Salam Hidup Penuh Berkah

Senin, 13 Oktober 2014

makalah hadis Maudhu



PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadis Maudhu’
Kata maudhu’ berasal dari isim maf’ul dari
Yang secara etimologis berarti                      (meletakkan atau menyimpan).
                                                       (mengada-ada atau membuat-buat), dan
                                                (ditinggalkan).
Sedangkan secara terminologis, hadis maudhu’ didefinisikan sebagai berikut.


“Hadis yang dibuat-buat atau diciptakan, yang didustakan atas nama Rasul SAW. secara sengaja”


“Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. secara dibuat-buat dan dusta padahal beliau tidak mengatakan, melakukan, atau mentapkannya”.
Yakni hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. dengan dusta dan tidak ada kaitan yang hakiki kepada Rasulullah. Bahkan sebenarnya ia bukan hadis, hanya saja para ulama menamainya dengan hadis mengingat adanya anggapan rawinya bahwa itu adalah hadis.
Banyak sekali kata-kata ahli hikmah, kata-kata mutiara para sahabat dinisbatkan kepada Nabi SAW. oleh para pemalsu hadis. Dan banyak pula mereka memalsukan hadis dengan kata-kata yang mereka ciptakan dan mereka rangkai sendiri.
Hadits maudhu’ adalah hadits dha’if yang paling jelek dan paling membahayakan bagi agama Islam dan pemeluknya. Para ulama sepakat bahwa tidak halal meriwayatkan hadis maudhu’ bagi seseorang yang mengetahui keadaannya apa pun misi yang diembannya kecuali disertai penjelasan tentang ke-maudhu’-annya dan disertai peringatan untuk tidak menggunakannya. Rasulullah SAW. bersabda  dalam sebuah hadis yang sangat masyhur:

Barang siapa yang meriwayatkan suatu hadits dariku yang ia ketahui bahwa hadits itu dusta, maka ia adalah seorang pendusta.

B.     Sebab-sebab Pemalsuan Hadits dan Kelompok-kelompok Pemalsunya
Para ulama telah meneliti sebab-sebab pemalsuan hadis, dan mengklasifikasi para pemalsunya berdasarkan motif-motif mereka dalam pemalsuan hadis. Hal ini berfungsi sebagai penerangan untuk mengungkap hakikat hadis-hadis maudhu’.

Berikut adalah kesimpulan hasil kajian mereka:
1)      Sebab pemalsuan hadis yang pertama kali muncul adalah adanya perselisihan yang melanda kaum Muslimin yang bersumber pada fitnah dan kasus-kasus yang mengikutinya; yakni umat Islam menjadi beberapa kelompok, kemudian, pengikut setiap kelompok dengan leluasa memalsukan hadis-hadis untuk membela diri dalam mmenghadapi kelompok yang beranggapan bahwa merekalah yang berkah memegang khalifah, di samping untuk memperlancar peraihan sesuatu yang telah mereka cita-citakan. Suatu hal yang sangat disayangkan adalah berpalingnya sebagian orang yang berkecimpung di dunia hadis lalu menyerang orang-orang dan kelompok yang telah berpaling dari hadis-hadis yang mereka ciptakan untuk memperkuat posisi tradisi dan kelompoknya. Dengan demikian, banyak hadismaudhu’ yang berkitan dengan keutamaan-keutamaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abbas, Muawiyah, dan sebagainya. Contoh hadis maudhu’ ialah:

Abu Bakar akan memimpin umatku setelah aku”.


“Ali adalah manusia yang paling baik, dan barangsiapa ragu terhadapnyamaka ia menjadi kafir”.

“Pemegang kepercayaan di dunia itu ada tiga, yaitu aku, Jibril, dan Mu’awiyah”.
2)      Permusuhan terhadap Islam dan untuk menjelek-jelekkannya. Yaitu upaya yang ditempuh oleh orang-orang Zindiq, lebih-lebih oleh keturunan bangsa-bangsa yang terkalahkan oleh umat Islam. Semula mereka bangga dengan negara dan pemerintahan yang sangat kuat dan karenanya mereka meremehkan orang-orang Arab. Ketika pemerintahan mereka hilang dan berpindah ke tangan orang-orang Arab, maka hal itu merupakan beban yang sangat berat bagi mereka. Kemudian mereka berusaha sedapat mungkin untuk merusak urusan kaum Muslimin dengan menyelipkan ajaran-ajaran batil ke dalam Islam dengan harapan kaum Muslim tidak dapat menghindarinya walau dengan berbagai kemampuan argumentasi dan bukti-bukti. Contohnya adalah:


Aku melihat Rabb-ku pada hari Arafah di padang Arafah tengah menunggang onta merah memakai dua lembar kain”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu ‘Ali al-Ahwazi, seorang pendusta, dalam kitabnya yang membahas sifat-sifat Allah.
3)      Al-Targhib wa al-Tarhib untuk mendorong mmanusia berbuat kebaikan. Hal ini dilakukan oleh beberapa orang bodoh yang berkecimping dalam bidang zuhud dan tekun beribadah. Semangat keagamaan mereka yang bercampur dengan kebodohan itu mendorong mereka memalsukan hadits-hadits al-Targhib wa al-Tarhib agar dapat memberi rangsangan kepada orang untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan kejahatan menurut anggapan mereka yang rusak.
Muslim dalam muqaddimah kitab Sahih-nya mengeluarkan hadits dari Yahya bin Sa’id al-Qaththan: “Tidak dapat kau melihat ahli kebaikan melakukan sesuatu yang lebih dusta daripada tindakan mereka terhadap hadits”.
4)      Upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi, seperti pendekatan kepada pemerintah, atau upaya mengumpulkan manusia ke dalam majelis, seperti yang dilakukan oleh para juru cerita dan para peminta-minta.
5)      Kepalsuan yang terjadi pada hadis seorang rawi tanpa disengaja seperti kesalahannya menyandarkan kepada Nabi saw. kata-kata yang sebenarnya diucapkan oleh sahabat atau yang lainya. Seperti orang yang secara tidak sengaja menyisipkan sesuatu yang bukan hadits ke dalam hadits yang diriwayatkannya.

C.    Pemberantasan Hadits Palsu dan Media Terpenting untuk Memberantasnya
Para ulama mengambil langgkah untuk memerangi pemalsuan hadits dan menghindarkan bahaya para pemalsu. Utuk itu mereka menggunakan pelbagai metodologi yang cukup unik yang kesimpulannya sebagai berikut.
1)      Meneliti karakteristik para rawi dengan mengamati tingkah laku dan riwayat mereka, sehingga mereka rela meninggalkan keluarga dan tanah airnya. Mereka rela dengan sedikit bekal dan pakaian using dalam mencari sunnah dan mengenal para rawinya. Sehingga mereka dapat membedakan antara rawi  yang tsiqat dan rawi yang jujur tetapi mengalami kekacauan hapalannya, serta rawi pendusta dan fasik. Hal itu dapat mereka ketahui melalui penerapan tolok ukur  yang dapat menentukan keadilan dan ke-dhabith-an rawi.
2)      Memberi peringatan keras kepada para pendusta dan mengungkap-ungkap kejelekan mereka, mengumumkan kedustaan mereka kepada pemuka pemuka masyarakat. Yahya bin Sa’id berkata, “Aku bertanya kepada Syu’bah, Sufyan al-Tsauri, Malik bin Anas, dan Sufyan bin “Uyainah tentang seseoran yang dicurigai dalam meriwayatkan hadits atau tidak hapal dengan baik”. Mereka menjawab, “Jelaskan kedaannya itu kepada manusia”. Sufyan bin “Uyainah berkata, “Kami menghindari hadits Dawud bin al-Hushain”. Ia juga berkata pula, “Jangan kau dengar dari Baqiyahsesuatu yang termasuk sunnah, namun dengarlahh darinya seuatu yang berkaitan dengan pahala dan lainnya. Ia adalah seorang mudallis”. Hammad bin Zaid berkata, “Syu’bah bin al-Hajjaj berkata kepada kami yakni saya, ‘Ubbad bin Ubbad, dan Jarir bin Hazim tentang seseorang. Kami berkata, “Sebaiknya engkau tidak menyebut-nyebutnya”. Maka seakan-akan ia bersikap lunak keoada kami dan memenuhi usul kami. Kemudian, setelah beberapa hari berlalu aku mau salat Jumat, maka tiba-tiba Syu’bah  memanggilkku dari belakang dan berkata, “ Orang-orang yang aku sebut namanya kepadamu itu aku anggap tidak memenuhi kriteriaku”. Masyarakat Muslim menyambut ernyataan para ulama dan menerima sepenuhnya serta mengamalkannya. Abdurrahman bin Ishaq, seorang syekh tekun  beribadah tetapi ia berpaling kepada bid’ah Qadariyah, yakni Mu’tazilah. Sufyan bin “Uyainah berkata, “Dahulu ia adalah seorang penganut paham Qadariyah dan karenanya ia disingkirkan oleh penduduk Madinah, kemudian datang ke sini–yakni ke Mekkah-maka kami tidak mau mendatangi majelisnya”. Jafar bin al-Zubair dan Imran bin Hadir adalah sama-sama membuka majelis ta’lim disuatu masjid. Semua jama’ah berdesakan kepada dan Jafar bin al-Zubair dan tidak seorang pun belajar kepada Imran. Suatu hari Syu’bah melewati mereka, lalu berkata, “Alangkah mengherangkannya orang-orang itu berkumpul kepada orang yang paling pendusta dan meninggalkan orang yang paling jujur”. Tidak lama setelah itu jama’ah berbalika kepada Imran dan tidak seorang pun menghadiri Ja’far.
3)      Pencarian sanad hadits, sehiingga mereka tidak menerima hadits yang tidak bersanad, bahkan hadits yang demikian mereka anggap  sebagai hadits yang batil. Sedangkan hadits-hadits yang bersanad masih diteliti sanad dan matannnya berdasrkan kriterian penerimaan hadits dan kaidah-kaidah yang berlaku baginya.
4)      Menguji kebenaran hdits dengan membandingkannya dengan riwayat yang melalui jalur laindan hadits-hadits yang telah diakui keberadaannya. Dengan langkah ini dapat diketahui hal-hal yang mencurigakan dalam hadits yang bersangkutan atau cacat yang timbul dari rawi yang jujur.
5)      Menetapkan pedoman-pedoman untuk mmengungkap hadits maudhu’.
6)      Menyusun kitab himpunan hadits-hadits maudhu’ untuk memberi penerangan dan peringatan kepada masyarakat tentang keberadaan hadits-hadits tersebut.

D.    Ciri-ciri Hadits Maudhu’
1)      Ciri-ciri hadits maudhu’ pada rawinya
a)      Mengaku telah memalsukan hadits, seperti Abu ‘Ishmah Nuh bin Abu Maryam dan Maisarah bin Abdi Rabbih.
Ditanyakan kepada Abu ‘Ishmah, “Kau dapat dari mana hadits yang melalui ‘Ikrimah dari Abu Abbas tentang keutamaan-keutaan Al-Quran , surat-per surat, padahal murid-murid ‘Ikrimah tidak ada yang meriwayatkan hadits yang demikian?” ia menjawab, “Saya memperhatikan umat telah berpaling dari Al-Quran dan menekuni fiqh Abu Hanifah dan maghazi  (kisah-kisah perang) susunan Muhammad bin Ishaq maka aku membuat hadits ini untuk megantisipasi gejala itu”.
b)      Tidak sesua dengan fakta sejarah, seperti yang terjadi pada al-Ma’mun bin  Ahmad yang menyatkan bahwa al-Hasan menerima hadits dari Abu Hurairah sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ia secara spontan menyebutkan untaian sanad yang sampai kepada Rasulullah saw.
c)      Ada gejala-gejala para rawi bahwa ia berdusta dengan hadis yang bersangkutan.

2)      Ciri-ciri hadits maudhu’ pada matan
a)      Kerancuan redaksi atau makna hadis.

“Jangan kau makan labu sebelum disembelih”
b)      Setelah diadakan penelitina terhadap suatu hadis menurut ahli hadits tidak terdapat dalam hapalan para rawi dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis, setelah penelitian dan pembukuan hadis sempurna.
c)      Haditsnya menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, seperti menyalahi ketentuan akal dan tidak dapat dita’wil atau mengandung hal-hal yang ditolah oleh perasaan, kejadian empiris, dan fakta sejarah. Contohnya adalah:

 Bunga mawar itu diciptakan dari keringatku”.

Galaksi Bima Sakti yang ada di langit itu berasal dari keringat ular jahat yang berbisa yang ada di bawah Arsy”.
d)     Hadits yang bertentangan dengan petunjuk Al-Quran yang pasti, sunnah yang mutawatir, atau ijma’ yang pasti dn tidak dapat dikompromikan. Imam al-Subki menjelaskan dalam Jam’ul Jawami. Setiap hadits yang mengesankan batil dan ia tidak dapat dita’wilmaka dinilai dusta atau dikurangi kedudukan dan fungsinya selama belum hilang kesan negatif  itu. Contoh hadits tentang batas usia dunia:
“Sesungguhnya batas usia dunia itu 7000 tahun, dan kita berada pada seribu tahun yang terakhir”.
Hadis ini merupakan kedustaan yang paling nyata, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, karena hadits itu memberitahu kepada setiap orang tentang terjadinya kiamat, padahal Allah berfirman:
Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu hanya ada pada Tuhan-mu dan tidak ada yang mengetahui waktunya kecuali Dia”. (QS. Al-A’raf:187)
e)      Penelitian hadis per bab
Mereka berkata, “Dalam bab ini tidak ada hadits yang sahih, satu pun. Atau kecuali hadits ini. Hal ini mereka katakan setelah mereka mengumpulkan hadits-hadits dalam suatu bab dan menelitinya.
Di antara contohnya adalah hadits-hadits yang mencela anak. Semuanya adalah dusta dari awal sampai akhir. Hhadits-hadits tentang sejarah yang akan datang. Setiap hadits yang menjelaskan bahwa pada masa yang akan datang terjadi anu dan anu, atau pada tahun anu Fulan akan anu dan anu adalah hadits batil. Hadits-hadits yang memuji hidup membujang semuanya adalah batil. Hadits-hadits tentang ,keutamaan bunga, seperti hadits tentang keutamaan bunga bawang, keutamaan bunga mawar, dan lain-lain, semuanya adalah palsu.

E.     Sumber-sumber Hadits Maudhu’
Para imam hadits telah menyusun berbagai kitab yang menjelaskan hadits-hadits maudhu’. Unntuk itu mereka mencurahkan segala kemampuan untuk membela kaum Muslim agar tidak terjerumus dalam kebatilan dan untuk memurnikan agama yang penuh pesona.
Di anttara kitan-kitab sumber hadits maudhu’ adalah:
1)      Al-Maudhu’at karya imam al-Hafizh Abul Jafar Abdurrahman al-Jauzi (w. 597 H). Kitab ini merupakan kitab pertama dan paling luas bahasannya di bidang ini. Akan tetapi kekurangan kitab ini adalah banyak seklai memuat hadits yang tidak dapat dibuktikan kepalsuannya.
2)      Al-La’ali  al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah  karya al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) .
3)      Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits al-Syani’ah al-Maudhu’ah karya al-Hafizh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Iraq al-Kannawi (w. 963 H).
4)      Al-Manar al-Munif fi al-Shahih wa al-Dha’if karya al-Hafizh Ibnul Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H).
5)      Al-Mashnu’ fi al-Hadits al-Maudhu’ karya ‘Ali Al-Qari (w.1014 H).

F.     Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Maudhu’
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulainya pemalsuan hadis. Menurut satu pendapat, bahwa pemalsuan ini telah terjadi sejak masa Rasulullah SAW. Menurut pendapat lain terjadi sejak tahun 40 hijriah dan bahkan ada juga yang berpendapat sepertiga akhir abad pertama hijriah. Perbedaan pendapat ini terjadi karena tidak adanya keterangan nash yang jelas, yang berkaitan dengan masalah ini.
Pendapat yang disebutkan pertama di antaranya dikemukakan oleh Ahmad Amin, Shalah al-Din al-Adhibi, dan Hasyim Ma’ruf al-Husaini (yang disebut terakhir dari ulama Syi’ah). Ahmad Amin beralasan adanya hadis yang artinya berbunyi; “Barangsiapa yang berdusta dengan sengaja atas namaku, maka tempat kembalinya adalah neraka”. Menurutnya dengan hadis tersebut menggambarkan adanya kemungkinan pada zaman Rasulullah telah terjadi pemalsuanha hadis.
Alasan yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, sebagaimana dikatakan Mushtafa al-Siba’i, sebetulnya hanya merupakan dugaan yang tersirat dalam hadis itu. Dia tidak mempunyai alasan historis dan tidak pula tercantum dalam kitab-kitab standar yang berkaitan dengan asbab al-wurud.
Shalah al-Din al-Adhibi mengemukakan alasan lain, yaitu adanya dua buah hadis riwayat ath-Thahawi dan ath-Thabrani yang menjelaskan, bahwa pada masa Rasulullah ada seseorang yang mengaku telah diberi wewenang oleh Rasul untuk menyelesaikan suatu masalah di suatu kelompok msyarakat di sekitar Madinah. Kemudian melamar seorang gadis penduduk masyarakat tersebut, tetapi lamaran itu ditolak. Masyarakat mengirim surat kepada utusan Rasul untuk meneliti kebenaran apa yang dikatakan orang itu. Ternyata Nabi tidak pernah menyuruh seseorang untuk mengatasnamakan beliau. Menurut para ulama hadis inilah yang dha’if sehingga hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah adanya indikasi pemlsuan hadis masa ini.
Pendapat kedua dikemukakan oleh para ulama ahli hadis, dan ini yang menjadi pegangan para ulama kontemporer, seperti Ajjaj al-Khathib, Musthafaas-Siba’i, Nur ad-Din ‘Atar, Muhammad Abuu Zahrah , Muhamad Muhammad Abu Syuhbah, dan Abd al-Fatah Abu Gadah. Menurut mereka pemalsuan hadis itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Mereka beralasan bahwa pada masa ini terjadi pertentangan politik antara Ali bin Abi Thalib denggan Mu’awiyah bin Abi sufyan yang cukup serius. Masing-masing golongan yang bertentangan, selain berusaha saling mengalahkan lawannya , juga berusaha mempengaruhi pihak-pihak lain yang tidak terlibat dalam perpecahan. Salah satu cara yang mereka tempuh, ialah dengan membuat hadis palsu.









PENUTUP
A.    Simpulan
1. Hadis maudhu’ adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. dengan dusta dan tidak ada kaitan yang hakiki kepada Rasulullah.
2. Sebab-sebab munculnya hadis maudhu’ di antarnya adanya perselisihan, permusuhan, al-Targhib wa al-Tahrib, upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi, dan kesalahan pada rawi tapa disengaja.
3. Pemberantasan hadis maudhu’ dapat dilakukan dengan meneliti karakteristik para rawi, memberi peringatan keras kepada para pendusta, pencarian sanad hadis, menguji kebenaran hadis, menetapkan pedoman untuk mengungkap hadis maudhu’, dan menyusun himpunan kitab hadis maudhu’.
4. Cirri-ciri hadis maudhu’ dapat diketahui dengan melihat ciri-ciri pada rawi dan pada matan.
5. Sumber-sumber hadis maudhu’ di antaranya adalah al-Maudhu’at, al-La’ali al-Mashnuah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits al-Syani’ah al-Maudhu’ah, al-Manar al-Munif fi al-Shahih wa al-Dha’if, dan al-Mashnu’ fi al-Hadits al-Maudhu’. 
6. Pertuumbuhan dan perkembangan hadis maudhu’, para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, ada yang berpendapat bahwa telah terjadi sejak masa Rasulullah SAW. Menurut pendapat lain terjadi sejak tahun 40 hijriah dan bahkan ada juga yang berpendapat sepertiga akhir abad pertama hijriah.

B.     Saran
Hadis maudhu’ merupakan hadis palsu yang datangnya bukan dari Rasulullah SAW. melainkan dibuat dengan tujuan tertentu. Untuk itu kita hemdaknya mengetahui tentang hadis maudhu’ agar tidak salah dalam memahami dan menjalankan syariat agama sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Serta melakukan usaha untuk mencegah terjadinya penyebarluasan hadis maudhu’ demi untuk keselamatan umat Islam dari jalan yang salah.
DAFTAR PUSTAKA
Itr, Nuruddin. Ulumul Hadits 2. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 1997.
Ranuwijaya, Utang.  Ilmu Hadits. 1996. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.



DAFTAR PUSTAKA
Itr, Nuruddin. Ulumul Hadits 2. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 1997.
Ranuwijaya, Utang.  Ilmu Hadits. 1996. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar