A. Pengertian Naskh dan Mansukh
Secara
etimologi naskh dapat diartikan
menghapus, menghilangkan, yang memindahkan, menyalin, mengubah dan menggganti.
Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan naskh dengan 2
macam yaitu : pertama الازلة yang berarti hilangkan, hapuskan.
Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata نسحت الشمس الظل (cahaya matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ الى موضع yaitu memindahkan
sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Difinisi ini juga merujuk pada
QS.al-Jaziyah:29.
Sedangkan secara
terminologi naskh dapat didefinisikan dengan beberapa
pengertian antara lain:
a. Hukum syara’ atau dalil syara’ yang menghapuskan dalil syara’ terdahulu dan menggantinya dengan
ketentuan hukum baru yang dibawahnya. Contoh: Surah al-Mujadalah: 12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan
menghadap rasul.
b. Naskh adalah Allah SWT. Artinya
otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’ hakikatnya adalah Allah SWT.
Definisi ini didasarkan pada surah
al-Anam:5 dan al-Baqorah :106
c. رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنه artinya
mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang
kemudian dari padanya.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada
dasarnya naskh tidak
lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an.
Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di
hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan denganالحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. An-Nisaa’ : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan denganالحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. An-Nisaa’ : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat.
Terjemahannya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua Maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separuh harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS. An-Nisaa’: 11)
Lalu dinaskh oleh surah
al-Baqarah ayat 180.
Terjemahannya:
”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 180)
Sedangkan secara istilah mansukh adalah hukum syara’ yang
diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan
diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa
al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara
eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan
beberapa hal antara lain :
a.
Hukum yang di mansukh adalah hukum syara’. Artinya hukum tersebut bukan
hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum syara’ adalah hukum yang tertuang dalam
al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa
perintah (wajib atau mubah) larangan (haram atau makruh) ataupun anjuran (sunah)
b.
Dalil yang
menghapus hukum syara’
juga harus berupa dalil syara’.
Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59
c.
Dalil/ayat yang
di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
d.
Terdapat
kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua
sehingga tidak bisa dikompromikan
B. Cara Mengetahui naskh dan mansukh
Pengetahuan tentang naskh dalam al-Qur’an merupakan suatu yang sangat urgen yang harus dimiliki
oleh para ushul, fuqaha, dan juga mufassir. Dalam sebuah riwayat disebutkan
bahwa Ali pada suatu hari bertanya bertanya kepada seorang hakim: “Apakah kamu
mengetahui tentang ayat yang nasikh dan yang mansukh?” Hakim itu menjawab:
”Tidak”. Lalu Ali bertanya kepadanya: “Celakalah kamu dan mencelakakan orang
lain”.
Berkaitan dengan pentingnya pengetahuan mengenai
masalah ini, Manna al-Qaththan telah menetapkan metode yang dapat dipakai untuk
mengetahui bahwa suatu ayat dikatakan nasikh dan ayat lain sebagai mansukh.
Ketiga metode tersebut adalah:
a. Berdasarkan informasi yang jelas (al-naql al-sharih) yang didapat dari Nabi saw dan sahabat. Seperti
hadis: الافزوروه
كنت نهيتكم عن زيارة
القبور “Kuntu
nahaitukum’an ziarah al-qubr ala fazuruha” (Aku dulu melarang kamu berziarah kubur maka sekarang
berziarahlah).
b.Berdasarkan konsensus (ijma’) umat bahwa ayat ini naskh dan ayat itu mansukh. Terdapat
kesepakatan umat antara ayat yang dinasakh
dan ayat yangimansukh.
Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam
kalimat-kalimat dalil itu sendiri,
maka harus ada ijmak ulama yang
menetapkan hal tersebut.
c. Berdasarkan
studi sejarah tentang mana ayat-ayat yang turn terlebih dahulu dan mana yang
kemudian. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13
tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
C. Urgensi al-Nasakh wa al-Mansukh dalam Kajian Hukum Islam
Terdapat
alasan yang mendasar mengapa Al-Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari
mengingat kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut
adalah :
a.
Terkait status hukum Islam.
b. Sering kali menjadi pangkal
perselisishan para ulama ushul, tafsir dan fiqh terkait dalam proses istinbath
Hukum.
c. Sebagai antitesa terhadap pandangan
para orientalis atas kehujahan al-Qur’an.
d. Terungkapnya Tarikhut
Tasyri’ dan hikmatut Tasyri
e.
Salah satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad
f. Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi
ayat.
D. Macam dan Jenis Naskh
Para ulama membagi Al-Nasakh Wa al-Mansukh menjadi 4
bagian :
1. Nasakh
al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Jenis naskh ini memperoleh kesepakatan para
ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan kata lain jenis naskh ini bisa diterima. Contoh: Penghapusan kewajiban
bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam surat
al-Mujadalah:12 yang dinaskh
ayat 13.
2. Naskh al-Qur’an
dengan Sunah
Naskh
jenis ini terbagi menjadi 2 macam, yaitu:
a. Nasakh Qur’an dengan Hadis Ahad.
Menurut Jumhur ulama’
jenis naskh ini tidak
diperbolehkan, sebab Qur’an adalah Muatawatir dan bersifat qot’i sedangkan hadis
ahad adalah bersifat dzanni (dugaan). Tidak logis manakala sesuatu yang mutlak
kebenarannya harus dihapus oleh sesuatu yang masih bersifat dugaan (dzan).
b.Nasakh Qur’an dengan Hadis
Mutawatir.
Jumhur ulama’, Imam Malik, Abu Hanifah dan
Ahmad, naskh menurut
jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal
ini di dukung dengan firman Allah SWT. Yang terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4
Namun demikian, bagi al-Syafi’i dan ahli dzahir menolak jenis naskh ini, sebab hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini didukung firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106
Namun demikian, bagi al-Syafi’i dan ahli dzahir menolak jenis naskh ini, sebab hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini didukung firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106
Terjemahannya:
“Ayat mana saja yang
Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
3. Sunah dengan Qur’an
Bagi jumhur ulama’ naskh jenis ini bisa diterima. Hal ini
didasarkan atas keberadaan sunah
riwayat Bukhari-Muslim
tentang kewajiban puasa pada bulan as-Syura.
عن عائشة قالت: كان عاشوراء صياما, فلما انزل رمضان كان من شاء صام ومن شاء افطر (رواه بخارى ومسلم)
“Dari Aisyah beliau berkata: ”Hari as-Syura itu adalah wajib
berpuasa, ketika diturunkan (kewajiban puasa ) bulan Ramadan, maka ada yang mau berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa.”
Sunah
ini dinaskh
oleh firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:185
yang terjemahannya: “185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
yang terjemahannya: “185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Walaupun
demikian menurut as-Syafi’I Nasakh jenis ini tidak dapat diterima, sebab antara
Qur’an dengan sunah harus berjalan beriringan dan tidak boleh bertentangan.
Dengan kata lain bagi as-Syafi’i adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang
bertentangan dengan Qur’an. Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa
adanya Nasakh menunjukkan adanya ketidak tepatan dalam Hadis, padahal
sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Hadis pada dasarnya sebagai penjelasan
atas Qur’an.
4.
Nasakh Sunah dengan Sunah
Jenis
Nasakh ini terdapat 4 macam, yaitu :
a. Mutawatir
dengan mutawatir
b. Ahad
dengan ahad
c. Ahad
dengan mutawatir
d. Mutawatir
dengan ahad.
Bagi jumhur ulama dari keempat naskh
tersebut tidak menjadi masalah menjadi bagian dari naskh dengan kata lain dapat
diterima kecuali jenis yang ke empat yaitu mutawatir dengan ahad. Argumentasinya tentu tidak
terlepas dari tingkat nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya.
E. Bentuk Naskh dalam al-Qur’an
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah
jenis-jenis naskh di
atas semuanya terdapat dalam al-Qur’an ataukah mengambil bentuk yang lain.
Kiranya menjawab pertanyaan tersebut al-Qattan dalam bukunya Mabahis fi Ulumil
Qur’an membagi Nasakh dalam al-Qur’an dalam 3 macam, yaitu :
a. Wahyu yang terhapus baik hukum maupun teksnya di dalam
mushaf.
Artinya keberadaan ayat dan hukumnya telah
dihapus sehingga tidak dapat kita jumpai lagi dalam al-Qur’an. Jenis Nasakh ini
menjadi debatable, sebab apakah mungkin hal yang demikian itu terjadi. Tentunya
keraguan yang demikian itu adalah wajar, sebab bisa jadi keberadaan jenis
Nasakh ini tereduksi dengan kepentingan tertentu. Namun demikian dalam
literatur yang ada, pada dasarnya bentuk Nasakh ini merujuk pada Hadis riwayat
Muslim yang menyatakan bahwa :
كان فيما أنزل عشر رضعات معلومات فنسخن بخمسى معلومات. فتف فى رسول الله ص.م. (وهن مما يقرأ من القران)
Menurut Qodi Abu Bakar, Nasakh yang demikian ini tidak dapat diterima, sebab keberadaan jenis Nasakh ini ditentukan oleh khabar Ahad. Namun bagi al-Qattan berpendapat bahwa penetapan Nasakh dan penetapan sesuatu sebagai bagian dalam Qur’an adalah dua hal yang berbeda. Artinya dalam penetapan Nasakh cukup bisa dengan Khabar ahad sedangkan sesuatu sebagai Qur’an harus dengan dalil qot’I atau khabar Muatawatir.
b. Wahyu yang terhapus hukumnya, sementara teks atau
bacaannya masih terdapat dalam mushaf.
Kedua Nasakh Hukum sedang tilawah (bacaannya) tetap.Contoh Nasakh ini
adalah ayat idah selama satu tahun yang di Nasakh menjadi 4 bulan 10 hari.
Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 240, yang terjemahannya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia
di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk
isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka
tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” Ayat tersebut dinaskh oleh QS. Al-Baqarah: 234
yang terjemahannya: “ Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
yang terjemahannya: “ Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Hikmah yang
dapat kita petik atas keberadaan jenis naskh
ini adalah:
1. Bahwa
al-Qur’an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk diketahuai dan diamalkan
hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk mendapatkan pahala.
2. Sebagai
pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT, sebab Nasakh pada dasarnya
untuk meringankan.
c. Wahyu yang terhapus teks atau bacaaannya saja,
sedangkan hukumnya masih tetap berlaku.
Keberadaan
Nasakh jenis ini merujuk pada Hadis dari Umar
Bin khatob dan Ubay Bin Ka’ab. Yang menyatakan:
كان فيما انزل من القران الشيخ والشيخة اذأ زنيا فارجمو هما البتة نكالا من الله
Artinya :“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (yang artinya) “orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah”
Ketentuan hukum rajam dari hadis di atas apabila kita mencari lafalnya dalam mushaf Usmani (al-Qur’an) tentu kita tidak akan menemukannnya, sebab ayat tersebut sudah dimansukh. Namun ketentuan hukumnya ( rajam bagi orang tua ) masih tetap berlaku. Menurut sebagian ahli ilmu jenis naskh ini tidak dapat diterima, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dan naskhnya dengan khabar ahad.
Nasakh
Berpengganti dan Tidak Berpengganti
1.Nasakh
berpengganti
Dilihat
dari sisis penggantinya jenis Nasakh ini terdapat 3 macam yaitu :
a. Naskh dengan
badal akhof (pengganti yang lebih
ringan)
b. Naskh dengan badal mumatsil (pengganti
serupa)
c. Naskh dengan
badal atsqal (pengganti yang
lebih berat)
2.Nasakh
tanpa Badal.
Jenis naskh ini
contohnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan kewajiban
bersedekah ketika hendak menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Mujadalah : 12 yang di Nasakh ayat 13
G. Pandangan Para Ulama terhadap al-Naskh wa al-Mansukh
Keberadaan al-naskh wa al-mansukh sebagaimana yang telah diungkap di
atas, menunjukkan bahwa naskh
dan mansukh sangat
penting dalam kajian hukum Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek
hukum syara’ melainkan juga tak jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena
itu al-naskh wa al-mansukh dalam pandangan para ulama tentunya beraneka ragam. Di
antara pendapat-pendapat tersebut adalah :
1. Nasakh
secara akal
Bisa terjadi dan secara sam’i telah terjadi. Pendapat
pertama ini merupakan pendapat dari kalangan jumhur ulama. Dasar hukum yang mereka pakai adalah :
a. Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan.
Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan
tersebut, maka adalah hak prerogativeNya untuk menghapus ataupun tidak.
b. Adanya Nash Qur’an dan
Hadis yang membolehkan, seperti :
1)
Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
2) QS. Al-Baqarah:106
3) Hadis Dari Ibn Abbas yang menyatakan:
قال عمر رضى الله عنه. اقرؤنا ابى واقعنانا وانا لتدع من قول ابى وذاك ان أبيا يقول: لا ادع شئا سمعته من رسول الله ص.م. وقد قال الله عز وجل ننسخ من ايته اوننسها….(رواه ابن عباس)
2. Nasakh secara akal mungkin
terjadi namun secara syara’
tidak
Pendapat ini dimotori
oleh Abu Muslim
al-Asfihani. Ia berpendapat
bahwa naskh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak.
Sebab ia berpedoman pada QS.
Fushilat:42.
3. Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan
Pendapat
ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Nasakh mengandung
konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah
mustahil Allah menghapus apa yang telah di FirmankanNya.
H. Hikmah al-Naskh wa al-Mansukh
1. Secara umum hikmah al-naskh wa al-mansukh adalah :
a) Membuktikan bahwa syariat agama Islam adalah syari’at yang sempurna.
b) Memelihara kepentingan hamba.
c) Cobaan bagi mukalaf untuk mengikuti ataupun tidak
mengikuti.
d) Sebagai bukti relevansi hukum syara’ di setiap
kondisi umat manusia.
e) Kemudahan dan kebaikan bagi umat.
2. Secara khusus hikmah al-naskh wa al-mansukh d lihat dari segi penggantinya adalah:
a) Naskh tanpa pengganti memiliki hikmah untuk menjaga kemaslahatan manusia.
a) Naskh tanpa pengganti memiliki hikmah untuk menjaga kemaslahatan manusia.
Sebagaimana yang
terdapat dalam penghapusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
b) Naskh dengan badal seimbang, hikmahnya adalah
menentukan hukum baru sebagaimana yang terdapat dalam perintah untuk menghadap
Baitul Maqdis yang dinaskh menghadap Ka’bah.
c) Naskh dengan Badal Astqal hikmanya adalah untuk
menambah kebaikan dan pahala umat.
d) Naskh dengan badal lebih ringan hikmanya adalah
sebagai bentuk dispensasi bagi umat manusia.
Sumber:
1. Dr. Askin Wijaya, SH., M. Ag. Arah
Baru Studi Ulum Qur’an. Yogyakarta: Celeban Timur, 2009.
2. Mohammad Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an.. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar