KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan
rahmat dan ridho-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Hadits Tarbawi yang berjudul “Puasa”.
Shalawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi
besar Muhammad SAW. Yang mana beliau telah memberikan kita petunjuk
kepada jalan yang benar.
Tak
lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak selaku Dosen kami dalam
pembelajaran mata kuliah Hadits Tarbawi, juga kepada semua teman-teman yang
telah memberikan dukungan kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami
menyadari jika dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, dengan hati yang terbuka kritik serta saran yang konstruktif guna kesempurnaan makalah ini.
Demikian
makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan banyak
terdapat kekurangan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan hanya kepada Allah-lah kita
berlindung dan mengharapkan taufiq serta hidayahnya. Amin
Ya Rabbal Almin....
Wallahul Muwafieq ilaa Aqwamith
Thorieq
Wassalamu ‘alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Watampone, Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA
PENGANTAR ii
DAFTAR
ISI iii
BAB
I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 2
D. Manfaat Penulisan 2
BAB
II PEMBAHASAN 3
A. Definisi Puasa 3
B. Dasar Hukum Puasa 6
C. Keutamaan dan Hikmah Puasa 8
BAB
III PENUTUP 13
A. Simpulan 13
B. Saran 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Puasa
merupakan satu bentuk ketaatan kepada Allah swt. puasa menjadi salah satu rukun
agama, karena puasa merupakan salah satu jenis ibadah yang paling kuat dan
sarana terbaik dalam proses pendidikan. Informasi tentang ini dapat kita
peroleh dari Al-Quran. Seorang Mukmin, dengan puasanya akan diberi pahala yang
luas dan tidak terbatas. Sebab, puasa itu dapat diperuntuhkan bagi Allah swt.
yang kedermawaan-Nya sangat luas. Menurut Muhammad Abdul, puasa sudah dikenal
masyarakat sebelum islam, baik masyarakat beragama atau penyembah berhala. Ia
sudah dikenal Mesir Kuno, Yunani, Romawi, dan para penyembah Dewa di India.
Puasa merupakan perintah Allah
swt yang harus kita jalani dengan baik. Jangan jadikan puasa hanya sebagai
ajang melepas kewajiban tetapi tanamkanlah dalam diri kita bahwa hal itu
sebagai kebutuhan kita yang akan kita raih kenikmatan di dunia maupun di
akhirat.
Kita tidak
akan memahami tentang puasa kalau kita tidak mengetahui definisi puasa, dasar
hukum puasa, dan keutamaan atau hikmah puasa tersebut.
B. Rumusan masalah
1. Apa Definisi Puasa tersebut ?
2. Apa Dasar hukum Puasa tersebut ?
3. Bagaimana Keutamaan dan Hikmah puasa tersebut ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui definisi
puasa itu sendiri.
2.
Untuk mengetahui dasar
hukum puasa.
3.
Untuk mengetahui keutamaan
dan hikmah puasa.
D. Manfaat Penulisan
Dengan materi
puasa ini kita dapat lebih meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. serta dapat
kita aplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam puasa tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Puasa
Shiyam
menurut lughah, ialah menahan diri[1].
Dalam pengertian lain, puasa secara bahasa adalah terjemahan dari bahasa Arab, shaum,
ia memiliki arti dasar imsak ‘an al-kalam wa al kaff ala syaiin “menahan
sesuatu” atau meninggalkannya”, “tidak melakukannya”. Al-Quran menggambarkan
pengertian ini melalui lisan Nabi Zakariya ‘alaihi as-salam:
اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ
صَوْمًا فَلَنْ اُكَلَّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيَّا {مَرْيَمَ: 26}.
“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha
Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari
ini”. (QS.Maryam: 26).
Ar-Raghib
dalam Mufradat al-Quran berkata: “Shaum adalah menahan melakukan
sesuatu, baik makan, berbicara, atau berjalan”. Oleh karena itu, kuda yang
tidak mau bergerak atau berjalan dikatakan Shiyam. Sedangkan Al-Baidhawi
mengartikan Shaum sebagai “imsak ‘an al-kalam ma’a as-shiyam ‘an as-syahawat
az-zauziyyah wa as-syarab wa at-tha’am”. Menurut Abu Ubaidah yang mengutip
beberapa ahli bahasa, bahwa setiap orang yang menahan dari makan, berbicara dan
berjalan adalah orang yang berpuasa[2].
Atau menahan diri dari makan, minum, dan
ijma’ dari terbit fajar sampai
terbenam matahari, karena mengharap pahala Allah swt[3].
Allah swt.
Memerintahkan para muslimin yang telah sampai umur serta sanggup, baik
laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda, mengerjakan puasa di bulan
Ramadhan yang dipandang sebagai bulan latihan jiwa manusia[4].
Adapun
menurut syara’, puasa berarti menahan diri dari hal-hal yang
membatalkannya dengan niat yang dilakukan oleh orang bersangkutan pada siang
hari, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Dengan kata lain, puasa
adalah menahan diri dari perbuatan yang berupa dua macam syahwat (syahwat perut
dan syahwat kemaluan). Serta menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk
perut, seperti obat atau sejenisnya. Hal itu dilakukan pada waktu yang telah
ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar kedua (fajar shadiq) sampai
terbenam matahari, oleh orang tertentu yang berhak melakukannya, yaitu orang
Muslim, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa harus
dilakukan dengan niat; yakni bertekad dalm hati untuk mewujudkan perbuatan itu
secara pasti, tidak ragu-ragu. Tujuan niat adalah membedakan antara perbuatan
ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan[5].
Shaum menurut
istilah adalah menahan dari aktivitas
makan, minum dan mendekati wanita sejak fajar sampai Maghrib dengan penuh
keikhlasan kepada Allah,
B. Dasar Hukum Puasa
Puasa
Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijrah. Nabi Muhammad SAW
mengerjakan puasa Ramadhan hanya sebanyak sembilan kali, delapan kali
dikerjakan selama sebulan kurang (29 hari), sedangkan yang genap 30 hari hanya
sekali.
1.
Al-Quran
يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ
اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. {الْبَقَرَة: 183}
“hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu” (QS.
Al-Baqarah:183).
2.
As-Sunnah
بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى
خَمْسٍ:شَهَادَةُاَنْ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
وَاِقَامُ الصَّلَاةِ وَاِيْتَاءُالذَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وحِخُّ الْبَيْتِ
مَنِ اِسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلَا.
“Islam dibangun
atas lima dasar: bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, Muhammad sebagai
hamba dan Rasul-Nya, melaksanakan shalat, memberikan zakat, puasa Ramadhan dan
menunaikan haji d baitullah”. (HR.Muslim).
3.
Ijma
Kaum muslim
dari semua mazhab dan golongan sejak periode Nabi saw hingga hari ini telah
sepakat atas wajibnya puasa Ramadhan, yakni
fardhu aini atas
tiap-tiap muslim mukallaf tanpa
kecuali, baik jaman dahulu, sekarang, atau masa yang akan datang[7].
C. Keutamaan dan Hikmah Puasa
Di balik
ibadah yang diwajibkan kepada manusia, pasti ada hikmah dan manfaat. Hanya saja
hikmah tersebut kadang dapat diketahui dan kadang tidak diketahui. Begitu pula
dengan ibadah puasa, para ilmuwan, baik dalam bidang agama, akhlak maupun
terapan, seperti kedokteran, telah berupaya menafsirkan hikmah tersebut.
Penafsiran mereka dapat saja sesuai, namun sebaliknya dapat juga tidak sesuai
dengan yang dituju dan dimaksud oleh Sang Pembuat Hukum, Allah SWT. Namun, yang
jelas, Allah telah menggambarkan hikmah puasa ini dalam firman-Nya:
وَاَنْ تَصُوْ مُوْا خَيْرٌ
لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ. {الْبَقَرَة: 184}.
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS.Al-Baqarah:184).
Di antara hikmah dan keutamaan
puasa adalah sebagai berikut[8]:
1.
Menumbuhkan Kesamaan Status
Sosial antara Orang Fakir dan Orang Kaya
Puasa, khususnya
Ramadhan, mendidik umat bahwa status mereka adalah sama di hadapan Tuhan. Orang
kaya, walaupun dia mampu untuk membeli makanan dan apa saja yang dibutuhkannya,
tetapi dia tidak dapat seenaknya menyalahi perintah Tuhan. Dengan puasa,
perintah dan larangan bersifat menyeluruh, sehingga orang-orang kaya dan mampu
akan merasakan apa yang diderita oleh orang-orang fakir dan miskin, Ibn Qasyyim
pernah berkata: “puasa dapat mengingatkan orang-orang kaya akan penderitaan dan
kelaparan yang dilanda orang-orang miskin”.
2.
Mengajarkan Keteraturan dan
Kedisiplinan, Sabar, dan Penuh Rasa Sayang serta Cinta
Puasa mendidik
umat disiplin terhadap berbagai peraturan. Bagaimana kedudukan dan pangkat
seseorang, dia harus tunduk pada peraturan yang berlaku. Sejak terbit fajar
sampai terbenanm matahari, umat dididik untuk disiplin berbakti hanya kepada
Allah. Walaupun dia dapat saja makan dan minum, bahkan berhubungan seks tanpa
diketahui oleh orang lain, tetapi puasa mengajarkan dia kejujuran dan
pengabdian sepenuhnya hanya kepada Allah.
Puasa juga mendidik umat untuk memiliki sifat sabar.
Menurut hadits nabi, As-Shaum nisfu as-Shabr. Sabar di sini dalam
berbagai bidang; sabar dalam beribadah, tidak tergoda oleh sifat-sifat buruk
dan menjauhi kemaksiatan. “As-Shiyam junnah wa huwa hisnun min husun
al-mukmin” (puasa adalah perisai, dia menjadi salah satu pelindung orang
Mukmin). (HR.Thabrani).
Selain itu, puasa juga menumbuhkan sifat sayang dan
cinta sesama manusia. Puasa mengajak manusia pada tarahhum, muwasah, dan
ta’athuf antar individu. Nabi pernah bersabda: man fatthara
shaiman... dan seterusnya. Puasa menuntun umat memiliki solidaritas sosial,
peka terhadap apa yang terjadi pada saudaranya, sehingga dia mau mengulurkan
tangan membantu saudaranya yang kesusahan, menghibur saudaranya yang sedih,
memberikan harapan kepada yang putus asa.
3. Menyehatkan Badan
Penelitian kedokteran menetapkan bahwa
berlebih-lebihan dalam mengonsumsi makanan bisa berakibat fatal. Karena makanan
yang berlebihan itu akan menyebabkan berbagai penyakit, seperti jantung dan
pembuluh darah. Tak ada jalan lain untuk mengantisipasi penyakit tersebut
adalah dengan menghadang penyebab dan gejala-gejalanya. Lapar pada saat
tertentu menjadi keharusan, agar proses pencernaan bagian dalam tubuh dapat
bergerak membasmi sel-sel berbahaya. Dengan begitu, fisik menjadi normal
kembali setelah terjadinya pembentukan sel-sel baru dan yang sehat dan kuat.
Puasa dapat memberi ruang terbuka bagi perut dan usus
untuk menyaring makanan. Kekosongan keduanya dapat meredahkan
aktivitas-aktivitas yang menyebabkan kotoran dan racun. Kondisi seperti ini
mampu memberi ruang yang tetap untuk mengobati luka-luka dengan adanya selaput
lendir. Kemudian daya seraf itu terhenti dari usus. Pada akhirnya asaam amonia
tidak sampai jantung, glukosa atau zat garam.
Penemuan medis telah membuktikan bahwa puasa dapat
menyembuhkan penyakit jantung, kencing manis, penyakit kulit, dan mengurangi
kadar kolestrol. Penemuan-penemuan inilah yang disyaratkan oleh nabi muhammad
saw dalam sabdanya:
صَوْمُوْا تَصِحُوْا.
“berpuasalah kamu, niscaya kalian akan sehat”.
4. Menekan dan Mengendalikan Nafsu Seks
Sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa gharizah
jinsiyyah atau naluri seksual termaksud senjata setan yang paling berbahaya
dalam membujuk dan menjerumuskan manusia. Maka dengan puasa yang penuh
keteraturan akan dapat menurunkan tensi seks secara baik. Oleh karena itu, nabi
Muhammad saw. menganjurkan kepada pemuda yang belum mampu menikah agar puasa
sebagai obat dan peredam tensi seksual.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلبَصَرِ
وَاَحْصَنُ لِلفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ
لَهُ وِجَاءُ.
“Wahai para
pemuda barang siapa di antara kalian yang mampu menikah maka menikahlah dikarenakan
dengan menikah dapat menunduhkan pandangan dan menjaga kemaluan dan barang
siapa yang tidak bisa menikah maka baginya untuk berpuasa hal itu sebagai
tameng baginya.
5.
Mewujudkan Penghambaan
Sejati kepada Allah
Hal yang paling
penting dari hikmah puasa terlepas dari faedah-faedah diatas adalah mewujudkan
penghambaan dan ketakwaan manusia kepada Allah swt. hal ini sangat jelas
tertera dalam fiman Allah dalam penghujung ayat 183 surah Al-Baqarah: “la’lakum
tattaqum” (agar kalian bertakwa). Orang yang berpuasa dengan niat ingin
sehat saja, maka dia tidak disebut beribadah kepada Allah. Tetapi jika dia niat
puasa dengan niat karena Allah dan
sekaligus ingin
sehat, maka dia akan meraih dua keuntungan; keuntungan pahala beribadah dan
keuntungan mendapatkan kesehatan.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Shiyam menurut lughah, ialah menahan diri. Sedangkan menurut
istilah puasa adalah menahan dari aktivitas makan, minum dan mendekati wanita sejak
fajar sampai Maghrib dengan penuh keikhlasan kepada Allah, serta mempersiapkan
diri untuk senantiasa bertakwa dan mengendalikan keinginan syahwat.
2. Dasar hukum puasa;
a. Al-Quran.
b. As-Sunnah.
c. Ijma.
3. Keutamaan dan hikmah puasa:
a. Menumbuhkan kesamaan status sosial antara fakir dan orang kaya.
b. Mengajarkan keteraturan dan kedisiplinan, sabar, dan penuh rasa
sayang dan cinta.
c. Menyehatkan badan.
d. Menekan dan mengendalikan nafsu seks.
e. Mewujudkan penghambaan sejati kepada Allah.
B. Saran
Semoga dengan eksistensi makalah ini dapat di jadikan
sebagai rujukan dan menambah pengetahuan kita tentang puasa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhayly Wahbah. Puasa dan Itikaf. Cet. II. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 1996.
Hasbiyallah. Fiqh dan Ushul Fiqh. Cet. I. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2013.
Shiddieqy Ash Hasbi Muhammad Teungku. Kuliah Ibadah: Ibadah Ditinjau
dari Segi Hukum dan Hikmah. Cet. I. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 2000.
[1] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah; Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum
dan Hikmah (Cet. I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 201
[2] Hasbiyallah,
Fiqh dan Ushul Fiqh; Metode Istinbath dan Istidlal (Cet. I; Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2013), h.215
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5]
Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf ( Cet. II; Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1996), h. 84
[6]
Ibid, h. 216.
[7] Ibid,
h.221.
[8] Ibid,
218.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar