PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis
Maudhu’
Kata
maudhu’ berasal dari isim maf’ul dari
Yang secara
etimologis berarti (meletakkan atau menyimpan).
(mengada-ada atau membuat-buat), dan
(ditinggalkan).
Sedangkan
secara terminologis, hadis maudhu’ didefinisikan sebagai berikut.
“Hadis yang dibuat-buat atau diciptakan,
yang didustakan atas nama Rasul SAW. secara sengaja”
“Hadis yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW. secara dibuat-buat dan dusta padahal beliau tidak mengatakan,
melakukan, atau mentapkannya”.
Yakni
hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. dengan dusta dan tidak ada kaitan
yang hakiki kepada Rasulullah. Bahkan sebenarnya ia bukan hadis, hanya saja
para ulama menamainya dengan hadis mengingat adanya anggapan rawinya bahwa itu
adalah hadis.
Banyak
sekali kata-kata ahli hikmah, kata-kata mutiara para sahabat dinisbatkan kepada
Nabi SAW. oleh para pemalsu hadis. Dan banyak pula mereka memalsukan hadis
dengan kata-kata yang mereka ciptakan dan mereka rangkai sendiri.
Hadits
maudhu’ adalah hadits dha’if yang paling jelek dan paling
membahayakan bagi agama Islam dan pemeluknya. Para ulama sepakat bahwa tidak
halal meriwayatkan hadis maudhu’ bagi seseorang yang mengetahui keadaannya apa
pun misi yang diembannya kecuali disertai penjelasan tentang ke-maudhu’-annya dan disertai peringatan
untuk tidak menggunakannya. Rasulullah SAW. bersabda dalam sebuah hadis yang sangat masyhur:
Barang siapa yang meriwayatkan suatu hadits
dariku yang ia ketahui bahwa hadits itu dusta, maka ia adalah seorang pendusta.
B. Sebab-sebab
Pemalsuan Hadits dan Kelompok-kelompok Pemalsunya
Para
ulama telah meneliti sebab-sebab pemalsuan hadis, dan mengklasifikasi para pemalsunya
berdasarkan motif-motif mereka dalam pemalsuan hadis. Hal ini berfungsi sebagai
penerangan untuk mengungkap hakikat hadis-hadis maudhu’.
Berikut
adalah kesimpulan hasil kajian mereka:
1)
Sebab pemalsuan
hadis yang pertama kali muncul adalah adanya perselisihan yang melanda kaum Muslimin
yang bersumber pada fitnah dan kasus-kasus yang mengikutinya; yakni umat Islam
menjadi beberapa kelompok, kemudian, pengikut setiap kelompok dengan leluasa
memalsukan hadis-hadis untuk membela diri dalam mmenghadapi kelompok yang
beranggapan bahwa merekalah yang berkah memegang khalifah, di samping untuk
memperlancar peraihan sesuatu yang telah mereka cita-citakan. Suatu hal yang
sangat disayangkan adalah berpalingnya sebagian orang yang berkecimpung di
dunia hadis lalu menyerang orang-orang dan kelompok yang telah berpaling dari
hadis-hadis yang mereka ciptakan untuk memperkuat posisi tradisi dan
kelompoknya. Dengan demikian, banyak hadismaudhu’ yang berkitan dengan
keutamaan-keutamaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abbas, Muawiyah, dan
sebagainya. Contoh hadis maudhu’ ialah:
“Abu Bakar akan memimpin umatku setelah aku”.
“Ali adalah manusia yang paling baik,
dan barangsiapa ragu terhadapnyamaka ia menjadi kafir”.
“Pemegang kepercayaan di dunia itu ada
tiga, yaitu aku, Jibril, dan Mu’awiyah”.
2)
Permusuhan
terhadap Islam dan untuk menjelek-jelekkannya. Yaitu upaya yang ditempuh oleh
orang-orang Zindiq, lebih-lebih oleh keturunan bangsa-bangsa yang terkalahkan
oleh umat Islam. Semula mereka bangga dengan negara dan pemerintahan yang
sangat kuat dan karenanya mereka meremehkan orang-orang Arab. Ketika
pemerintahan mereka hilang dan berpindah ke tangan orang-orang Arab, maka hal
itu merupakan beban yang sangat berat bagi mereka. Kemudian mereka berusaha
sedapat mungkin untuk merusak urusan kaum Muslimin dengan menyelipkan
ajaran-ajaran batil ke dalam Islam dengan harapan kaum Muslim tidak dapat
menghindarinya walau dengan berbagai kemampuan argumentasi dan bukti-bukti.
Contohnya adalah:
“Aku melihat Rabb-ku pada hari Arafah di
padang Arafah tengah menunggang onta merah memakai dua lembar kain”.
Hadis
ini diriwayatkan oleh Abu ‘Ali al-Ahwazi, seorang pendusta, dalam kitabnya yang
membahas sifat-sifat Allah.
3)
Al-Targhib
wa al-Tarhib untuk mendorong mmanusia berbuat kebaikan. Hal ini
dilakukan oleh beberapa orang bodoh yang berkecimping dalam bidang zuhud dan tekun beribadah. Semangat
keagamaan mereka yang bercampur dengan kebodohan itu mendorong mereka
memalsukan hadits-hadits al-Targhib wa
al-Tarhib agar dapat memberi rangsangan kepada orang untuk berbuat kebaikan
dan meninggalkan kejahatan menurut anggapan mereka yang rusak.
Muslim
dalam muqaddimah kitab Sahih-nya
mengeluarkan hadits dari Yahya bin Sa’id al-Qaththan: “Tidak dapat kau melihat ahli kebaikan melakukan sesuatu yang lebih
dusta daripada tindakan mereka terhadap hadits”.
4)
Upaya untuk
memperoleh fasilitas duniawi, seperti pendekatan kepada pemerintah, atau upaya
mengumpulkan manusia ke dalam majelis, seperti yang dilakukan oleh para juru
cerita dan para peminta-minta.
5)
Kepalsuan yang
terjadi pada hadis seorang rawi tanpa disengaja seperti kesalahannya
menyandarkan kepada Nabi saw. kata-kata yang sebenarnya diucapkan oleh sahabat
atau yang lainya. Seperti orang yang secara tidak sengaja menyisipkan sesuatu
yang bukan hadits ke dalam hadits yang diriwayatkannya.
C. Pemberantasan
Hadits Palsu dan Media Terpenting untuk Memberantasnya
Para
ulama mengambil langgkah untuk memerangi pemalsuan hadits dan menghindarkan
bahaya para pemalsu. Utuk itu mereka menggunakan pelbagai metodologi yang cukup
unik yang kesimpulannya sebagai berikut.
1)
Meneliti karakteristik
para rawi dengan mengamati tingkah laku dan riwayat mereka, sehingga mereka
rela meninggalkan keluarga dan tanah airnya. Mereka rela dengan sedikit bekal
dan pakaian using dalam mencari sunnah dan mengenal para rawinya. Sehingga
mereka dapat membedakan antara rawi yang
tsiqat dan rawi yang jujur tetapi mengalami kekacauan hapalannya, serta rawi
pendusta dan fasik. Hal itu dapat mereka ketahui melalui penerapan tolok
ukur yang dapat menentukan keadilan dan
ke-dhabith-an rawi.
2)
Memberi
peringatan keras kepada para pendusta dan mengungkap-ungkap kejelekan mereka,
mengumumkan kedustaan mereka kepada pemuka pemuka masyarakat. Yahya bin Sa’id
berkata, “Aku bertanya kepada Syu’bah, Sufyan al-Tsauri, Malik bin Anas, dan
Sufyan bin “Uyainah tentang seseoran yang dicurigai dalam meriwayatkan hadits
atau tidak hapal dengan baik”. Mereka menjawab, “Jelaskan kedaannya itu kepada
manusia”. Sufyan bin “Uyainah berkata, “Kami menghindari hadits Dawud bin
al-Hushain”. Ia juga berkata pula, “Jangan kau dengar dari Baqiyahsesuatu yang
termasuk sunnah, namun dengarlahh darinya seuatu yang berkaitan dengan pahala
dan lainnya. Ia adalah seorang mudallis”.
Hammad bin Zaid berkata, “Syu’bah bin al-Hajjaj berkata kepada kami yakni saya,
‘Ubbad bin Ubbad, dan Jarir bin Hazim tentang seseorang. Kami berkata,
“Sebaiknya engkau tidak menyebut-nyebutnya”. Maka seakan-akan ia bersikap lunak
keoada kami dan memenuhi usul kami. Kemudian, setelah beberapa hari berlalu aku
mau salat Jumat, maka tiba-tiba Syu’bah
memanggilkku dari belakang dan berkata, “ Orang-orang yang aku sebut
namanya kepadamu itu aku anggap tidak memenuhi kriteriaku”. Masyarakat Muslim
menyambut ernyataan para ulama dan menerima sepenuhnya serta mengamalkannya. Abdurrahman
bin Ishaq, seorang syekh tekun beribadah
tetapi ia berpaling kepada bid’ah Qadariyah, yakni Mu’tazilah. Sufyan bin
“Uyainah berkata, “Dahulu ia adalah seorang penganut paham Qadariyah dan
karenanya ia disingkirkan oleh penduduk Madinah, kemudian datang ke sini–yakni
ke Mekkah-maka kami tidak mau mendatangi majelisnya”. Jafar bin al-Zubair dan
Imran bin Hadir adalah sama-sama membuka majelis ta’lim disuatu masjid. Semua
jama’ah berdesakan kepada dan Jafar bin al-Zubair dan tidak seorang pun belajar
kepada Imran. Suatu hari Syu’bah melewati mereka, lalu berkata, “Alangkah
mengherangkannya orang-orang itu berkumpul kepada orang yang paling pendusta
dan meninggalkan orang yang paling jujur”. Tidak lama setelah itu jama’ah
berbalika kepada Imran dan tidak seorang pun menghadiri Ja’far.
3)
Pencarian sanad
hadits, sehiingga mereka tidak menerima hadits yang tidak bersanad, bahkan
hadits yang demikian mereka anggap
sebagai hadits yang batil. Sedangkan hadits-hadits yang bersanad masih
diteliti sanad dan matannnya berdasrkan kriterian penerimaan hadits dan kaidah-kaidah
yang berlaku baginya.
4)
Menguji
kebenaran hdits dengan membandingkannya dengan riwayat yang melalui jalur
laindan hadits-hadits yang telah diakui keberadaannya. Dengan langkah ini dapat
diketahui hal-hal yang mencurigakan dalam hadits yang bersangkutan atau cacat
yang timbul dari rawi yang jujur.
5)
Menetapkan
pedoman-pedoman untuk mmengungkap hadits maudhu’.
6)
Menyusun kitab
himpunan hadits-hadits maudhu’ untuk memberi penerangan dan peringatan kepada
masyarakat tentang keberadaan hadits-hadits tersebut.
D. Ciri-ciri Hadits
Maudhu’
1)
Ciri-ciri hadits
maudhu’ pada rawinya
a)
Mengaku telah
memalsukan hadits, seperti Abu ‘Ishmah Nuh bin Abu Maryam dan Maisarah bin Abdi
Rabbih.
Ditanyakan
kepada Abu ‘Ishmah, “Kau dapat dari mana hadits yang melalui ‘Ikrimah dari Abu
Abbas tentang keutamaan-keutaan Al-Quran , surat-per surat, padahal murid-murid
‘Ikrimah tidak ada yang meriwayatkan hadits yang demikian?” ia menjawab, “Saya
memperhatikan umat telah berpaling dari Al-Quran dan menekuni fiqh Abu Hanifah
dan maghazi (kisah-kisah perang) susunan Muhammad bin
Ishaq maka aku membuat hadits ini untuk megantisipasi gejala itu”.
b)
Tidak sesua
dengan fakta sejarah, seperti yang terjadi pada al-Ma’mun bin Ahmad yang menyatkan bahwa al-Hasan menerima
hadits dari Abu Hurairah sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat dalam
masalah ini. Ia secara spontan menyebutkan untaian sanad yang sampai kepada
Rasulullah saw.
c) Ada
gejala-gejala para rawi bahwa ia berdusta dengan hadis yang bersangkutan.
2) Ciri-ciri
hadits maudhu’ pada matan
a) Kerancuan
redaksi atau makna hadis.
“Jangan kau
makan labu sebelum disembelih”
b) Setelah
diadakan penelitina terhadap suatu hadis menurut ahli hadits tidak terdapat
dalam hapalan para rawi dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis, setelah
penelitian dan pembukuan hadis sempurna.
c) Haditsnya
menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, seperti menyalahi
ketentuan akal dan tidak dapat dita’wil atau mengandung hal-hal yang ditolah
oleh perasaan, kejadian empiris, dan fakta sejarah. Contohnya adalah:
“Bunga
mawar itu diciptakan dari keringatku”.
“Galaksi Bima Sakti yang ada di langit itu
berasal dari keringat ular jahat yang berbisa yang ada di bawah Arsy”.
d) Hadits
yang bertentangan dengan petunjuk Al-Quran yang pasti, sunnah yang mutawatir,
atau ijma’ yang pasti dn tidak dapat dikompromikan. Imam al-Subki menjelaskan
dalam Jam’ul Jawami. Setiap hadits
yang mengesankan batil dan ia tidak dapat dita’wilmaka dinilai dusta atau
dikurangi kedudukan dan fungsinya selama belum hilang kesan negatif itu. Contoh hadits tentang batas usia dunia:
“Sesungguhnya
batas usia dunia itu 7000 tahun, dan kita berada pada seribu tahun yang
terakhir”.
Hadis
ini merupakan kedustaan yang paling nyata, sebagaimana dijelaskan oleh para
ulama, karena hadits itu memberitahu kepada setiap orang tentang terjadinya
kiamat, padahal Allah berfirman:
“Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu
hanya ada pada Tuhan-mu dan tidak ada yang mengetahui waktunya kecuali Dia”.
(QS. Al-A’raf:187)
e) Penelitian
hadis per bab
Mereka
berkata, “Dalam bab ini tidak ada hadits yang sahih, satu pun. Atau kecuali
hadits ini. Hal ini mereka katakan setelah mereka mengumpulkan hadits-hadits
dalam suatu bab dan menelitinya.
Di antara contohnya adalah hadits-hadits yang
mencela anak. Semuanya adalah dusta dari awal sampai akhir. Hhadits-hadits
tentang sejarah yang akan datang. Setiap hadits yang menjelaskan bahwa pada
masa yang akan datang terjadi anu dan anu, atau pada tahun anu Fulan akan anu dan anu adalah hadits
batil. Hadits-hadits yang memuji hidup membujang semuanya adalah batil. Hadits-hadits
tentang ,keutamaan bunga, seperti hadits tentang keutamaan bunga bawang,
keutamaan bunga mawar, dan lain-lain, semuanya adalah palsu.
E.
Sumber-sumber
Hadits Maudhu’
Para imam hadits telah menyusun berbagai kitab yang
menjelaskan hadits-hadits maudhu’. Unntuk itu mereka mencurahkan segala
kemampuan untuk membela kaum Muslim agar tidak terjerumus dalam kebatilan dan
untuk memurnikan agama yang penuh pesona.
Di anttara kitan-kitab sumber hadits maudhu’ adalah:
1) Al-Maudhu’at
karya imam al-Hafizh Abul Jafar Abdurrahman al-Jauzi (w. 597 H). Kitab ini
merupakan kitab pertama dan paling luas bahasannya di bidang ini. Akan tetapi
kekurangan kitab ini adalah banyak seklai memuat hadits yang tidak dapat
dibuktikan kepalsuannya.
2) Al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah karya al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911
H) .
3) Tanzih
al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits al-Syani’ah al-Maudhu’ah karya
al-Hafizh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Iraq al-Kannawi (w. 963 H).
4) Al-Manar
al-Munif fi al-Shahih wa al-Dha’if karya al-Hafizh
Ibnul Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H).
5) Al-Mashnu’ fi
al-Hadits al-Maudhu’ karya ‘Ali Al-Qari (w.1014 H).
F. Pertumbuhan dan
Perkembangan Hadits Maudhu’
Para
ulama berbeda pendapat tentang kapan mulainya pemalsuan hadis. Menurut satu
pendapat, bahwa pemalsuan ini telah terjadi sejak masa Rasulullah SAW. Menurut
pendapat lain terjadi sejak tahun 40 hijriah dan bahkan ada juga yang
berpendapat sepertiga akhir abad pertama hijriah. Perbedaan pendapat ini
terjadi karena tidak adanya keterangan nash yang jelas, yang berkaitan dengan
masalah ini.
Pendapat
yang disebutkan pertama di antaranya dikemukakan oleh Ahmad Amin, Shalah al-Din
al-Adhibi, dan Hasyim Ma’ruf al-Husaini (yang disebut terakhir dari ulama
Syi’ah). Ahmad Amin beralasan adanya hadis yang artinya berbunyi; “Barangsiapa yang berdusta dengan sengaja
atas namaku, maka tempat kembalinya adalah neraka”. Menurutnya dengan hadis
tersebut menggambarkan adanya kemungkinan pada zaman Rasulullah telah terjadi
pemalsuanha hadis.
Alasan
yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, sebagaimana dikatakan Mushtafa al-Siba’i,
sebetulnya hanya merupakan dugaan yang tersirat dalam hadis itu. Dia tidak
mempunyai alasan historis dan tidak pula tercantum dalam kitab-kitab standar
yang berkaitan dengan asbab al-wurud.
Shalah
al-Din al-Adhibi mengemukakan alasan lain, yaitu adanya dua buah hadis riwayat
ath-Thahawi dan ath-Thabrani yang menjelaskan, bahwa pada masa Rasulullah ada
seseorang yang mengaku telah diberi wewenang oleh Rasul untuk menyelesaikan
suatu masalah di suatu kelompok msyarakat di sekitar Madinah. Kemudian melamar
seorang gadis penduduk masyarakat tersebut, tetapi lamaran itu ditolak.
Masyarakat mengirim surat kepada utusan Rasul untuk meneliti kebenaran apa yang
dikatakan orang itu. Ternyata Nabi tidak pernah menyuruh seseorang untuk
mengatasnamakan beliau. Menurut para ulama hadis inilah yang dha’if sehingga
hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah adanya indikasi pemlsuan hadis masa ini.
Pendapat
kedua dikemukakan oleh para ulama ahli hadis, dan ini yang menjadi pegangan
para ulama kontemporer, seperti Ajjaj al-Khathib, Musthafaas-Siba’i, Nur ad-Din
‘Atar, Muhammad Abuu Zahrah , Muhamad Muhammad Abu Syuhbah, dan Abd al-Fatah
Abu Gadah. Menurut mereka pemalsuan hadis itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib. Mereka beralasan bahwa pada masa ini terjadi pertentangan
politik antara Ali bin Abi Thalib denggan Mu’awiyah bin Abi sufyan yang cukup
serius. Masing-masing golongan yang bertentangan, selain berusaha saling
mengalahkan lawannya , juga berusaha mempengaruhi pihak-pihak lain yang tidak
terlibat dalam perpecahan. Salah satu cara yang mereka tempuh, ialah dengan
membuat hadis palsu.
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Hadis maudhu’ adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. dengan dusta
dan tidak ada kaitan yang hakiki kepada Rasulullah.
2.
Sebab-sebab munculnya hadis maudhu’ di antarnya adanya perselisihan,
permusuhan, al-Targhib wa al-Tahrib, upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi,
dan kesalahan pada rawi tapa disengaja.
3.
Pemberantasan hadis maudhu’ dapat dilakukan dengan meneliti karakteristik para
rawi, memberi peringatan keras kepada para pendusta, pencarian sanad hadis,
menguji kebenaran hadis, menetapkan pedoman untuk mengungkap hadis maudhu’, dan
menyusun himpunan kitab hadis maudhu’.
4.
Cirri-ciri hadis maudhu’ dapat diketahui dengan melihat ciri-ciri pada rawi dan
pada matan.
5.
Sumber-sumber hadis maudhu’ di antaranya adalah al-Maudhu’at, al-La’ali al-Mashnuah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, Tanzih
al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits al-Syani’ah al-Maudhu’ah, al-Manar
al-Munif fi al-Shahih wa al-Dha’if, dan al-Mashnu’
fi al-Hadits al-Maudhu’.
6.
Pertuumbuhan dan perkembangan hadis maudhu’, para ulama berbeda pendapat
tentang hal ini, ada yang berpendapat bahwa telah terjadi sejak masa Rasulullah
SAW. Menurut pendapat lain terjadi sejak tahun 40 hijriah dan bahkan ada juga
yang berpendapat sepertiga akhir abad pertama hijriah.
B.
Saran
Hadis maudhu’ merupakan hadis palsu yang datangnya
bukan dari Rasulullah SAW. melainkan dibuat dengan tujuan tertentu. Untuk itu
kita hemdaknya mengetahui tentang hadis maudhu’ agar tidak salah dalam memahami
dan menjalankan syariat agama sebagaimana
yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Serta melakukan usaha untuk mencegah terjadinya penyebarluasan hadis
maudhu’ demi untuk keselamatan umat Islam dari jalan yang salah.
DAFTAR PUSTAKA
Itr,
Nuruddin. Ulumul Hadits 2. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya Offset, 1997.
Ranuwijaya,
Utang. Ilmu Hadits. 1996. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar