BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Permasalahan dalam
Hadist Tarbawy adalah permasalahan yang sangat vital yang ada dalam ajaran
islam, karena mengandung begitu penting maknanya. Hadist Tarbawy menjadi hal
paling prinsip di dalam islam yang memiliki kedudukan dalam keimanan seseorang
kepada Allah swt. Manusia di dalam kehidupan ini di kelilingi oleh banyak
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt. Dan agar manusia bahagia di
dalam hidupnya, ia harus patuh dan taat terhadap larangan Allah swt, itu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang di maksud dengan jenazah?
2.
Mengapa
kita dilarang mencela jenazah?
C.
Tujuan Penulisa
1.
Untuk
mengetahui pengertian jenazah.
2.
Untuk
mengetahui larangan mencelah jenazah.
D.
Manfaat Penulisan
Untuk di ketahui bahwa kita tidak boleh mencelah jenazah atau orang
yang sudah meninggal dunia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN JENASAH
Jenazah
adalah orang yang sudah meninggal dunia. Dengan adanya pengurusan jenazah,
seperti memandikan, mengkafani dan
menshalatkan ,atau proses lainya yang berdasarkan atas pengetahuan agama-agama
lainya. Pengurusan jenzah ini biasanya dilakukan oleh keluarganya sendiri
dengan dukungan pemuka agama.[1]
B. LARANGAN MENCELA ORANG YAG SUDAH MENINGGAL DUNIA.
Di dalam hidup bermasyarakat, seorang Muslim
perlu membawa diri dan menampakkan akhlaq yang mulia sehingga menjadi contoh
dan teladan yang baik bagi manusia. Sehingga, apabila suatu ketika berpisah
dengan masyarakat tersebut, maka kenangan yang baiklah yang selalu mereka ingat
dari dirinya.
Sebaliknya, bila selama hidup bermasyarakat tersebut dia
tidak bisa membawa diri dan berprilaku sebagai seorang Muslim yang beriman
bahkan selalu membuat masalah dengan prilaku yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam, maka manakala berpisah dengan lingkungan tersebut, hanya kenangan yang
jeleklah yang selalu diingat dari dirinya. Dan hal ini semua biasanya terus
berlaku hingga seseorang itu meninggalkan dunia yang fana ini.Realita yang
berkembang di suatu komunitas masyarakat mendukung sistem diatas. Kita sering
mendengar, misalnya:
Ø ada seorang yang kaya raya tetapi
ta’at beragama dan amat dermawan sehingga masyarakat di lingkungannya merasakan
sekali sentuhan tangan dan budi baiknya tersebut. Maka, bila suatu ketika orang
tersebut ditakdirkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala mendapatkan
kecelakaan lantas meninggal dunia. Pastilah, yang akan kita dengar dari mulut
mereka ungkapan yang menyayangkan kenapa orang sebaik itu harus dipanggil oleh
Allah Subhanahu Wa Ta’ala secepat itu padahal masyarakat masih
membutuhkan uluran tangannya, dan seterusnya.
Ø Demikian pula, kita sering mendengar
hal sebaliknya yaitu bila seseorang misalnya:, selalu membikin ulah di
lingkungannya; menelantarkan keluarganya, merampok, memeras, menakut-nakuti
orang-orang lemah sehingga mereka merasa tidak aman dengan kehadirannya. Maka,
bila suatu ketika orang tersebut ditakdirkan oleh Allah mendapat kecelakaan
lantas meninggal dunia. Tentu, masyarakat di sekitarnya akan merasa lega dan
akan berkata di dalam hati mereka atau bahkan berbincang-bincang antara sesama
mereka bila bertemu dan berkumpul: “biar dia rasakan bagaimana azab kubur
nanti” “untung si jelek itu sudah mati” “memang sudah pantas dia mampus” “biar
nanti di neraka dia rasakan akibatnya”. Atau barang kali yang lebih ekstrem
lagi dan karena kebencian yang ingin diluapkannya, bisa saja orang seperti ini
mendatangi kuburannya sembari berkata diatas kuburannya tersebut: “ayo rasakan
sekarang pembalasannya, makanya jadi orang jangan jahat” “ini aku disini, mau
apa!” sambil menginjak-injak kuburannya atau merusaknya.
Ø Ekspresi yang tampak pada contoh
pertama, yaitu terhadap orang yang baik budi pekertinya semasa masih hidup
tersebut, secara agama tidak masalah dan tidak memiliki implikasi apa-apa selama
masih dalam batas kewajaran. Akan tetapi, ekspresi yang ditampakkan di dalam
contoh kedua, yaitu terhadap orang yang jelek budi pekertinya semasa hidupnya,
secara agama bermasalah dan memiliki implikasi-implikasi.
Nah, apakah hal itu dibolehkan
menurut agama? Maka kajian hadits kali ini menyoroti masalah tersebut secara
singkat, semoga bermanfa’at. Wallaahu a’lam
Naskah Hadits
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «لاَ تَسُبُّوا اْلأَمْوَاتَ, فَإِنَّّهُمْ
قَدْ أَفْضَوْا إِلىَ مَا قَدَّمُوْا».
رَوَاهُ اْلبُخَارِيّ
“Dari ‘Aisyah radhiallaahu ‘anha, dia berkata: Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘janganlah kalian mencela orang-orang
yang sudah mati, karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka
lakukan’ “.
(HR: al-Bukhâriy).
Ø Beberapa Pelajaran
Yang Dapat Diambil Dari Hadits Diatas
Hadits diatas menunjukkan bahwa haram hukumnya mencaci maki atau mencela orang-orang yang sudah mati. Hadits tersebut bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslimin dan orang-orang kafir juga.
Hadits diatas menunjukkan bahwa haram hukumnya mencaci maki atau mencela orang-orang yang sudah mati. Hadits tersebut bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslimin dan orang-orang kafir juga.
Hikmah dari
pelarangan tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan pada bagian akhir hadits
tersebut, yaitu karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka
lakukan.
Maksudnya
adalah bahwa mereka telah mencapai perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan
baik berupa perbuatan yang shalih atau sebaliknya.
Tidak ada gunanya mencela, mencacimaki,
menjelek-jelekkan kehormatan, mengungkit-ungkit kejahatan dan
perbuatan-perbuatan mereka sebab hal itu terkadang berimplikasi terhadap
keluarganya yang masih hidup, yaitu menyakiti hati mereka.
ü Ibnu al-Atsîr berkata di dalam
kitabnya Usud al-Ghâbah : “Ketika ‘Ikrimah bin Abu Jahal masuk Islam, banyak
orang-orang yang berkata: ’wah!, ini adalah anak musuh Allah, Abu Jahal’.
Ucapan ini menyakiti hati ‘Ikrimah karenanya dia mengadukan perihal tersebut
kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam, lantas beliau bersabda:
“Janganlah kalian mencela ayahnya karena mencela orang yang sudah mati, akan
menyakiti orang yang masih hidup (keluarganya)”.
ü Imam an-Nawawiy berkata:
“Ketahuilah, bahwa ghibah (membicarakan kejelekan orang lain ketika orangnya
tidak ada di tempat) dibolehkan bila dimaksudkan untuk tujuan yang benar dan
disyari’atkan dimana tidak mungkin untuk ditempuh selain dengan cara itu…”.
Kemudian beliau menyebutkan: “diantaranya; untuk memperingatkan kaum muslimin
dari suatu kejahatan dan untuk menashihati mereka.
Hal ini dapat ditempuh melalui beberapa sisi,
diantaranya (seperti di dalam ilmu hadits-red); boleh men-jarh (mencacati) para
periwayat dan para saksi yang dikenal sebagai al-Majrûhîn (orang-orang yang
dicacati karena riwayat yang disampaikannya tidak sesuai dengan kriteria
riwayat yang boleh diterima baik dari sisi individunya, seperti hafalannya
lemah, dan lain sebagainya-red); maka, hal seperti ini secara ijma’ kaum
Muslimin adalah dibolehkan bahkan wajib hukumnya.
Diantaranya
lagi, dengan tujuan memperkenalkan seseorang bila dia dikenal dengan
julukan tertentu seperti al-A’masy (si picak), al-A’raj (si pincang), al-Ashamm
(si tuli), dan sebagainya. Sedangkan bila julukan itu dilontarkan untuk tujuan
merendahkan maka haram hukumnya. Oleh karena itu, lebih baik lagi menghindari
penggunaan julukan semacam itu sedapat mungkin”.
Di dalam menyikapi orang-orang yang sudah mati, mazhab
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bahwa kita berharap agar orang yang berbuat baik
dari mereka diberi ganjaran pahala oleh Allah, dirahmati dan tidak disiksa
olehNya. Sedangkan terhadap orang yang berbuat buruk, kita mengkhawatirkan
dirinya disiksa karena dosa-dosa dan keburukan yang diperbuatnya. Kita juga
tidak bersaksi terhadap seseorang bahwa dia ahli surga atau ahli neraka kecuali
orang yang sudah dipersaksikan oleh Rasululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam
dengan hal itu.
Diharamkan
berburuk sangka terhadap seorang Muslim yang secara lahirnya adalah lurus,
berbeda dengan orang yang secara lahirnya memang fasiq maka tidak berdosa bila
berburuk sangka terhadapnya.
(Sumber Rujukan: Materi bahasan hadits
diambil dari kitab “Taudlîh al-Ahkâm min Bulûgh al-Marâm” karya Syaikh.
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, Juz VI, hal. 346, hadits no. 1312).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
A. Pengertian jenazah.
Jenazah adalah orang yang sudah meninggal dunia. Dengan
adanya pengurusan jenazah, seperti memandikan, mengkafani dan menshalatkan ,atau proses lainya yang
berdasarkan atas pengetahuan agama-agama lainya. Pengurusan jenzah ini biasanya
dilakukan oleh keluarganya sendiri dengan dukungan pemuka agama.
B. Larangan mencela orang yang sudah
meninggal.
Hadits diatas menunjukkan bahwa
haram hukumnya mencaci maki atau mencela orang-orang yang sudah mati. Hadits
tersebut bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslimin dan orang-orang kafir
juga.
Hikmah dari pelarangan tersebut adalah sebagaimana yang
disebutkan pada bagian akhir hadits tersebut, yaitu karena mereka itu sudah
sampai kepada apa yang telah mereka lakukan.
Maksudnya adalah bahwa mereka telah mencapai
perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan baik berupa perbuatan yang shalih atau
sebaliknya.
Tidak ada gunanya mencela, mencacimaki, menjelek-jelekkan
kehormatan, mengungkit-ungkit kejahatan dan perbuatan-perbuatan mereka sebab
hal itu terkadang berimplikasi terhadap keluarganya yang masih hidup, yaitu
menyakiti hati mereka.
B. Saran
Dengan terselesainya makalah ini, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat mendukung dari pembaca agar penyusunanan makalah
selanjutnya menjadi lebih baik. Karena makalah ini masih terdapat kesalahan
baik dari segi pengetikan maupun dari segi penyusunaan. Dan semoga penyusun dan
pembaca dapat mengerti dan memahami materi dalam makah ini tentang Larangan
Mencela Orang Yang Sudah Meninggal.
DAFTAR
PUSTAKA
http://manhajislam.wordpress.com/2007/01/05/larangan-mencela-orang-yang-sudah-mati/
Imam Muhammad Abdul, Jenazah,Jakarta:
mitra pustaka,2004.
[1]
Abdul Muhammad Ibnu Abdul, Jenazah, (Cet,1;Jakarta, 2004) h.52BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Permasalahan dalam
Hadist Tarbawy adalah permasalahan yang sangat vital yang ada dalam ajaran
islam, karena mengandung begitu penting maknanya. Hadist Tarbawy menjadi hal
paling prinsip di dalam islam yang memiliki kedudukan dalam keimanan seseorang
kepada Allah swt. Manusia di dalam kehidupan ini di kelilingi oleh banyak
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt. Dan agar manusia bahagia di
dalam hidupnya, ia harus patuh dan taat terhadap larangan Allah swt, itu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang di maksud dengan jenazah?
2.
Mengapa
kita dilarang mencela jenazah?
C.
Tujuan Penulisa
1.
Untuk
mengetahui pengertian jenazah.
2.
Untuk
mengetahui larangan mencelah jenazah.
D.
Manfaat Penulisan
Untuk di ketahui bahwa kita tidak boleh mencelah jenazah atau orang
yang sudah meninggal dunia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN JENASAH
Jenazah
adalah orang yang sudah meninggal dunia. Dengan adanya pengurusan jenazah,
seperti memandikan, mengkafani dan
menshalatkan ,atau proses lainya yang berdasarkan atas pengetahuan agama-agama
lainya. Pengurusan jenzah ini biasanya dilakukan oleh keluarganya sendiri
dengan dukungan pemuka agama.[1]
B. LARANGAN MENCELA ORANG YAG SUDAH MENINGGAL DUNIA.
Di dalam hidup bermasyarakat, seorang Muslim
perlu membawa diri dan menampakkan akhlaq yang mulia sehingga menjadi contoh
dan teladan yang baik bagi manusia. Sehingga, apabila suatu ketika berpisah
dengan masyarakat tersebut, maka kenangan yang baiklah yang selalu mereka ingat
dari dirinya.
Sebaliknya, bila selama hidup bermasyarakat tersebut dia
tidak bisa membawa diri dan berprilaku sebagai seorang Muslim yang beriman
bahkan selalu membuat masalah dengan prilaku yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam, maka manakala berpisah dengan lingkungan tersebut, hanya kenangan yang
jeleklah yang selalu diingat dari dirinya. Dan hal ini semua biasanya terus
berlaku hingga seseorang itu meninggalkan dunia yang fana ini.Realita yang
berkembang di suatu komunitas masyarakat mendukung sistem diatas. Kita sering
mendengar, misalnya:
Ø ada seorang yang kaya raya tetapi
ta’at beragama dan amat dermawan sehingga masyarakat di lingkungannya merasakan
sekali sentuhan tangan dan budi baiknya tersebut. Maka, bila suatu ketika orang
tersebut ditakdirkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala mendapatkan
kecelakaan lantas meninggal dunia. Pastilah, yang akan kita dengar dari mulut
mereka ungkapan yang menyayangkan kenapa orang sebaik itu harus dipanggil oleh
Allah Subhanahu Wa Ta’ala secepat itu padahal masyarakat masih
membutuhkan uluran tangannya, dan seterusnya.
Ø Demikian pula, kita sering mendengar
hal sebaliknya yaitu bila seseorang misalnya:, selalu membikin ulah di
lingkungannya; menelantarkan keluarganya, merampok, memeras, menakut-nakuti
orang-orang lemah sehingga mereka merasa tidak aman dengan kehadirannya. Maka,
bila suatu ketika orang tersebut ditakdirkan oleh Allah mendapat kecelakaan
lantas meninggal dunia. Tentu, masyarakat di sekitarnya akan merasa lega dan
akan berkata di dalam hati mereka atau bahkan berbincang-bincang antara sesama
mereka bila bertemu dan berkumpul: “biar dia rasakan bagaimana azab kubur
nanti” “untung si jelek itu sudah mati” “memang sudah pantas dia mampus” “biar
nanti di neraka dia rasakan akibatnya”. Atau barang kali yang lebih ekstrem
lagi dan karena kebencian yang ingin diluapkannya, bisa saja orang seperti ini
mendatangi kuburannya sembari berkata diatas kuburannya tersebut: “ayo rasakan
sekarang pembalasannya, makanya jadi orang jangan jahat” “ini aku disini, mau
apa!” sambil menginjak-injak kuburannya atau merusaknya.
Ø Ekspresi yang tampak pada contoh
pertama, yaitu terhadap orang yang baik budi pekertinya semasa masih hidup
tersebut, secara agama tidak masalah dan tidak memiliki implikasi apa-apa selama
masih dalam batas kewajaran. Akan tetapi, ekspresi yang ditampakkan di dalam
contoh kedua, yaitu terhadap orang yang jelek budi pekertinya semasa hidupnya,
secara agama bermasalah dan memiliki implikasi-implikasi.
Nah, apakah hal itu dibolehkan
menurut agama? Maka kajian hadits kali ini menyoroti masalah tersebut secara
singkat, semoga bermanfa’at. Wallaahu a’lam
Naskah Hadits
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «لاَ تَسُبُّوا اْلأَمْوَاتَ, فَإِنَّّهُمْ
قَدْ أَفْضَوْا إِلىَ مَا قَدَّمُوْا».
رَوَاهُ اْلبُخَارِيّ
“Dari ‘Aisyah radhiallaahu ‘anha, dia berkata: Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘janganlah kalian mencela orang-orang
yang sudah mati, karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka
lakukan’ “.
(HR: al-Bukhâriy).
Ø Beberapa Pelajaran
Yang Dapat Diambil Dari Hadits Diatas
Hadits diatas menunjukkan bahwa haram hukumnya mencaci maki atau mencela orang-orang yang sudah mati. Hadits tersebut bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslimin dan orang-orang kafir juga.
Hadits diatas menunjukkan bahwa haram hukumnya mencaci maki atau mencela orang-orang yang sudah mati. Hadits tersebut bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslimin dan orang-orang kafir juga.
Hikmah dari
pelarangan tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan pada bagian akhir hadits
tersebut, yaitu karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka
lakukan.
Maksudnya
adalah bahwa mereka telah mencapai perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan
baik berupa perbuatan yang shalih atau sebaliknya.
Tidak ada gunanya mencela, mencacimaki,
menjelek-jelekkan kehormatan, mengungkit-ungkit kejahatan dan
perbuatan-perbuatan mereka sebab hal itu terkadang berimplikasi terhadap
keluarganya yang masih hidup, yaitu menyakiti hati mereka.
ü Ibnu al-Atsîr berkata di dalam
kitabnya Usud al-Ghâbah : “Ketika ‘Ikrimah bin Abu Jahal masuk Islam, banyak
orang-orang yang berkata: ’wah!, ini adalah anak musuh Allah, Abu Jahal’.
Ucapan ini menyakiti hati ‘Ikrimah karenanya dia mengadukan perihal tersebut
kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam, lantas beliau bersabda:
“Janganlah kalian mencela ayahnya karena mencela orang yang sudah mati, akan
menyakiti orang yang masih hidup (keluarganya)”.
ü Imam an-Nawawiy berkata:
“Ketahuilah, bahwa ghibah (membicarakan kejelekan orang lain ketika orangnya
tidak ada di tempat) dibolehkan bila dimaksudkan untuk tujuan yang benar dan
disyari’atkan dimana tidak mungkin untuk ditempuh selain dengan cara itu…”.
Kemudian beliau menyebutkan: “diantaranya; untuk memperingatkan kaum muslimin
dari suatu kejahatan dan untuk menashihati mereka.
Hal ini dapat ditempuh melalui beberapa sisi,
diantaranya (seperti di dalam ilmu hadits-red); boleh men-jarh (mencacati) para
periwayat dan para saksi yang dikenal sebagai al-Majrûhîn (orang-orang yang
dicacati karena riwayat yang disampaikannya tidak sesuai dengan kriteria
riwayat yang boleh diterima baik dari sisi individunya, seperti hafalannya
lemah, dan lain sebagainya-red); maka, hal seperti ini secara ijma’ kaum
Muslimin adalah dibolehkan bahkan wajib hukumnya.
Diantaranya
lagi, dengan tujuan memperkenalkan seseorang bila dia dikenal dengan
julukan tertentu seperti al-A’masy (si picak), al-A’raj (si pincang), al-Ashamm
(si tuli), dan sebagainya. Sedangkan bila julukan itu dilontarkan untuk tujuan
merendahkan maka haram hukumnya. Oleh karena itu, lebih baik lagi menghindari
penggunaan julukan semacam itu sedapat mungkin”.
Di dalam menyikapi orang-orang yang sudah mati, mazhab
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bahwa kita berharap agar orang yang berbuat baik
dari mereka diberi ganjaran pahala oleh Allah, dirahmati dan tidak disiksa
olehNya. Sedangkan terhadap orang yang berbuat buruk, kita mengkhawatirkan
dirinya disiksa karena dosa-dosa dan keburukan yang diperbuatnya. Kita juga
tidak bersaksi terhadap seseorang bahwa dia ahli surga atau ahli neraka kecuali
orang yang sudah dipersaksikan oleh Rasululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam
dengan hal itu.
Diharamkan
berburuk sangka terhadap seorang Muslim yang secara lahirnya adalah lurus,
berbeda dengan orang yang secara lahirnya memang fasiq maka tidak berdosa bila
berburuk sangka terhadapnya.
(Sumber Rujukan: Materi bahasan hadits
diambil dari kitab “Taudlîh al-Ahkâm min Bulûgh al-Marâm” karya Syaikh.
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, Juz VI, hal. 346, hadits no. 1312).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
A. Pengertian jenazah.
Jenazah adalah orang yang sudah meninggal dunia. Dengan
adanya pengurusan jenazah, seperti memandikan, mengkafani dan menshalatkan ,atau proses lainya yang
berdasarkan atas pengetahuan agama-agama lainya. Pengurusan jenzah ini biasanya
dilakukan oleh keluarganya sendiri dengan dukungan pemuka agama.
B. Larangan mencela orang yang sudah
meninggal.
Hadits diatas menunjukkan bahwa
haram hukumnya mencaci maki atau mencela orang-orang yang sudah mati. Hadits
tersebut bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslimin dan orang-orang kafir
juga.
Hikmah dari pelarangan tersebut adalah sebagaimana yang
disebutkan pada bagian akhir hadits tersebut, yaitu karena mereka itu sudah
sampai kepada apa yang telah mereka lakukan.
Maksudnya adalah bahwa mereka telah mencapai
perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan baik berupa perbuatan yang shalih atau
sebaliknya.
Tidak ada gunanya mencela, mencacimaki, menjelek-jelekkan
kehormatan, mengungkit-ungkit kejahatan dan perbuatan-perbuatan mereka sebab
hal itu terkadang berimplikasi terhadap keluarganya yang masih hidup, yaitu
menyakiti hati mereka.
B. Saran
Dengan terselesainya makalah ini, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat mendukung dari pembaca agar penyusunanan makalah
selanjutnya menjadi lebih baik. Karena makalah ini masih terdapat kesalahan
baik dari segi pengetikan maupun dari segi penyusunaan. Dan semoga penyusun dan
pembaca dapat mengerti dan memahami materi dalam makah ini tentang Larangan
Mencela Orang Yang Sudah Meninggal.
DAFTAR
PUSTAKA
http://manhajislam.wordpress.com/2007/01/05/larangan-mencela-orang-yang-sudah-mati/
Imam Muhammad Abdul, Jenazah,Jakarta:
mitra pustaka,2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar