika rumah tangga disebut ade’ akkalabinengeng. Di dalamnya diatur garis keturunan mana yang dibolehkan untuk menjalin tali perkawinan dengan garis keturunan yang lain, kemudian kaidah-kaidah yang mengatur sah atau tidak sahnya perkawinan dan etika pergaulan dalam berumah tangga.

Bicara, mengatur segala hal-ikhwal yang berhubungan dengan peradilan, mengatur hak dan kewajiban warga negara dalam pelaksanaan hukum seperti penggugatan dan pembelaan di pengadilan. Namun bila dilihat materinya, mengarah pada wilayah penerapan hukum adat.

Rapang, berarti contoh, kiasan atau perumpamaan atau semacam yurisprudensi. Hal ini diberlakukan untuk situasi di mana kaidah atau undang-undang belum ditemukan untuk suatu kasus atau kejadian.

Wari, berfungsi menata, mengklasifikasi, mengatur urutan dari berbagai hubungan norma atau kaidah terutama dalam hubungannya dengan hal-ikhwal ketatanegaraan serta hukum, seperti tata cara menghadap raja. Di dalamnya juga diatur tentang pelapisan masyarakat atau stratifikasi sosial.

Sara’ merupakan unsur yang terbaru yang diserap dalam Pangngadereng. Ia mengandung pranata dan hukum dimana kata sara’ itu jelas diambil dari kata syariah. Bahwa sejak raja-raja Bugis dan Makassar pada abad ke-17 mulai masuk Islam, hukum Islam diintegrasikan ke dalam pangngadereng. Keberadaan sara’ memberi warna Islam kepada pangngadereng. Dalam hirarki kerajaan diangkatlah pegawai yang khusus mengurusi rentang sara’ ini yang disebut parewa sara’. Dialah yang bertanggung jawab dalam soal ibadah, zakat, pengurusan masjid, serta pernikahan dan warisan.

Jika budaya Bugis-Makassar ditelusuri ke zamannya yang paling tua, maka zaman itu disebut Galigo. Kebudayaan bugis Makassar yang sebelumnya hanya terdiri dari empat (ade’, bicara, rapang dan wari) merupakan materi perjanjian yang dilakukan antara Tomanurung di satu pihak dan rakyat di lain pihak pada zaman pra Islam.

Setelah selesai zaman pra Islam, mulailah zaman pengaruh Islam yang amat kuat berinternalisasi ke dalam tubuh kebudayaan Bugis-Makassar. Ia memberikan coraknya pada papangaja dan paseng. Kenyataan ini pun menunjukkan betapa kuatnya kedudukan lontara sebagai khazanah kebudayaan Bugis-Makassar yang dihasilkan sebelum Islam, sebab sebagian besar masih tetap terpelihara dalam zaman setelah memeluk agama Islam. Lontara Latoa misalnya memuat sejumlah nasihat sekitar akhlak penyelengaraan masyarakat atau negara yang dikemukakan oleh Kajaoliddo, Toriyolo, Matinro’e ri Tanana, petta Maddanrenge, Arung Bila, Nabi Muhammad Luqman al-Hakim, Petta Matinroe ri Lariangbangngi. Di dalamnya terdapat juga sejumlah pedoman bagi raja (Arung), bagi anak raja (Ana’karung’e), guru (Anre’guru) baik yang laki-laki maupun perempuan.

Peranan dalam islamisasi di Bone Arungpone dibantu oleh seorang qadhi yang bernama Syekh Ismail, beliau adalah qadhi kedua di kerajaan Bone sekaligus merangkap jadi qadhi di Soppeng. Syeikh Ismail menjadi guru di tengah-tengah pemikiran penduduk yang memiliki banyak fungsi, selain fungsi tempat ibadah, termasuk menjadi sarana pendidikan.

Lambat laun ajaran Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam proses islamisasi dikaitkan dengan kegiatan upacara-upacara keislaman dan upacara yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Jadi setiap ada upacara senantiasa ditempatkan sifat islami yang berdampingan dengan budaya masyarakat Bone dalam perkembangan selanjutnya nuansa keagamaan semakin bercorak dan diperkuat dengan masuknya aliran tasawuf dalam prosesi penyiaran Islam.

Dalam sejarah disebutkan bahwa para raja Bone, mulai dari raja pertama sampai raja terakhir yang masuk Islam memberikan kesan bahwa masing-masing berbeda dalam usaha islamisasi dan memahami Islam. Hal ini berkenaan dengan kehadiran dan perkembangan agama Islam di Bone. Hal ini diwujudkan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, kendatipun demikian, sejak agama Islam dikenal luas oleh masyarakat Bone, hampir semua kebijakan mempunyai muatan-muatan Islam, termasuk dalam aspek pendidikan ajaran agama Islam, pemerintah Bone banyak memberikan dukungan sampai pada masa pemerintahan raja terakhir Haji Andi Mappanyukki.

Pada masa raja yang terakhir ini, kehidupan sosial keagamaan meningkat, komitmen terhadap ajaran Islam diwujudkan dengan kepedulian menerapkan nilai-nilai keagamaan bagi masyarakat Bugis Bone. Selain itu juga dibarengi dengan sikap keteladanan yang ditunjukkan, beliau dikenal sangat taat dalam menjalankan syariat Islam.

Sumbangsih beliau terhadap pelaksanaan syariat Islam ditandai dengan didirikannya tempat-tempat ibadah, demikian juga prosesi Islamisasi di Bone, oleh masyarakat, masyarakat sudah mulai mensinkronisasi ajaran Islam dengan pangadereng.

Perpaduan yang harmonis antara ulama dan umara membawa angin segar bagi penegakan perkembangan syariat Islam di Bone, pemerintah memberikan kemenangan pada ulama, dalam bidang keagamaan, sehingga keduanya mampu berjalan beriringan dengan semboyan: Riappaketenningi Ade’e pattupui ri sara’e artinya adat tempat berpegang dan sara’ tempat saudaranya.

Sejak masa itu peran ulama tidak hanya tergabung dalam organisasi qadhi, tetapi banyak di antara mereka melakukan aktivitas keagamaan di luar dari kordinasi organisasi formal. Para ulama lebih banyak memberikan pengajaran agama di masyarakat, termasuk yang dilakukan di tempat-tempat ibadah.
Perkembangan Islam yang cepat di Sulawesi Selatan dipermudah dengan kenyataan bahwa aliran Islam sufi yang bersifat mistiklah yang dibawa oleh ulama Minangkabau itu. Kesesuaian aliran sufi yang bersifat mistik dengan kepercayaan-kepercayaan yang sudah ada sebelumnya di Indonesia sudah sering dikemukakan; dan Sulawesi tidak merupakan perkecualian. Kepercayaan-kepercayaan yang lebih lama dan bersifat animistik pada kekuatan pembawaan makhluk, yang hidup dan mati, dan kekuatan benda-benda (terutama batu, sebagaimana di banyak tempat di Asia Tenggara) terus dipertahankan oleh banyak orang, dan upacara-upacara yang mencerminkan kepercayaan ini dan pengaruh agama Hindi-Budha kemudian, masih terus dilaksanakan sampai jauh dalam abad kedua puluh. Yang terutama mempunyai arti penting adalah diteruskannya pemujaan tanda-tanda kebesaran kerajaan, yang menjadi pusat kohesi spiritual masyarakat.

Tidak ada pemutusan yang tajam dengan kepercayaan dan kebiasaan lama karena orang memilih dari agama baru itu yang sama-sama yang tampak sesuai atau meyakinkan bagi mereka. Islam memberikan alternatif terhadap cara-cara biasa untuk melakukan sesuatu; kadang-kadang ajaran Islam menggantikan apa yang telah dilakukan sebelumnya, kadang-kadang peraturan baru dikesampingkan; dan kadang-kadang suatu sintesa barupun terciptalah. Dengan jalan ini kebiasaan dan kepercayaan Islam bercampur dengan apa yang sudah ada, dan bagian-bagian dari hukum Islam menjadi satu dengan praktek yang sudah lazim berlaku dalam masyarakat.

Di Sulawesi Selatan, Islam telah berjasa dalam membatasi kekuasaan tidak terbatas para raja, yang membuatnya lebih mudah bagi rakyat umum untuk mendekati mereka, dan yang menerapkan sedikit keluwesan dalam peraturan-peraturan kelas untuk perkawinan. Tetapi, adat adalah kewenangan terakhir, karena hadat-lah (yang pada hakikatnya adalah dewan adat) yang dapat memperkuat atau membatalkan keputusan pengadilan agama oleh Kadi. Kadi dan Imam lebih sering merupakan penasihat daripada anggota hadat, dan mungkin karena mereka pada umumnya adalah sanak keluarga penguasa seringkali mereka lebih memperhatikan keinginan-keinginannya daripada aturan-aturan hukum Islam.

Menjelang awal abad kedua puluh terdapat suatu sistem pengadilan Islam yang luas di Sulawesi Selatan, dengan yurisdiksi atas persengketaan yang mencakup perkawinan, perceraian, dan pewarisan. Tetapi, hukum yang mereka gunakan merupakan campuran dari hukum Islam dan hukum adat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar