Cerita
Perjuangan Cinta
DARAH
CINTA
Nggak
pernah terbayang di pikiranku akan kejadian ini sebelumnya. Aku
nggak
pernah menyangka kalau Elisa akhirnya harus masuk ke ruang ICU. Semua
terjadi
begitu saja.
Andai
saat itu Elisa mau dengerin apa yang aku bilang, pasti semua nggak
akan
kayak gini jadinya. Aku udah berusaha mencegahnya menemui Fandy. Tapi apa
dikata,
semua keputusan ada di tangannya. Dan dia memutuskan untuk menemui si
Fandy
itu. Walaupun aku udah berusaha meyakinkan dia kalau sebenarnya Fandy itu
membohonginya.
Ah…,
Elisa…Elisa…, sekarang orang tua kamu juga yang repot. Mereka
harus
cari darah buat kamu. Kalau nggak, malam ini nyawa kamu nggak akan bisa
diselamatkan.
Mamanya
duduk di kursi yang disediakan rumah sakit di depan ruang ICU.
“Gimana,
tante?”tanyaku.
“Semua
stok darah udah habis.”jelasnya.
“Emang
darah tante atau om nggak ada yang segolongan sama Elisa?”
“Om dan
tante nggak diperbolehkan dokter menyumbangkan darah.”
“Kenapa?”
“Om dan
tante memiliki penyakit diabetes.”
Owww….,
sungguh tragis banget, tante. Andai aja golongan darahku sama
kayak
Elisa, mungkin aku bisa sumbangin.
Eh…,
tunggu…, aku kan nggak tahu golongan darahku??? Selama ini aku
nggak
pernah periksa darah.
“Tante,
aku pergi bentar, ya!”aku pamit.
“Ke
mana?”
“Bentar aja.”
Aku
langsung pergi meninggalkan tante sendirian. Kusuruh kakiku menuju
ruangan
dokter yang tidak jauh dari situ.
“Permisi,
dok.”aku membuka pintu sedikit.
“Ya,
silahkan masuk!”kata dokter.
Aku
masuk ke ruangan itu. Pak dokter langsung menyuruhku duduk.
“Ada
apa?”tanya pak dokter.
“Saya
dengar pasien atas nama Elisa membutuhkan darah.”
“Betul.
Kebetulan persediaan golongan darah A untuk saudara Elisa tidak
ada.”
“Ehm…,
saya boleh periksa darah, dok? Mungkin aja golongan darah saya
sama
dengan Elisa!!!”
“Anda
yakin?”
“Iya,
dok.”
“Kalau
begitu mari saya periksa.”
Pak
dokter membawaku ke sebuah laborat mini di ruangannya. Dia memeriksa
golongan
darahku sekaligus kesehatan darahku.
Beberapa
menit kemudian pak dokter membawa hasilnya.
“Baik,
darah anda cocok dengan darah saudara Elisa. Anda bisa
menyumbangkannya.”
“Terima
kasih, dok!”
Pak
dokter menyuruhku rebah di kasur rumah sakit. Dia menusukkan jarum
besar ke
lenganku. Sesaat kemudian darahku mengalir ke sebuah kantong darah yang
tersedia
di situ.
“Kalau boleh
saya tahu, kenapa anda bersedia menyumbangkan darah anda
untuk
saudara Elisa?”pak dokter menginterogasiku.
“Saya
cuma ingin dia tetap hidup.”
“Apa
yang membuat anda menginginkannya tetap hidup?”pak dokter
menginterogasi
lagi.
“Ini
pribadi, dok. Jadi saya tidak bisa jelaskan.”
“Apa
perlu saya beritahukan sumbangan anda kepadanya?”
“Jangan,
dok!!! Dokter harus rahasiakan ini.”
“Baik.”
Tak lama
kemudian kantong darah itu penuh. Pak dokter mencabut jarum itu
dari
lenganku. Dia menutup lukaku dengan kapas dan handsaplast.
Seorang
suster masuk ke ruangan itu membawa makanan.
“Dokter,
ini pesanannya.”
“Berikan
padanya.”menunjukku.
“Baik,
dokter.”
“Kamu
habiskan makanan itu.”kata pak dokter,”Setelah itu istirahatlah
sejenak.”
“Baik,
dok.”
Aku
langsung mengikuti perintah dokter. Makanan yang cukup bergizi itu
membuatku
berselera. Apalagi ada daging ayam dan telor rebus.
* * *
Sudah
tiga hari ini Elisa terbaring. Namun dia belum juga sadar. Dia masih
tergeletak
lemas. Tapi kata dokter dia akan baik-baik saja.
Menjelang
pagi, tiba-tiba tangan Elisa bergerak. Matanya sedikit demi sedikit
terbuka.
“Ma…,”panggil
Elisa.
“Elisa.”mamanya
langsung memeluknya.
Papanya
pun yang baru saja datang ikut memeluknya. Mereka senang
akhirnya
anak mereka bisa kembali sadar.
Aku ikut
bahagia.
Jam
terus berputar. Waktu terus berjalan.
Elisa
pun terus membaik. Kesehatannya semakin mengalami peningkatan.
“El, ayo
makan!”aku menyuapinya.
Elisa
mengelak,”Ngapain sih kamu di sini?”
Aku
menarik nafas dalam saat mendengar ucapannya,”Aku ke sini jagain
kamu.”
“Kamu
nggak usah bohong. Bilang aja kamu mau pengaruhi aku lagi.”
“Tapi…!!!”
“Nes…,
aku itu paling nggak suka sama orang yang suka nuduh tanpa bukti.”
“Maksud
kamu tentang Fandy?”
“Siapa
lagi?”
Belum
sempat aku menjelaskan semuanya, seorang cowok bersama tiga
temannya
masuk. Ternyata itu Fandy dan teman-temannya. Sungguh terkejutnya aku
saat
melihat mereka datang.
“El, apa
kabar?”sapanya.
“Baik.
Kamu kok di sini? Bukannya kemarin kamu sakit?”tanya Elisa.
“Ehm…e…iya…iya…,
kemarin aku sakit. Tapi udah sembuh.”
Dari
kata-katanya saja udah kelihatan kalau dia itu berbohong. Tapi aku nggak
ngerti
apa yang ada di pikiran Elisa. Dia percaya gitu aja.
Saat
mereka masih asyik bicara, pak dokter bersama susternya masuk.
“Permisi,
saya mau periksa saudara Elisa.”kata pak dokter.
“Silahkan,
dok!”jawab Fandy.
Pak
dokter mengeluarkan stetoskopnya. Dia memeriksa detak jantung Elisa.
“Sepertinya
besok kamu sudah boleh pulang!”
“Terima
kasih, dok.”Elisa tersenyum,”O ya, dok. Katanya ada yang
menyumbangakan
darah untuk saya. Siapa dia?”
Pak
dokter langsung melihatku. Aku pun langsung memberi kode padanya.
“Aku,
El…!!!”Fandy,”Aku yang nyumbangin darah ke kamu.”
“Benar,
Fan?”
“Iya.”
“Makasih,
ya!”
Kulihat
wajah Elisa tampak ceria mendengar Fandy berbicara kebohongan itu.
“Maaf,
seseorang yang menyumbangkan darah untuk anda tidak mengijinkan
saya
untuk menjawab pertanyaannya.”kata dokter itu.
“Apa?”Elisa
terkejut.
Rupanya
pak dokter mau membelaku.
“Iya.
Dia menyuruh saya untuk merahasiakan ini semua.”
“Iya…,
kemarin aku nyuruh dokter gitu.”Fandy menyerobot.
“Lebih
baik anda diam daripada anda berbohong seperti itu.”Pak dokter
menatap
Fandy.
“Jadi
bukan dia?”Elisa,”Lalu siapa?”
“Saya
tidak bisa menjawab. Tapi saya yakin anda tahu orangnya. Saya yakin
anda
bisa merasakan siapa dia.”jelas pak dokter,”Maaf, saya harus periksa pasien
yang
lain.”
Pak
dokter dan suster pergi meninggalkan mereka.
“El…,
sorry…, aku nggak bermaksud bohongin kamu.”ucap Fandy.
“Kalian
semua pergi dari sini!!!!”
Tidak
ada lagi yang bisa melawan kemarahan Elisa. Mereka keluar dari
ruangan
itu. Aku pun ikut keluar.
* * *
Aku
duduk nyantai di rumah. Sendiri. Dan menyepi.
Pikiranku
melayang ke mana-mana. Aku sedang bingung.
Sebuah
sms masuk di hpku.
NES KAMU
KE RUMAHKU SEKARANG. AKU PENGEN KETEMU
KAMU.
ELISA
Ngapain
dia nyuruh aku datang ke rumahnya?
Daripada
aku penasaran, mending aku datang ke sana.
Setibanya
di depan rumahnya, aku lihat dia sedang berdua dengan Fandy.
Oh…,
ternyata ini maksudnya menyuruhku datang!! Okey…, aku bisa ngerti.
Aku
melangkahkan kakiku pergi. Tak kuasa kalau harus melihat mereka
berdua.
Belum
sempat aku melangkah, dia memanggilku,”Nes.”Elisa
menghampiriku,”Kok
nggak bilang kalau udah datang?”dia tersenyum.
Baru
kali ini kulihat senyumnya yang begitu tulus. Biasanya dia kalau senyum
buat aku
rasanya berat banget.
“Sorry,
aku ganggu kamu.”
“Nes.”dia
memegang tanganku,”Kamu nggak ganggu kok. Dia kebetulan aja
tadi
datang.”
“Untuk
apa?”
“Aku
nggak tahu. Tiba-tiba aja dia datang waktu aku nungguin kamu.”
“Oh…!!”
“Kok
masih pakai jaket? Dibuka dong jaketnya!”
“Sorry,
aku kedinginan.”
“Kamu
bohong!”
“Suer.”
“Kok
keringetan?”
Ow…, aku
baru sadar kalau aku berkeringat sejak tadi.
“Buka
dong jaket kamu.”pintanya.
Aku
menggelengkan kepalaku. Dia nggak boleh tahu bekas luka itu. Kalau dia
lihat,
dia akan tahu aku yang mendonorkan darahku untuknya.
“Please…!!!”
Elisa
terus memaksaku. Namun aku terus menolaknya.
Tak
kusangka dia membuka jaketku. Aku pun melawannya. Tapi perasaanku
berpihak
padanya. Dan aku dikendalikan perasaanku. Kubiarkan dia membuka
jaketku.
Dan
ternyata benar. Dia akhirnya tahu.
“Jadi
kamu yang donorin darah buat aku?”
“Sekarang
kamu udah tahu.”
Elisa
langsung memelukku.
“Maafin
aku, ya! Aku udah salah sama kamu. Seharusnya aku dengerin
kamu.”
“Udahlah,
El. Buat apa kamu sesali lagi? Toh juga kamu akan mengulanginya
lagi.”sindirku.
“Nes,
aku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar