Salam Hidup Penuh Berkah

Selasa, 03 November 2015

Cerita Perjuangan Cinta

Cerita Perjuangan Cinta
DARAH CINTA
Nggak pernah terbayang di pikiranku akan kejadian ini sebelumnya. Aku
nggak pernah menyangka kalau Elisa akhirnya harus masuk ke ruang ICU. Semua
terjadi begitu saja.
Andai saat itu Elisa mau dengerin apa yang aku bilang, pasti semua nggak
akan kayak gini jadinya. Aku udah berusaha mencegahnya menemui Fandy. Tapi apa
dikata, semua keputusan ada di tangannya. Dan dia memutuskan untuk menemui si
Fandy itu. Walaupun aku udah berusaha meyakinkan dia kalau sebenarnya Fandy itu
membohonginya.
Ah…, Elisa…Elisa…, sekarang orang tua kamu juga yang repot. Mereka
harus cari darah buat kamu. Kalau nggak, malam ini nyawa kamu nggak akan bisa
diselamatkan.
Mamanya duduk di kursi yang disediakan rumah sakit di depan ruang ICU.
“Gimana, tante?”tanyaku.
“Semua stok darah udah habis.”jelasnya.
“Emang darah tante atau om nggak ada yang segolongan sama Elisa?”
“Om dan tante nggak diperbolehkan dokter menyumbangkan darah.”
“Kenapa?”
“Om dan tante memiliki penyakit diabetes.”
Owww…., sungguh tragis banget, tante. Andai aja golongan darahku sama
kayak Elisa, mungkin aku bisa sumbangin.
Eh…, tunggu…, aku kan nggak tahu golongan darahku??? Selama ini aku
nggak pernah periksa darah.
“Tante, aku pergi bentar, ya!”aku pamit.
“Ke mana?”
“Bentar aja.”
Aku langsung pergi meninggalkan tante sendirian. Kusuruh kakiku menuju
ruangan dokter yang tidak jauh dari situ.
“Permisi, dok.”aku membuka pintu sedikit.
“Ya, silahkan masuk!”kata dokter.
Aku masuk ke ruangan itu. Pak dokter langsung menyuruhku duduk.
“Ada apa?”tanya pak dokter.
“Saya dengar pasien atas nama Elisa membutuhkan darah.”
“Betul. Kebetulan persediaan golongan darah A untuk saudara Elisa tidak
ada.”
“Ehm…, saya boleh periksa darah, dok? Mungkin aja golongan darah saya
sama dengan Elisa!!!”
“Anda yakin?”
“Iya, dok.”
“Kalau begitu mari saya periksa.”
Pak dokter membawaku ke sebuah laborat mini di ruangannya. Dia memeriksa
golongan darahku sekaligus kesehatan darahku.
Beberapa menit kemudian pak dokter membawa hasilnya.
“Baik, darah anda cocok dengan darah saudara Elisa. Anda bisa
menyumbangkannya.”
“Terima kasih, dok!”
Pak dokter menyuruhku rebah di kasur rumah sakit. Dia menusukkan jarum
besar ke lenganku. Sesaat kemudian darahku mengalir ke sebuah kantong darah yang
tersedia di situ.
“Kalau boleh saya tahu, kenapa anda bersedia menyumbangkan darah anda
untuk saudara Elisa?”pak dokter menginterogasiku.
“Saya cuma ingin dia tetap hidup.”
“Apa yang membuat anda menginginkannya tetap hidup?”pak dokter
menginterogasi lagi.
“Ini pribadi, dok. Jadi saya tidak bisa jelaskan.”
“Apa perlu saya beritahukan sumbangan anda kepadanya?”
“Jangan, dok!!! Dokter harus rahasiakan ini.”
“Baik.”
Tak lama kemudian kantong darah itu penuh. Pak dokter mencabut jarum itu
dari lenganku. Dia menutup lukaku dengan kapas dan handsaplast.
Seorang suster masuk ke ruangan itu membawa makanan.
“Dokter, ini pesanannya.”
“Berikan padanya.”menunjukku.
“Baik, dokter.”
“Kamu habiskan makanan itu.”kata pak dokter,”Setelah itu istirahatlah
sejenak.”
“Baik, dok.”
Aku langsung mengikuti perintah dokter. Makanan yang cukup bergizi itu
membuatku berselera. Apalagi ada daging ayam dan telor rebus.
* * *
Sudah tiga hari ini Elisa terbaring. Namun dia belum juga sadar. Dia masih
tergeletak lemas. Tapi kata dokter dia akan baik-baik saja.
Menjelang pagi, tiba-tiba tangan Elisa bergerak. Matanya sedikit demi sedikit
terbuka.
“Ma…,”panggil Elisa.
“Elisa.”mamanya langsung memeluknya.
Papanya pun yang baru saja datang ikut memeluknya. Mereka senang
akhirnya anak mereka bisa kembali sadar.
Aku ikut bahagia.
Jam terus berputar. Waktu terus berjalan.
Elisa pun terus membaik. Kesehatannya semakin mengalami peningkatan.
“El, ayo makan!”aku menyuapinya.
Elisa mengelak,”Ngapain sih kamu di sini?”
Aku menarik nafas dalam saat mendengar ucapannya,”Aku ke sini jagain
kamu.”
“Kamu nggak usah bohong. Bilang aja kamu mau pengaruhi aku lagi.”
“Tapi…!!!”
“Nes…, aku itu paling nggak suka sama orang yang suka nuduh tanpa bukti.”
“Maksud kamu tentang Fandy?”
“Siapa lagi?”
Belum sempat aku menjelaskan semuanya, seorang cowok bersama tiga
temannya masuk. Ternyata itu Fandy dan teman-temannya. Sungguh terkejutnya aku
saat melihat mereka datang.
“El, apa kabar?”sapanya.
“Baik. Kamu kok di sini? Bukannya kemarin kamu sakit?”tanya Elisa.
“Ehm…e…iya…iya…, kemarin aku sakit. Tapi udah sembuh.”
Dari kata-katanya saja udah kelihatan kalau dia itu berbohong. Tapi aku nggak
ngerti apa yang ada di pikiran Elisa. Dia percaya gitu aja.
Saat mereka masih asyik bicara, pak dokter bersama susternya masuk.
“Permisi, saya mau periksa saudara Elisa.”kata pak dokter.
“Silahkan, dok!”jawab Fandy.
Pak dokter mengeluarkan stetoskopnya. Dia memeriksa detak jantung Elisa.
“Sepertinya besok kamu sudah boleh pulang!”
“Terima kasih, dok.”Elisa tersenyum,”O ya, dok. Katanya ada yang
menyumbangakan darah untuk saya. Siapa dia?”
Pak dokter langsung melihatku. Aku pun langsung memberi kode padanya.
“Aku, El…!!!”Fandy,”Aku yang nyumbangin darah ke kamu.”
“Benar, Fan?”
“Iya.”
“Makasih, ya!”
Kulihat wajah Elisa tampak ceria mendengar Fandy berbicara kebohongan itu.
“Maaf, seseorang yang menyumbangkan darah untuk anda tidak mengijinkan
saya untuk menjawab pertanyaannya.”kata dokter itu.
“Apa?”Elisa terkejut.
Rupanya pak dokter mau membelaku.
“Iya. Dia menyuruh saya untuk merahasiakan ini semua.”
“Iya…, kemarin aku nyuruh dokter gitu.”Fandy menyerobot.
“Lebih baik anda diam daripada anda berbohong seperti itu.”Pak dokter
menatap Fandy.
“Jadi bukan dia?”Elisa,”Lalu siapa?”
“Saya tidak bisa menjawab. Tapi saya yakin anda tahu orangnya. Saya yakin
anda bisa merasakan siapa dia.”jelas pak dokter,”Maaf, saya harus periksa pasien
yang lain.”
Pak dokter dan suster pergi meninggalkan mereka.
“El…, sorry…, aku nggak bermaksud bohongin kamu.”ucap Fandy.
“Kalian semua pergi dari sini!!!!”
Tidak ada lagi yang bisa melawan kemarahan Elisa. Mereka keluar dari
ruangan itu. Aku pun ikut keluar.
* * *
Aku duduk nyantai di rumah. Sendiri. Dan menyepi.
Pikiranku melayang ke mana-mana. Aku sedang bingung.
Sebuah sms masuk di hpku.
NES KAMU KE RUMAHKU SEKARANG. AKU PENGEN KETEMU
KAMU. ELISA
Ngapain dia nyuruh aku datang ke rumahnya?
Daripada aku penasaran, mending aku datang ke sana.
Setibanya di depan rumahnya, aku lihat dia sedang berdua dengan Fandy.
Oh…, ternyata ini maksudnya menyuruhku datang!! Okey…, aku bisa ngerti.
Aku melangkahkan kakiku pergi. Tak kuasa kalau harus melihat mereka
berdua.
Belum sempat aku melangkah, dia memanggilku,”Nes.”Elisa
menghampiriku,”Kok nggak bilang kalau udah datang?”dia tersenyum.
Baru kali ini kulihat senyumnya yang begitu tulus. Biasanya dia kalau senyum
buat aku rasanya berat banget.
“Sorry, aku ganggu kamu.”
“Nes.”dia memegang tanganku,”Kamu nggak ganggu kok. Dia kebetulan aja
tadi datang.”
“Untuk apa?”
“Aku nggak tahu. Tiba-tiba aja dia datang waktu aku nungguin kamu.”
“Oh…!!”
“Kok masih pakai jaket? Dibuka dong jaketnya!”
“Sorry, aku kedinginan.”
“Kamu bohong!”
“Suer.”
“Kok keringetan?”
Ow…, aku baru sadar kalau aku berkeringat sejak tadi.
“Buka dong jaket kamu.”pintanya.
Aku menggelengkan kepalaku. Dia nggak boleh tahu bekas luka itu. Kalau dia
lihat, dia akan tahu aku yang mendonorkan darahku untuknya.
“Please…!!!”
Elisa terus memaksaku. Namun aku terus menolaknya.
Tak kusangka dia membuka jaketku. Aku pun melawannya. Tapi perasaanku
berpihak padanya. Dan aku dikendalikan perasaanku. Kubiarkan dia membuka
jaketku.
Dan ternyata benar. Dia akhirnya tahu.
“Jadi kamu yang donorin darah buat aku?”
“Sekarang kamu udah tahu.”
Elisa langsung memelukku.
“Maafin aku, ya! Aku udah salah sama kamu. Seharusnya aku dengerin
kamu.”
“Udahlah, El. Buat apa kamu sesali lagi? Toh juga kamu akan mengulanginya
lagi.”sindirku.

“Nes, aku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar